Share

5. Kesempatan Kedua

Author: Devie Putri
last update Last Updated: 2025-01-27 14:19:47

"Perbanyak lagi usaha mencari ibu susu untuk anakku! Harus dapat hari ini juga!" Perintah Marsel pada dua anak buahnya. 

"Tapi, Pak, kita sudah berusaha semaksimal mungkin," jawab salah satu anak buahnya sembari menunduk takut. 

"Tinggikan lagi imbalannya. Masak masih nggak ada yang mau?" Marsel menghembuskan nafas kesal. Pikirannya mulai buntu. 

"Mau ditinggikan berapa lagi, Pak?"

"Berapa saja akan saya bayar," tegas Marsel sekali lagi. 

"Sebar pengumuman lebih banyak lagi di media. Datangi stasiun televisi dan radio-radio. Pokoknya bagaimana pun caranya hari ini anak saya harus cepat dapat ASI."

Marsel mulai gundah. Rasa khawatir pada anaknya menekan pikirannya dengan kuat. Sebenarnya ada setitik rasa sesal kenapa waktu itu dia menolak Nawang. Sekarang dia mulai kebingungan sendiri karena tak kunjung mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Kadang rasa gengsi memang bisa menyesatkan diri sendiri. 

Dua laki-laki itu pergi dari hadapan Marsel untuk segera melaksanakan perintah. Sambil berjalan keluar rumah, mereka saling mendumel. 

"Enak ya jadi orang kaya. Butuh apa-apa tinggal merintah saja. Emangnya gampang apa nyari ibu susu buat anaknya?" ucap laki-laki bertubuh jangkung yang berjalan di sebelah kiri. 

"Dulu Pak Marsel nggak kayak gitu kok. Aku udah lama kerja sama dia. Mungkin sekarang emang pikirannya lagi sumpek saja. Maklum lah. Pertama kali punya anak, langsung keturutan dapat anak laki-laki, eh ... istrinya meninggal. Siapa yang nggak bingung coba?" sambung laki-laki satunya. 

"Tapi kemarin aku dengar dari pak satpam, sudah ada perempuan yang kesini buat melamar jadi ibu susu."

"Ah ... yang benar? Terus mana dia?"

"Nggak tahu. Coba deh tanya sama pak satpam?" 

Kedua laki-laki itu berhenti tepat di depan pos satpam. Melihat dua anak buah bos-nya celingukan, pak satpam langsung keluar dari ruangan kecil tempatnya bekerja itu. 

"Ada apa kalian celingukan?"

"Eh ... Pak, kita mau tanya. Apa benar kemarin sudah ada perempuan yang melamar jadi ibu susu kesini?" tanyanya langsung menjurus. 

"Iya benar. Tapi kan sudah dapat kata Pak Marsel."

Dua laki-laki itu tampak bingung. Mereka saling tatap dengan alis mengkerut.

"Dapat apanya? Ini kita disuruh nyari. Hari ini harus dapat. Terus kita harus nyari kemana?"

"Lah ... saya nggak tahu. Orang Pak Marsel bilang sendiri di depan mata saya kalau dia katanya sudah dapat ibu susu. Sumpah." Pak satpam mengangkat dua jarinya ke udara. 

"Emang aneh itu bos kita. Pas ada yang datang ngelamar, ditolak. Terus sekarang kita disuruh nyari lagi. Emang nyari ibu susu spek yang gimana sih?" gerutunya. 

"Yang kayak Ariel Tatum kali," canda teman di sampingnya. Mereka bertiga saling menggeleng-gelengkan kepala. 

Dua orang suruhannya pergi mengelilingi stasiun televisi dan radio di kota, membawa pengumuman lowongan untuk menjadi ibu susu tersebut. Mereka juga menambahkan, untuk masalah imbalan bisa dibicarakan jika sang pelamar meminta imbalan dalam jumlah tinggi. 

Sementara itu, Marsel mengendari mobil menuju rumah sakit dengan konsentrasi terpecah. Bagaimana kalau dia telat mendapat ibu susu? Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan anaknya?

