Semua orang terdiam dengan jawabanku.
Kenapa? Apa mereka berpikir bahwa aku akan memilih menyerah dan mereka bisa memisahkan aku dengan putriku. Tentu saja aku tidak bisa seperti itu. Jika mereka ingin memisahkan aku dengan suamiku maka mungkin aku masih bisa bertahan.Namun, jika itu Alya maka aku tidak bisa. Dia adalah belahan jiwaku, dia adalah hidupku, dia adalah nafas dan cintaku. Walau mungkin dia tak menganggap aku sepenting itu. Tapi apalah daya bahwa aku hanya seorang ibu.“Ikut aku, kita harus bicara?!”sentak Mas Yusuf tiba-tiba menarik tanganku keras dan membawa ku ke kamar kami yang berada di lantai atas.Aku hanya diam dan mengikut di belakangnya. Celakan yang begitu keras pada tanganku sedikit bisa kurasakan perihnya. Namun perih di hati lebih mendominasi perasaanku saat ini.Mas Yusuf membuka pintu kamar, lalu dia menariku dengan hentakan keras hingga aku sedikit limbung dibuatnya. Dia menutup pintu dengan sangat keras hingga menimbulkan dentuman keras yang menggema di dalam kamar.Aku masih menunduk dan bisa kulihat kakinya melangkah cepat ke arahku. Dia menangkup keras kedua bahuku membuatku sedikit meringis. Lalu dia mengapit ujung daguku membawanya menatap matanya.“Kenapa kamu melakukannya?! Kenapa kamu menerima permintaan mama, huh?!”bentaknya dengan wajah memerah dengan gejolak amarah.“Mass..”panggilku lirih membuat wajahnya berubah sendu. “Aku minta maaf padamu. Maaf, jika selama ini aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.”air mataku tergenang tapi sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menangis.“Apa maksudmu?! Kenapa kamu yang harus minta maaf? Ak-aku... harusnya aku yang minta maaf padamu....”cicitnya dengan suara bergetar.Apa dia juga ingin menangis? Kurasakan tanganya mengendur pelan di kedua bahuku.Aku menggeleng dan tersenyum tipis padanya. Menatap matanya, menelisik lebih dalam dari lentara matanya. Kutemukan kesedihan disana, apa sekarang dia menyesal karena menikah denganku? Atau dia mulai menyesal karena telah menghianati pernikahan ini?Tanganku berpindah menangkup kedua tanganya. Mengengamnya dengan lembut lalu mengecup kedua tanganya. “Mas, aku sadar jika selama ini kebahagian yang kamu tunjukan saat bersamaku adalah palsu.”bisikku lirih.“Apa maksudmu?!”desisnya tajam.Aku kembali mendongak menatapnya. Dia menatap mataku dengan mata tajamnya.“Mas,kamu tahu? Lebih baik kamu katakan jika kamu tidak pernah mencintaiku, dari pada kamu mengatakan cinta hanya karena merasa kasihan padaku.”Mas Yusuf menggeleng cepat, “Aku tidak seperti itu?! Kumohon dengarkan aku, Zara! Aku mencintaimu, kamu istriku dan aku mencintaimu.”bantahnya dan terus memohon dengan melas di hadapanku.“Mas, jika kamu mencintaiku maka kamu tidak akan pernah menghianti pernikahan ini. aku sudah tahu semuanya mas, semuanya... aku sudah tahu semuanya. Hubungan mu dengan wanita bernama Syifa itu bukan hanya karena perintah mama. Tapi, juga karena kamu menginginkannya.”ucapku selembut mungkin walau hatiku sudah tak tahu lagi bagaimana bentuknya sekarang.Aku hanya bersyukur karena hatiku adalah ciptaan Tuhan karena jika hati itu ciptaan manusia pasti sudah hancur berkeping-keping dan hilang karena tertiup udara yang menyesakan.