Beranda / Pernikahan / Ingat Aku, Suamiku! / Bab 03- Bertemu Sofie

Share

Bab 03- Bertemu Sofie

Penulis: Aleena
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-30 00:50:52

Istanbul, Turki.

Tepat pada pertengahan bulan Oktober di saat kelompok tour religi baru saja menjejakkan kaki pada Bandar Udara Internasional Atatürk, Turki, aku disibukkan memberi arahan setiap anggota jemaah selama safar berlangsung. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel untuk beristirahat sebelum keesokan harinya menjelajahi beberapa tempat wisata yang berada di negara ini.

Ya, aku adalah salah satu tour guide yang bekerja di bawah Azalea travel untuk memandu wisata religi di kunjungan Istanbul, Turki.

Saat matahari sedang cerah-cerahnya, aku dan rombongan menyusuri jalan menuju Selat Bosphorus. Blue Mosque atau biasa disebut dengan Masjid besar Sultan Mahmed menjadi tujuan pertama tour religi kali ini. Seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, tim mengajak jemaah menaiki kapal sembari menikmati lanscape Laut Golden Horn dan Selat Bosphorus.

Aku memilih berada di luar kapal bersama para wisatawan lainnya, sangat menyayangkan jika tidak menikmati indahnya perjalanan laut. Pemandangannya memang sangat mengasyikkan. Banyak perumahan yang bagus di tepi selat ini, hotel-hotel mewah, dan kapal-kapal. Bahkan ada helikopter yang nangkring di atasnya. Dari tempat yang sama enam kubah Blue Mosque sudah bisa dilihat jelas dengan mata telanjang.

Seperti biasa, aku memberi arahan apa saja larangan dan himbauan sebelum memasuki masjid yang sudah menjadi ikon Kota Istanbul. Bukan hanya wisatawan muslim yang ingin melihat bangunan ini, melainkan para turis asing berambut perak. Walaupun begitu, mereka harus tetap mengenakan tudung sebagai penutup kepala jika ingin melihat bagaimana keindahan rumah ibadah yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Ahmed yang letaknya di seberang Hagia Sophia itu.

Aku tidak ikut masuk ke dalam, memilih menopangkan lengan pada jembatan seraya menatap selat Bophorus yang berkilauan terkena cahaya matahari. Angin sepoi-sepoi terasa menerpa wajahku, sangat nyaman untuk memejamkan mata. Hingga sebuah suara ribut-tibut membuat perhatianku teralihkan.

"Maaf, saya tidak sengaja." Seorang pria Melayu dengan rambut belah samping terlihat sedang terlibat adu mulut dengan warga lokal. Aku memperhatikan berdebatan mereka yang sepertinya tidak akan menemui titik temu. Bagaimana tidak, pria itu berbicara menggunakan bahasa Inggris, sementara wanita paruh baya yang sedang beradu argumen menggunakan bahasa Turki. Pemandangan yang unik.

"Permisi, bisa saya bantu?" Melihat rekan sesama rumpun sedang dalam masalah, membuatku tidak tega. Aku memutuskan membantu pria asing itu karena sepertinya terkendala bahasa.

Pria itu menatapku sejenak, sebelum akhirnya mengembangkan senyum. "Nona, apa kamu mengerti ibu ini bicara apa? Aku tadi memang tidak sengaja menabraknya, tetapi dia terus saja bicara yang aku sendiri tidak paham maksudnya. Tolonglah, aku bingung menghadapinya."

Wajah lelaki itu terlihat panik. Sepertinya sudah lama perselisihan aneh itu berlangsung. Dan Aku baru menyadarinya.

Aku mengangnguk. "Saya coba dulu, ya."

"Pardon, İngilizce biliyor musun?" Aku membuka obrolan kepada wanita paruh baya itu, menanyakan apakah beliau ini bisa bahasa Inggris atau tidak.

Wanita itu menggeleng. "Tidak, saya tidak mengerti bahasa Inggris," ucapnya dengan logat dan bahasa Turkish yang khas. "Apa pria itu teman Anda? Dia tadi membeli minuman dan uangnya kurang. Lalu saya menagihkan untuk pemilik kedai itu, tetapi dia malah tidak segera memberikan uangnya."

Aku menanggapi dengan senyuman. "Berapa kekurangan uangnya?"

"Lima lira."

