"Lepaskan yang di sana juga!"
Hari ini, tepat hari kelima setelah Mas Hamish terbangun dari koma, dokter mengatakan jika suamiku sudah boleh pulang. Perkembangan kesehatan Mas Hamish begitu pesat, apalagi sejak Sofie sering datang menjenguknya.Sofie. Aku tidak tahu ini adalah berita baik, atau justru memperburuk keadaan. Saat Sofie mengatakan perasaannya terhadap Mas Hamish kepadaku, sampai detik ini membuatku tidak bisa mengerti apa tujuan perempuan itu membantuku.Yang aku tahu, Sofie adalah wanita berpendidikan dengan karier cemerlang. Tidak mungkin wanita seperti itu memiliki keinginan untuk merebut suami orang. Walaupun sebelumnya mereka pernah begitu dekat dan nyaris menikah, tetapi kenyataannya aku adalah istri sah Mas Hamish.Melihat perekembangan Mas Hamish yang sangat bagus, aku pun tidak tega memberitahu semuanya secepat ini, yang mungkin bisa membuat suamiku celaka."Mbak Aira, apa foto ini juga dilepaskan?" Pak Priyo, suami Bi Rumi menegurku, menunggu kejelasan perintah dariku.Aku memandang foto dengan ukuran besar yang terpasang di ruang tamu. Foto pernikahanku dengan Mas Hamish. Di sana Mas Hamish terlihat tampan, mengenakan stelan formal dengan tangan melingkar di perutku. Tak lupa juga tatapannya yang begitu teduh, tampak memancarkan aura kebahagian.Aku menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kemudian, berusaha menahan nyeri di ulu hati. "Lepaskan semua! Ganti saja dengan foto yang baru."Foto muda Mas Hamish sengaja aku cetak beberapa untuk mengantikan foto-foto kami yang memang sangat banyak dipasang di berbagai sudut ruangan.Kini rumah ini tampak berbeda. Tiada lagi pigura pernikahan. Tidak ada lagi fotoku dan Mas Hamish bersama. Semua berubah demi menyambut kedatangan suamiku siang nanti.Tepat pukul dua belas siang, di saat baru saja aku selesai menyiapkan makan siang untuk menyambut kedatangan Mas Hamish dan kedua mertuaku, terdengar suara bel berbunyi. Buru-buru aku keluar, memasang wajah ceria demi menyambut suami dan mertua.Mereka datang tepat waktu. Aku menyalami Ayah dan Ibu terlebih dulu, lalu ... Mas Hamish. Seperti yang bisa aku duga, lelaki itu mengabaikan uluran tanganku."Ayo, masuk. Silakan!" Walau hati perih, aku harus tetap bersikap baik.Ayah mendorong kursi roda Mas Hamish, sementara Ibu menghampiriku. "Mengapa foto-foto kalian tidak ada?" Beliau berkata setengah berbisik."Aira yang melepaskannya, Bu." Aku menjawab lemah. "Aira takut Mas Hamish kenapa-kenapa saat melihat foto kami. Padahal dia tidak mengingat apa pun tentang kami."Telapak tangan Ibu mengusap kepalaku. "Semoga Hamish cepat sadar dan mengingat semuanya. Ibu tidak rela jika kamu disakiti oleh dia.""Amiin." Aku tersenyum lantas mengajak Ibu masuk. "Langsung makan atau salat dulu?""Sudah waktunya, ya. Sebaiknya kita salat dulu." Ibu menghampiri Ayah yang baru saja duduk di sofa tamu. "Yah, kita salat jamaah dulu. Hamish juga!" ucap Ibu sambil menatap Mas Hamish.Kini kami berada di musollah dengan Ayah mertua menjadi imam salat. Biasanya Mas Hamish yang melakukannya saat kedua mertuaku datang, tetapi kali ini digantikan perannya oleh Ayah. Walaupun sikap Mas Hamish masih sangat dingin, tetapi atmosfer ketika salat jamaah berlangsung membuat semuanya berbeda. Tetes demi tetes air mata tak kuasa aku tahan. Aku merindukan beribadah bersama suamiku. Dan saat ini ketika pertama kali dia menjejakkan kaki di rumah ini, keinginanku dikabulkan.Kalimat salam mengakhiri salat kami. Dan ditutup oleh doa bersama. Aku melihat punggung tegap yang berbalut baju koko itu dengan sayu. Punggung yang biasa mengajakku salat malam sambil bermunajat meminta dikabulkan hajat mendapatkan keturunan. Bibirku tanpa sadar mengulum senyum. Semoga suatu saat aku bisa melihat punggung itu lagi dalam keadaan memimpin salat malam bersamaku.Mas Hamish mencium punggung tangan Ayah dan Ibu secara bergantian. Aku pun melakukannya, mencium punggung tangan Ibu saja. Aku masih sadar diri untuk tidak mengusik Mas Hamish sama sekali.