“Aku tidak keberatan jika aku di poligami. Selama aku masih bisa dekat dan merawat Alya dengan baik maka aku tidak akan pernah keberatan. Karena Alya adalah yang terpenting dalam hidupku.”“Apa aku tidak penting untukmu?”tanya Mas Yusuf dengan nada lirih. Setitik air mata kulihat mengalir di pipinya.Aku tersenyum lembut dan mengusap air matanya dengan jemariku yang begetar. “Aku akan bertanya padamu. Seberapa penting aku untukmu?”dia hanya diam mematung membuat senyumku berubah getir. “Mas, kamu saja tidak pernah menganggap aku penting dalam hidupmu. Lalu, kenapa aku harus?”aku tersenyum lebar dan mengecup lembut pipinya.“Pergilah mas, ku izinkan dan ku ridhoi kamu untuk menikah lagi.”Setelahnya aku pergi meninggalkan dia yang diam mematung dan yang terakhir kulihat air mata mengalir deras di pipinya bersama dengan air mataku yang ikut mengalir.Aku memang tak begitu yakin dengan pilihanku. Tapi, aku tidak punya pilihan lain selain bertahan dengan resiko luka yang akan terus aku terima.Tapi, ini adalah keputusanku dan ini adalah pilihanku. Masalah luka dan sakit cukup aku sendiri yang merasakan dan menahannya sendiri di masa depan. Tidak akan terbagi dengan siapapun. Hanya aku sendiri dan mungkin hanya dengan Tuhan.****Yusuf PoV“Aggghhh... sial?! Sial?! Kenapa harus jadi seperti ini?”umpatku terus merutuki diri sendiri. Di dalam kamar, sendirian. Aku hanya terpaku dengan keputusan yang Zara buat. Kenapa aku begitu bodoh dan menyakiti wanita juga istri yang sangat baik seperti dirinya.“BODOH?! AKHHH.... SIA?! SIAL?!” Aku membanting semua barang-barang di dalam kamar membuat kamar itu menjadi berantakan seperti layaknya kapan pecah.Aku tidak tahu, jika hasutan dan ajakan mama justru membuat aku terjerumus semakin jauh hingga sekarang. Dan sekarang adalah hasil karena aku telah bermain api dalam rumah tanggaku.Aku terduduk lemas, tak berdaya, “Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah!”aku menangis sesegukan untuk pertama kalinya. Menyesali kebodohan yang telah aku perbuat dan sekarang aku tak bisa menghentikan semua ini. Aku tak bisa menolak keinginan mama, juga aku tak bisa menyakiti hati istriku?!”“Syifa?”aku teringat nama wanita itu. Wanita yang diam-diam sudah direncanakan oleh mama untuk dekat denganku. Dan bodohnya aku malah terperangkap dengan pesonanya hingga tanpa sadar membuatku semakin jatuh dalam lubang dosa dan penghianatan dalam pernikahan ini. “Aku harus membujuk Syifa untuk menolak pernikahan ini! Ya, harus!”PoV End***Sementara itu Zara dan Syifa sedang duduk berdua di halaman belakang rumah mereka. Duduk di kursi panjang yang mengarah ke taman bunga yang indah di halaman rumah. Mereka hanya diam dan tak mengatakan apapun, selama beberpaa menit mereka hanya diam dengan pikiran yang terus berputar mencari sebuah kata yang ingin di sampaikan.“Apa kamu mencintai mas Yusuf?”tanya Zara lebih dahulu memecahkan keheningan. “Maaf?”kata Syifa, menatap Zara yang duduk di sampingnya.Zara menolehkan kepalanya dan tersenyum lembut pada Syifa. “Aku bertanya, apa kamu mencintai Mas Yusuf?”Dia menunduk,dan meremas tangannya gugup. “Ak-aku, aku...”dia tergagap. Membuat Zara jelas sudah tahu jawabannya bahwa wanita itu mencintai suaminya. Ah, tidak. Karena sebentar lagi akan menjadi suami ‘mereka’.