*** Setelah kedatangan enam dokter spesialis itu, secara rutin keluarga Mauren terus mengunjungi, bahkan mempertanyakan perkembangan kesehatan Fania. Mendapatkan perhatian seperti itu, tentu saja membuat Fania bahagia. Dia sama sekali tak menyangka akan selalu melihat keluarganya sendiri. Namun, Ridel tahu, sebetulnya keluarga Mauren lengkap berada di sana untuk memastikan kalau gadis itu hanya akan melewati usia dua puluh lima tahun. "Kondisi Fania sudah jauh lebih baik, bahkan dia siap untuk di operasi. Kami membutuhkan tanda tangan persetujuan operasi," jelas penanggung jawab tim spesialis dari negeri seberang. "Saya akan menandatangani berkas itu, dokter," jawab Arzenio penuh semangat. "Maaf, Tuan. Anda tak bisa menandatangani berkas persetujuan operasi," jawab dokter itu tersenyum. "Apa katamu? Aku ini kakeknya, kakek yang selama ini merawatnya! Kenapa aku tak bisa menandatanganinya?" protes Arzenio kesal. "Aku tahu ini tidak adil untuk Anda, tapi ini adalah perat
“Hapus video itu sekarang juga, Brengsek!” teriak Arzenio murka. Dia bahkan lupa sedang berada di dalam ruang perawatan Fania. “Maafkan aku, Kek. Aku hanya tidak ingin salah mengambil Keputusan. Lagipula aku bukannya tidak mau menandatangani berkas itu selamanya. Aku hanya butuh waktu untuk mempertimbangkannya, Kek. Itu saja. Aku harap kakek bisa memahaminya,” jelas Ridel tetap sabar. Dia tahu bagi Fania, kakeknya sangat berarti. “Jangan pernah bermimpi menjadi menantu keluarga Mauren yang sesungguhnya, Ridel! Orang miskin sepertimu, sama sekali tak pantas untuk menjadi pendamping putriku. Bagi kami, kau tak lebih dari sampah jalanan. Sampah yang kapan saja bisa kami buang, jika sudah tidak diperlukan lagi!” cetus Vicenzo emosi. “Apa kau sengaja memperlambat proses kesembuhan kakakku? Apa kau mau menjadi benalu bagi kehidupan kakak? Lebih baik buang mimpimu itu! Setelah kakak sembuh, kau harus kembali ke tempat asalmu,” ujar Nadia sepedas cabe. Ridel diam membisu, dia membiark
*** Sementara itu disebuah pabrik yang telah lama ditutup, tampak dua orang sedang bersitegang. Mereka beraduh pendapat. “Apa kau pikir penyakit langka itu sama seperti memecahkan soal matematika tersulit, ha? Hingga kau bisa dengan mudah menemukan jawabannya?Tidak, Ridel!” ketus Alex kesal ketika mendengar kecurigaan Ridel tentang penyakit Fania. “Aku tidak bohong, Brengsek! Sakit Fania itu pasti mudah disembuhkan, tapi karena satu dan lain hal sampai kondisinya terus memburuk!” ujar Ridel tak kalah kesal, karena sahabatnya sendiri tak mempercayainya. “Kalau memang kondisi istrimu, seperti yang kau katakan. Terus kenapa sampai sekarang dia masih terbaring di rumah sakit? Kalau dokter Albert, aku sama sekali tidak percaya. Tapi bagaimana dengan dokter yang dikirim dari negeri seberang? Bagi direktur rumah sakit FO mengkhianatimu, itu sama saja bunuh diri, Brengsek!” Ridel diam membisu, dia bingung harus mengatakan apa. Karena mengatakan yang sejujurnya itu mustahil. Apalagi ko
Setelah perjalan panjang dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Desa Santigi. Namun, Alex tak menduga usia tak menentukan sikap dewasa seseorang. Buktinya anak kecil yang berusia empat belas tahun itu sama sekali tak tertarik dengan tawaran Alex. Alex menatap anak itu dan bertanya, "Apa kau tahu sebanyak apa uang satu miliar?" "Aku tahu. Bukankah dengan uang itu bisa mengubah hidupku yang miskin, menjadi kaya raya dalam sekejap? Aku bisa membeli rumah. Tapi maaf, aku sama sekali tidak tertarik." "Kalau masih kurang, aku tambah jadi dua miliar. Bagaimana?" tawar Alex. "Apakah nyawa gadis itu senilai dua miliar? Benar-benar harga yang murah," cetus anak itu terlihat kesal. "Apa ini cara halus mu untuk menolak tawaranku, guna menyelamatkan gadis tak bersalah itu? Jika kau mau, Aku bisa memberikanmu lebih banyak uang. Bagaimana?" "Apa aku pernah mengatakan tidak mau menyelamatkan gadis itu? Bukankah aku hanya menolak tawaran uang itu?" jawab anak itu masih d
