Tak pernah terbayang, hari dan waktu yang menyakitkan seperti ini akan terjadi dalam hidupku. Penghianatan, keterpaksaan,kepalsuan, keikhlasan dan kesabaranku benar-benar telah di uji dalam satu masalah.
1 minggu telah berlalu kini adalah hari yang aku yakin wanita lain tak akan pernah menginginkannya. Hari dimana suami yang aku cintai akan mengucap ijab qobul dan janji suci untuk menikahi wanita lain.Jangan tanya apa hatiku terluka? Karena sungguh pertanyaan itu hanya membuat sebuah pisau belati menusuk lebih dalam, mengoyak dan membelah hatiku yang sudah berantakan.Memang tak banyak orang yang datang di pernikahan mereka. Hanya para keluarga Mas Yusuf dan Syifa yang hadir. Selebihnya adalah para tokoh agama dan juga penghulu dan para saksi pernikahan mereka.Rumahku, rumah kami, kini akan menjadi rumah kita. Kita bertiga bersama dengan seorang wanita baru yang ternyata ikut tinggal bersama kami. Aku tak menyangka ternyata merutuaku itu begitu kejamnya padaku.Tak cukup baginya untuk berusaha membuatku berpisah dari suami dan putriku. Dia juga ternyata sudah merencanakan agar Syifa tinggal bersama dengan kami. Dengan alasan agar mereka segera memiliki keturunan.Aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana jika kami tinggal dalam satu atap dan aku bisa melihat dan mendengar mereka tertawa dan bermesra ria. Ahh, ya aku baru ingat. Kenapa aku harus membayangkannya? Karena sebentar lagi aku akan benar-benar melihat dan merasakan semua itu.Menyedihkan!Sangat...sangat, menyedihkan!Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah membantu. Ya, aku membantu mempersiapkan semuanya. Acara pernikahan, makanan, juga kamar pengantin mereka. Di dapur, sendirian aku hanya bisa menangis dalam diam.Menangisi kenapa takdir begitu kejam mempermainkan hidupku. Mama yang sudah tidak ada di sisiku.Ayah yang sudah bahagia dengan keluarga baru dan kini melupakanku. Suami yang akan menikahi wanita lain? Juga putri yang begitu gembiranya mendapatkan ibu baru.Apa sungguh aku tidak pernah berarti dalam hidup mereka? Sebenarnya apa kedudukan ku dalam hati dan hidup mereka?Aku hanya bisa terisak pelan dengan air mata yang mengalir deras. Tubuhku menegang saat kurasakan seseorang menyentuh bahuku dan meremasnya pelan. “Zara?”panggil suara itu begitu lirih. “Kamu baik-baik saja?”aku menegakan tubuhku, mengusap air mata dengan kasar dan berusaha mengulas sebuah senyum.Aku berbalik menghadap ke arah orang itu. Kulihat raut wajahnya menampilkan sebuah rasa sedih yang begitu besar. Dia adalah satu-satunya orang yang peduli denganku. “Aku akan baik-baik saja, kak.”ucapku mengingit bibir menahan isakan.Kak Ayu, kakak iparku mengeleng pelan mendengar jawabanku. “Tidak ada wanita yang akan baik-baik saja ketika akan melihat suaminya menikahi wanita lain.”“Kak...”aku memanggilnya lirih. Kami hanya berdua di dapur tak ada orang lain karena masing-masing sibuk dengan tugas mereka.