“Terima kasih atas niat baikmu. Tapi maaf, aku tak bisa menerima kartu ini,” ujar Ridel yang kemudian meraih pergelangan tangan Fania dan mengembalikan kartu hitam itu kepada pemiliknya. “Kau menolaknya?” “Kalau uang itu kau berikan padaku, terus bagaimana kau akan memulai bisnis barumu kelak?” Fania diam membisu. Dia masih ingat jelas, bagaimana perasaannya hancur ketika dokter memvonisnya menderita penyakit langka. Penyakit mematikan yang langsung membunuh mimpinya terlebih dahulu. Sejak saat itu hidup Fania berubah drastis. Jangankan bermimpi untuk membangun bisnis sendiri, bahkan harapan hidup Fania pun hilang bersama waktu. Dia tak lagi berharap untuk sembuh. Sebaliknya, dia justru ingin sang pencipta segera menjemputnya agar penderitaannya segera berakhir. Meskipun demikian, tak pernah terlintas dibenaknya untuk menyalahkan sang ibu yang telah mewariskan penyakit itu padanya. Karena dia baru menyadari, betapa menderita ibunya saat itu. Namun begitu, ibunya selalu m
*** Setelah kedatangan enam dokter spesialis itu, secara rutin keluarga Mauren terus mengunjungi, bahkan mempertanyakan perkembangan kesehatan Fania. Mendapatkan perhatian seperti itu, tentu saja membuat Fania bahagia. Dia sama sekali tak menyangka akan selalu melihat keluarganya sendiri. Namun, Ridel tahu, sebetulnya keluarga Mauren lengkap berada di sana untuk memastikan kalau gadis itu hanya akan melewati usia dua puluh lima tahun. "Kondisi Fania sudah jauh lebih baik, bahkan dia siap untuk di operasi. Kami membutuhkan tanda tangan persetujuan operasi," jelas penanggung jawab tim spesialis dari negeri seberang. "Saya akan menandatangani berkas itu, dokter," jawab Arzenio penuh semangat. "Maaf, Tuan. Anda tak bisa menandatangani berkas persetujuan operasi," jawab dokter itu tersenyum. "Apa katamu? Aku ini kakeknya, kakek yang selama ini merawatnya! Kenapa aku tak bisa menandatanganinya?" protes Arzenio kesal. "Aku tahu ini tidak adil untuk Anda, tapi ini adalah perat
“Hapus video itu sekarang juga, Brengsek!” teriak Arzenio murka. Dia bahkan lupa sedang berada di dalam ruang perawatan Fania. “Maafkan aku, Kek. Aku hanya tidak ingin salah mengambil Keputusan. Lagipula aku bukannya tidak mau menandatangani berkas itu selamanya. Aku hanya butuh waktu untuk mempertimbangkannya, Kek. Itu saja. Aku harap kakek bisa memahaminya,” jelas Ridel tetap sabar. Dia tahu bagi Fania, kakeknya sangat berarti. “Jangan pernah bermimpi menjadi menantu keluarga Mauren yang sesungguhnya, Ridel! Orang miskin sepertimu, sama sekali tak pantas untuk menjadi pendamping putriku. Bagi kami, kau tak lebih dari sampah jalanan. Sampah yang kapan saja bisa kami buang, jika sudah tidak diperlukan lagi!” cetus Vicenzo emosi. “Apa kau sengaja memperlambat proses kesembuhan kakakku? Apa kau mau menjadi benalu bagi kehidupan kakak? Lebih baik buang mimpimu itu! Setelah kakak sembuh, kau harus kembali ke tempat asalmu,” ujar Nadia sepedas cabe. Ridel diam membisu, dia membiark
