Beranda / Pernikahan / Ingat Aku, Suamiku! / Bab 04. Pernyataan Mengejutkan

Share

Bab 04. Pernyataan Mengejutkan

Penulis: Aleena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-22 18:44:40

"Mas Hamish, makan dulu, ya?"

Aku sudah menyendokkan bubur untuknya. Ini adalah hari pertama aku menggantikan Ibu untuk menjaga Mas Hamish. Bukan lagi mengaku sebagai seorang istri, hanya seseorang yang disuruh menggantikan tugas untuk merawatnya.

"Ibu mana?"

"Ibu--"

"Kau memanggil ibuku siapa?" Mas Hamish langsung menyela begitu saja saat aku menyebut mertuaku dengan sebutan Ibu.

"Maaf, Ibu yang menyuruhku memanggilnya Ibu." Aku memberanikan diri menatap matanya yang begitu dingin saat bicara padaku. Begitu berbeda dengan tatapannya dulu, selalu dipenuhi cinta dan kasih sayang.

"Ibuku memang sangat baik dengan semua orang."

Aku mengangguk.

"Kalau begitu kamu makanlah, Mas! Kasihan Ibu selalu mencemaskanmu, ingin segera melihatmu sembuh seperti dulu."

Terdengar dengusan kecil dari bibirnya. "Bawa sini! Aku bisa memakannya sendiri!"

Mas Hamish sama sekali tak mau memakan suapan bubur dariku. Aku mengangguk mengerti. Walaupun hati ini begitu sakit menerima penolakannya, tetapi aku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Yang penting dia mau makan agar perutnya tidak kosong karena banyak obat yang harus diminumnya.

Tepat saat bubur itu hendak berpindah ke tangan Mas Hamish, seseorang yang begitu suamiku tunggu-tunggu kedatangannya telah hadir.

"Mas Hamish!" Suara itu terdengar lembut. Aku sebagai wanita saja merasa merinding mendengar dia bicara. Detik itu juga Mas Hamish langsung mengalihkan perhatian pada wanita yang berdiri di ambang pintu. Perempuan cantik berambut hitam bergelombang dengan cekungan kecil di pipi kiri.

Hari ini aku melihat sendiri bagaimana pria yang beberapa hari lalu selalu menunjukkan wajah lesu, kini berubah ceria. Ya, Sofie datang menjenguk Mas Hamish ... di rumah sakit.

"Sofie!" panggil Mas Hamish.

Aku memalingkan wajah. Hatiku ternyata tak sekuat itu saat melihat Mas Hamish dengan mata berbinar memandang Sofie yang berjalan mendekat pada brankar. "Akhirnya kamu datang."

Tangan yang terbebas jarum infus itu langsung meraih tangan Sofie. Tatapan matanya begitu sendu dan dipenuhi cinta. Ada kerinduan mendalam yang terpancar di sana. Mas Hamish sepertinya benar-benar mencintai Sofie.

"Hai, apa kabar?" Suara Sofie yang tenang dan lembut membuat Mas Hamish tak memalingkan diri sedikitpun dari perempuan itu.

"Sangat baik. Apalagi kamu mau menjengukku."

Aku yang duduk di kursi merasa seperti orang asing di antara mereka berdua. Kupingku terasa panas, tetapi aku harus tetap berada di sana, melihat apa saja yang akan mereka obrolkan.

"Apa kamu sedang makan siang?" Sofie bertanya setelah melihat kotak ransum berada di tanganku. "Sebaiknya aku tunggu di luar saja. Selesaikan makanmu!"

"Hei, tunggu! Mengapa kamu yang menunggu di luar?" Mas Hamish menoleh padaku. "Aira! Namamu Aira, kan?"

Bahkan, saat menyebit namaku saja Mas Hamish seperti enggan. Walaupun begitu aku tetap menjawabnya meski hanya dengan anggukan.