“Zara? Kenapa kamu menyetujui semua perkataan mama? Kenapa kamu membiarkan hatimu terluka lebih dalam? Aku tahu selama ini kamu tak benar-benar bahagia?”Aku tertegun mendengar pertanyaanya. Air mataku kembali tergenang. “Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa aku punya pilihan yang lebih baik? Yang kuinginkan hanyalah dekat dengan putriku. Itu saja. Kakak juga tahu seberapa besar aku menyayangi Alya.”Dia mengangguk, dan mengusap air matanya yang mengalir. lalu berdecak, “Ck... jika boleh ku katakan. Kau adalah wanita yang paling bodoh yang pernah aku kenal. Jika aku jadi kau, atau jika aku di posisimu... aku pasti akan_”“Ssssttt...”aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Aku tersenyum dan menggeleng pelan.“Jangan katakan itu. Aku selalu berdoa pada Allah, agar wanita manapun di dunia ini tak akan pernah mengalami hal yang aku alami. Terutama dirimu, kamu yang sudah aku anggap seperti kakaku. Aku selalu berdoa agar kakak selalu bahagia dan tidak akan pernah mengalami semua ini. kenapa kamu ingin membuat doaku itu gagal karena perkataan bodohmu itu, kak?”jelasku sedikit terkekeh getir.Menahari nyeri yang menghantarkan sesak dalam rongga dadaku.Kak Ayu mengenggam tanganku dengan erat seolah mengahantarkan kekuatannya padaku. Air matanya terus saja mengalir. Pandangan matanya benar-benar menelisik jauh kedalam mataku.“Terbuat dari apa hatimu, adikku?”lirihnya dengan suara bergetar. Dia terisak dan memelukku dengan erat.“Terbuat dari apa hatimu? Saat hatimu saja sedang tidak dallam keadaan baik, kamu justru masih memikirkan diriku. Kenapa kamu begitu peduli?! Kenapa kamu begitu baik?!”Aku mengusap punggungnya yang bergetar hebat dengan sangat lembut. Jika aku boleh jujur, aku hanya ingin orang yang aku sayangi semuanya bahagia. Bagiku kak Ayu sudah seperti seorang kakak dan ibu untukku.Saat tak ada orang yang ingin mendengarkanku dia memberikan waktu nya hanya sekedar untuk menghiburku. Saat aku kesepian dia selalu mengunjungiku. Senyumnya, tawanya dan juga segala nasehatnya adalah semangat dalam hidupku. Dia sangat berarti untukku.“Kak, apa kakak percaya bahwa Tuhan tidak akan menguji seseorang hamba melebihi batas kemampuannya? Heum?”dia hanya mengangguk dalam pelukanku.“Jika Tuhan memberikan ujian ini padaku karena dia yakin bahwa aku sanggup untuk melewatinya. Yang aku butuhkan hanya doa darimu agar aku bisa tetap tabah menghadapi semua ini.”Kak Ayu melepaskan pelukan kami. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskanya perlahan.“Kakak akan selalu mendoakanmu. Kakak berdoa semoga kamu akan mendapatkan kebahagian yang tidak pernah kamu sangka dari mana datangnya.”“Aamiin...”jawabku mengamini. Dan kembali memeluknya. Aku bersyukur dengan kehadiranya sedikit bisa mengurangi beban di hatiku. “Terima kasih. Karena telah hadir dalam hidupku.”***#BersambungAlya sang putri kecil sedang berdandan dengan bahagia di dalam kamarnya di bantu oleh sang nenek. “Alya seneng kan, punya mama baru?”tanya Erna mertua Zara yang sangat picik dan jahat dengan segala tipu muslihatnya.“Senang dong, nek! Nanti Alya bisa punya adik kan?”dia bertanya dengan begitu polosnya. Tanpa mengetahui apa makna semua itu. Yang dia tahu hanya yang di katakan oleh sang nenek.“Benar sayang. Bunda Syifa bisa kasih kamu adik. Tidak seperti mama kamu yang enggak bisa kasih adik.”sinisnya. Namun anak malang itu sama sekali tidak menyadari hal itu.Dia hanya bisa beriang gembira. Melompat-lompat dengan sangat senang seolah itu semua adalah kebahagiaan semua orang dan dia juga tidak menyadari bahwa semua orang itu tidaklah termasuk mamanya.Erna memasangkan kerudung kecil Alya. Dengan duduk beralaskan lantai marmer Erna mengangkat tubuh kecil Alya dan mendudukannya kedalam pangkuannya. “Alya mau denger nenek, kan?”Alya menatap neneknya dan mengangguk semangat. “Mau, nek!”se
