Share

Desa Triton

Flashback 10 tahun yang lalu ....

Daun-daun kering berhamburan terkena hembusan angin dari hentakan kedua kakiku yang bergerak sangat cepat. Suara raungan hewan buas kian bertambah nyata semakin aku dekat dari desa. Burung-burung berterbangan menjauh, asap bertambah tebal.

Teriakan, tangisan dan suara reruntuhan rumah dapat aku dengar dalam jarak yang cukup jauh.

Namaku Indra, ibuku sudah meninggal, dan aku yakin ayahku lah pembunuhnya. Aku benci dengannya, selain pembunuh dia juga tidak kreatif memberikan nama untuk anaknya. Nama itu diambil dari indera pendengaranku yang istimewa. Telingaku sensitif, dapat mendengar dari jarak jauh sekalipun.

Aku tinggal di dalam hutan kehidupan, dimana hutan ini mempunyai peraturannya sendiri. Tumbuhannya tidak akan pernah habis, jika di tebang, mereka akan tumbuh dengan cepat.

Tapi jangan sesekali membunuh hewan atau manusia yang tinggal di dalam hutan ini. Kalau kamu hanya sekedar memanah untuk melatih bakatmu dan mengganggu hewan atau membunuhnya, maka hutan ini akan membalasnya yang setimpal padamu.

Hutan kehidupan memiliki roh yang memberikan kami makanan juga memberikan kami hukuman jika melanggar aturannya.

Aku tinggal disini bersama Ras Triton. Meski berbeda mereka menyayangiku layaknya keluarga. Bola mataku berwarna merah. Rambut dan alis berwarna hitam tebal. Aku akui tubuhku pendek itu sebabnya mereka memanggilku si pendek, tapi jangan bandingkan kekuatan fisikku dengan mereka. Sangat jauh.

Aku bisa mengangkat batu besar, memukulnya hingga hancur berkeping-keping. Sedangkan Ras Triton tidak bisa melakukannya, mereka hanya mampu mengeluarkan batang pohon dari tangannya, lalu mata dan rambut yang berwarna hijau itu menyalah terang.

Awalnya aku kaget dengan kekuatan yang dimiliki

Ras Triton. Kenapa mereka bisa mengeluarkan batang pohon dari tangan, akar-akar merambat dan bahkan ada juga yang bisa memunculkan daun.

Aku berlatih setiap hari. Mengangkat beban, melompat-lompat, belajar bela diri. Dampaknya, tubuhku menjadi kekar, pukulanku kuat, lompatku tinggi, dan yang paling hebat, staminaku besar. Namun, aku tidak bisa melakukan apa yang bisa dilakukan Ras Triton.

Kata kakek jangan pikirkan hal itu. Dunia ini bernama Nobel, terbuat dari sihir. Apa yang tidak masuk di akal ada di sini. Ada pendekar pedang, monster, para ras yang berkemampuan unik, dan juga iblis.

Aku melompat, kakiku berlari di udara, menapak pada batang pohon. Aku termenung melihat kondisi desa dari atas pohon. Rumah-rumah hancur berantakan, pepohonan roboh, api buas membakar rumah warga. Penduduk desa berhamburan menarik anak mereka menjauhi pertempuran.

"Buuhhhh." Seekor beruang raksasa sedang mengamuk menyerang, dia menghancurkan segalanya yang berada didekatnya. Para pria berusaha melawan beruang itu dengan kemampuan mereka.

Ras Triton menyatukan kekuatan. Mereka menghalangi jalan beruang raksasa dengan batang pohon yang terbentang membentuk dinding. Rambut dan mata hijau mereka menyala terang, akan tetapi dinding yang terlihat kukuh itu dengan mudah dihancurkan oleh sang beruang.

Sebagian pria Ras Triton bergegas mengeluarkan akar dari tangan mereka. Melilit kaki beruang raksasa itu. Tetap saja, dengan sekali ayunan kaki, berlapis-lapis akar pohon yang mengikatnya, dia dengan mudah melepaskan diri. Hutan kehidupan bergabung dalam pertempuran, ia harus membenahi keributan ini yang akan merusak ekosistem. Hutan ini menyerang raksasa itu dengan akar berduri.

Beruang raksasa itu belum puas memporak-porandakan desa ras Triton. Hukuman dari hutan kehidupan tidak dapat menghentikannya. Dia menangkis dan dapat menghindari serangan akar berduri.

Seorang pria memberanikan diri menyerang beruang dari jarak dekat, dia berlari menaiki tubuh raksasa itu, memukul wajahnya. Serangan pria itu terlalu lemah bagi beruang, dia tidak bergeming kesakitan.

Pria itu tidak menyerah, sambil menghindari pukulan beruang, ia terus menyerang wajah lawannya. Aku melihat satu pukulan yang sangat kuat membuat lawan marah. Namun, balasannya sangat dahsyat. Dia terkena hembusan angin dari pukulan beruang. Tubuhnya terbanting ke tanah, cukup kuat, membuat debu berhamburan.

Aku segera melompat, memastikan keadaannya.

"Guru, kamu tidak apa-apa?" tanyaku sambil mengibas kepulan debu.

Guru batuk darah, memegang perutnya. Ia tidak bisa bangkit lagi. "Indra." bisiknya.

Aku langsung memeluk guru. Rambut dan matanya berhenti menyala.