“Apa kalian sebelumnya punya sebuah kisah? Mungkin kamu bisa menceritakannya padaku?”tanya Zara setenang mungkin. Seolah menunjukan bahwa dia baik-baik saja atas keputusan yang baru di buatnya.“Mbak, maaf aku!”sela Syifa mengatupkan tangan di depan dadanya memohon maaf kepada Zara. Dia sendiri tidak tahu jika perasaan seperti itu akan tumbuh untuk pria yang jelas sudah memiliki seorang istri. “Kami tidak memiliki kisah apapun.”cicitnya menunduk takut.“Syifa, kamu tidak perlu merasa bersalah. Mungkin semua ini memang salahku.”Syifa menggeleng cepat mendengar penuturan Zara. “Tidak. Mbak tidak salah apapun. Aku yang salah karena sudah masuk dalam rumah tangga kalian. Ma-af, maafkan aku...”Setetes air mata mengalir di pipi Zara, namun segera dia mengusapnya dengan kasar. Dia menoleh ke arah Syifa yang sudah terisak. Lalu mengenggam lembut tangan Syifa membuat wanita itu menatap Zara dengan mata yang berkabut basah.“Dengar Syifa, ini bukan salahmu. Kamu tahu dalam sebuah hubungan apalagi pernikahan akan sangat tidak mungkin seorang suami berselingkuh jika dia bahagia dengan istrinya. Mungkin Mas Yusuf tidak bahagia denganku, mungkin dia tidak puas denganku. Dan jelas jika itu kesalahanku. Jika bisa aku ingin memperbaiki diriku sendiri agar bisa menjadi wanita yang sempurna untuknya. Tapi terlambat karena kamu sudah datang dalam hidupnya. Tidak ada pilihan lain untukku selain berbagi suami denganmu.”“Mbak...._”“Syifa, aku hanya berharap kamu bisa menjadi istri yang baik untuknya. Tidak seperti diriku. Jika kamu mencintai suamiku artinya suamiku sendiri yang memberi harapan untukmu. Aku tidak bisa melakukan apapun. Maka dari itu, ku izinkan kamu menjadi maduku!” Zara memeluk dengan hangat Syifa yang menagis kencang dengan perasaan bersalah yang meliputi dirinya.Dia merasa sangat bersalah karena telah mengahancurkan dan masuk kedalam rumah tangga seorang wanita yang begitu baik seperti Zara. “Aku mengizinkanmu menjadi maduku. Karena aku tahu dengan adanya dirimu atau tidak adanya dirimu dalam keluarga kecilku. Mas Yusuf tak akan pernah mencintaiku.”hatinya terasa semakin sesak dengan kenyataan yang harus di hadapinya.“Karena aku tahu hatinya tak pernah menjadi milik-ku. Mungkin, kamu akan menjadi wanita beruntung yang kelak mendapatkan cintanya. Tidak sepertiku, menjadi wanita yang malang yang terus menunggu cinta tulus dari suaminya.”lanjutnya menjerit pilu dalam hati. Air mata terus mengalir tanpa dia minta.Awal, dan akhir sebuah penderitaan akan segera dimulai. Hanya Tuhanlah yang bisa memberikan dia kekuatan.... Semogaa....****#Bersambung...Tak pernah terbayang, hari dan waktu yang menyakitkan seperti ini akan terjadi dalam hidupku. Penghianatan, keterpaksaan,kepalsuan, keikhlasan dan kesabaranku benar-benar telah di uji dalam satu masalah. 1 minggu telah berlalu kini adalah hari yang aku yakin wanita lain tak akan pernah menginginkannya. Hari dimana suami yang aku cintai akan mengucap ijab qobul dan janji suci untuk menikahi wanita lain.Jangan tanya apa hatiku terluka? Karena sungguh pertanyaan itu hanya membuat sebuah pisau belati menusuk lebih dalam, mengoyak dan membelah hatiku yang sudah berantakan. Memang tak banyak orang yang datang di pernikahan mereka. Hanya para keluarga Mas Yusuf dan Syifa yang hadir. Selebihnya adalah para tokoh agama dan juga penghulu dan para saksi pernikahan mereka.Rumahku, rumah kami, kini akan menjadi rumah kita. Kita bertiga bersama dengan seorang wanita baru yang ternyata ikut tinggal bersama kami. Aku tak menyangka ternyata merutuaku itu begitu kejamnya padaku.Tak cukup baginya un