Aku mengangguk mengerti. Merogoh tas dan mengeluarkan dompet, pria itu menahan tanganku saat mengeluarkan sejumlah uang.

"Apa dia memintamu uang? Ingin memerasmu?"

"Tidak, apa tadi Anda membeli minuman di salah satu kedai?"

Pria itu mengangguk mengiakan. "Bagaimana kamu tahu?"

"Uang Anda kurang, dan Ibu ini meminta kekurangannya."

Tangan lelaki itu menepuk dahinya sendiri. "Astaga! Memalukan sekali. Berapa kekurangannya? Biar aku yang membayar."

"Lima lira."

"Heem." Dia mengeluarkan sebanyak sepupuh lira, dua kali lipat dari jumlah uang yang dibutuhkan. "Berikan kepada Nyonya itu. Dan sampaikan permintamaafanku," ujarnya seraya mengangsukan lembaran uang itu kepadaku.

Aku menerimanya, dan langsung memberikannya kepada Ibu itu. "Mohon maaf atas ketidaksopanan teman saya. Dia hanya tidak sengaja."

"Ini terlalu banyak. Dia  hanya perlu membayar lima lira saja." Kelebihannya diberikan kepadaku. Aku menahannya dan mengatakan bahwa itu semua sebagai bentuk permintamaafan. Namun, perkataan wanita paruh baya itu cukup membuatku terkesima. "Kami tidak menerima uang yang bukan hak kami. Terima kasih, Orang baik. Senang berjumpa dengan kalian." Wanita itu menangkupkan kedua tangan, lantas pergi dari hadapan kami.

"Ini, dia tidak mau menerima lebihnya." Uang itu aku kembalikan kepada pemiliknya.

"Tapi aku tidak menerima kembali uang yang sudah aku keluarkan."

"Lalu?"

"Bawa saja buat kenang-kenangan."

Aku menggeleng pelan. Kenang-kenangan apa yang hanya lima lira. Namun, karena tidak ingin berdebat, akhirnya uang itu aku masukkan ke dalam tas. Lagi pula tidak enak terus-menerus bersama pria asing yang memang bukan dari rombonganku.

"Hai, Nona. Aku belum tahu namamu." Dia menjejeri langkahku yang hendak kembali ke Blue Mosque. "Sesama dari Indonesia, sepertinya tidak baik kalau tidak saling kenal."

Oh, rupanya dia juga berasal dari negara yang sama denganku. Aku menghela napas, lalu menghentikan langkah. Dia lamgsung tersenyum dengan menyipitkan mata.

"Aira," kataku.

"Aira?" Dia mengulang pengucapan namaku dengan kedua alis saling bertaut. "Boleh tahu nama panggilannya?"

"Panggil saja Aira. Orang-orang memanggil saya dengan nama itu."

"Aira, Aira." Kepalanya mengangguk-angguk. Entah apa maksudnya. "Kalau begitu, boleh kan aku pangil dengan "Ay"?"

"Hah?"

"Ay, senang berkenalan denganmu. Perkenalkan, aku Hamish--" Tangannya terulur padaku, "--calon suami kamu, Ay."

"Apa?"

"Bercanda. Tapi kalau masih ada lowongan, aku akan mendaftar duluan," ucapnya seraya menunjukkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi.

***

Aku menggulir satu per satu foto yang berada pada galeri ponsel. Masih sangat jelas terpatri dalam ingatan bagaimana awal pertemuan pertama kami dulu, saat senja di ujung kota Istanbul.

Wajah tampan suamiku dengan senyum teduhnya membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama kali, kuusap dengan telapak tangan. Dia manis juga humoris. Kami hanya berkenalan selama dua bulan, lalu melanjutkan ke jenjang pernikahan.

"Nyonya, ini kantornya."

Pandanganku teralihkan ketika sopir pribadi Mas Hamish mengajaku bicara. Bangunan yang tinggi itu adalah alamat kantor kerja Sofie, wanita yang dicari Mas Hamish begitu mata suamiku  terbuka. Tidak benar jika hatiku tidak sakit. Saat memutuskan mencari keberadaan Sofie, aku sudah berusaha menahan ego dan rasa cemburu yang sudah menggebu di dada ini.

"Tunggu saya di sini! Saya akan masuk."

Aku keluar dari mobil, menatap bangunan kokoh menjulang di depanku. Menurut informasi yang aku dapatkan dari Reno, Sofie bekerja di kantor ini sebagai sekretaris.

