Semua yang terjadi pada ZARA berawal dari satu tahun yang lalu. Saat semuanya masih baik-baik saja, juga saat keluarganya dipenuhi cinta, suami juga anak yang baik dan sangat di sayanginya.
Kenapa bisa berakhir menjadi begitu menyakitkan?***Jalan hidup tak pernah ada yang tahu, bahagia saat ini tak bisa menjamin akan bahagia selamanya.Aku hanyalah wanita biasa, wanita yang telah menjadi seorang istri dan kini juga telah menjadi seorang ibu.Bagi seorang wanita sepertiku, kebahagiaan keluarga adalah hal yang utama.Bahagiaku adalah keluarga senyumku adalah putriku. Alya Azzura Yusuf , putri kesayanganku dan seluruh keluarga.Malaikat kecil yang Allah titipkan dalam pernikahanku dengan seorang pria yang sangat baik bernama Mohammad Yusuf Khaidar.Pernikahan dengannya sudah menginjak usia 8 tahun, kini putri kecil kami juga sudah berusia 7 tahun.Pernikahan yang kami jalani bukanlah pernikahan yang mudah. Perjodohan yang terjadi antara kami cukup membuat kami menjadi sangat asing di usia pernikahan 1 tahun.Lalu, aku dan Yusuf berkomitmen untuk serius dalam menjalani pernikahan ini dengan niat ibadah dan mencoba saling mencintai dan membahagiakan.Tepat satu tahun pernikahan putri kecil kami lahir ke dunia menabur kebahagian bagi seluruh keluarga dan bagiku.Kehadirannya adalah pelita dalam hidup, senyum dan tawanya selalu bisa menghilangkan rasa sedihku.Sejak kehadirannya juga Yusuf, suamiku mulai mencintaiku.Aku bahagia dan sangat bahagia merasakan kasih sayang dan segala rasa cinta suamiku yang tulus untukku. Aku tahu dia mencintaiku, tapi mungkin tak lebih banyak dari aku mencintainya."Mama...! Kaos kaki Alya mana?" lamunanku berhamburan saat ku dengar suara putriku yang berteriak dengan rengekan manjanya dari lantai atas kamarnya.Segera matikan kompor, karena sebelumnya aku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku."Sebentar, sayang!" teriakku dari dapur. Segera ku lepas celemek dan manaiki tangga menuju kamar Alya.Aku terseyum geli sambil bersandar di pintu kamar Alya. Menggeleng takjub melihat tingkahnya yang lucu karena kesusahan memakai kerudung kecilnya."Sayang," panggilku lembut membuatnya menoleh dengan seluruh wajahnya yang tertutup kerudung putih miliknya, dan kemudian dia mulai merengek."Hikkss... Mama! Kerudungnya bikin semua gelap! Huaaaa... Alya benci gelap!" teriaknya setengah menangis sambil berusaha membuka kerudungnya. Namun bukannya terbuka, malah jadi berbentuk tak karuan.Aku menghampirinya dan berjongkok menyamai tinggi badan kecilnya. "Tenang, sayang! Ada Mama di sini, kamu enggak perlu takut. Oke?" ku tangkup tubuh kecilnya agar berhenti bergerak gelisah.Menyibak kerudung putih itu dan tampak wajah putriku yang basah dengan air matanya, oh aku sungguh tak tega melihatnya menangis. "Kenapa menangis sayang?" tanya ku lembut membelai pucuk kepalanya.Aku memakaikan kerudungnya sedang Alya masih diam dengan air mata yang masih menetes.Putriku tak pernah menangis dengan suara nyaring kecuali sebuah rengekan. Jika menangis dia lebih suka menangis dalam diam. Ya, mungkin itu menurun dariku."Sudah ada Mama, kenapa masih takut?"Dia hanya diam dan hanya menunduk. "Mama? Mama sayang sama Alya kan?" tanyanya tiba-tiba menatapku dengan mata merahnnya. Habis menangis.Aku mengerutkan dahi bingung, "Tentu saja Mama