"Hanya kamu yang bisa mengalahkannya, Indra." ucapnya.

Aku melirik beruang raksasa itu yang sedang asik menghancurkan desa. Memukul, menendang siapapun yang menghalangi jalannya sambil menangkis akar berduri yang membuatnya semakin marah. Walaupun Dia besar, ganas, dan kekuatannya sangat hebat. Aku tidak akan gentar melawannya.

"Indra, walaupun kamu pendek. Percayalah dengan kekuatanmu."

Sejak tadi api dalam tubuhku berkobaran, tekadku meluap-luap. Aku mengepal jemari kuat-kuat, mata hampir copot seiring melihatnya leluasa menghancurkan desaku. Aku pasti bisa mengalahkannya, dia itu tidak lain dari batu besar yang aku hancurkan berkeping-keping.

Banyak sekali korban berjatuhan. Bukan hanya pria ras Triton, anak-anak dan perempuan tidak luput dari hantaman beruang raksasa itu.

Suara tangis dan teriakan meramaikan pertempuran itu, darah bermuncratan dari tubuh korban. Mereka tidak mati, hanya terluka parah.

Aku mempercepat lariku, kemudian melompat ke punggung beruang, berpegangan erat pada bulunya. Ia tidak menyadari kedatanganku. Tubuhku berterbangan ke kanan ke kiri, anginnya cukup kuat.

Aku berusaha naik ke atas kepalanya, kemudian memukul matanya. Ia meraung kesakitan, mulai menyadari ada aku ditubuhnya.

Tangan raksasa itu menghampiri, sangat besar, tubuhku layaknya jari kelingking baginya. Aku melompat, tubuhku meluncur cepat ke bawah, baju membubung.

Aku merentangkan tangan, air mata berterbangan, rambut hitamku ke atas terbawa angin. Melirik pada perut beruang raksasa itu. Ini kesempatan. Kurai satu helai bulu yang paling panjang. Tubuhku bergelantungan, memanjat satu helai bulu untuk mendarat di perut beruang itu. Setelah sampai, aku langsung memukul perutnya sekuat tenaga

Ia meraung kesakitan. Menurutnya aku sudah jatuh atau terpental sangat jauh. Dia sangat meremehkan mentalku.

Ia menelisik tubuhnya, mencari keberadaanku. Kulitku yang putih sulit menyamar di bulunya yang hitam, dia mudah menemukanku. Kedua tangannya menyerang, aku segera lompat turun. Serangannya mengenai tubuhnya sendiri.

Aku layaknya nyamuk menghisap darah, kemudian terbang jika sebuah tangan menyerang. Ia memukulku saat aku berada di tangan kirinya. Aku melompat ke pundak. Dia meluncurkan serangannya ke pundak, aku kembali lompat ke tangan kiri raksasa itu.

Entah kenapa semakin aku fokus gerakan beruang raksasa ini semakin lambat, aku dengan mudah menghindari serangannya, bahkan sebelum pukulannya sampai aku sudah menebak kemana ia akan menyerang.

Raksasa beruang itu mengibaskan tangannya. Aku terhempas ke udara, sangat jauh. Lalu ia meninggalkanku begitu saja, berjalan, kembali menghancurkan desa. Padahal serangannya tadi menguntungkan aku untuk memukul kelemahannya.

Selama dalam posisi melayang akar berduri meluncur cepat di hadapanku, menyerang beruang itu. Aku naik di punggung akar. Perhitunganku tepat, ia pasti dapat menghindar serangan, tapi tidak menyadari ada aku di akar itu.

Aku segerah lompat tepat ke wajahnya, kemudian memukul satu matanya. Sangat kuat, ia meraung kencang, membuat burung-burung dan hewan yang berada dekat tempat lokasi pertempuran berhamburan ketakutan.

Aku melompat. Selama di udara, raksasa itu menyerang. Sudah kubilang pukulannya lambat, aku mudah menghindarinya. Tubuhku berputar di udara lalu melompat lagi memukul hidungnya.

Anak-anak ras Triton mengendap di balik kaki ibunya saat mendengar raungan kesekian kalinya dari raksasa beruang itu. Mereka tersenyum simpul semenjak sedari tadi ketakutan. Para pria menghembus nafas panjang, mereka sudah memperkirakan siapa yang akan menang.

Aku naik ke atas hidung raksasa itu, berlagak di depan matanya. "Jangan macam-macam dengan Indra, walau dia pendek, tapi kekuatannya besar. Aku tidak sombong, aku memang kuat. Mau merasakan pukulanku sekali lagi." Aku mengangkat tangan, menunjukkan otot tangan padanya.

Kemudian aku menyentuh dahinya. "Kamu itu seperti boneka beruang raksasa yang suka dipeluk oleh para wanita saat tidur." Itu yang aku tahu dari buku yang kubaca.

Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Di bola matanya yang besar ada genangan air mata yang perlahan menetes. Ia menangis.

"Terima kasih."

Aku terkesiap. Tanganku reflek melepas bulu yang aku cengkram. Tubuhku jatuh ke bawah. Tangan beruang itu dengan cepat menangkap.

Sekitarku gelap. Sial, aku lengah, ini kesempatan dia untuk menghabisiku. Ia menggenggam lebih kuat, aku semakin terdesak, sulit bernapas. Tubuhku akan dihancurkan seperti wafer yang di remas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status