Sengaja aku mendatanginya tepat lima menit sebelum jam makan siang dimulai. Mungkin, nanti aku bisa mengajaknya berbincang sekaligus makan siang.

"Saya Aira, ingin bertemu dengan Bu Sofie." Aku memperkenalkan diri di depan resepsionis.

"Sudah ada janji?"

Aku menggeleng. "Belum. Hanya teman lama. Ada sedikit keperluan di luar malasah kantor."

Perempuan yang rambutnya disanggul rapi itu mengangguk. "Silakan tunggu di sana! Sebentar lagi Ibu Sofie akan keluar."

Aku undur diri setelah mengucapkan terima kasih.

Mematuhi apa yang dianjurkan oleh Mbak Resepsionis, aku memilih duduk pada kursi tunggu. Sembari menekuri ponsel, aku juga sesekali melirik ke arah koridor yang mungkin nanti Sofie sudah keluar dari sana. Namun, ternyata tidak sesuai dugaan.

Dari arah lobby, aku melihat seorang wanita bergandengan tangan dengan pria berjas rapi, lalu cipika -cipiki, setelah itu saling melambaikan tangan. Tidak salah lagi, itu adalah Sofie. Mereka berpisah dengan pria itu kembali memasuki mobil dan pergi.

Wanita cantik  berstelan jas dan rok span yang menurutku terlalu pendek berjalan ke arahku. Untuk sesaat aku merasa ragu mengutarakannya. Bagaimana jika Sofie nanti justru membuat Mas Hamish semakin mencintainya? Apalagi melihat penampilan perempuan itu begitu seksi dan tampak seperti wanita berkelas. Aku pribadi merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya.

"Bu Sofie, ada yang mencari Anda." Perkataan resepsionis itu membuat langkah Sofie terhenti. Sepatu hak tinggi perempuan itu berputar, lalu mengarah padaku sesuai dengan arahan tangan si resepsionis yang memang menunjuk ke arahku.

Aku berdiri, lalu menyunggingkan senyum tipis kepadanya.

"Hai, aku Aira. Istri Mas Hamish."

***

Dan di sinilah kami sekarang, duduk berhadapan di sebuah restoran sekaligus makan siang. Seharusnya sambil makan siang, tetapi Sofie hanya memesan minuman karena dia sudah makan selepas meeting tadi.

"Mas Hamish kecelakaan." Aku mulai bercerita.

"Lalu?"

"Dia mengalami amnesia sebagian, dan melupakan kenangan lima tahun terakhir." Aku menatap Sofie lekat-lekat. "Dia tidak mengenaliku, tetapi malah mencarimu, Sofie."

Sofie tersenyum tipis. "Terus?"

Aku meraih tangan Sofie, menggenggam jemari lentik dengan kutek merah menyala. "Aku ingin meminta bantuanmu. Dia terus-menerus berkata ingin menemuimu. Ingin menikahimu."

"Maksudmu apa, Aira? Apa kau ingin aku menjadi madumu?" Sofie menggeleng. "Aku wanita karier, tidak sudih dimadu."

"Sofie, bukan itu maksudku."

Bukan hanya Sofie yang tidak ingin dimadu. Aku pun juga enggan berbagi suami dengan wanita lain. Melihat Mas Hamish menanyakan wanita selain aku saja sudah membuatku sesak, apalagi membayangkan berbagi cinta dengan wanita lain. "Aku hanya ingin kamu bertemu dengan Mas Hamish, lalu mengatakan bahwa tidak ada lagi hubungan di antara kalian. Maaf, aku seharusnya tidak melibatkanmu pada situasi rumit ini. Aku hanya tidak tahu harus mencari bantuan siapa lagi karena Mas Hamish terus saja mencari keberadaanmu."

Aku benar-benar merasa tidak enak hati dengan Sofie.

"Bagaimana jika aku tidak mau?" Sofie berkata dengan begitu tenang. Gengaman tanganku terlepas.

"Itu ... tidak apa-apa. Aku tidak memaksamu melakukan itu. Aku tahu ini salah. Aku hanya ingin mencari cara agar ingatan suamiku kembali lagi."

Sofie menyeruput es kopi tanpa ekspresi. Lalu dia mengarahkan tatapannya kepadaku.

"Aira, apa kamu tahu jika sebelumnya aku dan Mas Hamish adalah sepasang kekasih yang saling mencintai?"