sayang sama kamu, nak!" ucapku membawanya dalam pelukan hangatku. Dia hanya diam dan mengagguk dalam pelukanku."Sudah, sekarang kita harus cepat. Mama harus bantu Papa berkemas juga."Dengan cekatan aku memakaikan kaos kakinya dan mengoleskan bedak baby di wajahnya yang berantakan karena menangis.Lalu, mengecup singkat pipi cubby nya. "Sudah, putri Mama udah wanggi! Kamu ke bawah duluan dan makan sarapannya ya, sayang!" perintahku dan dia mengangguk cepat mengambil ranselnya dan berjalan keluar menuruni tangga."Baik, Mama!"Aku menutup pintu kamar Alya dan berjalan menuju kamar di sampingnya. Kamarku dan Yusuf.Pintu kubuka dan ternyata kosong karena Yusuf pasti sedang mandi karena jelas terdengar suara gemericik air dari kamar mandi.Segera berjalan menuju pintu lemari pakaian dan mencari setelan jas yang cocok untuknya.Mencari dasi yang pas untuknya. Sebenarnya suamiku itu memakai apapun akan terlihat tampan. Jelas karena dia keturunan arab dengan hidung mancung dan mata coklatnya.Langkahku terhenti saat ingin menutup pintu lemari. Aku memindahkan setelan baju itu di siku lengan kiri. Sedang tangan kananku terulur mengambil sebuah album foto pernikahan kami yang terselip di antara lipatan pakaian.Lalu aku tersenyum dengan mata yang mulai memanas basah, ntahlah saat ini aku merasa sangat melow.Lembar per lembar ku buka menujukan foto kekakuan dan keasingan kami saat foto di hari pernikahan kami. Namun, semua kekakuan itu berubah saat ku s***k album foto itu menunjukan keceriaan dan kebagiaan serta keutuhan saat kehadiran putri kecil kami."Pagi, sayang." Aku terjengkit kaget mendegar sapaan dari arah belakang.Aku menoleh dan ternyata dia adalah suamiku, "Mas, ih! Ngagetin aja. Kalau aku jantungan gimana?" gerutuku mencubit gemas perutnya yang terbungkus handuk."Awww... sakit sayang! Cubit-cubit aja sih?" rajuknya.Aku memutar badan menghadap ke arahnya."Sakit, ya?" tanyaku pura-pura merasa bersalah.Dia mengangguk dengan bibir manyunnya, "Atit... cayang."jawabnya manja.Aku melingkarkan kedua tanganku di tengkuknya lalu, mengecup singkat pipinya."Morning kiss, udah gak sakit kan?" godaku mengedipan mata padanya yang tersenyum cerah."Udah, tapi yang ini belum?" katanya sambil menunjuk bibirnya, ingin rasanya ku tampol saja bibir sexynya itu."Rakus!" protesku, menepuk pelan bibirnya.Yusuf menyengir ala-ala kuda."Ehehehe... kurang lengkap kalau gak di bagian situ, lagi dong?" aku memutar bola mata malas, mau tak mau ya harus mau. Kalau tidak bayi besarku ini tak akan beranjak dari hadapanku"Sudah, kan?""Makasih, sayang!" usai sapaan pagi ala ibu rumah tangga terjadi. Aku membantu Yusuf untuk berpakain.Mulai memakaikan dasi, jas, sepatu. Semua aku lakukan, dia bisa melakukannya sendiri tapi sejak putri kecil kami berumur 2 tahun dia mulai manja padaku.Katanya sih dia cemburu karena aku terus memanjakan Alya dan ya akhirnya dia meminta pelayanan khusus setiap pagi.Selama 8 tahun ini aku bahagia dengan keluargaku, dengan Suami dan putriku. Mereka adalah sumber kebahagian. Melihat mereka dengan lahap menyantap sarapan yang aku buat saja bisa membuatku cukup kenyang dan hanya makan secukupnya.Pekerjaanku seorang dokter, sedang Mas Yusuf, CEO di perusahaan properti yang juga dia bangun dengan kerja kerasnya selagi masih lajang.Dan sampai menikah