***"Bagaimana, Nak, enak enggak masakannya?" Ibu bertanya saat kami berada di meja makan.Mas Hamish mengangguk-angguk tanpa menjawab dengan suara. Mulutnya masih penuh dengan makanan. Aku tersenyum senang."Aira memang pandai masak. Kamu akan betah kalau setiap hari dimasakin Aira."Di detik kalimat Ibu selesai diucapkan, Mas Hamish langsung terbatuk-batuk. Aku dengan sigap langsung mengangsurkan air putih untuknya, menepuk-nepuk punggungnya. Namun, dia menepis tangan dan bantuanku.Mas Hamish menuangkan air pada gelasnya sendiri lalu meminumnya sampai gelasnya kosong. "Nggak enak. Hamish udah kenyang, Bu.""Loh, kok? Tadi bukannya kamu lahap sekali makannya?"Mas Hamish menggeleng. "Nggak, biasa aja. Hamish lahap karena lapar. Padahal masakannya biasa aja. Hambar!"Aku menunduk, berusaha tidak memasukkan kata-kata Mas Hamish ke dalam hati. Bagaimanapun Mas Hamish bukanlah pria jahat. Aku tidak mungkin membencinya karena semua yang dilakukan lelaki itu bukan sepenuhnya kesalahannya.Aku menggenggam tangan Ibu saat beliau hendak membelaku. Aku gelengkan kepala, berharap Ibu tidak melanjutkan perdebatan."Kenapa harus dia sih, Bu? Nggak ada asisten rumah tangga lain apa?" Mas Hamish memprotes saat Ibu memberitahu rencana kami.Ya, aku mengaku sebagai "pelayan" dan bertugas untuk melayani semua kebutuhan Mas Hamish. Mungkin Mas Hamish memang mencintai Sofie untuk saat ini. Namun, aku berharap dengan selalu berada di sampingnya, aku bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayangnya lagi."Sudahlah, Nak! Aira itu yang terbaik. Dia pandai masak. Pandai berberes. Pokoknya Ibu nggak menemukan kandidat lain yang lebih bagus dari Aira."Mas Hamish menggeleng. Tetap tidak setuju. "Tapi, Bu, ini kan rumah Hamish. Masak Hamish harus tinggal berdua dengan dia. Bukan mukhrim, Bu.""Kalian memang tinggal di rumah yang sama, tapi tidak sekamar. Lagian juga masih ada pelayan lain di sini seperti Bi Rumi, dan Pak Priyo. Udahlah, nggak usah banyak protes kamu. Masak kamu tega nyuruh Ibu yang sudah tua ini ngurusin kamu?" Ibu justru memarahi Mas Hamish. Aku hanya bisa menatap perdebatan antara ibu dan anak itu."Tapi nggak harus dia," ucap Mas Hamish lesu."Sudahlah, Bu!" Ayah mertua menengahi perdebatan. "Sebaiknya kita pulang. Lagi pula Hamish sudah ada yang mengurus. Nak Aira, Ayah pulang dulu."Aku mengangguk, lalu menghampiri kedua mertua, mencium punggung tangan mereka secara bergantian. Mas Hamish tampak tidak rela melihat kedua orang tuanya pergi dan meninggakannya di rumah ini bersamaku."Nggak usah sok akrab sama orang tuaku!" Mas Hamish berkata sembari menggulirkan kursi rodanya menjauh.Aku mengikutinya. Kamar utama berada di lantai satu; kamarku dan Mas Hamish. Namun, kali ini hanya dipakainya sendiri. Aku tidur di kamar tamu selisih dua ruangan dengan kamar utama."Di sini, Mas, kamarnya!" Aku membantunya membuka pintu kamar, tetapi tanggapannya sangat ketus."Aku bisa sendiri. Lagi pula ini rumahku. Jangan berlagak seperti kamu yang punya rumah.""Aku hanya membantu.""Aku tidak membutuhkan