"Berikan bubur itu padaku. Aku ingin Sofie yang menyuapiku. Tugasmu sudah selesai. Sekarang keluarlah!"

Tanganku meremas kotak ransum itu, seakan-akan sulit untuk melepaskan. Aku merasa tidak rela suamiku disuapi oleh perempuan lain. Awalnya aku bergeming di tempat, tak ingin menyerahkan kotak makan itu, tetapi bentakan Mas Hamish selanjutnya membuatku terkejut.

"Mengapa kau tetap di sana? Cepat keluar! Biarkan Sofie yang menggantikanmu!"

Aku mengembuskan napas lelah. Berusaha tersenyum meski terpaksa, aku memberikan kotak itu kepada Sofie, lalu beranjak dari duduk.

"Duduklah, Sofie!"

Sofie tersenyum dan mengangguk. Dia sangat cantik. Pantas saja Mas Hamish begitu tergila-gila padanya. Selain wanita karier yang berpendidikan, dia juga memiliki pesona yang tidak bisa ditolak pria. Aku jadi ragu saat menyerahkan suamiku untuk bisa bertemu kembali dengannya.

Sofie menggantikan posisiku duduk tepat di sisi ranjang Mas Hamish. Senyum merekah yang tidak pernah terlihat di wajah suamiku, kini mengembang dengan sempurna.

"Aku pergi dulu!" kataku berpamitan.

Tidak ada yang menanggapi perkataanku. Mereka seakan-akan sedang terbius dengan tatapan masing-masing. Aku memilih keluar, memperhatikan mereka dari celah pintu. Walaupun Mas Hamish adalah suamiku, tetapi tatapan tidak suka yang sebelumnya mengarah padaku cukup membuatku tahu diri. Keberadaanku tidak diharapkan. Aku hanya pengganggu kebersamannya dengan Sofie.

Tidak ada pilihan lain selain pergi. Andai aku melakuan pemaksaan, dan mengatakan pada Mas Hamish bahwa aku adalah istrinya, tentu dia akan semakin marah dan membenciku. Belum lagi mengingat perkatan dokter bahwa kami tidak bisa menyentil ingatan Mas Hamish karena bisa berakibat fatal untuk otak dan semua memori yang tersimpan di kepalanya.

Untuk saat ini, aku berusaha sabar, dan lebih bersabar lagi hanya demi kesembuhan suamiku.

Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku masih bisa mendengar mereka bicara.

"Sofie, mereka bilang kita terpisah selama lima tahun. Apa itu benar?"

Sofie yang digenggam tangannya mengangguk. "Aku sudah lulus dan bekerja. Bagaimana denganmu?"

Mas Hamish tersenyum. "Seperti ini. Aku kecelakaan, dan ada masalah dengan kakiku."

"Juga ingatanmu." Sofie menyela. "Kamu benar-benar lupa apa yang sudah terjadi lima tahun belakangan ini?"

"Entahlah! Mereka mengatakan bahwa aku hilang ingatan. Tapi aku tidak lupa saat berusaha menemuimu di bandara. Lalu, sebuah truk menabrak mobilku dari arah depan."

"Kamu mengejarku?"

"Hemm, tentu saja. Aku tidak ingin kamu pergi. Aku ingin kita menikah. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Mataku memanas, telinga pun terasa berdengung. Rasanya setiap perkataan yang diucapkan oleh Mas Hamish menusuk-nusuk hati dan perasaanku. Aku tidak bisa menahan buliran jernih yang tiba-tiba menetes di pipi.

"Jangan bicara lagi. Sekarang habiskan makananmu!"

Aku menyaksikan sendiri bagaimana Sofie dengan telaten menyuapi Mas Hamish. Aku senang melihat suamiku yang sebelumnya malas makan, kini justru sangat lahap. Setidaknya dengan begitu dia akan lebih cepat sembuh meskipun harus mengorbankan perasaanku.

