Setelah perjalan panjang dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Desa Santigi. Namun, Alex tak menduga usia tak menentukan sikap dewasa seseorang. Buktinya anak kecil yang berusia empat belas tahun itu sama sekali tak tertarik dengan tawaran Alex. Alex menatap anak itu dan bertanya, "Apa kau tahu sebanyak apa uang satu miliar?" "Aku tahu. Bukankah dengan uang itu bisa mengubah hidupku yang miskin, menjadi kaya raya dalam sekejap? Aku bisa membeli rumah. Tapi maaf, aku sama sekali tidak tertarik." "Kalau masih kurang, aku tambah jadi dua miliar. Bagaimana?" tawar Alex. "Apakah nyawa gadis itu senilai dua miliar? Benar-benar harga yang murah," cetus anak itu terlihat kesal. "Apa ini cara halus mu untuk menolak tawaranku, guna menyelamatkan gadis tak bersalah itu? Jika kau mau, Aku bisa memberikanmu lebih banyak uang. Bagaimana?" "Apa aku pernah mengatakan tidak mau menyelamatkan gadis itu? Bukankah aku hanya menolak tawaran uang itu?" jawab anak itu masih d
*** Seperti biasa keluarga Mauren berkumpul di ruangan Fania, hanya untuk melihat kondisinya, sekaligus membujuk agar Ridel mau menandatangani persetujuan operasi. "Berikan aku waktu seminggu untuk memutuskannya, Kek," jawab Ridel atas permintaan sang kakek. "Kenapa tidak sekarang saja? Bagaimana kalau dalam waktu seminggu, kondisi putriku justru memburuk? Bukankah kita akan kehilangan kesempatan?" desak Vicenzo. "Apa ayah mertua menyembunyikan sesuatu dari kami? Sepertinya ayah tahu persis bagaimana hasil akhir dari operasi istriku," ujar Ridel lembut, tapi mampu membuat Vicenzo gelagapan. "Kau!" Melihat perubahan ekspresi sang ayah, Nadia langsung saja menyela, "Jangan pernah kau memanggil ayah kepada ayahku! Meskipun kau menikah dengan kakakku, bukan berarti kami mau menerima orang miskin seperti mu!" Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, seorang anak terlihat berdiri didepan pintu sambil memperhatikan mereka satu demi satu. "Surprise, kakak bro," teriak anak itu ketika
"Kau jangan takut, meskipun tempatnya terlihat norak, tapi itu tidak akan membuat sampel itu membeku. Karena aku telah mencampurkannya dengan sesuatu," ujar Dirga ketika melihat Ridel diam mematung sambil menatap botol berisi muntahan darah pemberiannya. "Apa yang kau campurkan ke dalam muntahan darah istriku? Kenapa warnanya menjadi berubah aneh? Aku melihatnya dengan jelas, tadi Warnanya merah segar," tanya Ridel tak bisa menutupi rasa penasarannya. "Itu bukan urusanmu," jawab Dirga santai. "Apa yang menjadi urusan istriku, maka itu adalah urusanku, Brengsek!" cetus Dirga kesal bukan kepalang. Dirga melangkah mendekati Ridel yang terlihat kesal, kemudian berbisik pelan, "Bukankah aku di sini untuk memastikan istrimu sembuh? Selebihnya bukan urusanku, termasuk menjawab semua pertanyaan mu! Aku masih punya pekerjaan yang lebih penting, dari pada mengurus urusan yang tak ada hubungannya denganku." Tidak mau terpancing emosi, Ridel memilih menelepon Alex dan meminta bertemu di
*** "Ini hasil lab-nya, Ridel," ujar Alex sambil menyodorkan selembar kertas ke tangan Ridel. "Apakah ada yang tidak beres?" tanya Ridel ketika melihat perubahan di raut wajah Alex. "Sepertinya kau benar, istrimu tidak mempunyai penyakit yang mematikan. Hanya karena satu dan lain hal, sampai istrimu harus terbaring di ranjang rumah sakit dalam jangka waktu lama. Kini aku tahu penyebabnya," ujar Alex dengan tangan gemetar. "Maksud mu?" "Istrimu diracun." Mendengar dua kata itu, sontak saja membuat Ridel terkejut. Bagaimana Alex sampai tahu Fania diracun? Ya! Karena sebelumnya, Ridel telah menelepon pihak rumah sakit, meminta mereka menyegel hasil lab dengan baik. Itu artinya hasil lab itu bersifat rahasia. Jangan-jangan? Ridel menatap Alex tanpa senyuman dan bertanya dengan penuh tekanan, "Di mana kau memeriksakan sampel darah Fania, Alex?" "Itu bukan urusanmu!" "Di mana kau memeriksakan sampel darah Fania, Alex? Aku butuh jawaban!" suara Ridel meninggi. "Di lab ya
"Dirga, tolong