hingga punya anak satu, aku juga ikut andil dalam membantunya.Memberi semangat dan segala cinta dan kasih sayang untuknya. Aku mencoba menjadi istri yang baik dan ibu yang baik bagi mereka."Kami pergi dulu ya, Sayang!" ucap Mas Yusuf yang akan mengantarkan Alya ke sekolahnya sedang dia akan berangkat ke kantor."Iya, Mas. Hati-hati di jalan." Jawabku mencium tangannya sedang Mas Yusuf mengecup dahiku lama sambil mengucapkan doa agar aku terlindung selama di luar rumah.Rumah sakit tempatku bekerja lain arah dengan sekolah Alya. Sekolah Alya yang searah dengan kantor Mas Yusuf jadinya mereka selalu pergi bersama.Tapi terkadang aku menyempatkan diri mengantarnya atau menjemputnya saat Mas Yusuf sibuk.Ya, kami saling berbagi waktu dan tugas, saling berusaha untuk menjaga keharmonisan keluarga.Putri kecilku mendekat dan menyodorkan tangannya, "Mama, salam?" katanya dengan nada manja.Sedikit membungkuk menyamaka tinggi dengan tubuh munggilnya dan memberikan tanganku untuk di salamnya, "Belajar ya rajin ya, sayang?" ucapku sambil mengecup pucuk kepalanya."Iya, Mama!""Jangan nakal, sayang?""Siap, Mama!" serunya memberi hormat layaknya upacara bendera.Aku dan Mas Yusuf terkekeh geli melihat tingkah lucu Alya, ahh, aku berharap Allah selalu melindungi keluargaku.Menjaga mereka agar tetap bahagia dan terhindar dari petaka.Tapi aku tak tahu ternyata petaka itu justru menimpaku. Kebahagiaan tiba-tiba lenyap dari hidupku saat aku tertampar oleh sebuah keadaan yang membuatku benar-benar sakit.Bukan sakit fisik tapi hati yang tertusuk oleh beribu belati tajam saat putriku mengatakan permintaannya yang begitu menyakitkan.Aku tak tahu apa yang terjadi padanya selama di sekolah, aku hanya tahu dia anak yang pintar dan baik di sekolahnya.Ntah hal apa yang mempengaruhinya hingga dia bisa meminta hal itu padaku.***Saat malam tiba, kemudian makan malam dan menemani putri tidur, aku biasa membacakan dongeng padanya, namun dia tak tidur lebih cepat dari biasanya. Bahkan 3 buku sudah habi ku baca namun dia tak kunjung tidur.Aku penasaran dengan isi kepalanya, dan mencoba bertanya. "Anak Mama lagi mikirin apa sih? Kok gak tidur-tidur?" tanyaku yang berbaring miring di sampingnya. Memeluknya erat sambil mengusap punggunya.Alya mendongak dengan mata yang mulai memerah, "Loh, kok anak Mama nangis? Kenapa heum? Ada yang jahatin Alya di sekolah?" dia menggeleng pelan."Trus?""Alya minta sesuatu boleh, gak?" ucapnya sambil menatapku sendu.Aku mengangguk tanpa tahu apa permintaannya. Aku tak tega melihatnya menagis.Dia menagkup pipiku dengan kedua tangan mungilnya."Mama, Alya minta Mama izinin Papa menikah lagi, boleh gak?"Apa?! Apa yang harus aku jawab?!Inilah kisahku, seorang ibu dan istri yang rela mengorbakan semua kebahagiaanku untuk keluargaku. Karena mungkin bahagia mereka, bukanlah AKU. Zara Mahira Anjani.#Tbc....***Pada dasarnya wanita itu adalah makhluk yang punya perasaan paling dalam dan paling lemah. Satu hal,hanya satu hal bahkan satu kata yang terucap bisa menghancurkan hatinya.Apalagi ucapan yang menyakitkan itu terlontar dari orang yang paling aku sayangi.Aku tak pernah menyangka, dan bahkan tak pernah berharap sebuah permintaan yang begitu menyakitkan terucap dari bibir putriku.Perasaan sesak menghatam ulu hatiku, namun aku berusaha tegar. Berharap bahwa semua hanyalah mimpi, berharap bahwa permintaan itu hanyalah guyonan malam putriku saja.