Marsel memukul-mukul setir dengan tangan kosong. Dia mendadak merasa seperti orang bodoh. Kenapa dia tidak berpikir panjang sewaktu menolak Nawang? Kenapa dia termakan gengsi dan tidak memprioritaskan kepentingan anaknya? Satu per satu sesal datang menghujani pikiran Marsel. 

"Haruskah darah orang yang sudah menyakitiku mengalir di dalam tubuh anakku?" Pikiran Marsel terus berperang. 

Mobil berbelok ke area rumah sakit. Marsel segera berjalan masuk setelah memarkirkan mobil di barisan parkir dokter. Dia berjalan tergesa-gesa menuju ruangan dimana anaknya dirawat. Namun langkahnya terhenti saat melihat Nawang sedang tertidur dengan raut wajah lelah. Beralaskan tikar seadanya tanpa bantal dan selimut. Nawang tidur meringkuk sambil menahan dinginnya lantai rumah sakit. 

Marsel berjalan pelan agar suara langkah kakinya tidak mengganggu istirahat Nawang. Tapi hatinya pelan-pelan mulai terketuk. Dia memanggil perawat yang sedang bertugas di dalam ruang NICU untuk bertanya beberapa hal. 

"Sus, anaknya ibu itu sakit apa ya?" Marsel akhirnya membulatkan tekat untuk bertanya hal tersebut. Sebelumnya memang dia abai, tak peduli dengan apa yang Nawang alami. Tapi lama kelamaan, hati nuraninya mulai berbicara agar dia mau menolong Nawang. 

"Jantung bocor, Dok. Sebenarnya dokter sudah menyuruh operasi. Tapi orang tuanya belum punya uang. Kenapa memangnya, Pak?"

Marsel meneguk ludah. Dia menoleh dan menatap wajah Nawang sekali lagi. Wajah itu tampak begitu lelah. Pakaian yang dia kenakan juga masih sama seperti hari-hari lalu. Jilbabnya lusuh. Mungkin dia tak terpikir lagi untuk mengganti pakaian. Semua pikirannya sudah habis untuk memikirkan kesembuhan anaknya. 

"Jadi itu alasan dia melamar sebagai ibu susu anakku?" pikir Marsel dalam hati. Ingin sekali dia mendekati Nawang. Namun dia tak ingin mengganggu tidurnya. Sepertinya dia tertidur juga karena sudah benar-benar lelah. 

Marsel berjalan pergi meninggalkan ruang PICU NICU. Dia menuju ruang kerjanya lalu menelepon anak buahnya. Menanyakan perkembangan dari usaha mereka. Apakah sudah membuahkan hasil atau belum? 

"Hallo, Pak! Ada apa?" tanya Rendy, salah satu anak buah Marsel. 

"Posisimu sekarang dimana?" 

"Saya lagi di radio Gema Suara, Pak."

"Gimana? Apa sudah ada perkembangan?"

"Maaf, Pak. Belum ada. Bahkan kontak saya sudah saya sebar. Barangkali ada yang mau bisa langsung menghubungi saya."

Marsel menarik nafas dalam. Lalu menghembuskannya dengan kasar. Dia harus cepat mendapatkan ibu susu untuk anaknya hari ini. Dan pilihan satu-satunya hanya Nawang. 

Setelah menimang beberapa kali, akhirnya dia mengambil keputusan final. Dia akan pergi menemui Nawang untuk menerimanya sebagai ibu susu. 

"Hentikan pencarian! Saya sudah mendapatkan ibu susu tersebut," perintah Marsel sekali lagi pada Rendy. 

"Ha? Bapak serius? Nemu dimana, Pak?" Rendy penasaran. 

"Sudah. Jangan banyak tanya! Lebih baik sekarang kamu cepat ke rumah sakit. Bawa surat perjanjian kontrak yang akan dia tanda tangani. Jangan lupa kasih materai!"

"Baik, Pak. Siap. Laksanakan!"