*** Sementara itu disebuah pabrik yang telah lama ditutup, tampak dua orang sedang bersitegang. Mereka beraduh pendapat. “Apa kau pikir penyakit langka itu sama seperti memecahkan soal matematika tersulit, ha? Hingga kau bisa dengan mudah menemukan jawabannya?Tidak, Ridel!” ketus Alex kesal ketika mendengar kecurigaan Ridel tentang penyakit Fania. “Aku tidak bohong, Brengsek! Sakit Fania itu pasti mudah disembuhkan, tapi karena satu dan lain hal sampai kondisinya terus memburuk!” ujar Ridel tak kalah kesal, karena sahabatnya sendiri tak mempercayainya. “Kalau memang kondisi istrimu, seperti yang kau katakan. Terus kenapa sampai sekarang dia masih terbaring di rumah sakit? Kalau dokter Albert, aku sama sekali tidak percaya. Tapi bagaimana dengan dokter yang dikirim dari negeri seberang? Bagi direktur rumah sakit FO mengkhianatimu, itu sama saja bunuh diri, Brengsek!” Ridel diam membisu, dia bingung harus mengatakan apa. Karena mengatakan yang sejujurnya itu mustahil. Apalagi ko
Setelah perjalan panjang dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Desa Santigi. Namun, Alex tak menduga usia tak menentukan sikap dewasa seseorang. Buktinya anak kecil yang berusia empat belas tahun itu sama sekali tak tertarik dengan tawaran Alex. Alex menatap anak itu dan bertanya, "Apa kau tahu sebanyak apa uang satu miliar?" "Aku tahu. Bukankah dengan uang itu bisa mengubah hidupku yang miskin, menjadi kaya raya dalam sekejap? Aku bisa membeli rumah. Tapi maaf, aku sama sekali tidak tertarik." "Kalau masih kurang, aku tambah jadi dua miliar. Bagaimana?" tawar Alex. "Apakah nyawa gadis itu senilai dua miliar? Benar-benar harga yang murah," cetus anak itu terlihat kesal. "Apa ini cara halus mu untuk menolak tawaranku, guna menyelamatkan gadis tak bersalah itu? Jika kau mau, Aku bisa memberikanmu lebih banyak uang. Bagaimana?" "Apa aku pernah mengatakan tidak mau menyelamatkan gadis itu? Bukankah aku hanya menolak tawaran uang itu?" jawab anak itu masih d
*** Seperti biasa keluarga Mauren berkumpul di ruangan Fania, hanya untuk melihat kondisinya, sekaligus membujuk agar Ridel mau menandatangani persetujuan operasi. "Berikan aku waktu seminggu untuk memutuskannya, Kek," jawab Ridel atas permintaan sang kakek. "Kenapa tidak sekarang saja? Bagaimana kalau dalam waktu seminggu, kondisi putriku justru memburuk? Bukankah kita akan kehilangan kesempatan?" desak Vicenzo. "Apa ayah mertua menyembunyikan sesuatu dari kami? Sepertinya ayah tahu persis bagaimana hasil akhir dari operasi istriku," ujar Ridel lembut, tapi mampu membuat Vicenzo gelagapan. "Kau!" Melihat perubahan ekspresi sang ayah, Nadia langsung saja menyela, "Jangan pernah kau memanggil ayah kepada ayahku! Meskipun kau menikah dengan kakakku, bukan berarti kami mau menerima orang miskin seperti mu!" Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, seorang anak terlihat berdiri didepan pintu sambil memperhatikan mereka satu demi satu. "Surprise, kakak bro," teriak anak itu ketika
"Kau jangan takut, meskipun tempatnya terlihat norak, tapi itu tidak akan membuat sampel itu membeku. Karena aku telah mencampurkannya dengan sesuatu," ujar Dirga ketika melihat Ridel diam mematung sambil menatap botol berisi muntahan darah pemberiannya. "Apa yang kau campurkan ke dalam muntahan darah istriku? Kenapa warnanya menjadi berubah aneh? Aku melihatnya dengan jelas, tadi Warnanya merah segar," tanya Ridel tak bisa menutupi rasa penasarannya. "Itu bukan urusanmu," jawab Dirga santai. "Apa yang menjadi urusan istriku, maka itu adalah urusanku, Brengsek!" cetus Dirga kesal bukan kepalang. Dirga melangkah mendekati Ridel yang terlihat kesal, kemudian berbisik pelan, "Bukankah aku di sini untuk memastikan istrimu sembuh? Selebihnya bukan urusanku, termasuk menjawab semua pertanyaan mu! Aku masih punya pekerjaan yang lebih penting, dari pada mengurus urusan yang tak ada hubungannya denganku." Tidak mau terpancing emosi, Ridel memilih menelepon Alex dan meminta bertemu di