"Aku jadi tidak sabar untuk disuapi seperti ini setiap hari."

Aku memalingkan muka, lalu menutup pintu kamar perawatan Mas Hamish pelan-pelan. Rasanya dadaku sesak, sudah tidak sanggup menahan rasa sakit yang menghunjam tajam. Tepat saat aku membalikkan badan, Ibu datang menghampiriku. Aku langsung memeluknya, lalu menangis di bahu Ibu mertua.

Ini baru satu hari, tetapi sudah sesakit ini. Aku harap Sofie benar-benar ingin membantuku, dan tidak ada niatan untuk kembali kepada suamiku.

***

"Ay, kepalaku pusing sekali."

Mas Hamish baru pulang bekerja. Aku yang baru saja membuatkan teh hangat langsung menghampiri suamiku itu. Teh aku letakkan di meja ruang tamu, lalu melangkah ke sofa di mana Mas Hamish sedang menyandarkan kepalanya di sana.

"Mas Hamish sakit?"

"Nggak tahu. Rasanya pusing banget." Tangan Mas Hamish beberapa kali memijit pangkal hidungnya. Aku tersenyum, lalu mengambil duduk di sebelahnya.

"Minum dulu, mumpung masih hangat."

Mas Hamish menurut, menyeruput teh bunga melati itu hingga tandas tak bersisa. "Makasih, Ay."

"Sama-sama. Apa ada masalah di kerjaan?"

Bukannya menjawab, Mas Hamish langsung merebahkan kepalanya di pahaku. Dia lebih seperti anak kecil, meringkuk dengan wajah dibenamkan pada perutku. Aku mengusap rambutnya yang tebal, tetapi terasa lembut saat helai demi helainya mengenai telapak tanganku.

"Nggak ada. Semuanya baik-baik aja."

"Heem, syukurlah. Sebaiknya Mas mandi dulu. Setelah itu aku pijitin."

Tangannya melingkar pada pinggangku. Dia selalu bersikap manja saat pulang kerja. Tapi ... aku menyukainya. Saat ada anak nanti, mungkin kami akan kesulitan bermesraan seperti ini.

"Kamu udah selesai?"

"Heem?"

Dia mengubah posisi kepalanya yang sebelumnya menghadap perutku, kini menatapku. "Udah suci, belum?"

"Iya, tadi aku--" Belum sempat aku menyelesaikan jawaban, Mas Hamish langsung beranjak, berdiri. Dia langsung menarik tanganku.

"Ayuklah! Sekarang aja."

"Apa?"

"Udah, buruan, Ay! Udah cuti seminggu, kan?"

Mau tidak mau, aku harus berdiri. Dia mengapit bahuku dengan lengannya yang melingkar. Kami berjalan beriringan seraya menaiki satu per satu anak tangga menuju kamar utama. "Tapi ... Mas. Bukannya tadi kamu bilang sedang sakit?"

"Oh, itu. Udah sembuh, kok," ucapnya sambil tertawa kecil.

"Kok bisa?"

"Ya, bisa, dong! Oh, ya, Ay, pakai baju yang semalem Mas kasih, ya?"

Aku mencubit pinggangnya gemas. Wajahku langsung merona mengingat pakaian apa yang Mas Hamish berikan padaku semalam.

***

"Aira!"

Kelopak mataku mengerjap saat suara itu memanggil namaku.

"Sofie!"

Di taman rumah sakit, yaitu di sebuah gazebo yang dinaungi pepohonan rindang, aku menyandarkan kepala di salah satu penyangganya. Lamunanku akan ingatan masa lalu buyar seketika saat Sofie datang menghampiri. Aku tersenyum padanya, lalu menggeser pantat untuk memberikan akses Sofie agar ikut duduk di sini.

"Terima kasih sudah datang," kataku tulus.

"Heem."