bantuanmu! Jangan pikir karena kedua orang tuaku menyukaimu, jadi kamu bisa berlagak seperti majikan. Ingat, ya! Kau akan segera pergi dari rumah ini karena aku akan mencari pelayan baru, yang lebih profesional darimu.""Aku akan tetap di sini," kataku tegas.Ini adalah caraku mempertahankan suamiku. Tidak mungkin aku membiarkan orang lain, terutama seorang wanita yang akan merawatnya, dekat dengannya. Anggap saja aku posesif, aku tidak peduli. Aku hanya ingin menyelamatkan rumah tanggaku agar tetap utuh seperti sedia kala."Ini rumahku," kata Mas Hamish. "Dan aku berhak mengusir siapa pun yang aku inginkan! Termasuk kau!"Aku tidak tahu mengapa Mas Hamish begitu membenciku. Sejak pertama membuka mata, Mas Hamish tidak pernah menatapku dengan lembut. Sangat berkebalikan dengan Mas Hamish yang dulu."Aku akan pergi tanpa kamu minta. Asalkan dalam dua puluh empat jam ini, kamu bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun," ujarku kemudian tanpa peduli sorot mata penuh kebencian di matanya.Mas Hamish tersenyum sinis. "Aku pastikan kau akan keluar dari rumah ini sebelum dua puluh empat jam itu." Dia masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintunya.Aku sempat tersentak saat mukaku hampir tertabrak pintu yang ditutup dengan gerakan sedikit membanting. Lagi-lagi aku mengembuskan napas kasar, berusaha bersabar menghadapi tingkah laku suamiku.Setelah makan siang, seharusnya Mas Hamish meminum obat, bukan? Aku memutuskan menemuinya setelah menyiapkan tablet dan minuman di tangan. Walaupun hubungan kami tidak baik, tetapi memang tugasku untuk melayaninya di sini, terutama mengingatkan ketika waktu minum obat telah tiba.Mengetuk pintu tiga kali, tidak ada jawaban dari dalam. Aku memutuskan maasuk tanpa menunggu persetujuan dari Mas Hamish. Melihat sekeliling, aku tidak menemukan suamiku itu. Hingga kemudian, suara teriakan terdengar dari kamar mandi membuat perhatianku teralihkan.Sebelum memeriksa apa yang terjadi, aku meletakkan tablet dan air putih yang sejak tadi kubawa ke atas nakas, lalu mengayunkan langkah sedikit cepat ke arah kamar mandi."Mas, Mas Hamish, kamu nggak papa?" kataku seraya mengetuk pintu kamar mandi. Sangat jelas tadi aku mendengar suara orang jatuh dan teriakan dari dalam. Aku yakin Mas Hamish sedang dalam masalah. Dua kali ketukan di pintu aku lakukan, tetapi tak ada jawaban maupun sahutan. Aku semakin merasa panik. Jangan-jangan Mas Hamish terpeleset di kamar mandi, lalu pingsan.Segera tangan ini memutar kenop pintu kamar mandi, lalu membukanya lebar sembari mencari keberadaan Mas Hamish."Ra, jangan masuk! Aku belum pakai celana!"Mataku membeliak dan langsung membalikkan badan.Mas Hamish memang terjatuh dengan posisi miring. Kursi rodanya pun oleng. Namun, yang membuatku tak bisa menolehkan kepala adalah Mas Hamish berusaha menutup bagian bawah mililk pribadinya dengan kedua tangan karena belum sempat menaikkan celana."Maaf, aku hanya cemas."Aku menjadi gugup. Bukan berarti aku tidak pernah melihat tubuh polos suamiku, tetapi saat ini situasinya berbeda. Mas Hamish mengira aku hanyalah orang luar sehingga tidak mungkin secara terang-terangan membantu membenarkan celananya."Sebentar, jangan lihat ke belakang! Aku mau memakai celanaku."Aku mengangguk tanpa menjawab dengan suara. Sekitar dua menit lamanya, akhirnya Mas Hamish mengatakan, "Sudah!"Setelah mendengar hal itu, aku membalikkan badan, dan mendapati Mas Hamish masih berada di lantai kamar mandi dengan posisi kursi roda terjatuh. Berniat membantunya, aku membenarkan posisi kursi roda terlebih dulu, baru kemudian membantu Mas Hamish kembali duduk di sana."Bajumu basah. Sebaiknya ganti baju dulu sebeklum beristirahat," kataku saat melihat pakaian Mas Hamish yang basah."Kau cerewet sekali. Terserah aku mau tidur pakai pakain basah atau tidak. Apa urusanmu?""Saat ini menjadi urusanku." Tak peduli tanggapannya, aku mendorong kursi rodanya ke
"Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha
"Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu
Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S
Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m
Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak
"Apa kamu mengingat sesuatu?" Ada harapan yang begitu kuat saat menanyakannya. Paling tidak, mungkin ada seberkas bayangan wajahku di kepalanya."Tidak. Aku tidak mengingat apa pun.""Lalu?"Itu tadi bayangan apa? Mengapa dia mengatakan dejavu? Apakah aku terlalu banyak berharap agar ingatannya kembali?"Mungkin dulu aku pernah terjatuh seperti ini bersama Sofie. Jadi aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."Bukan. Bukan Sofie. Itu aku. Kami memang pernah terjatuh bersama saat itu dengan Mas Hamish memelukku, melindungi kepalaku agar tidak terbentur pada lantai. Sama persis dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, mana mungkin aku mengatakan hal tersebut.Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. "Ayo, aku bantu berdiri!""Hemm." Dia bergumam.Sebaiknya Mas Hamish kembali ke kursi roda. Aku berdiri kemudian, lalu mengambil kursi roda yang sempat ditinggalkan Mas Hamish, meletakakn di dekat lelaki itu."Hati-hati!" kataku tanpa menatap wajahnya.Ent
Akhir-akhir ini hubunganku dengan Mas Hamish memiliki banyak kemajuan. Dia sudah menyingkirkan dinding pemisah di antara kami. Sikapnya yang biasanya dingin, sudah berangsur melunak, walaupun ... di matanya aku hanyalah seorang teman.Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada menganggapku sebagai musuh."Ra!" Suaranya terdengar memanggil bersamaan dengan ketukan di pintu kamarku.Hari ini Mas Hamish memintaku menemaninya untuk mengunjungi salah satu gerai coffe shop kami yang sedang mengalami kendala. Cabang baru yang memang kurang aku perhatikan karena terlalu fokus dengan kecelakan yang menimpa suamiku.Segera kubuka pintu, dan di sana Mas Hamish sudah siap dengan pakaian yang rapi, duduk di atas kursi rodanya. Dia terlihat tampan dengan rambut tebal belah samping yang sudah disisir rapi. Aku sempat terpesona ketika menatapnya."Ehem." Dehemannya membuatku tersadar. Segera memalingkan muka, aku mendadak kikuk."Sudah siap?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk. "Maaf, sudah membuatmu
Siang ini Mas Hamish seharusnya pulang dari rumah sakit. Aku sengaja tidak menjemputnya karena Ibu dan Ayah sudah memintaku menunggu di rumah. Lagi pun, aku masih mogok bicara padanya.Sejak hari itu, aku tak lagi menemui Mas Hamish di rumah sakit. Aku memilih menitipkan suamiku pada Reno. Makanan kesukaannya sudah aku masakkan. Dan semua hidangan sudah kutata dengan dibantu Bi Rumi. Kedua mertuaku juga akan makan siang di sini sehingga aku harus menyiapkan segalanya sebaik mungkin. Bel terdengar dari pintu depan bersamaan semua pekerjaan selesai."Biar saya saja, Bi!" ucapku saat Bi Rumi hendak membukakan pintu.Aku tahu jika itu Mas Hamish yang datang. Menyerahkan apron pada Bi Rumi, aku segera berjalan menghampiri pintu untuk membukanya. Dan benar, sesuai dugaan jika di sana ada Mas Hamish yang duduk pada kursi roda bersama kedu mertuaku."Assalamualaikum." Aku mencium punggung kedua mertuaku bergantian. Dari ekor mata, aku sempat melihat Mas Hamish memperhatikan interaksiku bersa