Setelah mematikan telepon, dia segera meminta salah satu perawat untuk memberitahu Nawang agar menemui Marsel di ruangannya. Keduanya sedang dalam keadaan terhimpit. Mungkin ini saatnya keduanya saling membantu. 

Lima menit kemudian, Nawang mengetuk pintu ruangan Marsel. Marsel pun menyuruhnya untuk masuk. 

"Ba ... bapak manggil saya?" tanya Nawang tergagap. Dia masih tidak menyangka, Marsel tiba-tiba memanggilnya. 

"Iya. Duduklah! Ada yang mau saya bicarakan."

Nawang duduk dengan hati-hati. Badannya mulai panas dingin. Bahkan dia mengeratkan kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri. 

"Saya kemarin tanya ke perawat tentang penyakit anakmu. Kata dokter, dia harus segera dioperasi. Benar begitu?" tanya Marsel sedikit berbasa-basi. 

Nawang mengangguk, "Iya, Pak. Tapi saya nggak punya uang buat bayar biaya operasinya."

Marsel mengangguk. Dan tanpa dijelaskan pun, Marsel paham mengapa Nawang melakukannya. 

Marsel menatap lurus kedua mata Nawang. "Jadi sekarang apa kamu masih mau menjadi ibu susu untuk anakku?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   6. Surat Perjanjian Kerja

    Nawang menatap mata itu dengan perasaan campur aduk. Dia lalu mengangguk, menerima tawaran pekerjaan sebagai ibu susu untuk anaknya Marsel."Iya. Aku mau."Dua orang pria, anak buah Marsel baru saja datang. Mereka membawa surat perjanjian yang harus Nawang tanda tangani. "Kalau gitu, tanda tangan disini!" Marsel meletakkan surat perjanjian tersebut ke atas meja. Nawang mulai membuka map berisi lembaran kertas yang menjelaskan perjanjian yang harus dia patuhi. "Baca semuanya! Jangan sampai ada yang terlewat. Aku nggak mau suatu hari nanti kamu protes. Pahami betul-betul apa isi dari semua perjanjian itu!" perintah Marsel lagi. Nawang menghela nafas sejenak. Sebenarnya dia sebal dengan sikap sombong dan angkuhnya Marsel, tapi dia tidak punya pilihan. Hanya dengan mengambil pekerjaan tersebut, anaknya bisa menjalani operasi. Mata Nawang mulai fokus menatap lembar demi lembar di hadapannya. Dibacanya satu per satu perjanjian yang Marsel buat. Diantaranya adalah semua gaji Nawang akan

    Last Updated : 2025-03-04
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   7. Pantang Membatalkan Kontrak

    "Operasinya gagal, Dok?" Tangis Nawang hampir saja pecah. Tapi dia masih berharap bahwa dokter menyampaikan informasi yang keliru. "Dokter nggak salah bicara kan? Dokter nggak lagi bercanda kan?" tanya Nawang dengan tubuh gemetar. Dia tidak bisa langsung menerima kenyataan bahwa harapannya ternyata kandas. Padahal dia terlalu menumpukan hadapan terlalu tinggi pada operasi tersebut. "Iya, Bu. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya dan teman-teman tenaga medis yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain."Nawang menggigit bibir kuat-kuat. Seketika kaki Nawang terasa lunglai. Seolah semua tenaga telah tersedot habis oleh duka. Dia mulai kehilangan keseimbangan. Pandangan matanya mulai menggelap, lalu kemudian dia ambruk ke atas lantai. Nawang kehilangan kesadarannya. Beberapa tenaga medis langsung memberikan pertolongan pada Nawang. Satu dua orang bahkan ikut menangis. Membayangkan betapa pedihnya berada di posisi Nawang. Apalagi sebagian be

    Last Updated : 2025-03-05
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   8. Hidup Berkecukupan