“Kamu bicara apa, nak?Tidurlah, ini sudah malam.” Ucapku dengan nada lirih. Aku tahu dia masih kecil tapi bagaimana mungkin dia bisa meminta hal seperti itu padaku?Aku bangkit dari ranjangnya, dan kemudian menyelimuti Aliya yang menatapku dengan sendu. Berusaha keras aku menahan perih hati ini.Sebuah kecupan dalam kuberikan di dahinya sembari mengucapkan doa. “Selamat malam, sayang.”dan lagi-lagi mata indahnya menatapku penuh penantian aga
***Seperti biasa, setiap pagi aku akan menyiapkan sarapan untuk keluargaku. Menyiapkan pakaian dan semua kebutuhan mereka. Aku tak tahu, apa yang kulakukan itu cukup atau tidak bagi mereka. Tapi yang penting aku tetap berusaha memenuhi tangung jawabku sebagai istri dan seorang ibu.Memang beberapa hal yang terjadi tadi malam sungguh membuat perasaanku kacau. Mood pagiku benar-benar buruk karena hal itu."Sayang? Kok melamun?"aku terperanjat saat mendengar suara dan seseorang yang menepuk bahuku.Aku tersadar bahwa nasi goreng yang aku masak hampir saja gosong karena terlalu banyak melamun."Kamu, kenapa?"aku menoleh ke kiri. Ya, aku menemukan suamiku mas Yusuf yang bertanya dengan suara lembut padaku. Apa dia sama sekali tidak memiliki perasaan bersalah karena menutupi sesuatu hal yang besar dariku."Tidak ada apa-apa."jawabku singkat. Dan mengangkat nasi goreng lalu menyajikannya di meja. Aku melongos melewati mas Yusuf begitu saja. Ntahlah melihat dirinya hatiku sedikit terluka.Mu
“Mas?” dua orang yang sedang bercengkrama ria terlonjak mendengar panggilanku. Mataku terasa perih melihat pemandangan yang sangat menyatat hati.“Zara?”panggilnya dengan wajah terkejut dan telihat ketegangan dari nya. Yang bisa aku lakukan hanyalah tersenyum. Walau senyuman itu hanya senyum palsu karena Alya masih ada di sampingku.Mataku kini tertuju pada wanita berkerudung biru yang berdiri di samping mas Yusuf. Aku yakin wanita itu tahu jika mas Yusuf sudah menikah dan Alya adalah putrinya. Tapi, kenapa wanita itu begitu dekat dengan suamiku?“Papa,Alya bawa mama ketemu bunda!”jleb. Nak, tak bisakah kamu membuat mamamu bernafas sebentar. Kenapa kamu malah menambah luka menjadi lebih dalam.“Alya!”Mas Yusuf berseru keras pada Alya membuat putri kecilku ingin menangis.Apa dia sedang berusaha menutupi perselingkuhannya yang jelas-jelas sudah aku ketahui. Dia menjadikan Alya pelampiasan agar aku tak mencurigainya. Tapi semua sudah terlalu terlambat.“Mas?!”tegurku berusaha mengontrol
Semua orang terdiam dengan jawabanku.Kenapa? Apa mereka berpikir bahwa aku akan memilih menyerah dan mereka bisa memisahkan aku dengan putriku. Tentu saja aku tidak bisa seperti itu. Jika mereka ingin memisahkan aku dengan suamiku maka mungkin aku masih bisa bertahan. Namun, jika itu Alya maka aku tidak bisa. Dia adalah belahan jiwaku, dia adalah hidupku, dia adalah nafas dan cintaku. Walau mungkin dia tak menganggap aku sepenting itu. Tapi apalah daya bahwa aku hanya seorang ibu.“Ikut aku, kita harus bicara?!”sentak Mas Yusuf tiba-tiba menarik tanganku keras dan membawa ku ke kamar kami yang berada di lantai atas.Aku hanya diam dan mengikut di belakangnya. Celakan yang begitu keras pada tanganku sedikit bisa kurasakan perihnya. Namun perih di hati lebih mendominasi perasaanku saat ini.Mas Yusuf membuka pintu kamar, lalu dia menariku dengan hentakan keras hingga aku sedikit limbung dibuatnya. Dia menutup pintu dengan sangat keras hingga menimbulkan dentuman keras yang menggema di