***Cahaya bulan terilhat meredup di langit malam. Seolah dia sepakat dengan hati yang sedang terluka. Menemaninya yang meredup dengan sedikit cahaya hati sinar bahagia dan tak bahagia. Semilir angin malam menyayat kulit halusnya yang tertutup cardigan tipis.“Huhhhfftt...” hembusan nafas panjang dia keluarkan. Berusaha sedikit meringankan beban di hatinya. Malam ini adalah malam pengantin suaminya dengan sang madu. Mereka yang dibayangkan sedang memadu kasih di malam pertamanya sedang di sini dia sedang berpelukan dengan angin dingin malam yang menghantarkan udara menyesakan juga rasa kesepian pada hatinya.“Aku, hanya bisa berharap kalian berbahagia dan segera memiliki keturunan.”ucap Zara lirih, memejamkan matanya dan kembali air mata itu mengalir tanpa dia minta.Kesedihan ternyata tak hanya membuat air matanya mengering tapi tengorokannya juga ikut mengering. Dia mengambil teko air yang ada di meja rias nya, teko itu sudah kosong dan harus kembali di isi.Zara terdiam,bibirnya ki
Saat sudah berada di lantai atas dia melewati kamar dia dan Yusuf dulunya. Tanpa melihat dan menoleh. Namun sekejap dia mendengar suara pintu terbuka.Lalu dia hanya merasakan seseorang dengan gesit menarik tanganya kedalam kamar lalu seseorang itu langsung mengunci pintu.Zara tersentak, “Apa yang kamu lakukan, mas!”sentak Zara heran dengan nada tak suka. Namun berusaha dia untuk menenagkan diri. Mencoba menarik nafas dalam dan menghembuskanya perlahan.“Apa yang kamu inginkan?”tanya Zara melembutkan suaranya. Yusuf bungkam dengan kepala tertunduk namun dia masih berdiri menghalang pintu yang sudah tertutup. “Mas? Ada apa?”“Ak-aku...,”Zara mengernyit mendengar suara Yusuf yang terbata gugup. Dia memjamkan mata berusaha mengontrol hatinya.Jika dulu ketika Yusuf bersikap seperti itu padanya maka Zara akan langsung memeluk dan mengodanya. Karena dia selalu merasa gemas dengan sifat Yusuf yang terkadang gugup saat bersama dengannya.Namun, semuanya kini telah berbeda. Yang dia rasakan
YUSUF PoV Pagiku terasa kacau. Pertama kalinya dalam hidup aku merasa teramat bersalah membuat hari dan kehidupan yang dulu begitu bahagia dan ceria kini berubah menjadi terasa hampa.Zara mulai kurasakan berubah, tak bisa lagi kulihat senyumnya yang benar-benar seperti orang bahagia. Dia hanya memaksakan tersenyum untuk menutup luka di hatinya.Aku sudah menjadi suami yang egois dan jahad. Namun, bodohnya aku menyadari semua kesalahan ini setelah semua hal ini terjadi.Jika saja,waktu bisa di putar ulang kembali maka seumur hidup aku tak akan pernah melakukan hal ini. Suasana hatiku kacau,dan tak ada rasa bahagia dalam hatiku. Menjadikan Syifa seorang istri itu bukan keinginanku.Semua karena Mama. Desakannya dan segala macam tuduhannya pada Zara yang terus menerus dia katakan padaku. Membuatku lelah dan terjebak dalam permainannya. Tapi, lagi-lagi aku menyadari tak semua salah mama. Seperti halnya yang Zara katakan.Seorang suamilah yang memegang kunci dalam pernikahan. Jika suami m