Walaupun itu menyakitkan, aku tetap mengangguk.

"Aku menunggunya datang ke bandara saat itu, tetapi sampai panggilan penerbanganku tiba, dia tak datang. Tidak ada kabar apa pun darinya setelah itu. Dan saat aku kembali ke negara ini ... dia sudah menikahi wanita lain."

Aku menunduk. Rasa bersalah hadir melingkupi hatiku. Nyatanya aku adalah perusak hubungan yang sudah mereka jalin sejak lama. Tapi ... semua itu bukan salahku, kan? Aku tidak tahu menahu tentang hubungan Mas Hamish bersama Sofie sebelumnya.

"Lalu sekarang, apa kamu sudah menikah?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Aku teringat akan pria yang bersama Sofie di lobby tadi.

Sofie menggeleng. "Aku belum menikah sampai detik ini. Pria yang kamu lihat tadi hanya teman baikku."

"Oh!" Hanya itu yang mampu terucap pada bibirku. Jika Sofie tidak mau menolong, itu bukan salahnya. Aku sangat memakluminya dan tidak mempermasalahkan itu. Mungkin dia tidak ingin sakit hati mengingat masa lalunya yang telah berpisah saat sama-sama masih saling menyayangi. "Kalau begitu aku permisi. Maaf, sudah menggannggu waktumu, Sofie."

"Aku akan membantumu." Kalimat itu sungguh tidak pernah aku sangka.

"Apa?"

"Aku bersedia bertemu dengan Mas Hamish."

Aku tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih kepadanya berkali-kali.

Kami berjabat tangan kemudian. Sofie ternyata wanita baik-baik. Setidaknya ada harapan untuk menjembatani antara masa lalu yang terlupakan dan Mas Hamish dengan adanya kedatangan Sofie. Semoga usahaku ini tidak akan sia-sia.  Namun, saat aku hendak pergi darinya, Sofie memanggilku.

"Aira!"

Langkahku terhenti seketika. Sebelum kepalaku menoleh  ke belakang, Sofie berkata, "Aku sampai detik ini tidak menikah karena belum bisa melupakan suamimu."

***

Bab terkait

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 04. Pernyataan Mengejutkan

    "Mas Hamish, makan dulu, ya?"Aku sudah menyendokkan bubur untuknya. Ini adalah hari pertama aku menggantikan Ibu untuk menjaga Mas Hamish. Bukan lagi mengaku sebagai seorang istri, hanya seseorang yang disuruh menggantikan tugas untuk merawatnya."Ibu mana?""Ibu--""Kau memanggil ibuku siapa?" Mas Hamish langsung menyela begitu saja saat aku menyebut mertuaku dengan sebutan Ibu."Maaf, Ibu yang menyuruhku memanggilnya Ibu." Aku memberanikan diri menatap matanya yang begitu dingin saat bicara padaku. Begitu berbeda dengan tatapannya dulu, selalu dipenuhi cinta dan kasih sayang."Ibuku memang sangat baik dengan semua orang."Aku mengangguk."Kalau begitu kamu makanlah, Mas! Kasihan Ibu selalu mencemaskanmu, ingin segera melihatmu sembuh seperti dulu."Terdengar dengusan kecil dari bibirnya. "Bawa sini! Aku bisa memakannya sendiri!"Mas Hamish sama sekali tak mau memakan suapan bubur dariku. Aku mengangguk mengerti. Walaupun hati ini begitu sakit menerima penolakannya, tetapi aku tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-22
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 05. Kembali Pulang

    "Lepaskan yang di sana juga!"Hari ini, tepat hari kelima setelah Mas Hamish terbangun dari koma, dokter mengatakan jika suamiku sudah boleh pulang. Perkembangan kesehatan Mas Hamish begitu pesat, apalagi sejak Sofie sering datang menjenguknya.Sofie. Aku tidak tahu ini adalah berita baik, atau justru memperburuk keadaan. Saat Sofie mengatakan perasaannya terhadap Mas Hamish kepadaku, sampai detik ini membuatku tidak bisa mengerti apa tujuan perempuan itu membantuku.Yang aku tahu, Sofie adalah wanita berpendidikan dengan karier cemerlang. Tidak mungkin wanita seperti itu memiliki keinginan untuk merebut suami orang. Walaupun sebelumnya mereka pernah begitu dekat dan nyaris menikah, tetapi kenyataannya aku adalah istri sah Mas Hamish.Melihat perekembangan Mas Hamish yang sangat bagus, aku pun tidak tega memberitahu semuanya secepat ini, yang mungkin bisa membuat suamiku celaka."Mbak Aira, apa foto ini juga dilepaskan?" Pak Priyo, suami Bi Rumi menegurku, menunggu kejelasan perintah d