Tak pernah terbayang, hari dan waktu yang menyakitkan seperti ini akan terjadi dalam hidupku. Penghianatan, keterpaksaan,kepalsuan, keikhlasan dan kesabaranku benar-benar telah di uji dalam satu masalah. 1 minggu telah berlalu kini adalah hari yang aku yakin wanita lain tak akan pernah menginginkannya. Hari dimana suami yang aku cintai akan mengucap ijab qobul dan janji suci untuk menikahi wanita lain.Jangan tanya apa hatiku terluka? Karena sungguh pertanyaan itu hanya membuat sebuah pisau belati menusuk lebih dalam, mengoyak dan membelah hatiku yang sudah berantakan. Memang tak banyak orang yang datang di pernikahan mereka. Hanya para keluarga Mas Yusuf dan Syifa yang hadir. Selebihnya adalah para tokoh agama dan juga penghulu dan para saksi pernikahan mereka.Rumahku, rumah kami, kini akan menjadi rumah kita. Kita bertiga bersama dengan seorang wanita baru yang ternyata ikut tinggal bersama kami. Aku tak menyangka ternyata merutuaku itu begitu kejamnya padaku.Tak cukup baginya un
Alya sang putri kecil sedang berdandan dengan bahagia di dalam kamarnya di bantu oleh sang nenek. “Alya seneng kan, punya mama baru?”tanya Erna mertua Zara yang sangat picik dan jahat dengan segala tipu muslihatnya.“Senang dong, nek! Nanti Alya bisa punya adik kan?”dia bertanya dengan begitu polosnya. Tanpa mengetahui apa makna semua itu. Yang dia tahu hanya yang di katakan oleh sang nenek.“Benar sayang. Bunda Syifa bisa kasih kamu adik. Tidak seperti mama kamu yang enggak bisa kasih adik.”sinisnya. Namun anak malang itu sama sekali tidak menyadari hal itu.Dia hanya bisa beriang gembira. Melompat-lompat dengan sangat senang seolah itu semua adalah kebahagiaan semua orang dan dia juga tidak menyadari bahwa semua orang itu tidaklah termasuk mamanya.Erna memasangkan kerudung kecil Alya. Dengan duduk beralaskan lantai marmer Erna mengangkat tubuh kecil Alya dan mendudukannya kedalam pangkuannya. “Alya mau denger nenek, kan?”Alya menatap neneknya dan mengangguk semangat. “Mau, nek!”se
***Cahaya bulan terilhat meredup di langit malam. Seolah dia sepakat dengan hati yang sedang terluka. Menemaninya yang meredup dengan sedikit cahaya hati sinar bahagia dan tak bahagia. Semilir angin malam menyayat kulit halusnya yang tertutup cardigan tipis.“Huhhhfftt...” hembusan nafas panjang dia keluarkan. Berusaha sedikit meringankan beban di hatinya. Malam ini adalah malam pengantin suaminya dengan sang madu. Mereka yang dibayangkan sedang memadu kasih di malam pertamanya sedang di sini dia sedang berpelukan dengan angin dingin malam yang menghantarkan udara menyesakan juga rasa kesepian pada hatinya.“Aku, hanya bisa berharap kalian berbahagia dan segera memiliki keturunan.”ucap Zara lirih, memejamkan matanya dan kembali air mata itu mengalir tanpa dia minta.Kesedihan ternyata tak hanya membuat air matanya mengering tapi tengorokannya juga ikut mengering. Dia mengambil teko air yang ada di meja rias nya, teko itu sudah kosong dan harus kembali di isi.Zara terdiam,bibirnya ki
Saat sudah berada di lantai atas dia melewati kamar dia dan Yusuf dulunya. Tanpa melihat dan menoleh. Namun sekejap dia mendengar suara pintu terbuka.Lalu dia hanya merasakan seseorang dengan gesit menarik tanganya kedalam kamar lalu seseorang itu langsung mengunci pintu.Zara tersentak, “Apa yang kamu lakukan, mas!”sentak Zara heran dengan nada tak suka. Namun berusaha dia untuk menenagkan diri. Mencoba menarik nafas dalam dan menghembuskanya perlahan.“Apa yang kamu inginkan?”tanya Zara melembutkan suaranya. Yusuf bungkam dengan kepala tertunduk namun dia masih berdiri menghalang pintu yang sudah tertutup. “Mas? Ada apa?”“Ak-aku...,”Zara mengernyit mendengar suara Yusuf yang terbata gugup. Dia memjamkan mata berusaha mengontrol hatinya.Jika dulu ketika Yusuf bersikap seperti itu padanya maka Zara akan langsung memeluk dan mengodanya. Karena dia selalu merasa gemas dengan sifat Yusuf yang terkadang gugup saat bersama dengannya.Namun, semuanya kini telah berbeda. Yang dia rasakan
"Kenapa?" Tanya Amar saat melihat raut kebingungan di wajah Zara. Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri melihat ke luar jendela. "Kamu nyari apa sih, Za?" Ulang Amar heran."Nggak, tadi kayak ada yang manggil aku deh. Tapi di luar orang-orang udah pada bubar," gumam Zara."Perasaan kamu aja kali. Yang penting temen kamu yang namanya Rose itu sudah ketemukan?"Zara mengangguk singkat. "Sudah sih,""Sekarang kamu mau ke mana? Mau langsung pulang atau ke suatu tempat?" "Hmmm, enaknya kemana ya. Males banget kalau langsung pulang. Masih siang juga," "Ke supermarket? Ke Mekdi?" Saran Amar.Zara mengangguk setuju. "Boleh deh, ke mall aja. Sekalian belanja, kebetulan tadi bibi titip bahan belanjaan yang udah habis,""Oke deh!" Amar memutar kemudinya ke arah yang berbeda menuju mall yang akan mereka datangi. "Oh, iya ngomong-ngomong. Selama kamu di Indonesia, kebutuhan dan biaya mansion di sini siapa yang tanggung?" Tanya Amar."Aku, cuman pakai rekening yang berbeda. Rekening yang atas nama
Kening Amar mengeryit melihat wajah Zara yang terlihat kebingungan. "Zara, ada apa?" panggil Amar lagi sedikit menaikan suaranya membuat Zara tersadar dari lamunannya."A-Amar, A-aku...ti.."Amar berdecak kesal melihat Zara terbata, "Kau ini bicara apa? Aku tidak mengerti! Apa kau habis dapat pesan dari malaikat maut huh?"degus Amar."Aku tidak tahu harus meresepon bagaimana..."ucapan Zara membuat Amar memandangnya serius."Apakah ini masalah serius?"Zara tak menjawab perkataan Amar. Dia hanya mengulurkan ponselnya pada Amar.Amar mengambil ponsel Zara dengan rasa penasaran. Dia membuka pesan yang baru Zara baca. Membacanya begitu serius hingga...Pffttt...."BAHHAHAHAHAHAHAHHAHA...APA INI?! HAHAHHAHAHA....MAM*US" tawa Amar pecah dengan umpatan di akhirnya. Wajahnya terlihat berseri bahagia."Amar, kau ini! Kenapa kau tertawa!"pekik Zara kesal menampol tangan Amar kesal."Buahahhaha... Maaf...maaf. Ini sangat lucu Zara.""Lucu bagaimana? Bagaimana kabar duka kau anggap lucu!"ketus Zar