Alya sang putri kecil sedang berdandan dengan bahagia di dalam kamarnya di bantu oleh sang nenek. “Alya seneng kan, punya mama baru?”tanya Erna mertua Zara yang sangat picik dan jahat dengan segala tipu muslihatnya.“Senang dong, nek! Nanti Alya bisa punya adik kan?”dia bertanya dengan begitu polosnya. Tanpa mengetahui apa makna semua itu. Yang dia tahu hanya yang di katakan oleh sang nenek.“Benar sayang. Bunda Syifa bisa kasih kamu adik. Tidak seperti mama kamu yang enggak bisa kasih adik.”sinisnya. Namun anak malang itu sama sekali tidak menyadari hal itu.Dia hanya bisa beriang gembira. Melompat-lompat dengan sangat senang seolah itu semua adalah kebahagiaan semua orang dan dia juga tidak menyadari bahwa semua orang itu tidaklah termasuk mamanya.Erna memasangkan kerudung kecil Alya. Dengan duduk beralaskan lantai marmer Erna mengangkat tubuh kecil Alya dan mendudukannya kedalam pangkuannya. “Alya mau denger nenek, kan?”Alya menatap neneknya dan mengangguk semangat. “Mau, nek!”se
***Cahaya bulan terilhat meredup di langit malam. Seolah dia sepakat dengan hati yang sedang terluka. Menemaninya yang meredup dengan sedikit cahaya hati sinar bahagia dan tak bahagia. Semilir angin malam menyayat kulit halusnya yang tertutup cardigan tipis.“Huhhhfftt...” hembusan nafas panjang dia keluarkan. Berusaha sedikit meringankan beban di hatinya. Malam ini adalah malam pengantin suaminya dengan sang madu. Mereka yang dibayangkan sedang memadu kasih di malam pertamanya sedang di sini dia sedang berpelukan dengan angin dingin malam yang menghantarkan udara menyesakan juga rasa kesepian pada hatinya.“Aku, hanya bisa berharap kalian berbahagia dan segera memiliki keturunan.”ucap Zara lirih, memejamkan matanya dan kembali air mata itu mengalir tanpa dia minta.Kesedihan ternyata tak hanya membuat air matanya mengering tapi tengorokannya juga ikut mengering. Dia mengambil teko air yang ada di meja rias nya, teko itu sudah kosong dan harus kembali di isi.Zara terdiam,bibirnya ki
Saat sudah berada di lantai atas dia melewati kamar dia dan Yusuf dulunya. Tanpa melihat dan menoleh. Namun sekejap dia mendengar suara pintu terbuka.Lalu dia hanya merasakan seseorang dengan gesit menarik tanganya kedalam kamar lalu seseorang itu langsung mengunci pintu.Zara tersentak, “Apa yang kamu lakukan, mas!”sentak Zara heran dengan nada tak suka. Namun berusaha dia untuk menenagkan diri. Mencoba menarik nafas dalam dan menghembuskanya perlahan.“Apa yang kamu inginkan?”tanya Zara melembutkan suaranya. Yusuf bungkam dengan kepala tertunduk namun dia masih berdiri menghalang pintu yang sudah tertutup. “Mas? Ada apa?”“Ak-aku...,”Zara mengernyit mendengar suara Yusuf yang terbata gugup. Dia memjamkan mata berusaha mengontrol hatinya.Jika dulu ketika Yusuf bersikap seperti itu padanya maka Zara akan langsung memeluk dan mengodanya. Karena dia selalu merasa gemas dengan sifat Yusuf yang terkadang gugup saat bersama dengannya.Namun, semuanya kini telah berbeda. Yang dia rasakan