Kami sama-sama terdiam. Ada rasa canggung yang tak biasa karena kami sebelumnya tidak saling mengenal. Apalagi pria yang kami cintai adalah pria yang sama.

"Aira!"

"Ya!"

"Aku tadi banyak ngobrol dengan Mas Hamish. Dia mengingat semua kejadian, masa-masa indah kami dulu. Aku tidak menyangka jika dia tidak melupakan satu kejadian pun yang kami lewati bersama."

Aku menunduk. Sebenarnya tidak dijelaskan Sofie pun aku sudah tahu. Mas Hamish memang mengingat kembali memori sebelum kecelakaan limat tahun silam yang merengut ingatannya. Namun, saat Sofie menjelaskan ini, rasanya luka yang awalnya sudah lebih baik, kini justru menganga parah.

"Aira, dulu saat aku tahu Mas Hamish melupakanku, hidupku terasa hancur. Kami saling mencintai. Tidak ada satu di antara kami yang ingin menjauh. Nama coffe shop yang Mas Hamish dirikan itu juga menggunakan namaku dan namanya yang disatukan. M'ld Espresso. Jadi, kamu tahu kan bagaimana besarnya perasaan Mas Hamish kepadaku?"

"Aku tahu. Aku bisa melihatnya. Tapi, itu masa lalu, Sofie. Masa itu sudah terlewat sangat lama. Lima tahun, itu waktu yang cukup lama untuk menghapus masa-masa indah kalian."

Sofie tersenyum. "Seharusnya itu yang terjadi. Tapi lihatlah, Aira! Tuhan seakan memberi kami kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Setelah lima tahun perasaan yang sempat redup, hubungan yang tidak kelihatan juntrungannya, kini justru dibuka lebar tanpa pernah kami inginkan."

"Apa maksudmu, Sofie?"

Bukannya berperasangka buruk, tetapi aku merasa ada sesuatu yang hendak Sofie sampaikan kepadaku. Setiap kalimat yang diucapkannya seperti sedang memberi tahu bahwa ... Tuhan sengaja membuat skenario ini untuk mempersatukan mereka kembali. Tidak! Aku menggeleng kuat-kuat, tidak mungkin Sofie bisa setega itu mengkhinati kepercayaanku. Dia mau datang bukan untuk hubungannya sendiri, melainkan hanya ingin membantuku.

"Aira, andai nanti setelah aku membantu Mas Hamish mengingat masa lalunya sedikit demi sedikit, dan dia mulai mengingatmu. Namun, ternyata dia tetap memilihku. Aku ... mungkin akan menerimanya."

***

Bab terkait

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 05. Kembali Pulang

    "Lepaskan yang di sana juga!"Hari ini, tepat hari kelima setelah Mas Hamish terbangun dari koma, dokter mengatakan jika suamiku sudah boleh pulang. Perkembangan kesehatan Mas Hamish begitu pesat, apalagi sejak Sofie sering datang menjenguknya.Sofie. Aku tidak tahu ini adalah berita baik, atau justru memperburuk keadaan. Saat Sofie mengatakan perasaannya terhadap Mas Hamish kepadaku, sampai detik ini membuatku tidak bisa mengerti apa tujuan perempuan itu membantuku.Yang aku tahu, Sofie adalah wanita berpendidikan dengan karier cemerlang. Tidak mungkin wanita seperti itu memiliki keinginan untuk merebut suami orang. Walaupun sebelumnya mereka pernah begitu dekat dan nyaris menikah, tetapi kenyataannya aku adalah istri sah Mas Hamish.Melihat perekembangan Mas Hamish yang sangat bagus, aku pun tidak tega memberitahu semuanya secepat ini, yang mungkin bisa membuat suamiku celaka."Mbak Aira, apa foto ini juga dilepaskan?" Pak Priyo, suami Bi Rumi menegurku, menunggu kejelasan perintah d

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-26
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 06. Sifat yang Berbeda