***Menjelang siang, tepat pukul 12.30 Zara menelepon Yusuf suaminya, dan tak butuh waktu lama Yusuf langsung menjawab panggilan Zara.“Assalamualaikum,Sayang.”sapa Yusuf dengan manja.Ah, sayang? Ntah kenapa Zara merasa kesal dengan pangillan itu. Kenapa pria selalu punya berbagai tipu muslihat dan mulut yang berbisa dengan kata-kata manisnya. Walaupun sudah ada banyak penghianatan yang juga mulutnya ucapkan.Zara hanya menjawab seadanya saja. “Waalaikumsalam,mas. Hari ini aku saja yang menjemput Alya dan....Syifa.”terasa kelu lidahnya mengucapkan nama madunya. Yusuf terdiam membatu dengan ucapan Zara.“Ka-kamu yakin?”“Iya, tidak apa-apa. lagi pula, bukan hanya rumah kita saja yang muat untuk satu orang lagi. Mobilku juga cukup luas untuk menampung satu penumpang lagi,kan.”ucap Zara seolah sebuah sentilan yang tepat mengenai relung hati Yusuf yang terdalam. “Yasudah, terserah kamu aja. Kebetulan mas hari ini pulang lebih sore.”“Yasudah. Assalamualaikum.”“Tung...,” tut...tutt pangg
***“Kenapa kamu menangis?”Yusuf bertanya dengan nada lirih, kala air mata Zara mengenai punggung tangannya.Zara menggeleng dan menghapus jejak air matanya. “Enggak mas. Zara tidak ingin apapun untuk saat ini.”jawab Zara dengan terenyum tipis membuat Yusuf meringis.“Sudahlah, ini sudah malam. Kamu tidak ingin istirahat?”tawar Zara. Dia melenggang pergi dari hadapan Yusuf. Saat dia ingin menaiki ranjangnya Zara terhenti sejenak lalu menoleh kearah Yusuf.“Ehmm...mas, kamu tidur dimana malam ini?”tanya Zara dengan suara pelan.“Boleh aku tidur bersamamu?”Yusuf kembali bertanya. Dia mendekat kearah Zara. Lalu menggenggam tangan istrinya dan berucap. “Ntah kamu mempercayainya atau tidak. Hanya kamu satu-satunya wanita yang ingin aku sentuh dan aku peluk dalam dekapanku.”“Mas, sudahlah.”pukas Zara cepat. Menepis pelan tangan Yusuf yang kembali ingin memeluknya.Yusuf kecewa Zara masih tak mempercayai ucapannya. “Hari ini sangat melelahkan. Kamu harus tidur, mas. Besok, akan ada hari baru
***“Kamu sedang apa?” suara lembut itu membuat lamunan Zara membuyar. Sedari tadi dia terus melamun sambil menantap kosong televisi yang terus menyala. Hingga Yusuf datang dan menepuk pundaknya. “Kamu sedang apa? kenapa terus melamun?”tanyanya lagi karena Zara terus diam dan menatapnya tanpa mengatakan apapun.“Tidak ada,mas.”sahut Zara seraya menggeleng.Yusuf tersenyum tipis. Dia memutari sofa dan berjalan duduk di samping Zara.Dia menangkup pundak Zara, membuatnya untuk duduk berhadapan. “Apa yang sedang kamu pikirkan, heum?”tanya Yusuf dengan lembut.“Tidak. Aku hanya memikirkan jadwal pemeriksaan pasien untuk besok.”bohong Zara. Karena saat ini yang ada di pikirannya hanyalah Alya putrinya.Yusuf mendengus. “Kenapa kamu selalu begitu? Apa tak ada waktumu sedikitpun bersama denganku. Cukup memikirkan aku saja. Jangan ada yang lain. Kenapa kamu tidak mengerti?”ucapnya lirih.“Aku hanya ingin menghabiskan minggu ini berdua denganmu. Tapi kamu, tak bisakah memikirkan aku saja?”desa
“YUSUF.... SYIFA HAMIL! KAMU AKAN JADI SEORANG AYAH!”Bagai di sambar petir, gemuruh yang menggelegar di hatiku. Sesak! Membuat aku sulit bernafas. Tanganku terkepal di dada, sungguh berita itu membuat keadaanku semakin terpuruk.