YUSUF PoV Pagiku terasa kacau. Pertama kalinya dalam hidup aku merasa teramat bersalah membuat hari dan kehidupan yang dulu begitu bahagia dan ceria kini berubah menjadi terasa hampa.Zara mulai kurasakan berubah, tak bisa lagi kulihat senyumnya yang benar-benar seperti orang bahagia. Dia hanya memaksakan tersenyum untuk menutup luka di hatinya.Aku sudah menjadi suami yang egois dan jahad. Namun, bodohnya aku menyadari semua kesalahan ini setelah semua hal ini terjadi.Jika saja,waktu bisa di putar ulang kembali maka seumur hidup aku tak akan pernah melakukan hal ini. Suasana hatiku kacau,dan tak ada rasa bahagia dalam hatiku. Menjadikan Syifa seorang istri itu bukan keinginanku.Semua karena Mama. Desakannya dan segala macam tuduhannya pada Zara yang terus menerus dia katakan padaku. Membuatku lelah dan terjebak dalam permainannya. Tapi, lagi-lagi aku menyadari tak semua salah mama. Seperti halnya yang Zara katakan.Seorang suamilah yang memegang kunci dalam pernikahan. Jika suami m
***Menjelang siang, tepat pukul 12.30 Zara menelepon Yusuf suaminya, dan tak butuh waktu lama Yusuf langsung menjawab panggilan Zara.“Assalamualaikum,Sayang.”sapa Yusuf dengan manja.Ah, sayang? Ntah kenapa Zara merasa kesal dengan pangillan itu. Kenapa pria selalu punya berbagai tipu muslihat dan mulut yang berbisa dengan kata-kata manisnya. Walaupun sudah ada banyak penghianatan yang juga mulutnya ucapkan.Zara hanya menjawab seadanya saja. “Waalaikumsalam,mas. Hari ini aku saja yang menjemput Alya dan....Syifa.”terasa kelu lidahnya mengucapkan nama madunya. Yusuf terdiam membatu dengan ucapan Zara.“Ka-kamu yakin?”“Iya, tidak apa-apa. lagi pula, bukan hanya rumah kita saja yang muat untuk satu orang lagi. Mobilku juga cukup luas untuk menampung satu penumpang lagi,kan.”ucap Zara seolah sebuah sentilan yang tepat mengenai relung hati Yusuf yang terdalam. “Yasudah, terserah kamu aja. Kebetulan mas hari ini pulang lebih sore.”“Yasudah. Assalamualaikum.”“Tung...,” tut...tutt pangg
***“Kenapa kamu menangis?”Yusuf bertanya dengan nada lirih, kala air mata Zara mengenai punggung tangannya.Zara menggeleng dan menghapus jejak air matanya. “Enggak mas. Zara tidak ingin apapun untuk saat ini.”jawab Zara dengan terenyum tipis membuat Yusuf meringis.“Sudahlah, ini sudah malam. Kamu tidak ingin istirahat?”tawar Zara. Dia melenggang pergi dari hadapan Yusuf. Saat dia ingin menaiki ranjangnya Zara terhenti sejenak lalu menoleh kearah Yusuf.“Ehmm...mas, kamu tidur dimana malam ini?”tanya Zara dengan suara pelan.“Boleh aku tidur bersamamu?”Yusuf kembali bertanya. Dia mendekat kearah Zara. Lalu menggenggam tangan istrinya dan berucap. “Ntah kamu mempercayainya atau tidak. Hanya kamu satu-satunya wanita yang ingin aku sentuh dan aku peluk dalam dekapanku.”“Mas, sudahlah.”pukas Zara cepat. Menepis pelan tangan Yusuf yang kembali ingin memeluknya.Yusuf kecewa Zara masih tak mempercayai ucapannya. “Hari ini sangat melelahkan. Kamu harus tidur, mas. Besok, akan ada hari baru
***“Kamu sedang apa?” suara lembut itu membuat lamunan Zara membuyar. Sedari tadi dia terus melamun sambil menantap kosong televisi yang terus menyala. Hingga Yusuf datang dan menepuk pundaknya. “Kamu sedang apa? kenapa terus melamun?”tanyanya lagi karena Zara terus diam dan menatapnya tanpa mengatakan apapun.