    "Maaf, aku hanya cemas."Aku menjadi gugup. Bukan berarti aku tidak pernah melihat tubuh polos suamiku, tetapi saat ini situasinya berbeda. Mas Hamish mengira aku hanyalah orang luar sehingga tidak mungkin secara terang-terangan membantu membenarkan celananya."Sebentar, jangan lihat ke belakang! Aku mau memakai celanaku."Aku mengangguk tanpa menjawab dengan suara. Sekitar dua menit lamanya, akhirnya Mas Hamish mengatakan, "Sudah!"Setelah mendengar hal itu, aku membalikkan badan, dan mendapati Mas Hamish masih berada di lantai kamar mandi dengan posisi kursi roda terjatuh. Berniat membantunya, aku membenarkan posisi kursi roda terlebih dulu, baru kemudian membantu Mas Hamish kembali duduk di sana."Bajumu basah. Sebaiknya ganti baju dulu sebeklum beristirahat," kataku saat melihat pakaian Mas Hamish yang basah."Kau cerewet sekali. Terserah aku mau tidur pakai pakain basah atau tidak. Apa urusanmu?""Saat ini menjadi urusanku." Tak peduli tanggapannya, aku mendorong kursi rodanya ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-27
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 07. Semakin Cerewet

    "Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-28
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 08. Tatapan yang Berbeda

    "Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-29
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 09. Satu Kemajuan

    Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-29
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 10. Belum Siap

    Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-30
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 11. Dejavu

    Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-02
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 12. Mengajaknya Pergi

    "Apa kamu mengingat sesuatu?" Ada harapan yang begitu kuat saat menanyakannya. Paling tidak, mungkin ada seberkas bayangan wajahku di kepalanya."Tidak. Aku tidak mengingat apa pun.""Lalu?"Itu tadi bayangan apa? Mengapa dia mengatakan dejavu? Apakah aku terlalu banyak berharap agar ingatannya kembali?"Mungkin dulu aku pernah terjatuh seperti ini bersama Sofie. Jadi aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."Bukan. Bukan Sofie. Itu aku. Kami memang pernah terjatuh bersama saat itu dengan Mas Hamish memelukku, melindungi kepalaku agar tidak terbentur pada lantai. Sama persis dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, mana mungkin aku mengatakan hal tersebut.Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. "Ayo, aku bantu berdiri!""Hemm." Dia bergumam.Sebaiknya Mas Hamish kembali ke kursi roda. Aku berdiri kemudian, lalu mengambil kursi roda yang sempat ditinggalkan Mas Hamish, meletakakn di dekat lelaki itu."Hati-hati!" kataku tanpa menatap wajahnya.Ent

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-04

Bab terbaru

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 15. Album Kenangan

    Siang ini Mas Hamish seharusnya pulang dari rumah sakit. Aku sengaja tidak menjemputnya karena Ibu dan Ayah sudah memintaku menunggu di rumah. Lagi pun, aku masih mogok bicara padanya.Sejak hari itu, aku tak lagi menemui Mas Hamish di rumah sakit. Aku memilih menitipkan suamiku pada Reno. Makanan kesukaannya sudah aku masakkan. Dan semua hidangan sudah kutata dengan dibantu Bi Rumi. Kedua mertuaku juga akan makan siang di sini sehingga aku harus menyiapkan segalanya sebaik mungkin. Bel terdengar dari pintu depan bersamaan semua pekerjaan selesai."Biar saya saja, Bi!" ucapku saat Bi Rumi hendak membukakan pintu.Aku tahu jika itu Mas Hamish yang datang. Menyerahkan apron pada Bi Rumi, aku segera berjalan menghampiri pintu untuk membukanya. Dan benar, sesuai dugaan jika di sana ada Mas Hamish yang duduk pada kursi roda bersama kedu mertuaku."Assalamualaikum." Aku mencium punggung kedua mertuaku bergantian. Dari ekor mata, aku sempat melihat Mas Hamish memperhatikan interaksiku bersa