*** "Ini hasil lab-nya, Ridel," ujar Alex sambil menyodorkan selembar kertas ke tangan Ridel. "Apakah ada yang tidak beres?" tanya Ridel ketika melihat perubahan di raut wajah Alex. "Sepertinya kau benar, istrimu tidak mempunyai penyakit yang mematikan. Hanya karena satu dan lain hal, sampai istrimu harus terbaring di ranjang rumah sakit dalam jangka waktu lama. Kini aku tahu penyebabnya," ujar Alex dengan tangan gemetar. "Maksud mu?" "Istrimu diracun." Mendengar dua kata itu, sontak saja membuat Ridel terkejut. Bagaimana Alex sampai tahu Fania diracun? Ya! Karena sebelumnya, Ridel telah menelepon pihak rumah sakit, meminta mereka menyegel hasil lab dengan baik. Itu artinya hasil lab itu bersifat rahasia. Jangan-jangan? Ridel menatap Alex tanpa senyuman dan bertanya dengan penuh tekanan, "Di mana kau memeriksakan sampel darah Fania, Alex?" "Itu bukan urusanmu!" "Di mana kau memeriksakan sampel darah Fania, Alex? Aku butuh jawaban!" suara Ridel meninggi. "Di lab ya
Ridel hanya mampu menatap kepergian sang dokter dengan hati yang hancur, dia sama sekali tidak menyangka kalau kebenaran yang ada justru sebaliknya. Namun, sedetik kemudian Ridel menggelengkan kepalanya. 'Tidak! Bisa saja ini semua permainan Fania untuk mengambil Ifel dariku! Kalau dia memang menginginkan anak-anaknya, kenapa dia harus membuang bayi laki-lakinya ke jalanan? Seandainya aku tidak berada di sana mungkin putraku tinggal kenangan!' Ridel langsung berdiri dan membetulkan posisinya semula. "Aku sama sekali tidak percaya dengan kata-kata dokter itu! Selidiki lebih lanjut kejadian sebelum dan sesudah Fania melahirkan!" perintah Ridel kepada anak buahnya. Ketika melihat anak buahnya justru gemetar, membuatnya merasa ada sesuatu yang penting. Sesuatu yang belum diberitahukan oleh anak buahnya. "Kenapa? Apa kalian sudah mendapatkan petunjuk?" tanya Ridel mengerutkan dahinya. "Ka-ka-kami menemukan ini!" jawab salah satu anak buah Ridel terbata-bata sambil memberikan cincin
***"Bagaimana? Apakah kau sudah menemukan sosok yang membantu persalinan wanita brengsek itu?" geram Ridel."Sudah, Bos.""Mana dia?" tanya Ridel."Bawa ke sini wanita itu!" perintah anak buahnya yang lain.Tak butuh waktu lama, seorang wanita diseret masuk secara paksa. "Ini adalah sosok yang membantu persalinan Fania, Bos."Ridel mendekati wanita itu, berjongkok, kemudian meraih dagu wanita itu dan bertanya dengan nada menekan, "Apa benar, kau yang membantu persalinan Fania?"."Siapa, Kau?" tanya sang dokter kebingungan."Jangan banyak tanya! Apa benar kau yang membantu persalinan Fania Mauren? Jawab saja, Brengsek!" teriak Ridel penuh amarah.Sang dokter semakin bingung, "Fania Mauren? Maksudnya?" Ridel tidak menjawab, dia justru mengambil ponsel dari saku jasnya kemudian memperlihatkan foto Fania kepada sang Dokter. "Apa kau pernah membantu persalinan wanita ini?"Sang dokter terdiam sejenak. Sampai akhirnya dia mengajukan pertanyaan, "Apa kau sosok yang membawa bayi kembar laki
Tanpa saran dari pengacara pun, Fania tahu persis tidak akan menang dalam pengadilan. Karena di sana sama sekali tidak ada CCTV atau orang yang bisa membuktikan, kalau Fania melepaskan putra kandungnya dalam