“Tidak ada,mas.”sahut Zara seraya menggeleng.Yusuf tersenyum tipis. Dia memutari sofa dan berjalan duduk di samping Zara.Dia menangkup pundak Zara, membuatnya untuk duduk berhadapan. “Apa yang sedang kamu pikirkan, heum?”tanya Yusuf dengan lembut.“Tidak. Aku hanya memikirkan jadwal pemeriksaan pasien untuk besok.”bohong Zara. Karena saat ini yang ada di pikirannya hanyalah Alya putrinya.Yusuf mendengus. “Kenapa kamu selalu begitu? Apa tak ada waktumu sedikitpun bersama denganku. Cukup memikirkan aku saja. Jangan ada yang lain. Kenapa kamu tidak mengerti?”ucapnya lirih.“Aku hanya ingin menghabiskan minggu ini berdua denganmu. Tapi kamu, tak bisakah memikirkan aku saja?”desa
"Kenapa?" Tanya Amar saat melihat raut kebingungan di wajah Zara. Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri melihat ke luar jendela. "Kamu nyari apa sih, Za?" Ulang Amar heran."Nggak, tadi kayak ada yang manggil aku deh. Tapi di luar orang-orang udah pada bubar," gumam Zara."Perasaan kamu aja kali. Yang penting temen kamu yang namanya Rose itu sudah ketemukan?"Zara mengangguk singkat. "Sudah sih,""Sekarang kamu mau ke mana? Mau langsung pulang atau ke suatu tempat?" "Hmmm, enaknya kemana ya. Males banget kalau langsung pulang. Masih siang juga," "Ke supermarket? Ke Mekdi?" Saran Amar.Zara mengangguk setuju. "Boleh deh, ke mall aja. Sekalian belanja, kebetulan tadi bibi titip bahan belanjaan yang udah habis,""Oke deh!" Amar memutar kemudinya ke arah yang berbeda menuju mall yang akan mereka datangi. "Oh, iya ngomong-ngomong. Selama kamu di Indonesia, kebutuhan dan biaya mansion di sini siapa yang tanggung?" Tanya Amar."Aku, cuman pakai rekening yang berbeda. Rekening yang atas nama
Kening Amar mengeryit melihat wajah Zara yang terlihat kebingungan. "Zara, ada apa?" panggil Amar lagi sedikit menaikan suaranya membuat Zara tersadar dari lamunannya."A-Amar, A-aku...ti.."Amar berdecak kesal melihat Zara terbata, "Kau ini bicara apa? Aku tidak mengerti! Apa kau habis dapat pesan dari malaikat maut huh?"degus Amar."Aku tidak tahu harus meresepon bagaimana..."ucapan Zara membuat Amar memandangnya serius."Apakah ini masalah serius?"Zara tak menjawab perkataan Amar. Dia hanya mengulurkan ponselnya pada Amar.Amar mengambil ponsel Zara dengan rasa penasaran. Dia membuka pesan yang baru Zara baca. Membacanya begitu serius hingga...Pffttt...."BAHHAHAHAHAHAHAHHAHA...APA INI?! HAHAHHAHAHA....MAM*US" tawa Amar pecah dengan umpatan di akhirnya. Wajahnya terlihat berseri bahagia."Amar, kau ini! Kenapa kau tertawa!"pekik Zara kesal menampol tangan Amar kesal."Buahahhaha... Maaf...maaf. Ini sangat lucu Zara.""Lucu bagaimana? Bagaimana kabar duka kau anggap lucu!"ketus Zar