    Nawang tertegun sejenak. Dia tidak bermaksud kabur atau ingkar pada perjanjian tersebut. Tapi dia ingin mengundurkan diri dengan cara baik-baik. Tapi kembali lagi, Nawang berpikir panjang. Benar kata Marsel, dia telah menggelontorkan banyak uang untuk membantu dirinya. Maka tidak mungkin dia membatalkan pekerjaan tersebut. "Kok diam saja? Ayo jalan! Ikuti aku ke mobil!" perintah Marsel sekali lagi. Nawang hanya bisa meng-iya-kan semua ucapan Marsel. Karena kini Marsel adalah bos-nya. Nawang berjalan mengekor di belakang Marsel sambil menundukkan kepala. Seorang anak buah Marsel lalu membukakan pintu mobil agar Nawang bisa masuk. Dinginnya AC mobil langsung menyambut Nawang. Dia sampai merapatkan kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Nawang tidak pernah merasakan naik mobil semewah itu. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya sopir pribadi Marsel yang telah siap di belakang kemudi. "Kita ke mall dulu. Beliin baju buat dia. Lihatlah! Bajunya sudah nggak layak pakai seperti itu," jawa

    Last Updated : 2025-03-06
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   9. Cinta Tulus dari Sang Ibu Susu

    Nawang hanya mengangguk. Dia juga bukan orang bodoh yang akan membeberkan rahasia siapa mereka di masa lalu. Karena bagi Nawang, kisah itu sudah dia kubur dalam-dalam. Untuk apa lagi harus membuka kisah lama. Yang ada nanti dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Karena pasti orang-orang akan berpikir jika Nawang masih mengharapkan cintanya Marsel. "Tenang saja. Tanpa kamu beri tahu pun, aku nggak akan melakukannya," ucap Nawang sambil menatap lurus wajah Marsel. Dulu memandang wajah itu selalu bisa membuatnya merasa tenang. Tapi sekarang, Nawang ingin sekali meminimalkan berinteraksi dengan Marsel karena tak tahan dengan sikap angkuhnya. "Cepat makan! Habis makan kamu susui Axelle di kamarnya!" perintah Marsel. "Jadi namanya Axelle?" tanya Nawang dengan mata membola. Dia kaget mendengar nama bayi itu. Marsel diam sejenak sebelum akhirnya memberikan sebuah anggukan. Dia lalu memakan makanan di hadapannya tanpa suara. Sedangkan Nawang mengulas secuil kisah manis dalam ingata

    Last Updated : 2025-03-07
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   10. Dituduh Jadi Selingkuhan Marsel

    Nawang urung beristirahat. Dia bergegas menuju kamar Axelle untuk mengecek keadaan bayi itu. "Badannya agak demam. Tolong ambilkan termometer!" pinta Nawang. Marsel pun bergegas menuju kotak P3K untuk mengambil termometer dan memberikannya pada Nawang. Setelah menempelkan termometer ke salah satu lekukan badan Axelle, Nawang membaca angka yang tertera. "Panasnya 38,5 derajat. Pantas saja dia rewel," ucap Nawang lalu dia mulai menggendong Axelle. "Terus bagaimana? Apa perlu kita bawa ke IGD?" tanya Marsel mulai panik. Ini adalah pengalaman pertama dia menjadi seorang ayah. Jadi wajar kalau dia kebingungan. "Tenang dulu. Panasnya belum terlalu tinggi. Insya Allah bisa turun jika rutin mengkonsumsi ASI. ASI adalah makanan dan obat terbaik untuk bayi." Penjelasan Nawang membuat Marsel sedikit bernafas lega. "Ijinkan aku membawa Axelle tidur di kamarku. Biar aku nggak harus bolak-balik ke kamar Axelle jika tiba waktu dia menyusu. Juga biar dia lebih nyenyak tidurnya karena nggak haru

    Last Updated : 2025-03-08
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   11. Tuduhan Kejam