Tidak bisa dipungkiri jika aku sempat tersentak dengan apa yang baru saja Mas Hamish ucapkan.Menyukai?Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?Mencoba tetap tenang, aku tidak ingin terpancing dengan pertanyaan itu. Bisa saja jika aku mengakui perasaanku, hubungan baik yang baru saja kubangun bersamanya akan kandas hari ini juga."Maksud kamu?""Kamu tidak diam-diam memendam perasaan padaku?" tanya Mas Hamish lagi. Kedua alisnya terlihat terangkat, sorot mata lurus nan tajam menatapku tanpa berkedip."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa ada perkataanku yang mempengaruhimu?""Sikapmu," ucap Mas Hamish yang cukup membuatku bingung."Sikap? Sikap yang mana?""Kamu terlalu baik dan terlalu mencemaskanku. Perhatianmu terlalu berlebihan melebihi orang tuaku sendiri. Mengapa kamu begitu khawatir denganku?""Hanya karena itu?" Aku menantang tatapannya yang mulai berubah. Tidak seperti Mas Hamish yang aku temui pagi tadi. Dia lebih dingin dan asing. "Aku bertanggung jawab dengan apa yang terj
Akhir-akhir ini hubunganku dengan Mas Hamish memiliki banyak kemajuan. Dia sudah menyingkirkan dinding pemisah di antara kami. Sikapnya yang biasanya dingin, sudah berangsur melunak, walaupun ... di matanya aku hanyalah seorang teman.Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada menganggapku sebagai musuh."Ra!" Suaranya terdengar memanggil bersamaan dengan ketukan di pintu kamarku.Hari ini Mas Hamish memintaku menemaninya untuk mengunjungi salah satu gerai coffe shop kami yang sedang mengalami kendala. Cabang baru yang memang kurang aku perhatikan karena terlalu fokus dengan kecelakan yang menimpa suamiku.Segera kubuka pintu, dan di sana Mas Hamish sudah siap dengan pakaian yang rapi, duduk di atas kursi rodanya. Dia terlihat tampan dengan rambut tebal belah samping yang sudah disisir rapi. Aku sempat terpesona ketika menatapnya."Ehem." Dehemannya membuatku tersadar. Segera memalingkan muka, aku mendadak kikuk."Sudah siap?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk. "Maaf, sudah membuatmu
"Apa kamu mengingat sesuatu?" Ada harapan yang begitu kuat saat menanyakannya. Paling tidak, mungkin ada seberkas bayangan wajahku di kepalanya."Tidak. Aku tidak mengingat apa pun.""Lalu?"Itu tadi bayangan apa? Mengapa dia mengatakan dejavu? Apakah aku terlalu banyak berharap agar ingatannya kembali?"Mungkin dulu aku pernah terjatuh seperti ini bersama Sofie. Jadi aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."Bukan. Bukan Sofie. Itu aku. Kami memang pernah terjatuh bersama saat itu dengan Mas Hamish memelukku, melindungi kepalaku agar tidak terbentur pada lantai. Sama persis dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, mana mungkin aku mengatakan hal tersebut.Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. "Ayo, aku bantu berdiri!""Hemm." Dia bergumam.Sebaiknya Mas Hamish kembali ke kursi roda. Aku berdiri kemudian, lalu mengambil kursi roda yang sempat ditinggalkan Mas Hamish, meletakakn di dekat lelaki itu."Hati-hati!" kataku tanpa menatap wajahnya.Ent
Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak
Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m
Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S
"Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu
"Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha