Share

Ibu Susu untuk Sang Pewaris
Ibu Susu untuk Sang Pewaris
Penulis: Devie Putri

1. Bertemu Kembali

Penulis: Devie Putri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-27 13:59:50

"Setelah dilakukan pemeriksaan, bayi ibu mengalami kesulitan bernafas karena penyakit jantung bocor bawaan yang dideritanya sejak lahir. Saya sarankan agar anak ibu segera dioperasi." Ucapan dokter itu membuat Nawang hanya bisa meneguk ludah sendiri. Satu yang membuat kepalanya hampir pecah. Darimana dia bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi? 

"Kira-kira berapa biaya operasinya, Dok?" tanya Nawang dengan sudut mata yang mulai basah. 

"Mungkin sekitar dua ratus sampai lima ratus juta. Untuk rinciannya, ibu bisa tanya ke bagian resepsionis," jelas dokter itu lagi. Sedangkan Nawang hanya bisa menghela nafas panjang. 

"Maaf, Bu, apa ibu punya BPJS?" Dokter tersebut mencoba memberikan solusi.

Nawang menggeleng pelan, "Nggak punya, Dok."

"Wah ... sayang sekali, Bu. Padahal jika ibu punya, itu bisa sedikit meringankan biaya operasi. Setidaknya mungkin bisa diusahakan untuk dicover separuhnya. Suami ibu kemana? Mungkin bisa dibicarakan dengan suami lagi soal saran saya ini."

Nawang merasa kedua pipinya mulai basah, "Suami saya sudah meninggal karena kecelekaan, Dok."

Satu bulan yang lalu dia baru saja berduka. Suami yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal akibat kecelakaan tragis saat bekerja. Dia bekerja sebagai seorang ojek online. Entah karena mengantuk atau kelelahan, motor yang dia kendarai masuk ke kolong kontainer. Separuh badan lelaki itu pun hancur. Nawang bahkan langsung jatuh pingsan setelah mendatangi tempat kejadian. 

Padahal mereka baru saja dikaruniai seorang anak. Bahkan anak mereka baru saja genap berusia satu bulan. Belum puas menimang anaknya, naas, lelaki itu harus meregang nyawa di tengah mengupayakan nafkah untuk keluarganya. 

"Oh ... maaf, Bu. Saya tidak tahu." Raut wajah sang dokter berubah dipenuhi rasa bersalah. 

"Nggak apa-apa, Dok. Kalau begitu saya permisi keluar dulu. Saya akan usahakan dapat uang secepatnya agar anak saya bisa cepat ditangani."

Nawang duduk lemas di lantai rumah sakit setelah keluar dari ruangan dokter. Sembari menatap handphone yang layarnya sudah retak di beberapa bagian, otaknya berpikir keras. Jangankan untuk biaya operasi yang jumlahnya ratusan juta, untuk membeli handphone baru yang sederhana saja dia tidak mampu. Handphone keluaran lama dalam genggamannya itu akan dia pertahankan selama masih bisa berfungsi. 

"Aku harus nyari uang dimana untuk biaya operasi anakku?" Nawang mengulang kalimat itu di dalam kepala. Lambat laun, kepalanya semakin terasa berat. 

Sejak pagi, perutnya belum terisi makanan. Lalu bunyi keroncongan pun terdengar. Nawang hanya bisa mengusap perutnya pelan. Dia merogoh saku. Hanya tersisa uang dua ribu rupiah saja di dalamnya. 

"Bahkan nasi bungkus pun harganya masih lima ribu. Dua ribu cuma dapat apa?" Nawang menyapu wajahnya dengan telapak tangan yang kosong. Lagi-lagi dia harus menahan lapar. 

Saat Nawang tengah dalam keputus-asaan, dua orang perawat melewatinya. Mereka berjalan sambil berbicara pelan. Namun telinga Nawang berhasil mendengar obrolan mereka. 

"Eh ... kamu tahu nggak kalau istri direktur rumah sakit baru saja meninggal?" ucap perawat bertubuh gembul sambil sibuk mengunyah kue basah di mulutnya. 

"Tahu sih. Terus gimana dengan anaknya ya? Perasaan dia baru saja melahirkan anak prematur," sambung perempuan bertubuh tinggi langsing di sampingnya. 

"Nah ... itu yang lagi heboh. Masak kamu nggak denger kabar sama sekali?"

"Apaan? Kepo nih!"

"Si pak direktur lagi buka lowongan buat jadi ibu susu anaknya. Bayi prematur kan butuh ASI. Gimana? Kamu tertarik?" ucapnya sembari mengangkat sebelah alisnya. 

"Gila kamu! Aku nikah aja belum gimana mau jadi ibu susu. Ngerasain hamil aja belum pernah."

Seketika Nawang bangkit berdiri. Dia merasa mendapatkan jalan keluar dari masalahnya. Lekas dia berlari mengejar dua perawat itu. Kebetulan mereka berjalan belum terlalu jauh. 

"Mbak ... mbak perawat ... tunggu!" Nawang mencoba memanggil dua perawat tersebut. 

Merasa ada yang memanggil, mereka pun menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. 

"Ibu manggil kita?" tanya perawat gendut tersebut. 

"Iya. Maaf saya mau bertanya sama kalian. Tadi saya dengar ada yang lagi nyari ibu susu. Boleh saya minta kontaknya?" tanya Nawang dengan tatapan penuh harapan. Lalu anggukan dua perawat tersebut terasa bagai oase yang menyejukkan baginya. 

***

Mata Nawang menatap takjub bangunan rumah mewah bernuansa putih di hadapannya. Rumah dua lantai itu berdiri megah, berada di tengah kawasan elit orang-orang berduit. Nawang mendekatkan diri ke depan pagar. Dari luar dia bisa melihat halaman depan yang begitu luas. Beberapa karangan bunga berisi ucapan bela sungkawa atas kepergian sang istri masih tertata rapi. 

"Maaf, Mbak, nyari siapa?" tanya seorang security setelah membukakan pagar. 

"Saya dengar disini lagi buka lowongan, Pak. Tuan rumah butuh ibu susu untuk anaknya. Apa lowongannya masih ada? Saya mau melamarnya."

Security itu menatap Nawang dari atas ke bawah. Dia agak heran melihat perempuan polos tersebut. Tak ada make up yang menyapu wajahnya. Bahkan baju yang dia kenakan pun terlihat kusut dengan beberapa bagian yang dijahit seadannya demi menutup bagian yang sobek. 

Dia datang hanya mengenakan sendal jepit yang permukannya sudah menipis. Tertusuk duri kecil saja pasti akan langsung melukai kakinya. Keadaannya memprihatinkan. Tapi dia tak pernah mempedulikan diri sendiri. Yang ada di pikiran dia saat ini adalah bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat. 

"Masih, Mbak. Mari saya antar bertemu tuan rumah."

Nawang segera berjalan mengekor security tersebut dengan langkah hati-hati. Sedangkan matanya tidak berhenti memperhatikan sekeliling. 

Keduanya sampai di depan pintu. Security tersebut menyuruh Nawang menunggu sebentar sementara security itu memanggil majikannya. Tak lama kemudian seorang pria tampan keluar dari dalam rumah. 

Seketika kaki Nawang serasa membeku. Lidahnya terasa kelu. Dia sampai tak bisa berkata-kata. Begitu juga dengan pria tersebut. Tak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan perempuan itu dalam situasi seperti ini. 

"Nawang!"

"Marsel!"

Keduanya saling menyebut nama lawan bicaranya. Sedangkan security itu hanya terpaku dengan mulut melongo. 

"Lho, bapak kenal dengan perempuan ini?" dia tampak tak percaya. 

Bukan hanya sekedar saling kenal. Nawang adalah perempuan yang dulu pernah menolak lamaran Marsel. Merasa pernah dipatahkan hatinya, rasanya enggan sekali Marsel melihat kembali wajah itu. Dulu Nawang adalah pujaan hatinya. Tapi sekarang dia tak lebih dari sekedar pemberi luka. 

"Aku ingin melamar pekerjaan menjadi ibu susu untuk anakmu," Nawang akhirnya mengatakan tujuannya. 

Marsel semakin bimbang. Haruskah dia menerima Nawang sebagai ibu susu untuk anaknya? Sedangkan luka lama yang ditorehkan oleh Nawang masih terasa menyakitkan sampai sekarang. 

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   2. Tawaran Pekerjaan

    "Maaf, lowongannya sudah terisi," jawab Marsel sambil bersikap dingin. Tak ada senyum manis yang dia berikan tiap bertemu dengan Nawang seperti dulu. "Ta ... tapi ... kata pak security lowongannya masih ada." Nawang masih mengeyel. Dia tak yakin dengan ucapan Marsel. Nawang tahu, Marsel pasti masih menyimpan sakit hati kepadanya."Memangnya dia tahu apa? Aku ayah dari bayi itu." Marsel bersikukuh menolak Nawang. Dia menatap Nawang dengan tajam sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Lebih baik kamu tinggalkan rumahku sekarang! Aku mau ke rumah sakit jenguk anakku," usir Marsel. Nawang pun menyerah. Dia tak ingin berdebat dengan Marsel. Kalau benar lowongan sudah terisi, berarti memang bukan rejeki dia. Nawang berjalan dengan lesu meninggalkan rumah Marsel. Pak security mengantarkannya sampai ke depan pagar. "Maaf ya, Mbak. Saya nggak tahu kalau ternyata lowongannya sudah terisi."Nawang hanya mengangguk, "Nggak apa-apa kok, Pak. Kalau gitu saya permisi dulu."Nawang lanjut ber

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   3. Bukan Pertolongan yang Tepat

    Nawang tak langsung menjawab tawaran tersebut. Dia sibuk berpikir pekerjaan apa yang bisa mendapatkan uang semudah itu? "Kenapa? Kok diam? Em ... gini aja, mendingan kamu ikut aku sekarang. Aku tunjukin ke kamu kerjanya gimana aja. Yuk!" Tanpa banyak basa-basi lagi, perempuan itu langsung menggandeng tangan Nawang dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Nawang tak bisa menolak. Dia hanya diam dan menurut. Jujur dia bingung. Di satu sisi, dia butuh uang secepatnya. Namun di sisi lain dia merasakan firasat yang buruk. Bisa jadi dia diarahkan pada suatu pekerjaan yang tidak halal. Mobil melaju kencang dengan tujuan yang Nawang sendiri tak bisa menebaknya. "Kalau boleh tahu anakmu sakit apa?" tanya perempuan yang duduk di sampingnya itu. "Jantung bocor, Mbak," jawab Nawang lalu kembali menundukkan kepala. "Wah ... butuh biaya banyak banget itu. Anaknya salah satu anak buahku ada yang pernah sakit jantung bocor juga. Biaya operasinya bisa sampai ratusan juta.""Berapa pun akan aku usah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   4. Kebohongan Marsel

    Nawang segera berlari menuju ruangan dokter tanpa menghiraukan lagi rasa perih di kakinya. Bahkan luka yang sudah setengah kering itu kembali meneteskan darah. "Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?" Nawang duduk dengan nafas terengah-engah. Dokter yang menangani keadaan putrinya sampai iba melihatnya. Terlihat sekali perempuan itu sudah berjuang habis-habisan. "Keadaan anak ibu semakin kritis. Operasi harus segera dilakukan. Atau kalau tidak ...""Kalau tidak kenapa, Dok?" "Dia tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi," ucap dokter itu dengan lemas. Sebenarnya dia tidak tega menyampaikannya. Namun mau tidak mau, perempuan itu harus tahu bagaimana keadaan anaknya. "Tapi saya belum dapat uangnya, Dok," ucap Nawang dengan dada menahan sesak. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu. "Maaf, Bu, saya hanya sekedar menyampaikan saja."Dengan lesu, Nawang duduk di lantai depan ruang PICU. Air mata mulai menganak sungai di kedua pipinya. Nawang merasa semua jalan telah buntu. Dia tak ta

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   5. Kesempatan Kedua

    "Perbanyak lagi usaha mencari ibu susu untuk anakku! Harus dapat hari ini juga!" Perintah Marsel pada dua anak buahnya. "Tapi, Pak, kita sudah berusaha semaksimal mungkin," jawab salah satu anak buahnya sembari menunduk takut. "Tinggikan lagi imbalannya. Masak masih nggak ada yang mau?" Marsel menghembuskan nafas kesal. Pikirannya mulai buntu. "Mau ditinggikan berapa lagi, Pak?""Berapa saja akan saya bayar," tegas Marsel sekali lagi. "Sebar pengumuman lebih banyak lagi di media. Datangi stasiun televisi dan radio-radio. Pokoknya bagaimana pun caranya hari ini anak saya harus cepat dapat ASI."Marsel mulai gundah. Rasa khawatir pada anaknya menekan pikirannya dengan kuat. Sebenarnya ada setitik rasa sesal kenapa waktu itu dia menolak Nawang. Sekarang dia mulai kebingungan sendiri karena tak kunjung mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Kadang rasa gengsi memang bisa menyesatkan diri sendiri. Dua laki-laki itu pergi dari hadapan Marsel untuk segera melaksanakan perintah. Sambil berj

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   6. Surat Perjanjian Kerja

    Nawang menatap mata itu dengan perasaan campur aduk. Dia lalu mengangguk, menerima tawaran pekerjaan sebagai ibu susu untuk anaknya Marsel."Iya. Aku mau."Dua orang pria, anak buah Marsel baru saja datang. Mereka membawa surat perjanjian yang harus Nawang tanda tangani. "Kalau gitu, tanda tangan disini!" Marsel meletakkan surat perjanjian tersebut ke atas meja. Nawang mulai membuka map berisi lembaran kertas yang menjelaskan perjanjian yang harus dia patuhi. "Baca semuanya! Jangan sampai ada yang terlewat. Aku nggak mau suatu hari nanti kamu protes. Pahami betul-betul apa isi dari semua perjanjian itu!" perintah Marsel lagi. Nawang menghela nafas sejenak. Sebenarnya dia sebal dengan sikap sombong dan angkuhnya Marsel, tapi dia tidak punya pilihan. Hanya dengan mengambil pekerjaan tersebut, anaknya bisa menjalani operasi. Mata Nawang mulai fokus menatap lembar demi lembar di hadapannya. Dibacanya satu per satu perjanjian yang Marsel buat. Diantaranya adalah semua gaji Nawang akan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   7. Pantang Membatalkan Kontrak

    "Operasinya gagal, Dok?" Tangis Nawang hampir saja pecah. Tapi dia masih berharap bahwa dokter menyampaikan informasi yang keliru. "Dokter nggak salah bicara kan? Dokter nggak lagi bercanda kan?" tanya Nawang dengan tubuh gemetar. Dia tidak bisa langsung menerima kenyataan bahwa harapannya ternyata kandas. Padahal dia terlalu menumpukan hadapan terlalu tinggi pada operasi tersebut. "Iya, Bu. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya dan teman-teman tenaga medis yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain."Nawang menggigit bibir kuat-kuat. Seketika kaki Nawang terasa lunglai. Seolah semua tenaga telah tersedot habis oleh duka. Dia mulai kehilangan keseimbangan. Pandangan matanya mulai menggelap, lalu kemudian dia ambruk ke atas lantai. Nawang kehilangan kesadarannya. Beberapa tenaga medis langsung memberikan pertolongan pada Nawang. Satu dua orang bahkan ikut menangis. Membayangkan betapa pedihnya berada di posisi Nawang. Apalagi sebagian be

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-05
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   8. Hidup Berkecukupan

    Nawang tertegun sejenak. Dia tidak bermaksud kabur atau ingkar pada perjanjian tersebut. Tapi dia ingin mengundurkan diri dengan cara baik-baik. Tapi kembali lagi, Nawang berpikir panjang. Benar kata Marsel, dia telah menggelontorkan banyak uang untuk membantu dirinya. Maka tidak mungkin dia membatalkan pekerjaan tersebut. "Kok diam saja? Ayo jalan! Ikuti aku ke mobil!" perintah Marsel sekali lagi. Nawang hanya bisa meng-iya-kan semua ucapan Marsel. Karena kini Marsel adalah bos-nya. Nawang berjalan mengekor di belakang Marsel sambil menundukkan kepala. Seorang anak buah Marsel lalu membukakan pintu mobil agar Nawang bisa masuk. Dinginnya AC mobil langsung menyambut Nawang. Dia sampai merapatkan kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Nawang tidak pernah merasakan naik mobil semewah itu. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya sopir pribadi Marsel yang telah siap di belakang kemudi. "Kita ke mall dulu. Beliin baju buat dia. Lihatlah! Bajunya sudah nggak layak pakai seperti itu," jawa

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-06
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   9. Cinta Tulus dari Sang Ibu Susu

    Nawang hanya mengangguk. Dia juga bukan orang bodoh yang akan membeberkan rahasia siapa mereka di masa lalu. Karena bagi Nawang, kisah itu sudah dia kubur dalam-dalam. Untuk apa lagi harus membuka kisah lama. Yang ada nanti dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Karena pasti orang-orang akan berpikir jika Nawang masih mengharapkan cintanya Marsel. "Tenang saja. Tanpa kamu beri tahu pun, aku nggak akan melakukannya," ucap Nawang sambil menatap lurus wajah Marsel. Dulu memandang wajah itu selalu bisa membuatnya merasa tenang. Tapi sekarang, Nawang ingin sekali meminimalkan berinteraksi dengan Marsel karena tak tahan dengan sikap angkuhnya. "Cepat makan! Habis makan kamu susui Axelle di kamarnya!" perintah Marsel. "Jadi namanya Axelle?" tanya Nawang dengan mata membola. Dia kaget mendengar nama bayi itu. Marsel diam sejenak sebelum akhirnya memberikan sebuah anggukan. Dia lalu memakan makanan di hadapannya tanpa suara. Sedangkan Nawang mengulas secuil kisah manis dalam ingata

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-07

Bab terbaru

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   36. Cinta Itu Datang Lagi

    Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   35. Amarah yang Gagal Meledak

    Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   34. Maria, Si Mata-Mata

    Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   33. Kecurigaan Teman-Teman Intan

    Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   32. Kepergok Lagi

    "Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   31. Kejutan Untuk Ibunya Marsel

    "Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   30. Dua Perempuan yang Menyimpan Duka

    Nawang membawa Axelle melangkah masuk. Bu Sri menuntun Nawang ke sebuah ruangan kecil di salah satu sudut warung. Terpisah dengan ruang depan di mana pengunjung makan. Mata Nawang langsung membola. Ruang kecil itu penuh dengan mainan dan kasur kecil yang pas untuk tubuh Axelle. Tak lupa Bu Sri juga menyiapkan kipas angin agar Axelle tidak kegerahan berada di dalamnya. "Ibu nyiapin ini semua buat Axelle?" tanya Nawang dengan tatapan heran. "Tentu saja. Buat siapa lagi memangnya?" jawab Bu Sri masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Bu, sambutan ini terlalu berlebihan. Saya kan hanya pembantu ibu di sini," ucap Nawang dengan mata mulai berkaca-kaca. "Nggak ada yang namanya pembantu di sini. Memangnya ini restoran mewah apa? Sengaja ibu buatkan ruangan ini agar Axelle nyaman dan tidak rewel kalau kamu tinggal kerja," ujarnya dengan sorot mata penuh binar. "Ya Allah, Bu. Ibu baik sekali dengan saya. Bagaimana caranya saya membalas semua ini?" Nawang hampir mencebik. Dia t

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   29. Angin Segar

    "Sebenarnya mau kamu apa sih, Na? Kalau kamu mati kelaparan di sini nanti aku juga yang repot. Nyiapin acara tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari ...""Eh ... eh ... ngomong apa itu? Kamu doain aku cepat mati? Dengerin ya, Sel, aku nggak akan mati semudah itu," sambar Nawang. Dia memasang wajah sebal. "Habisnya kamu ngeselin. Selalu bikin aku naik darah.""Kamu dan ibumu juga begitu," gumam Nawang dalam hati "Bahkan berlipat-lipat ngeselinnya. Andai saja aku nggak sayang dengan Axelle, sudah angkat kaki aku dari rumah ini."Namun jangankan semua kalimat itu bisa meluncur bebas dari bibirnya, Nawang malah memilih untuk meredamnya. Nawang mengerti, Marsel begini karena tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi. Dan Nawang memilih diam karena dia tidak mau mengadu domba keduanya. Dia tidak mau melihat hubungan ibu dan anak menjadi hancur."Terus ngapain kamu makan nasi bungkus? Mana ada gizinya? Padahal tadi aku sudah belikan kamu kerang laut. Ke mana makanan yang aku belika

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   28. Hampir Ketahuan

    "Di rumah itu ada pintu belakang yang jarang dibuka. Tapi sebenarnya kamu bisa cepat sampai di sini jika lewat pintu itu. Tanpa ketahuan sama satpam di depan," jelas Bu Sri dengan raut wajah serius. "Oya? Kok ibu bisa tahu?""Dulu pembantu yang bekerja di situ sering memesan makanan di warung ibu. Ibu nganternya lewat pintu belakang. Apa sih bahasa kerennya sekarang? COD ya?" tanya Bu Sri sambil garuk-garuk kepala. Nawang terkekeh kecil. "Iya, Bu. Benar. Nanti akan aku coba cari di mana letak pintu itu.""Kalau sekarang paling udah jarang dibuka, Nak. Paling juga sudah banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Pokoknya pintunya itu di dekat kolam renang."Nawang mengangguk mengerti. Dia mengucapkan terima kasih pada Bu Sri karena sudah banyak membantu. Karena hari sudah semakin sore, Nawang pamit pulang. Takut keduluan oleh Marsel. Bu Sri pun tidak membiarkan Nawang pulang dengan tangan kosong. Dia memberikan sebungkus nasi dengan lauk bali telur dan orek tempe untuk Nawang. "Terima kasih b

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status