“Kamu dengar!”pekik Mas Yusuf. Dia mengguncang bahuku dengan keras. Membuat aku menatap matanya. Kulihat bibirnya bergetar. “Kamu dengar itu, Zara! Saat kamu mengatakan tidak ingin anak lagi. Wanita lain kini yang mengandung anakku!”“KAMU PUAS SEKARANG!”teriaknya kencang. Sekarang bukan hanya hatiku, tapi seluruh tubuhku terasa sakit seperti tertusuk ribuan jarum.“Ma-mas...ak...”tak sanggup aku mengucapkan kata apapun.“Sekarang terserah padamu! Aku tidak peduli! Kamu suka membuat keputusan sendiri, kan? Oke!”desisnya tajam. “Sekarang aku sudah tidak peduli! Aku juga tidak akan lagi MENYENTUHMU! KAMU PUAS SEKARANG?!”Aku terdiam membatu mendengar ucapannya. Dia berjalan keluar kamar. Namun, tidak sampai di situ. Ucapannya kembali membuat hatiku bertambah han
"Kenapa?" Tanya Amar saat melihat raut kebingungan di wajah Zara. Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri melihat ke luar jendela. "Kamu nyari apa sih, Za?" Ulang Amar heran."Nggak, tadi kayak ada yang manggil aku deh. Tapi di luar orang-orang udah pada bubar," gumam Zara."Perasaan kamu aja kali. Yang penting temen kamu yang namanya Rose itu sudah ketemukan?"Zara mengangguk singkat. "Sudah sih,""Sekarang kamu mau ke mana? Mau langsung pulang atau ke suatu tempat?" "Hmmm, enaknya kemana ya. Males banget kalau langsung pulang. Masih siang juga," "Ke supermarket? Ke Mekdi?" Saran Amar.Zara mengangguk setuju. "Boleh deh, ke mall aja. Sekalian belanja, kebetulan tadi bibi titip bahan belanjaan yang udah habis,""Oke deh!" Amar memutar kemudinya ke arah yang berbeda menuju mall yang akan mereka datangi. "Oh, iya ngomong-ngomong. Selama kamu di Indonesia, kebutuhan dan biaya mansion di sini siapa yang tanggung?" Tanya Amar."Aku, cuman pakai rekening yang berbeda. Rekening yang atas nama
Kening Amar mengeryit melihat wajah Zara yang terlihat kebingungan. "Zara, ada apa?" panggil Amar lagi sedikit menaikan suaranya membuat Zara tersadar dari lamunannya."A-Amar, A-aku...ti.."Amar berdecak kesal melihat Zara terbata, "Kau ini bicara apa? Aku tidak mengerti! Apa kau habis dapat pesan dari malaikat maut huh?"degus Amar."Aku tidak tahu harus meresepon bagaimana..."ucapan Zara membuat Amar memandangnya serius."Apakah ini masalah serius?"Zara tak menjawab perkataan Amar. Dia hanya mengulurkan ponselnya pada Amar.Amar mengambil ponsel Zara dengan rasa penasaran. Dia membuka pesan yang baru Zara baca. Membacanya begitu serius hingga...Pffttt...."BAHHAHAHAHAHAHAHHAHA...APA INI?! HAHAHHAHAHA....MAM*US" tawa Amar pecah dengan umpatan di akhirnya. Wajahnya terlihat berseri bahagia."Amar, kau ini! Kenapa kau tertawa!"pekik Zara kesal menampol tangan Amar kesal."Buahahhaha... Maaf...maaf. Ini sangat lucu Zara.""Lucu bagaimana? Bagaimana kabar duka kau anggap lucu!"ketus Zar