pengawasan. Fania sadar pembelaan apapun yang nantinya akan diberikan, maka itu bukankah suatu ancaman bagi keluarga Liu. "Aku beri kamu pilihan! Serahkan hak asuh padaku secara sukarela atau aku bawa masalah ini ke pengadilan dan menjebloskanmu ke penjara! Satu lagi tanda tangani surat perceraian kita. Aku bersyukur karena menikahi mu, jadi anak kita tidak akan dikatakan anak haram!" teriak Ridel emosi. Mendengar pernyataan putra tunggalnya membuat Bernad Liu membelalakkan matanya, begitupun sang ibu. Mereka tidak pernah menyangka kalau putra semata wayangnya telah menikah secara diam-diam. "Jangan bercanda, Ridel? Kapan kalian menikah? Di mana kalian menikah? Apa sah atau tidak, ha? Jawab ayah!" teriak Bernad Liu emosi. Aura langsung menggenggam pergelangan tangan suaminy
Setelah keluar dari toilet, Fania baru menyadari kalau putri kecilnya tadi dititipkan kepada Ridel, bukannya pengasuh yang ditugaskan membantunya. Tidak mau rahasianya terbongkar, Dia segera berlari dan langsung mengambil Ifel dari tangan Ridel. Ridel yang terkejut langsung saja mengumpat kesal. "Apa begini caramu berterima kasih, ha? Kau yang menyerahkan bayi itu padaku, terus setelah itu kamu mengambil anak itu seperti barang?" ketus Ridel menatap tajam ke arah Fania. 'Sial! Kenapa aku justru menyerahkan putri kecilku kepada, Ridel? Dasar bodoh! Ini semua gara-gara perutku yang tidak bersahabat! Mudah-mudahan Ridel tidak memperhatikan kemiripan wajah Ifel dengan Putra kandungnya.' Fania tidak menjawab, tapi langsung menaiki mobil. Dia hanya melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Mobil yang ditumpangi Fania meluncur pelan menuju pusat kota. Begitu tiba di tempat tujuan, Fania langsung memasuki gedung di mana apartemen nya berada. Sementara itu di rumah sakit A piki
Ridel terdiam. Walau dia seorang laki-laki, tapi dia tahu betul ASI sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi. Melihat ada keraguan di wajah Ridel, membuat Fania berusaha membujuknya yang kini berstatus suami. Fania menulis. "Bagaimana, Bos? Apa Anda membutuhkan bantuan saya? Saya memberi tawaran ini karena mengingat jasa orangtua dan bos sendiri! Bukankah bos yang telah menyelamatkan aku dari Stiven?" Tulisan Fania jelas sekali ada ancaman, tapi disampaikan secara halus kepada Ridel. Dia tahu persis Ridel tidak mau mengambil resiko, kalau orang lain tahu statusnya yang sekarang bukan lagi lajang tapi sudah ada pemiliknya. Walaupun Fania tahu itu adalah keterpaksaan. Tapi bagi Fania ini adalah anugerah, karena itu merupakan satu-satunya cara agar Ridel setuju. "Ok! Tidak masalah! Bantuan Anda akan kami bayar dengan jumlah yang besar, tapi jangan pernah menyentuh ataupun hanya sekedar masuk ke ruangan rawat putraku! Mengerti?" ketus Ridel menatap tajam mata Fania. Bagi Fani
*** Fania menatap putrinya, airmata mengalir mengikuti setiap garis sayatan dan luka bakar yang tercetak sempurna di wajahnya. Alasan dia bertahan hanyalah demi anak yang dikandungnya, tapi ketika melahirkannya justru dia harus merelakan salah satu anaknya dibawa Ridel. Walaupun dia yakin kalau Ridel akan menjaga kembaran Ifel, tapi hati Fania sama sekali tidak rela. "Maafkan mama Ifel. Semua karena keteledoran mama, sampai-sampai kamu harus terpisah dengan kembaranmu sendiri!" bisik Fania sambil membetulkan posisi peampers yang dikenakan putrinya itu, putri yang diberi nama