selamatkan nyawa istriku. Saat ini hanya kau satu-satunya harapanku," pinta Ridel dengan tulus. Berlahan dia mendekati Fania yang masih tertidur lelap. Wajah yang seputih kertas itu seperti menyimpan seribu luka. Dirga mendekati Ridel dan berbisik, "Sejujurnya Ginseng Akar Cinta itu adalah pengendali penuh hidup Fania. Kalau dia tidak di operasi, maka Gingseng Akar Cinta itu akan memperpanjang umurnya. Namun sebaliknya, jika kau menyetujui operasi maka Gingseng Akar Cinta itu akan menjadi stopwatch timer untuk hidup Fania. Sesuai waktu yang mereka hitung, maka tanggal itulah Fania akan meninggal tanpa meninggalkan jejak apapun." Tanpa sadar air bening berhasil lolos dari pelupuk mata Ridel. Apakah harta itu sepadan dengan nyawamu? "Aku akan membantumu, tapi kau harus melakukan beberapa hal," ujar Dirga, kemudian membisikkan rencananya. "Apa itu akan berhasil?" tanya Ridel ragu. "Apa kita punya pilihan? Bukankah tidak? Percaya atau tidak, tapi pada kenyataann
*** Tepat pukul 06.00 WITA, didepan ruang operasi, semua keluarga Mauren telah berada di sana. Dirga bingung, ketika tak melihat kecemasan di wajah keluarga Mauren. Mereka seolah-olah yakin operasi akan berjalan lancar. Apakah mereka adalah orang dibelakang layar yang menginginkan kematian Fania? Apa itu juga alasan, kenapa Ridel memintaku menyembunyikan keahlianku dari siapapun? Termasuk keluarga sang istri? Walaupun tak yakin, tapi Dirga memilih lebih waspada menghadapi keluarga itu. Tiba-tiba di dalam ruang operasi terjadi kericuhan. Seorang perawat tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang. Bukan itu saja, adegan itu diikuti dua perawat lainnya yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Kericuhan yang terjadi di dalam ruang operasi, membuat dokter Albert dengan bebas menukar obat cair seukuran ibu jari dengan botol yang sama. "Kalian lanjutkan operasinya, biarkan aku yang menolong perawat itu. Ridel tolong bantu aku," tegas dokter Albert. Dibantu oleh Ridel, dokter Albert menang
***Setelah lima hari pasca operasi, akhirnya Fania bisa menggerakkan kakinya sedikit demi sedikit. “Ridel, kakiku bisa digerakkan,” ujar Fania girang. Ya! Walaupun masih agak kaku, tapi Fania bisa menggerakkan kakinya dengan sedikit bantuan. “Aku yakin ini akan menjadi kejutan untuk keluargamu, terutama kakek Arzenio,” ujar Ridel tersenyum. Ridel tak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga Mauren, jika tahu kondisi Fania bukannya memburuk. Tapi sebaliknya, kondisi Fania justru semakin membaik. Bukan itu saja, dia bahkan akan bisa berjalan dan berlari seperti sediakala. Ya! Obat cair seukuran ibu jari yang ditukar dokter Albert saat diruang operasi, berhasil ditukar oleh Ridel dengan botol cairan pemberian Dirga. Ridel menggunakan kesempatan itu, saat dokter Albert hendak memeriksa kondisi tiga perawat yang tak sadarkan diri. Obat itu merupakan obat lanjutan, agar tulang Fania bisa kembali berfungsi normal secara bertahap. Sedangkan obat yang disuntikkan sehari s
"Kenapa kita tak gunakan perempuan sebagai jebakan? Seperti cerita di novel yang pernah ku baca. Tidur bareng, ambil foto, besoknya mengancamnya biar mau kerjasama. Kalau tidak maka foto itu akan bocor ke publik?" ujar Vicenzo memberi pendapat. "Kalau dia berasal dari keluarga biasa, sudah ayah lakukan sejak dulu. Tapi ini? Keluarganya merupakan konglomerat golongan kelas satu! Karena itu dia tidak pernah tertarik dengan uang kita," jelas Arzenio. "Kakek jangan bercanda, mana mungkin seorang pengacara sepertinya memiliki keluarga yang berasal dari konglomerat golongan kelas satu," protes Nadia tak percaya. "Bukan itu saja, pengacara itu merupakan anak sahabat baik Bernard Liu. Pengusaha yang sangat di takuti oleh semua konglomerat," Arzenio menarik nafas panjang. Dia bingung harus menghadapi pengacara itu dengan cara apa. Tiba-tiba Nadia berdiri dan tersenyum, "Serahkan pengacara brengsek itu padaku. Aku yang akan mengurusnya." "Caranya?" tanya Arzenio penasaran. "Bukanka