Tak lama setelah itu dua betina yang di tunggu akhirnya pulang dengan banyak kantung belanjaan. Yusuf hanya acuh melihat mereka masuk dan meletakan banyak paper back di atas meja makan. Pria itu yang kini sudah berganti pakaian dengan kaos rumahan. Memeriksa satu persatu bungkusan itu.“Mas, Alya kemana? Aku membelikanya banyak boneka.” Suara Syifa terdengar manja yang di buat-buat membuat Yusuf kesal hingga tak sadar mengepalkan tanganya. "Apa pedulimu? Kalian berdua hanya senang menghamburkan uang saja!" sinis Yusuf.Matanya menangkap satu bungkusan ganji di atas meja. Tangannya menggapai itu. "Apa ini?" tanya Yusuf menuntut."It-itu makanan kesukanku, mas." jawab Syifa gugup memilin ujung jilbabnya.“Bukankah kau punya riwayat alergi kacang?! Lalu kenapa kau tetap membelinya!” geram Yusuf tertahan."Cukup…Cukup! Menyebalkan harus mendengar kalian tiap hari bertengkar. " sinis Erna berlalu pergi meninggalkan dua manusia yang masih terus berseteru.Erna pergi menuju kamarnya dengan m
Kota London...."Ada apa denganmu, Zara?"Wanita yang di panggil itu terlonjak kaget akan sebuah suara dari belakangnya. Ponselnya nyaris saja jatuh karena pangilaan mendadak itu.Zara berbalik dan menatap orang itu. Dia hanya memandanya dalam diam dan tak sadar kembali melamun."Zara!"panggil orang itu kedua kalinya dengan setengah berteriak. "Apa pria brengsek itu meneleponmu lagi?""A-Amar, aku..."Zara mendadak gugup dan bingung harus berkata apa pada Amar.Amar berdecak kesal melihat Zara seperti itu. "Ckk, benar - benar laki-laki tidak tahu diri!""Kalau kamu selalu menjawab panggilan darinya, dia akan selalu menganggap kamu lemah dan mudah di takhlukan!"kesal Amar mulai mengomeli Zara. Sedang Zara seperti anak kecil yang hanya bisa menunduk menatap lantai ketika di marahi.Tunggu! Tiba-tiba Amar menghentikan omelnya. Tersadar akan di mana posisi mereka berdua. "Astaga, bagaimana aku bisa berdua saja dengan Zara di kamarnya!" rutuk Amar dalam hatinya.Sedikit berdehem, sembari
***Selama dalam perjalanan Alya terus diam dengan wajah yang di tekuk lesu. "Kenapa? Tidak senang berangkat sama papa?""Seneng kok." jawabnya singkat. Sembari fokus menyetir Yusuf terus bertanya pada Alya. Hanya saja dia ingin bertanya hal yang sangat penting pada Alya."Kalau seneng kenapa murung terus, hmmm?"Alya menggeleng, enggan menjawab. "Papa perhatikan 3 hari ini kamu banyak diam dan murung. Ada apa sayang? Cerita sama papa."bujuk Yusuf dengan satu tanganya mengelus lembut kepala Alya yang tetutup jilbab.“Hmm, Papa…”“Iya?"Alya meremas roknya gugup, "Mama, kapan pulang?"Ckiittt....Mendadak Yusuf menginjak rem sangkit terkejutnya mendengar pertanyaan Alya. Beruntung jalanan sedang sunyi, kalau tidak ntah bahaya apa yang akan terjadi.Secepat kilat dia menatap Alya, "Kamu tanya apa tadi?" tanyanya dengan menuntut.Alya menoleh ke arah Yusuf yang kini sedang menunggu kelanjutan ucapan Alya. Putri kecil itu mengerjab dengan polos, lalu berkata. "Apa mama tidak akan pulang ke
***Seorang pria kini duduk termenung di kursi kerjanya. Tangannya mengetuk-ngetukan pena ke meja. Mata pria itu terpejam dengan jejak air mata yang mengering.Kesepian dan rasa rindu menyiksa dirinya. Dia terus memikirkan, apa yang harus dia lakukan untuk membuat wanita itu kembali.Brakkk...Pintu ruang kerjanya di buka dengan kasar oleh seseorang. Mata Yusuf terbuka mendengar suara itu. Secepat kilat dia tak tahu apapun namun kini ada seseorang yang menarik kemeja.Menatap dirinnya dengan marah. “Katakan padaku! Kemana Istrimu membawa istriku?!” Dia adalah Bram suami dari Ayu. Pria itu juga sama halnya dengan Yusuf. Dia merasa frutrasi saat tak menemukan Ayu di rumah maupun di restorannya. Dia juga begitu terkejut saaf melihat