Tak lama setelah itu dua betina yang di tunggu akhirnya pulang dengan banyak kantung belanjaan. Yusuf hanya acuh melihat mereka masuk dan meletakan banyak paper back di atas meja makan. Pria itu yang kini sudah berganti pakaian dengan kaos rumahan. Memeriksa satu persatu bungkusan itu.“Mas, Alya kemana? Aku membelikanya banyak boneka.” Suara Syifa terdengar manja yang di buat-buat membuat Yusuf kesal hingga tak sadar mengepalkan tanganya. "Apa pedulimu? Kalian berdua hanya senang menghamburkan uang saja!" sinis Yusuf.Matanya menangkap satu bungkusan ganji di atas meja. Tangannya menggapai itu. "Apa ini?" tanya Yusuf menuntut."It-itu makanan kesukanku, mas." jawab Syifa gugup memilin ujung jilbabnya.“Bukankah kau punya riwayat alergi kacang?! Lalu kenapa kau tetap membelinya!” geram Yusuf tertahan."Cukup…Cukup! Menyebalkan harus mendengar kalian tiap hari bertengkar. " sinis Erna berlalu pergi meninggalkan dua manusia yang masih terus berseteru.Erna pergi menuju kamarnya dengan m
Kota London...."Ada apa denganmu, Zara?"Wanita yang di panggil itu terlonjak kaget akan sebuah suara dari belakangnya. Ponselnya nyaris saja jatuh karena pangilaan mendadak itu.Zara berbalik dan menatap orang itu. Dia hanya memandanya dalam diam dan tak sadar kembali melamun."Zara!"panggil orang itu kedua kalinya dengan setengah berteriak. "Apa pria brengsek itu meneleponmu lagi?""A-Amar, aku..."Zara mendadak gugup dan bingung harus berkata apa pada Amar.Amar berdecak kesal melihat Zara seperti itu. "Ckk, benar - benar laki-laki tidak tahu diri!""Kalau kamu selalu menjawab panggilan darinya, dia akan selalu menganggap kamu lemah dan mudah di takhlukan!"kesal Amar mulai mengomeli Zara. Sedang Zara seperti anak kecil yang hanya bisa menunduk menatap lantai ketika di marahi.Tunggu! Tiba-tiba Amar menghentikan omelnya. Tersadar akan di mana posisi mereka berdua. "Astaga, bagaimana aku bisa berdua saja dengan Zara di kamarnya!" rutuk Amar dalam hatinya.Sedikit berdehem, sembari
***Selama dalam perjalanan Alya terus diam dengan wajah yang di tekuk lesu. "Kenapa? Tidak senang berangkat sama papa?""Seneng kok." jawabnya singkat. Sembari fokus menyetir Yusuf terus bertanya pada Alya. Hanya saja dia ingin bertanya hal yang sangat penting pada Alya."Kalau seneng kenapa murung terus, hmmm?"Alya menggeleng, enggan menjawab. "Papa perhatikan 3 hari ini kamu banyak diam dan murung. Ada apa sayang? Cerita sama papa."bujuk Yusuf dengan satu tanganya mengelus lembut kepala Alya yang tetutup jilbab.“Hmm, Papa…”“Iya?"Alya meremas roknya gugup, "Mama, kapan pulang?"Ckiittt....Mendadak Yusuf menginjak rem sangkit terkejutnya mendengar pertanyaan Alya. Beruntung jalanan sedang sunyi, kalau tidak ntah bahaya apa yang akan terjadi.Secepat kilat dia menatap Alya, "Kamu tanya apa tadi?" tanyanya dengan menuntut.Alya menoleh ke arah Yusuf yang kini sedang menunggu kelanjutan ucapan Alya. Putri kecil itu mengerjab dengan polos, lalu berkata. "Apa mama tidak akan pulang ke
***Seorang pria kini duduk termenung di kursi kerjanya. Tangannya mengetuk-ngetukan pena ke meja. Mata pria itu terpejam dengan jejak air mata yang mengering.Kesepian dan rasa rindu menyiksa dirinya. Dia terus memikirkan, apa yang harus dia lakukan untuk membuat wanita itu kembali.Brakkk...Pintu ruang kerjanya di buka dengan kasar oleh seseorang. Mata Yusuf terbuka mendengar suara itu. Secepat kilat dia tak tahu apapun namun kini ada seseorang yang menarik kemeja.Menatap dirinnya dengan marah. “Katakan padaku! Kemana Istrimu membawa istriku?!” Dia adalah Bram suami dari Ayu. Pria itu juga sama halnya dengan Yusuf. Dia merasa frutrasi saat tak menemukan Ayu di rumah maupun