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-26
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 06. Sifat yang Berbeda

    "Maaf, aku hanya cemas."Aku menjadi gugup. Bukan berarti aku tidak pernah melihat tubuh polos suamiku, tetapi saat ini situasinya berbeda. Mas Hamish mengira aku hanyalah orang luar sehingga tidak mungkin secara terang-terangan membantu membenarkan celananya."Sebentar, jangan lihat ke belakang! Aku mau memakai celanaku."Aku mengangguk tanpa menjawab dengan suara. Sekitar dua menit lamanya, akhirnya Mas Hamish mengatakan, "Sudah!"Setelah mendengar hal itu, aku membalikkan badan, dan mendapati Mas Hamish masih berada di lantai kamar mandi dengan posisi kursi roda terjatuh. Berniat membantunya, aku membenarkan posisi kursi roda terlebih dulu, baru kemudian membantu Mas Hamish kembali duduk di sana."Bajumu basah. Sebaiknya ganti baju dulu sebeklum beristirahat," kataku saat melihat pakaian Mas Hamish yang basah."Kau cerewet sekali. Terserah aku mau tidur pakai pakain basah atau tidak. Apa urusanmu?""Saat ini menjadi urusanku." Tak peduli tanggapannya, aku mendorong kursi rodanya ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-27
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 07. Semakin Cerewet

    "Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-28
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 08. Tatapan yang Berbeda

    "Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-29
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 09. Satu Kemajuan

    Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-29
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 10. Belum Siap

    Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-30
  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 11. Dejavu

    Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-02

Bab terbaru

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 15. Album Kenangan

    Siang ini Mas Hamish seharusnya pulang dari rumah sakit. Aku sengaja tidak menjemputnya karena Ibu dan Ayah sudah memintaku menunggu di rumah. Lagi pun, aku masih mogok bicara padanya.Sejak hari itu, aku tak lagi menemui Mas Hamish di rumah sakit. Aku memilih menitipkan suamiku pada Reno. Makanan kesukaannya sudah aku masakkan. Dan semua hidangan sudah kutata dengan dibantu Bi Rumi. Kedua mertuaku juga akan makan siang di sini sehingga aku harus menyiapkan segalanya sebaik mungkin. Bel terdengar dari pintu depan bersamaan semua pekerjaan selesai."Biar saya saja, Bi!" ucapku saat Bi Rumi hendak membukakan pintu.Aku tahu jika itu Mas Hamish yang datang. Menyerahkan apron pada Bi Rumi, aku segera berjalan menghampiri pintu untuk membukanya. Dan benar, sesuai dugaan jika di sana ada Mas Hamish yang duduk pada kursi roda bersama kedu mertuaku."Assalamualaikum." Aku mencium punggung kedua mertuaku bergantian. Dari ekor mata, aku sempat melihat Mas Hamish memperhatikan interaksiku bersa

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 14. Masa Lalu yang belum Usai

    Tidak bisa dipungkiri jika aku sempat tersentak dengan apa yang baru saja Mas Hamish ucapkan.Menyukai?Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?Mencoba tetap tenang, aku tidak ingin terpancing dengan pertanyaan itu. Bisa saja jika aku mengakui perasaanku, hubungan baik yang baru saja kubangun bersamanya akan kandas hari ini juga."Maksud kamu?""Kamu tidak diam-diam memendam perasaan padaku?" tanya Mas Hamish lagi. Kedua alisnya terlihat terangkat, sorot mata lurus nan tajam menatapku tanpa berkedip."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa ada perkataanku yang mempengaruhimu?""Sikapmu," ucap Mas Hamish yang cukup membuatku bingung."Sikap? Sikap yang mana?""Kamu terlalu baik dan terlalu mencemaskanku. Perhatianmu terlalu berlebihan melebihi orang tuaku sendiri. Mengapa kamu begitu khawatir denganku?""Hanya karena itu?" Aku menantang tatapannya yang mulai berubah. Tidak seperti Mas Hamish yang aku temui pagi tadi. Dia lebih dingin dan asing. "Aku bertanggung jawab dengan apa yang terj

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 13. Apa Kamu Menyukaiku?

    Akhir-akhir ini hubunganku dengan Mas Hamish memiliki banyak kemajuan. Dia sudah menyingkirkan dinding pemisah di antara kami. Sikapnya yang biasanya dingin, sudah berangsur melunak, walaupun ... di matanya aku hanyalah seorang teman.Tidak masalah. Itu jauh lebih baik daripada menganggapku sebagai musuh."Ra!" Suaranya terdengar memanggil bersamaan dengan ketukan di pintu kamarku.Hari ini Mas Hamish memintaku menemaninya untuk mengunjungi salah satu gerai coffe shop kami yang sedang mengalami kendala. Cabang baru yang memang kurang aku perhatikan karena terlalu fokus dengan kecelakan yang menimpa suamiku.Segera kubuka pintu, dan di sana Mas Hamish sudah siap dengan pakaian yang rapi, duduk di atas kursi rodanya. Dia terlihat tampan dengan rambut tebal belah samping yang sudah disisir rapi. Aku sempat terpesona ketika menatapnya."Ehem." Dehemannya membuatku tersadar. Segera memalingkan muka, aku mendadak kikuk."Sudah siap?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk. "Maaf, sudah membuatmu

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 12. Mengajaknya Pergi

    "Apa kamu mengingat sesuatu?" Ada harapan yang begitu kuat saat menanyakannya. Paling tidak, mungkin ada seberkas bayangan wajahku di kepalanya."Tidak. Aku tidak mengingat apa pun.""Lalu?"Itu tadi bayangan apa? Mengapa dia mengatakan dejavu? Apakah aku terlalu banyak berharap agar ingatannya kembali?"Mungkin dulu aku pernah terjatuh seperti ini bersama Sofie. Jadi aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya."Bukan. Bukan Sofie. Itu aku. Kami memang pernah terjatuh bersama saat itu dengan Mas Hamish memelukku, melindungi kepalaku agar tidak terbentur pada lantai. Sama persis dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, mana mungkin aku mengatakan hal tersebut.Aku hela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. "Ayo, aku bantu berdiri!""Hemm." Dia bergumam.Sebaiknya Mas Hamish kembali ke kursi roda. Aku berdiri kemudian, lalu mengambil kursi roda yang sempat ditinggalkan Mas Hamish, meletakakn di dekat lelaki itu."Hati-hati!" kataku tanpa menatap wajahnya.Ent

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 11. Dejavu

    Pagi itu, waktu seakan terasa lebih lama. Dari satu, dua, tiga detik yang berputar pada jarum jam dinding begitu berarti. Hujan mulai mengguyurkan curahnya pada permukaan bumi sehingga aku kesulitan keluar untuk mengajak Mas Hamish ke suatu tempat.Hari ini bertepatan dengan tanggal pernikahan kami, yaitu tepat lima tahun. Walaupun Mas Hamish tidak mengingat apa pun, aku hendak mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin bisa mengingatkannya dengan memori-memori indah kami. Namun, cuaca nyatanya tidak bersahabat. Hujan turun sejak pagi, tanpa meminta izin pada banyak orang yang terpaksa menunda janji karena kehadirannya.Aku menjulurkan tangan, menengadah pada rintik hujan ke luar jendela. Percikan air bagaikan buliran kristal terpecah, lalu menciprat ke permukaan wajah yang langsung membuatku memejamkan mata."Ra, apa yang kamu lakukan?"Kelopak mata yang sempat memejam seketika terbuka begitu suara Mas Hamish mengejutkanku. Aku menoleh kemudian, mendapati pria itu sudah berada di belak

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 10. Belum Siap

    Sesuai jadwal yang ditentukan, dokter datang tepat pukul delapan pagi. Mas Hamish sudah bersiap mengikuti serangkaian proses terapi. Dari pemeriksaan, juga penyuluhan. Mereka terlibat perbincangan serius. Aku menghampiri lalu berhenti tepat di samping kanan kursi roda Mas Hamish."Bagaiana perkembangannya, Dok?""Nah, tepat waktu sekali Bu Aira datang."Sejenak aku mengarahkan pandangan ke arah Mas Hamish, meminta jawaban akan maksud dari dokter tersebut. Tapi, lelaki itu tak memberi jawaban apa pun."Jadi begini." Dokter memulai bicara. " Pak Hamish harus berlatih untuk menggerakkan kakinya. Tidak perlu terlalu berat. Cukup latihan duduk, kemudian berdiri. Bisa dibantu dengan ada penyangga semacam meja di depannya. Nanti saya catatkan tahapan-tahapannya yang sebaiknya dilakukan dengan urut sesuai petunjuk."Aku mengangguk mengerti."Bu Aira tinggal memastikan Pak Hamish melakukan sesuai prosedur yanv saya catatkan.""Baik, Dok. Akan saya lakukan."Dokter merapikan perlengkapan usai m