ada orang lain yang mengantikan posisi istrinya di restoran. Para pegawai Ayu juga mengatakan bahwa Ayu izin untuk tidak datang untuk waktu yang tak bisa di pastikan.Bram juga sama menyesalnya dengan Yusuf. Kedua pria itu kini menyadari kebodohan diri merek
"Dari dulu kamu tahu kalau aku tidak bisa membenci siapapun. Aku bisa marah juga kesal. Tapi aku lebih memilih menjauh dari pada perlahan tumbuh rasa benci di hati. Sungguh penyakit hati seperti itu, aku tidak ingin memilikinya."Zara tersenyum masam. "Aku mengabarinya karena status kami masih terikat dengan suci. Pernikahan bukanlah sebuah permainan. Jika dia yang menghianati pernikahan ini. Itu bukan salahku, dan bukan hakku untuk membencinya.""Artinya kamu masih mencintainya?"desak Amar tak sabbar dengan jawaban dari Zara.Zara menatap Amar dengan pandangan yang sulit di tebak. Amar tergugu di pandang begitu oleh Zara."Aku rasa kamu masih mencitainya. Mungkin, ntahlah!" Amar menggaruk tengguknya. Merasa bingung sendiri."Aku rasa cintaku sudah hilang untuknya. Waktu itu masih tersisa sedikit saat dia menikahi Syifa. Tapi ketika dia membentaku pagi itu karena kesalahan yang tidak aku buat. Saat itu cintaku sudah hilang untuknya."Amar mengernyit merasa tak yakin dengan yang dia den
Author PoVJakarta ***Pagi ini menjadi kedua kalinya Yusuf harus bekerja tanpa memakai dasi kantornya. Selain Zara, dia tak bisa membiarkan siapapun memakaikan dasi padanya.Yusuf berjalan dengan lesu sambil mengancing ujung lengan bajunya. Melihat pantulan diri di cermin. Jelas terasa bahwa saat ini dia tidak selengkap dulu.Hufftt...Lagi dan lagi pria itu menghembuskan nafas kasar melihat wajahnya sendiri kini terasa menjengkelkan. Pintu kamarnya di ketuk dari luar. Kemudian terdengar suara Syifa memanggilnya. "Mas, sarapannya sudah siap."Yusuf dia tak menjawab. Bibirnya ingin menjawab namun tertahan oleh rasa ragu dalam hatinya."Mass...! Baiklah, jika sudah selesai langsung turun kebawah, ya!"ujar Syifa setengah berteriak. Kemudian terdengar langkah kaki wanita itu yang kian menjauh.Dia sudah pergi...! Yusuf sungguh sangat enggan untuk pergi bekerja. Menghadapi persoalan rumah tangganya sudah sangat memusingkan kepala. Apalagi di tambah dengan pekerjaannya di kantor. Dia han
Singgapura...Di sebuah ruangan dengan nuansa coklat, serta beberapa tumpukan berkas yang berserakan di meja. Seorang lelaki paruh baya dengan kacamata yang melekat di wajahnya. Lelaki itu duduk bersandar di kursi kerjanya. Memejamkan mata dan memikirkan segala hal yang saat ini menganggu hatinya.Suara ketukan pintu membuatnya bersuara."Masuk!" ucapnya dengan suara berat. Seseorang pria dengan jas hitam yang formal sebagai asistenya datang menghadapnya."Ada apa Jhon? Ada berita apa dari sana?"tanya lelaki tua itu."Ma-maaf tuan. Saya baru mendengar kabar kalau ada sebuah insiden kecil di rumah itu.""Insiden apa? Katakan saja dengan jelas!" lelaki tua itu menegakakan duduknya. Menatap dengan serius Jhon asistenya."Hmmm, kabarnya Nona Syifa saat ini sedang mengandung. Lalu, pagi ini juga terdengar kabar bahwa dia jatuh dari tangga. Dengan tuduhan bahwa Nyona muda Zara yang mendorongnya. Lalu..."Jhon mengantung ucapnya. Melihat reaksi tuannya yang sudah mengepalkan tangan."Lalu ap