    "Sa ... saya ... nggak pernah ..." Nawang terbata. Dia ingin membela diri tapi lidahnya terasa kaku, bingung harus darimana menjelaskannya. "Aku nggak pernah selingkuh sama Nawang, Ma. Mama salah paham." Marsel menyelamatkannya. "Lalu kenapa dia ada di rumahmu?" Wajah perempuan itu memerah. Tangannya berkacak pinggang. Matanya melotot. Nawang sampai begidik melihatnya. "Dia adalah ibu susu untuk Axelle," terang Marsel. Mata ibunya kembali membola. Masih tak menyangka kalau Nawang yang akhirnya menjadi ibu susu untuk cucunya. "Kamu nggak bisa cari orang lain? Gimana kalau dia sampai mencelakai Axelle karena sakit hati nggak jadi nikah sama kamu?" Perempuan itu mulai mengada-ada. Nawang hanya menghela nafas dituduh demikian. Padahal dulu Nawang lah yang mundur dari hubungan. Kalau Nawang memang sepicik itu, sudah pasti dia lebih memilih nikah lari dengan Marsel. "Maaf, Bu, tapi saya nggak akan melakukan itu. Saya menyayangi Axelle seperti anak saya sendiri. Tadi malam dia demam. B

    Last Updated : 2025-03-09
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   12. Termakan Mitos

    "Saya nggak ngasih apa-apa ke baju Axelle, Bu," jawab Nawang dengan bibir bergetar. Dia sedih kenapa ibunya Marsel selalu menuduhnya yang tidak-tidak. Padahal Nawang mana mungkin tega menyelakai bayi mungil itu. "Lihatlah! Badannya penuh ruam merah. Kamu pasti nggak bersih nyuci baju dia," tuduhnya lagi.Nawang lekas menggeleng, "Sa ... saya belum pernah nyuci baju Axelle, Bu. Semua baju-baju dia di lemari baru beli semua.""Nah ... itu salahmu!" ucap perempuan tua itu lagi "Harusnya baju baru itu dicuci dulu sebelum dipakaikan. Ini malah nggak dicuci sama sekali. Gimana sih kamu itu."Nawang hampir mencebik. Jujur dia lelah menghadapi ibunya Marsel yang selalu cari perkara dengannya. "Baik, Bu. Nanti akan saya cuci," jawab Nawang sambil menundukkan kepala. "Ada apa sih ini?" tanya Marsel yang baru saja datang. "Ini si Nawang teledor. Kulit Axelle sampai iritasi. Lihat! Sampai merah-merah begini," tunjuk perempuan itu pada Marsel. "Nawang, cuci semua baju Axelle sekarang juga!" p

    Last Updated : 2025-03-10
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   13. Dilema Nawang

    Teriakan Nawang yang spontan menyebut nama Marsel membuat security terkejut. Mulutnya melongo serta matanya membundar. "Berani-beraninya dia manggil tuan rumah tanpa sebutan 'Pak'? Bisa dikunyah hidup-hidup entar dia," ucapnya dalam hati. Nawang menepuk jidat, Marsel memberikan dia tatapan tajam. Dia kemudian berdehem, memberi Nawang kode. "Ehem ...""Eh ... Pak Marsel, maaf. Tadi saya panik. Itu si Axelle ... badannya merah-merah lagi. Padahal semua bajunya sudah saya cuci dan saya pastikan bersih. Kayaknya dia bukan karena iritasi baju baru deh, Pak. Kenapa lagi ya dia?" jelas Nawang bercampur rasa takut dan gugup. "Baik. Akan saya hubungi dokter Dani."Marsel merogoh ponsel dalam saku celananya lalu menelepon dokter Dani, dokter anak yang praktek di rumah sakit miliknya. "Hallo selamat sore, Dok! Saya mau tanya nih, Dok. Anak saya badannya muncul ruam merah. Itu kenapa ya, Dok?" tanya Marsel setelah telepon tersambung. "Munculnya ruam merah pada kulit bayi bisa disebabkan ole

    Last Updated : 2025-03-11

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   36. Cinta Itu Datang Lagi

    Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   35. Amarah yang Gagal Meledak

    Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   34. Maria, Si Mata-Mata

    Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   33. Kecurigaan Teman-Teman Intan

    Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   32. Kepergok Lagi

    "Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   31. Kejutan Untuk Ibunya Marsel

    "Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   30. Dua Perempuan yang Menyimpan Duka

    Nawang membawa Axelle melangkah masuk. Bu Sri menuntun Nawang ke sebuah ruangan kecil di salah satu sudut warung. Terpisah dengan ruang depan di mana pengunjung makan. Mata Nawang langsung membola. Ruang kecil itu penuh dengan mainan dan kasur kecil yang pas untuk tubuh Axelle. Tak lupa Bu Sri juga menyiapkan kipas angin agar Axelle tidak kegerahan berada di dalamnya. "Ibu nyiapin ini semua buat Axelle?" tanya Nawang dengan tatapan heran. "Tentu saja. Buat siapa lagi memangnya?" jawab Bu Sri masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Bu, sambutan ini terlalu berlebihan. Saya kan hanya pembantu ibu di sini," ucap Nawang dengan mata mulai berkaca-kaca. "Nggak ada yang namanya pembantu di sini. Memangnya ini restoran mewah apa? Sengaja ibu buatkan ruangan ini agar Axelle nyaman dan tidak rewel kalau kamu tinggal kerja," ujarnya dengan sorot mata penuh binar. "Ya Allah, Bu. Ibu baik sekali dengan saya. Bagaimana caranya saya membalas semua ini?" Nawang hampir mencebik. Dia t

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   29. Angin Segar

    "Sebenarnya mau kamu apa sih, Na? Kalau kamu mati kelaparan di sini nanti aku juga yang repot. Nyiapin acara tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari ...""Eh ... eh ... ngomong apa itu? Kamu doain aku cepat mati? Dengerin ya, Sel, aku nggak akan mati semudah itu," sambar Nawang. Dia memasang wajah sebal. "Habisnya kamu ngeselin. Selalu bikin aku naik darah.""Kamu dan ibumu juga begitu," gumam Nawang dalam hati "Bahkan berlipat-lipat ngeselinnya. Andai saja aku nggak sayang dengan Axelle, sudah angkat kaki aku dari rumah ini."Namun jangankan semua kalimat itu bisa meluncur bebas dari bibirnya, Nawang malah memilih untuk meredamnya. Nawang mengerti, Marsel begini karena tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi. Dan Nawang memilih diam karena dia tidak mau mengadu domba keduanya. Dia tidak mau melihat hubungan ibu dan anak menjadi hancur."Terus ngapain kamu makan nasi bungkus? Mana ada gizinya? Padahal tadi aku sudah belikan kamu kerang laut. Ke mana makanan yang aku belika

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   28. Hampir Ketahuan

    "Di rumah itu ada pintu belakang yang jarang dibuka. Tapi sebenarnya kamu bisa cepat sampai di sini jika lewat pintu itu. Tanpa ketahuan sama satpam di depan," jelas Bu Sri dengan raut wajah serius. "Oya? Kok ibu bisa tahu?""Dulu pembantu yang bekerja di situ sering memesan makanan di warung ibu. Ibu nganternya lewat pintu belakang. Apa sih bahasa kerennya sekarang? COD ya?" tanya Bu Sri sambil garuk-garuk kepala. Nawang terkekeh kecil. "Iya, Bu. Benar. Nanti akan aku coba cari di mana letak pintu itu.""Kalau sekarang paling udah jarang dibuka, Nak. Paling juga sudah banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Pokoknya pintunya itu di dekat kolam renang."Nawang mengangguk mengerti. Dia mengucapkan terima kasih pada Bu Sri karena sudah banyak membantu. Karena hari sudah semakin sore, Nawang pamit pulang. Takut keduluan oleh Marsel. Bu Sri pun tidak membiarkan Nawang pulang dengan tangan kosong. Dia memberikan sebungkus nasi dengan lauk bali telur dan orek tempe untuk Nawang. "Terima kasih b

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status