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 09. Satu Kemajuan

    Aku tidak salah dengar, kan?Aku pikir Mas Hamish datang untuk memarahiku. Tapi ... ternyata malah meminta maaf."Mengapa?"Rasanya sangat janggal jika Mas Hamish tida-tiba meminta maaf setelah aku mengatakan hal buruk tadi. Melihat wajah murkanya yang selama lima tahun bersama tak pernah sekalipun dipertunjukkan padaku, aku yakin dia tidak semudah itu meredam emosinya. Tentu saja aku merasa syok karena suamiku biasanya selalu bersikap lembut padaku, sekarang justru menjadi kasar dan tidak sabaran."Karena aku merasa sudah keterlaluan padamu."Menunduk, Aku tidak menyangka dia mengatakan hal tersebut. "Nggak papa. Aku ... juga minta maaf karena tidak sopan. Maaf.""Ra!" Lagi, dia memanggilku."Ya!""Tadi, Sofie juga mengatakan kalau dia tidak enak sudah membuatmu sedih. Dia wanita baik-baik, Ra. Bahkan setelah kamu pergi, dia yang menyadarkanku kalau aku sudah keterlaluan bicara padamu. Aku harap kamu jangan bicara buruk jika Sofie datang lagi ke rumah ini."Oh, jadi semua ini karena S

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 08. Tatapan yang Berbeda

    "Apa aku mengganggu?"Jelas. Aku merasa sangat terganggu dengan kehadiran Sofie. Ini sudah terlalu malam bagi seorang wanita yang hendak bertamu ke rumah seorang pria. Ingin sekali untuk menjawab bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Namun, aku berusaha menahan diri agar tidak lepas kendali.Mas Hamish menggeleng. Ekspresi dinginnya langsung berubah lembut. "Tidak! Mana mungkin kedatanganmu menggangguku?" Dia beralih bicara padaku. "Ra, bawakan minuman untuk Sofie. Jangan bengong saja di situ!"Aku mengangguk. Tak ada pilihan lain selain menurut. Posisiku bukan lagi nyonya rumah, melainkan seorang pelayan. Beranjak dari duduk setelah memastikan api yang sempat aku nyalakan sudah padam, aku berjalan melewati belakang Sofie. Bibirku berbisik lirih begitu berada di dekatnya. "Apa maumu malam-malam begini datang kemari, Sofie?""Jangan berperasangka buruk. Aku sudah berjanji pada Mas Hamish untuk menyempatkan datang saat dia sudah pulang." Begitu tenang dia menjawab, seakan-akan tidak pedu

  • Ingat Aku, Suamiku!   Bab 07. Semakin Cerewet

    "Pokoknya aku mau makan yang lain."Mas Hamish berubah seperti anak kecil. Aku sampai tidak mengenali suamiku itu. Apakah dia pria yang sama, yang meminangku lima tahun lalu?Aku mengambil alih piring itu, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan baru untuk Mas Hamish. Dengan tubuh yang masih lemah, aku memutuskan memasak ulang. Tidak mungkin menyuruh Bi Rumi karena beliau pasti sudah lelah. Walaupun aku sendiri juga belum sehat benar, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya."Tanpa bawang, Ra!"Suara itu mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang. Mas Hamish ternyata sudah berada di sana sembari menggulirkan roda kursinya.Aku mengangguk mengerti. Mas Hamish tak sekali pun mengalihkan perhatiannya dari pekerjaanku, seakan-akan takut aku memasukan bahan masakan yang tidak dia inginkan. Setidaknya itu yang terlihat dari ekor mataku.Masakan tanpa bawang?Meski sudah mengiakan, tetapi aku tidak mengerjakan sesuai permintaan. Berusaha menutupi apa yang kumasak dengan badanku agar Mas Ha

DMCA.com Protection Status