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 14. Masa Lalu yang belum Usai

    Tidak bisa dipungkiri jika aku sempat tersentak dengan apa yang baru saja Mas Hamish ucapkan.Menyukai?Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?Mencoba tetap tenang, aku tidak ingin terpancing dengan pertanyaan itu. Bisa saja jika aku mengakui perasaanku, hubungan baik yang baru saja kubangun bersamanya akan kandas hari ini juga."Maksud kamu?""Kamu tidak diam-diam memendam perasaan padaku?" tanya Mas Hamish lagi. Kedua alisnya terlihat terangkat, sorot mata lurus nan tajam menatapku tanpa berkedip."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa ada perkataanku yang mempengaruhimu?""Sikapmu," ucap Mas Hamish yang cukup membuatku bingung."Sikap? Sikap yang mana?""Kamu terlalu baik dan terlalu mencemaskanku. Perhatianmu terlalu berlebihan melebihi orang tuaku sendiri. Mengapa kamu begitu khawatir denganku?""Hanya karena itu?" Aku menantang tatapannya yang mulai berubah. Tidak seperti Mas Hamish yang aku temui pagi tadi. Dia lebih dingin dan asing. "Aku bertanggung jawab dengan apa yang terj

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 13. Apa Kamu Menyukaiku?

    Akhir-akhir ini hubunganku dengan Mas Hamish memiliki banyak kemajuan. Dia sudah menyingkirkan dinding pemisah di antara kami. Sikapnya yang biasanya dingin, sudah berangsur melunak, walaupun ... di matanya aku hanyalah seorang teman.Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada menganggapku sebagai musuh."Ra!" Suaranya terdengar memanggil bersamaan dengan ketukan di pintu kamarku.Hari ini Mas Hamish memintaku menemaninya untuk mengunjungi salah satu gerai coffe shop kami yang sedang mengalami kendala. Cabang baru yang memang kurang aku perhatikan karena terlalu fokus dengan kecelakan yang menimpa suamiku.Segera kubuka pintu, dan di sana Mas Hamish sudah siap dengan pakaian yang rapi, duduk di atas kursi rodanya. Dia terlihat tampan dengan rambut tebal belah samping yang sudah disisir rapi. Aku sempat terpesona ketika menatapnya."Ehem." Dehemannya membuatku tersadar. Segera memalingkan muka, aku mendadak kikuk."Sudah siap?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk. "Maaf, sudah membuatmu

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 12. Mengajaknya Pergi

    "Apa kamu mengingat sesuatu?" Ada harapan yang begitu kuat saat menanyakannya. Paling tidak, mungkin ada seberkas bayangan wajahku di kepalanya."Tidak. Aku tidak mengingat apa pun.""Lalu?"Itu tadi bayangan apa? Mengapa dia mengatakan dejavu? Apakah aku terlalu banyak berharap agar ingatannya kembali?"Mungkin dulu aku pernah terjatuh seperti ini bersama Sofie. Jadi aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."Bukan. Bukan Sofie. Itu aku. Kami memang pernah terjatuh bersama saat itu dengan Mas Hamish memelukku, melindungi kepalaku agar tidak terbentur pada lantai. Sama persis dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, mana mungkin aku mengatakan hal tersebut.Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. "Ayo, aku bantu berdiri!""Hemm." Dia bergumam.Sebaiknya Mas Hamish kembali ke kursi roda. Aku berdiri kemudian, lalu mengambil kursi roda yang sempat ditinggalkan Mas Hamish, meletakakn di dekat lelaki itu."Hati-hati!" kataku tanpa menatap wajahnya.Ent

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 11. Dejavu

    Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 10. Belum Siap

    Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 09. Satu Kemajuan

    Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 08. Tatapan yang Berbeda

    "Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 07. Semakin Cerewet

    "Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha

DMCA.com Protection Status