Dia bukan hanya menghilangkan benda yang di sentuhnya. Komandan S One bisa menyerang dengan benda yang dihilangkannya. Seolah teleportasi, tapi nyatanya tidak, dia melemparnya dan kami tidak tahu dari arah mana benda itu akan menghantam kami.
Berkali-kali Komandan S One menyerang kami tanpa berpindah dari posisinya. Dia memegang bongkahan kayu bekas reruntuhan rak buku, kayu itu dengan ajaib menghilang, dan tanpa disadari, kayu itu menghantam kami.Aku tidak tahu bagaimana cara mengalahkannya. Komandan S One tidak membiarkan aku menyerang, bahkan baru hitungan detik berdiri, dia sudah melumpuhkanku dengan benda yang menghilang.Rai bisa menyerangnya dari jarak jauh. Namun, serangannya selalu meleset. Dengan mudahnya Komandan S One bisa menghindarinya dengan menghilang.Walaupun selalu gagal, Rai tidak menyerah. Dia terus menyerang Komandan S One dengan Kazakirinya.Aku takut penyakit Rai akan kambuh, dia sudah kelPertarungan ini membuat keadaan ruangan yang tadinya tertata rapih menjadi kacau balau. Lukisan buatan Aruna semuanya hancur, kanvasnya robek, tidak ada yang bisa diselamatkan.Buku-buku sobek berserakan di lantai. Rak Buku hancur tidak ada yang utuh, kayunya berantakan tak terkendali. Komandan S One terbaring tak sadarkan diri di lantai, jika tidak ada yang menemukannya secepatnya dia tidak dapat di selamatkan. Rai merabah dinding, dia mencari tombol untuk membuka pintu. Dinding bercat putih itu perlahan terbuka ketika Rai menekan tombol kuncinya.Ruangan ini tepat berhadapan dengan pintu keluar. Kalian tidak akan bisa menemukan ruang rahasia ini jika tidak sengaja menekan tombol kuncinya di bawah karpet. Aula yang awalnya dipenuhi oleh ribuan orang anggota Robber menjadi sedikit lenggang. Hampir 90 persen Risau mengalahkannya, tersisa tinggal beberapa saja. Mereka tidak berani menyerang, tenaga mereka habis, keringat membasahi tubuh.
Wajahku disiram cahaya hangat. Matahari sudah setinggi pangkal kepala. Sampai siang hari, asap ini belum hilang sepenuhnya, tersisa kabut menyelimuti lembah.Aku berusaha duduk, bersandar ke pohon. Mataku menyapu sekitar. Di mana Aruna, Rai dan Risau? Aku tidak bisa melihatnya. Apa mereka sudah siuman? Aku berdiri tertatih, berpegangan dengan pohon. Tubuhku masih sedikit nyeri, baju sobek-sobek."Rai! Aruna! Risau! Di mana kalian!" Aku berteriak memanggil mereka, semoga saja mereka mendengar dan menjawab seruanku.Tidak ada yang menjawab, sepi, suara hewan pun tidak terdengar, hanya kabut yang berarak membisu sepanjang mata memandang. Aku sangat berharap semoga mereka baik-baik saja.Aku menuruni bukit. Lembah yang awalnya terpampang rumput hijau dan pohon aneh itu berubah menjadi lubang besar. Markas Keluarga Robber tidak ada yang tersisa, hancur menjadi abu bersama dengan anggotanya. Kekuatan yang sangat dahsyat. Satu lembah
Lembah menghijau sejauh mata memandang, sungai mengalir dari bukit hutan kehidupan. Pohon-pohon berbunga merah muda tumbuh di sisi jalan. Lampu-lampu jalan menyala kuning, terlihat damai dan tentram. Rumah-rumah berwarna merah mudah, terlihat manis dan ceria. Setiap halaman rumah terdapat pohon bunga bangur yang tumbuh pendek. Di bawah pohon itu terdapat balai kecil terbuat dari bambu. Batu sungai disusun rapi menjadi jalan setapak. Rumah-rumah berbaris ditepi jalan, saling memandang. Rumah di Kota Sweety berdisen sama, berbentuk persegi, terbuat dari kayu, berwarna merah muda. Terdapat dua jendela besar. Atapnya berbentuk persegi tiga, berwarna ungu. Pagar kayu sekeliling rumah, melindungi halaman kecil yang ditumbuhi bunga warna warni. Di lihat dari atas bukit, dari kejauhan. Kota ini manis dan ceria. Anak-anak berlarian di jalan setapak, bercanda, tertawa. Damai dan tentram. Pemandangannya sangat indah."Itu rumahku." Aruna menuruni bukit. Kami mengikuti.Rumah Aruna sederhana,