di restorannya. Dia juga begitu terkejut saaf melihat ada orang lain yang mengantikan posisi istrinya di restoran. Para pegawai Ayu juga mengatakan bahwa Ayu izin untuk tidak datang untuk waktu yang tak bisa di pastikan.Bram juga sama menyesalnya dengan Yusuf. Kedua pria itu kini menyadari kebodohan diri merek
"Dari dulu kamu tahu kalau aku tidak bisa membenci siapapun. Aku bisa marah juga kesal. Tapi aku lebih memilih menjauh dari pada perlahan tumbuh rasa benci di hati. Sungguh penyakit hati seperti itu, aku tidak ingin memilikinya."Zara tersenyum masam. "Aku mengabarinya karena status kami masih terikat dengan suci. Pernikahan bukanlah sebuah permainan. Jika dia yang menghianati pernikahan ini. Itu bukan salahku, dan bukan hakku untuk membencinya.""Artinya kamu masih mencintainya?"desak Amar tak sabbar dengan jawaban dari Zara.Zara menatap Amar dengan pandangan yang sulit di tebak. Amar tergugu di pandang begitu oleh Zara."Aku rasa kamu masih mencitainya. Mungkin, ntahlah!" Amar menggaruk tengguknya. Merasa bingung sendiri."Aku rasa cintaku sudah hilang untuknya. Waktu itu masih tersisa sedikit saat dia menikahi Syifa. Tapi ketika dia membentaku pagi itu karena kesalahan yang tidak aku buat. Saat itu cintaku sudah hilang untuknya."Amar mengernyit merasa tak yakin dengan yang dia den
Author PoVJakarta ***Pagi ini menjadi kedua kalinya Yusuf harus bekerja tanpa memakai dasi kantornya. Selain Zara, dia tak bisa membiarkan siapapun memakaikan dasi padanya.Yusuf berjalan dengan lesu sambil mengancing ujung lengan bajunya. Melihat pantulan diri di cermin. Jelas terasa bahwa saat ini dia tidak selengkap dulu.Hufftt...Lagi dan lagi pria itu menghembuskan nafas kasar melihat wajahnya sendiri kini terasa menjengkelkan. Pintu kamarnya di ketuk dari luar. Kemudian terdengar suara Syifa memanggilnya. "Mas, sarapannya sudah siap."Yusuf dia tak menjawab. Bibirnya ingin menjawab namun tertahan oleh rasa ragu dalam hatinya."Mass...! Baiklah, jika sudah selesai langsung turun kebawah, ya!"ujar Syifa setengah berteriak. Kemudian terdengar langkah kaki wanita itu yang kian menjauh.Dia sudah pergi...! Yusuf sungguh sangat enggan untuk pergi bekerja. Menghadapi persoalan rumah tangganya sudah sangat memusingkan kepala. Apalagi di tambah dengan pekerjaannya di kantor. Dia han
Singgapura...Di sebuah ruangan dengan nuansa coklat, serta beberapa tumpukan berkas yang berserakan di meja. Seorang lelaki paruh baya dengan kacamata yang melekat di wajahnya. Lelaki itu duduk bersandar di kursi kerjanya. Memejamkan mata dan memikirkan segala hal yang saat ini menganggu hatinya.Suara ketukan pintu membuatnya bersuara."Masuk!" ucapnya dengan suara berat. Seseorang pria dengan jas hitam yang formal sebagai asistenya datang menghadapnya."Ada apa Jhon? Ada berita apa dari sana?"tanya lelaki tua itu."Ma-maaf tuan. Saya baru mendengar kabar kalau ada sebuah insiden kecil di rumah itu.""Insiden apa? Katakan saja dengan jelas!" lelaki tua itu menegakakan duduknya. Menatap dengan serius Jhon asistenya."Hmmm, kabarnya Nona Syifa saat ini sedang mengandung. Lalu, pagi ini juga terdengar kabar bahwa dia jatuh dari tangga. Dengan tuduhan bahwa Nyona muda Zara yang mendorongnya. Lalu..."Jhon mengantung ucapnya. Melihat reaksi tuannya yang sudah mengepalkan tangan."Lalu ap