Tak lama setelah itu dua betina yang di tunggu akhirnya pulang dengan banyak kantung belanjaan. Yusuf hanya acuh melihat mereka masuk dan meletakan banyak paper back di atas meja makan. Pria itu yang kini sudah berganti pakaian dengan kaos rumahan. Memeriksa satu persatu bungkusan itu.“Mas, Alya kemana? Aku membelikanya banyak boneka.” Suara Syifa terdengar manja yang di buat-buat membuat Yusuf kesal hingga tak sadar mengepalkan tanganya. "Apa pedulimu? Kalian berdua hanya senang menghamburkan uang saja!" sinis Yusuf.Matanya menangkap satu bungkusan ganji di atas meja. Tangannya menggapai itu. "Apa ini?" tanya Yusuf menuntut."It-itu makanan kesukanku, mas." jawab Syifa gugup memilin ujung jilbabnya.“Bukankah kau punya riwayat alergi kacang?! Lalu kenapa kau tetap membelinya!” geram Yusuf tertahan."Cukup…Cukup! Menyebalkan harus mendengar kalian tiap hari bertengkar. " sinis Erna berlalu pergi meninggalkan dua manusia yang masih terus berseteru.Erna pergi menuju kamarnya dengan m
Kota London...."Ada apa denganmu, Zara?"Wanita yang di panggil itu terlonjak kaget akan sebuah suara dari belakangnya. Ponselnya nyaris saja jatuh karena pangilaan mendadak itu.Zara berbalik dan menatap orang itu. Dia hanya memandanya dalam diam dan tak sadar kembali melamun."Zara!"panggil orang itu kedua kalinya dengan setengah berteriak. "Apa pria brengsek itu meneleponmu lagi?""A-Amar, aku..."Zara mendadak gugup dan bingung harus berkata apa pada Amar.Amar berdecak kesal melihat Zara seperti itu. "Ckk, benar - benar laki-laki tidak tahu diri!""Kalau kamu selalu menjawab panggilan darinya, dia akan selalu menganggap kamu lemah dan mudah di takhlukan!"kesal Amar mulai mengomeli Zara. Sedang Zara seperti anak kecil yang hanya bisa menunduk menatap lantai ketika di marahi.Tunggu! Tiba-tiba Amar menghentikan omelnya. Tersadar akan di mana posisi mereka berdua. "Astaga, bagaimana aku bisa berdua saja dengan Zara di kamarnya!" rutuk Amar dalam hatinya.Sedikit berdehem, sembari
***Selama dalam perjalanan Alya terus diam dengan wajah yang di tekuk lesu. "Kenapa? Tidak senang berangkat sama papa?""Seneng kok." jawabnya singkat. Sembari fokus menyetir Yusuf terus bertanya pada Alya. Hanya saja dia ingin bertanya hal yang sangat penting pada Alya."Kalau seneng kenapa murung terus, hmmm?"Alya menggeleng, enggan menjawab. "Papa perhatikan 3 hari ini kamu banyak diam dan murung. Ada apa sayang? Cerita sama papa."bujuk Yusuf dengan satu tanganya mengelus lembut kepala Alya yang tetutup jilbab.“Hmm, Papa…”“Iya?"Alya meremas roknya gugup, "Mama, kapan pulang?"Ckiittt....Mendadak Yusuf menginjak rem sangkit terkejutnya mendengar pertanyaan Alya. Beruntung jalanan sedang sunyi, kalau tidak ntah bahaya apa yang akan terjadi.Secepat kilat dia menatap Alya, "Kamu tanya apa tadi?" tanyanya dengan menuntut.Alya menoleh ke arah Yusuf yang kini sedang menunggu kelanjutan ucapan Alya. Putri kecil itu mengerjab dengan polos, lalu berkata. "Apa mama tidak akan pulang ke
***Seorang pria kini duduk termenung di kursi kerjanya. Tangannya mengetuk-ngetukan pena ke meja. Mata pria itu terpejam dengan jejak air mata yang mengering.Kesepian dan rasa rindu menyiksa dirinya. Dia terus memikirkan, apa yang harus dia lakukan untuk membuat wanita itu kembali.Brakkk...Pintu ruang kerjanya di buka dengan kasar oleh seseorang. Mata Yusuf terbuka mendengar suara itu. Secepat kilat dia tak tahu apapun namun kini ada seseorang yang menarik kemeja.Menatap dirinnya dengan marah. “Katakan padaku! Kemana Istrimu membawa istriku?!” Dia adalah Bram suami dari Ayu. Pria itu juga sama halnya dengan Yusuf. Dia merasa frutrasi saat tak menemukan Ayu di rumah maupun di restorannya. Dia juga begitu terkejut saaf