Ketika langit malam mulai tergelap, bulan menyinari langit dengan germelap cahayanya yang lembut. Tampak menawan dengan keindahan yang mempesona, bulan memberikan pesona romantis dan misterius yang tak pernah diabaikan.Bulan yang terlihat seperti piringan putih terang yang menjulang di langit, mengeluarkan cahaya yang lembut dan menyebar ke sekelilingnya. Ketika malam telah benar-benar gelap, bulan menjadi pusat perhatian dan memberikan pancaran cahaya yang cukup untuk menerangi bumi.Bulan juga memiliki keindahan yang berbeda-beda pada setiap fase-nya. Ketika bulan purnama, terlihat penuh dan begitu terang sehingga menghilangkan bayangan di bumi. Sedangkan bulan sabit terlihat seperti busur indah yang menambah ketertarikan dalam pandangan mata.Aku memagang mata kalung yang berbentuk bulan sabit. Kalung ini terbuat dari kristal putih dan terukir namaku di dalamnya. Aku penasaran siapa yang memberikan kalung ini untukku. Kenapa dia menitipkannya kepada ibu penjual sayur, tidak memberi
"Hai, berhenti!" Aku melompati balai tempat para penjual buah mengobral barang dagangnya. Jarakku 5 meter darinya.Pria payu baya itu memakai kemeja hitam sobek-sobek. Rambutnya berantakan, dia berlari pincang.Aku membelah kerumunan, meganggu aktifitas ibu-ibu yang sedang menawar barang, merusak permainan anak-anak, sesekali bahuku tersenggol, bentrokan, aku meminta maaf.Walau pincang, pria itu berlari sangat cepat, tidak kesulitan dengan kekurangannya, menyibak semua orang yang menghalangi jalannya."Kembalikan kalungku!" Aku menunduk, melewati kolong balai penjual baju.Hampir saja tanganku meraih bajunya, dia berbelok mendadak membuatku kehilangan kendali. Aku menabrak orang, terjatuh duduk."Kalau lari hati-hati!" bentak pria bertubuh kekar itu."Lewat sini, Indra." ucap Aruna, dia dan Rai berbelok mengejar pria itu.Aku berdiri, meminta maaf, lanjut berlari mengejar pencuri itu.Pria itu mem
Bumi bergetar, atap berguguran, pria itu berlari melindungi kristalnya agar tidak berjatuhan. Lampu-lampu bergoyang, menyinari kesana-kemari. Aku menunduk, melindungi kepalaku, Aruna memeluk keranjang bambu, bersembunyi di balik tubuh Rai."Apa yang terjadi?" tanya Aruna dengan nada bergetar."Ini gemba bumi." ucapku."Bukan, aku mendengar suara bom." Rai menebak. Pria payu baya itu melindungi kristalnya ke tempat yang aman, dia meletakkannya di peti kayu. Tubuhnya lebam-lebam terkena hantaman batu."Pencuri datang …, bummm, dia datang …, bummm." Pria itu memeluk kedua lututnya. Getaran berhenti, atap kembali tenang. Aku berdiri, mataku menyapu sekitar. Lihatlah, ruangan ini menjadi berantakan, beberapa lampu pecah, kotak transparan berjatuhan, cahaya redup.Aruna mengambil kristal berwarna hijau yang jatuh tertindi puing, dia membersihkannya. Pria itu dengan cepat merampas kristal itu dari tangan Aruna.
Saat semuanya gelap, sunyi. Aku mendengar suara gemercik air terjun dan seorang perempuan yang selalu memanggil namaku. Tiba-tiba sebuah tangan menarikku, dia berkata lembut padaku untuk mengikutinya datang kedunianya dulu, tempat di mana dia menemukan kehidupan yang sempurna.Seketika ruangan itu menjadi terang dan menakjubkan. Ini seperti negeri mimpi, tetapi rasanya sangat nyata.Dimana aku? Apa ini surga?Aku melihat sekelilingDi tengah alam yang subur, terhampar sebuah lembah hijau yang menakjubkan. Lembah ini ditumbuhi oleh bunga-bunga indah berwarna-warni, menciptakan pemandangan yang memikat hati siapapun yang melihatnya. Sinar matahari yang lembut menyinari lembah ini, membuat warna-warni bunga semakin bersinar dan mempesona.Di tepi lembah terdapat sebuah rumah sederhana terbuat dari kayu, dengan atap batu-batu merah yang dilapisi rumput hijau.Air terjun yang mengalir dari pengunungan di sekitar lembah
Ibunya Aruna tercengang melihatku bertelanjang dada dengan tubuh memerah. Dia langsung menyuruhku merebahkan tubuh di bangku panjang. Dia kembali membawa mangkuk berisi ramuan. Ibunya Aruna mengoleskan ramuan itu ke seluruh tubuhku yang memerah, rasanya dingin dan menyejukkan."Terkena bom!" Betapa terkejutnya dia mendengar penjelasan dari anaknya.Poninya yang sama dengan Aruna bergerak-gerak tertiup angin. Dia duduk di samping Aruna menanyakan kelanjutannya."Indra masih hidup terkena bom sebesar itu." Dia melirikku yang perlahan bangun untuk duduk."Iya, Bu, aku juga tidak percaya, tiba-tiba jantung Indra berdetak lagi, matanya terbuka. Aku memang tidak melihatnya, pria itu yang mengatakannya padaku, saat dia ingin mengembalikan kalung kristalnya Indra." Aruna menjelaskan.Angin bertiup sepoi-sepoi memasuki rumah dari jendela besar di samping bangku panjang. Kami berada di ruang tengah, persis di hadapanku, jauh di pojok dind