*** Seperti biasa keluarga Mauren berkumpul di ruangan Fania, hanya untuk melihat kondisinya, sekaligus membujuk agar Ridel mau menandatangani persetujuan operasi. "Berikan aku waktu seminggu untuk memutuskannya, Kek," jawab Ridel atas permintaan sang kakek. "Kenapa tidak sekarang saja? Bagaimana kalau dalam waktu seminggu, kondisi putriku justru memburuk? Bukankah kita akan kehilangan kesempatan?" desak Vicenzo. "Apa ayah mertua menyembunyikan sesuatu dari kami? Sepertinya ayah tahu persis bagaimana hasil akhir dari operasi istriku," ujar Ridel lembut, tapi mampu membuat Vicenzo gelagapan. "Kau!" Melihat perubahan ekspresi sang ayah, Nadia langsung saja menyela, "Jangan pernah kau memanggil ayah kepada ayahku! Meskipun kau menikah dengan kakakku, bukan berarti kami mau menerima orang miskin seperti mu!" Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, seorang anak terlihat berdiri didepan pintu sambil memperhatikan mereka satu demi satu. "Surprise, kakak bro," teriak anak itu ketika
"Kau jangan takut, meskipun tempatnya terlihat norak, tapi itu tidak akan membuat sampel itu membeku. Karena aku telah mencampurkannya dengan sesuatu," ujar Dirga ketika melihat Ridel diam mematung sambil menatap botol berisi muntahan darah pemberiannya. "Apa yang kau campurkan ke dalam muntahan darah istriku? Kenapa warnanya menjadi berubah aneh? Aku melihatnya dengan jelas, tadi Warnanya merah segar," tanya Ridel tak bisa menutupi rasa penasarannya. "Itu bukan urusanmu," jawab Dirga santai. "Apa yang menjadi urusan istriku, maka itu adalah urusanku, Brengsek!" cetus Dirga kesal bukan kepalang. Dirga melangkah mendekati Ridel yang terlihat kesal, kemudian berbisik pelan, "Bukankah aku di sini untuk memastikan istrimu sembuh? Selebihnya bukan urusanku, termasuk menjawab semua pertanyaan mu! Aku masih punya pekerjaan yang lebih penting, dari pada mengurus urusan yang tak ada hubungannya denganku." Tidak mau terpancing emosi, Ridel memilih menelepon Alex dan meminta bertemu di
*** "Ini hasil lab-nya, Ridel," ujar Alex sambil menyodorkan selembar kertas ke tangan Ridel. "Apakah ada yang tidak beres?" tanya Ridel ketika melihat perubahan di raut wajah Alex. "Sepertinya kau benar, istrimu tidak mempunyai penyakit yang mematikan. Hanya karena satu dan lain hal, sampai istrimu harus terbaring di ranjang rumah sakit dalam jangka waktu lama. Kini aku tahu penyebabnya," ujar Alex dengan tangan gemetar. "Maksud mu?" "Istrimu diracun." Mendengar dua kata itu, sontak saja membuat Ridel terkejut. Bagaimana Alex sampai tahu Fania diracun? Ya! Karena sebelumnya, Ridel telah menelepon pihak rumah sakit, meminta mereka menyegel hasil lab dengan baik. Itu artinya hasil lab itu bersifat rahasia. Jangan-jangan? Ridel menatap Alex tanpa senyuman dan bertanya dengan penuh tekanan, "Di mana kau memeriksakan sampel darah Fania, Alex?" "Itu bukan urusanmu!" "Di mana kau memeriksakan sampel darah Fania, Alex? Aku butuh jawaban!" suara Ridel meninggi. "Di lab ya
"Dirga, tolong selamatkan nyawa istriku. Saat ini hanya kau satu-satunya harapanku," pinta Ridel dengan tulus. Berlahan dia mendekati Fania yang masih tertidur lelap. Wajah yang seputih kertas itu seperti menyimpan seribu luka. Dirga mendekati Ridel dan berbisik, "Sejujurnya Ginseng Akar Cinta itu adalah pengendali penuh hidup Fania. Kalau dia tidak di operasi, maka Gingseng Akar Cinta itu akan memperpanjang umurnya. Namun sebaliknya, jika kau menyetujui operasi maka Gingseng Akar Cinta itu akan menjadi stopwatch timer untuk hidup Fania. Sesuai waktu yang mereka hitung, maka tanggal itulah Fania akan meninggal tanpa meninggalkan jejak apapun." Tanpa sadar air bening berhasil lolos dari pelupuk mata Ridel. Apakah harta itu sepadan dengan nyawamu? "Aku akan membantumu, tapi kau harus melakukan beberapa hal," ujar Dirga, kemudian membisikkan rencananya. "Apa itu akan berhasil?" tanya Ridel ragu. "Apa kita punya pilihan? Bukankah tidak? Percaya atau tidak, tapi pada kenyataann