Ifel. Fania duduk melamun di sofa, tepat disamping buah hatinya. Lamunannya buyar ketika mendengar bunyi ketukan di pintu apartemen. "Astaga, aku lupa menelepon tukang servis untuk memperbaiki bell pintu yang rusak. Tunggu sebentar ya, Sayang!" ujar Fania pelan, mengecup lembut pipi putrinya sebelum melangkah menuju pintu. Tidak lupa Fania membawa notes dan bolpoin yang belum lama dibelinya. Fania
Bernad Liu menatap cucunya dari balik kaca transparan, cucu pertama yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Hati Lian Lee terasa hancur melihat kondisi cucunya yang tidak berdosa harus menanggung kesalahan orangtuanya. Kamu tidak bersalah. Kamu harus kuat. Walau kamu terlahir dari wanita jahat, wanita yang sama sekali tidak menginginkan mu, tapi ayahmu dan kami membutuhkanmu, jadi bertahanlah demi orang-orang yang mencintaimu! Kata-kata itu hanya bisa diungkapkan Bernad Liu di dalam hatinya. Kemarahan mereka kepada Fania sejenak hilang, ketika dokter spesialis anak dan peralatan medis terlengkap tiba di lokasi dengan selamat. Anak buah yang diturunkan mencari Fania langsung dipanggil menuju lokasi di mana rumah sakit A berada, untuk membantu pembersihan ruangan yang akan dijadikan tempat perawatan putra Ridel. Setelah ruangan selesai dibersihkan dan perlengkapan medis diatur sedemikian rupa agar mempermudah dokter. Maka putra Ridel segera dipindahkan dan ditangani oleh d
Jadi bayi yang aku selamatkan adalah putraku sendiri?' Kebahagiaan terpancar jelas dari binar matanya. Tapi sedetik kemudian matanya terlihat menakutkan. 'Fania! Kau benar-benar wanita tidak punya hati! Kamu tidak ada bedanya dari keluarga Mauren! Apa semua ini demi nama baik? Sampai ke ujung bumi pun aku akan mencari mu, kamu harus mempertanggungjawabkan kejadian malam ini! Di mana putraku hampir meninggal karena kecerobohan mu sendiri, Brengsek!' Ridel mengambil ponselnya dan bermaksud untuk menelepon. "Maaf, Pak. Anda boleh menelepon diluar ruangan! Jangan khawatir putra Anda baik-baik saja, hanya butuh perawatan di sini sedikit lama. Sekali lagi maaf kalau menyinggung Anda soal pengambilan DNA, tapi saya harap Anda mengerti maksud dan tujuan kami," ujar dokter tersenyum getir. Dokter menyembunyikan sesuatu yang penting, kalau sebenarnya putra Ridel masih berada dalam bahaya. Ridel menganggukkan kepalanya, kemudian melangkahkan kakinya menuju luar ruangan dengan lunglai
Fania tidak menjawab, hanya airmata yang mewakili setiap rasa dalam hatinya. Hati yang hancur ketika melihat putranya dibawa pergi oleh pria dengan mobil hitam. Melihat kondisi Fania, membuat dokter tidak sampai hati menyudutkan wanita itu. "Kamu harus kuat. Kamu masih punya tanggung jawab! Apa kamu tidak melihat putrimu yang terbaring, menunggu belaian kasih sayang darimu?" ujar dokter lembut. Fania masih pada posisinya semula, tanpa mengeluarkan satu kata pun. Dia seperti kehilangan arah. Hidupnya terasa hancur ketika kehilangan putranya. Walaupun yang membawa putranya adalah Ridel yang notabene adalah ayah kandung dari bayi itu, tapi Fania sama sekali tidak rela. "Apakah Anda bisa mendengarku?" tanya dokter, tangannya melambai didepan wajah Fania. Namun tidak ada respon apapun dari Fania, Fania sibuk dengan pikirannya sendiri. Plakkk !!! Dokter terpaksa menampar Fania dengan keras dan menggoyangkan pundak gadis itu. "Sadar! Anakmu bukan hanya satu! Di sini ada putri