melihat ada orang lain yang mengantikan posisi istrinya di restoran. Para pegawai Ayu juga mengatakan bahwa Ayu izin untuk tidak datang untuk waktu yang tak bisa di pastikan.Bram juga sama menyesalnya dengan Yusuf. Kedua pria itu kini menyadari kebodohan diri merek
"Dari dulu kamu tahu kalau aku tidak bisa membenci siapapun. Aku bisa marah juga kesal. Tapi aku lebih memilih menjauh dari pada perlahan tumbuh rasa benci di hati. Sungguh penyakit hati seperti itu, aku tidak ingin memilikinya."Zara tersenyum masam. "Aku mengabarinya karena status kami masih terikat dengan suci. Pernikahan bukanlah sebuah permainan. Jika dia yang menghianati pernikahan ini. Itu bukan salahku, dan bukan hakku untuk membencinya.""Artinya kamu masih mencintainya?"desak Amar tak sabbar dengan jawaban dari Zara.Zara menatap Amar dengan pandangan yang sulit di tebak. Amar tergugu di pandang begitu oleh Zara."Aku rasa kamu masih mencitainya. Mungkin, ntahlah!" Amar menggaruk tengguknya. Merasa bingung sendiri."Aku rasa cintaku sudah hilang untuknya. Waktu itu masih tersisa sedikit saat dia menikahi Syifa. Tapi ketika dia membentaku pagi itu karena kesalahan yang tidak aku buat. Saat itu cintaku sudah hilang untuknya."Amar mengernyit merasa tak yakin dengan yang dia den
Author PoVJakarta ***Pagi ini menjadi kedua kalinya Yusuf harus bekerja tanpa memakai dasi kantornya. Selain Zara, dia tak bisa membiarkan siapapun memakaikan dasi padanya.Yusuf berjalan dengan lesu sambil mengancing ujung lengan bajunya. Melihat pantulan diri di cermin. Jelas terasa bahwa saat ini dia tidak selengkap dulu.Hufftt...Lagi dan lagi pria itu menghembuskan nafas kasar melihat wajahnya sendiri kini terasa menjengkelkan. Pintu kamarnya di ketuk dari luar. Kemudian terdengar suara Syifa memanggilnya. "Mas, sarapannya sudah siap."Yusuf dia tak menjawab. Bibirnya ingin menjawab namun tertahan oleh rasa ragu dalam hatinya."Mass...! Baiklah, jika sudah selesai langsung turun kebawah, ya!"ujar Syifa setengah berteriak. Kemudian terdengar langkah kaki wanita itu yang kian menjauh.Dia sudah pergi...! Yusuf sungguh sangat enggan untuk pergi bekerja. Menghadapi persoalan rumah tangganya sudah sangat memusingkan kepala. Apalagi di tambah dengan pekerjaannya di kantor. Dia han
Singgapura...Di sebuah ruangan dengan nuansa coklat, serta beberapa tumpukan berkas yang berserakan di meja. Seorang lelaki paruh baya dengan kacamata yang melekat di wajahnya. Lelaki itu duduk bersandar di kursi kerjanya. Memejamkan mata dan memikirkan segala hal yang saat ini menganggu hatinya.Suara ketukan pintu membuatnya bersuara."Masuk!" ucapnya dengan suara berat. Seseorang pria dengan jas hitam yang formal sebagai asistenya datang menghadapnya."Ada apa Jhon? Ada berita apa dari sana?"tanya lelaki tua itu."Ma-maaf tuan. Saya baru mendengar kabar kalau ada sebuah insiden kecil di rumah itu.""Insiden apa? Katakan saja dengan jelas!" lelaki tua itu menegakakan duduknya. Menatap dengan serius Jhon asistenya."Hmmm, kabarnya Nona Syifa saat ini sedang mengandung. Lalu, pagi ini juga terdengar kabar bahwa dia jatuh dari tangga. Dengan tuduhan bahwa Nyona muda Zara yang mendorongnya. Lalu..."Jhon mengantung ucapnya. Melihat reaksi tuannya yang sudah mengepalkan tangan."Lalu ap