Home / Romansa / Ibu Susu untuk Sang Pewaris / 4. Kebohongan Marsel

Share

4. Kebohongan Marsel

Author: Devie Putri
last update Last Updated: 2025-01-27 14:15:58

Nawang segera berlari menuju ruangan dokter tanpa menghiraukan lagi rasa perih di kakinya. Bahkan luka yang sudah setengah kering itu kembali meneteskan darah. 

"Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?" 

Nawang duduk dengan nafas terengah-engah. Dokter yang menangani keadaan putrinya sampai iba melihatnya. Terlihat sekali perempuan itu sudah berjuang habis-habisan. 

"Keadaan anak ibu semakin kritis. Operasi harus segera dilakukan. Atau kalau tidak ..."

"Kalau tidak kenapa, Dok?" 

"Dia tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi," ucap dokter itu dengan lemas. Sebenarnya dia tidak tega menyampaikannya. Namun mau tidak mau, perempuan itu harus tahu bagaimana keadaan anaknya. 

"Tapi saya belum dapat uangnya, Dok," ucap Nawang dengan dada menahan sesak. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu. 

"Maaf, Bu, saya hanya sekedar menyampaikan saja."

Dengan lesu, Nawang duduk di lantai depan ruang PICU. Air mata mulai menganak sungai di kedua pipinya. Nawang merasa semua jalan telah buntu. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa untuk bisa menolong anaknya. 

Adzan isya' mulai dikumandangkan. Nawang memilih pergi ke mushola rumah sakit untuk menunaikan sholat bersama keluarga pasien yang lain. 

Tak bisa lagi dia menahan air mata kala doa-doa itu dia panjatkan. Nawang merasa hidupnya berada pada titik terendah. Maka segala kesedihan dan kebimbangan itu dia tumpahkan dalam sujudnya. Dia tak tahu lagi harus mengadu pada siapa selain kepada Tuhan. Bukan kah Dia Maha Penentu Segalanya? 

Selesai sholat, Nawang tidak langsung pergi. Dia memilih bertahan sembari merapal dzikir. Kiranya dengan begitu dia sedikit bisa lebih tenang. 

"Ya Allah, jika memang waktuku dengan anakku telah habis, aku ikhlaskan dia pergi. Namun jika masih ada jalan untuk aku memperjuangkannya, tolong tunjukkan. Karena dia adalah satu-satunya harta yang aku punya saat ini." Sebait doa itu terpanjat bersamaan dengan puluhan tetes air mata yang jatuh di atas sajadah. 

Puas mencurahkan isi hati lewat doa, Nawang bangkit berdiri. Dia melepas mukena dan melipatnya kembali dengan rapi. Tak lupa dia mengembalikannya lagi ke lemari mushola. 

Nawang keluar mushola, kembali memakai sendal yang sudah membuat kakinya terluka. Namun luka akibat goresan pecahan kaca itu tak seberapa sakitnya. Masih jauh lebih sakit menerima kenyataan buruk keadaan anaknya. 

Dengan langkah gontai, Nawang kembali ke ruang PICU. Dia duduk di atas lantai yang dingin tanpa alas apapun. Dibukanya bungkusan nasi pemberian ibu warung tadi siang. Nawang mencium aroma kurang sedap. 

"Nasi dan lauknya sudah hampir basi. Tapi hanya ini satu-satunya makanan yang aku punya." 

Nawang terpaksa memakan makanan yang hampir basi itu. Tak apa, yang penting perutnya terisi. 

Saat Nawang tengah memakan makanannya, Marsel berjalan melewatinya. Dia sedikit terkejut melihat keadaan Nawang yang memprihatinkan. Apalagi dia duduk dan makan seorang diri. Tanpa didampingi siapa pun. 

"Ngapain Nawang ada disitu?" pikir Marsel dalam hati. Tapi dia enggan bertanya langsung pada Nawang. Dia terus berjalan menuju ruang NICU yang berada tepat di samping ruang PICU. 

"Gimana keadaan anak saya, Sus?" tanya Marsel pada perawat yang bertugas di ruang tersebut. 

"Stok ASI perah dari donor ASI yang kemarin sudah hampir habis, Pak. Sedangkan ketika pihak rumah sakit menghubungi dia lagi, dia meminta maaf karena sudah nggak bisa ngasih ASI-nya lagi. Dia kewalahan memberikan ASI untuk anaknya sendiri karena tiba-tiba saja keluarnya tidak sebanyak sebelumnya. Entah apa yang membuat ASI-nya seret."

"Terus gimana dong, Sus?"

"Ya kita harus cepat nyari ibu susu buat anak bapak."

Marsel hanya tertegun. Mendadak dia merasa bersalah karena telah menolak Nawang. Sebenarnya dia bisa saja menemui Nawang sekarang. Karena Nawang ternyata berada di rumah sakit ini juga. Tapi gengsi Marsel masih terlalu tinggi. Pantang dia menjilat ludahnya sendiri. 

"Bagaimana, Pak? Apakah sudah ada yang menawarkan diri untuk menjadi ibu susu anak bapak?" tanya perawat itu lagi. 

"Belum," jawabnya berbohong "Tapi saya akan usahakan dapat ibu susu secepatnya."

Marsel berjalan keluar ruangan. Dia mengusap wajah dengan kasar. Kenapa pilihan satu-satunya adalah Nawang? Perempuan yang pernah menolak lamarannya. Bertahun-tahun Marsel berusaha melupakan Nawang dengan keberadaan Sherly, istrinya. 

Marsel memilih membuka hati karena merasa cintanya pada Nawang sudah tidak bisa diperjuangkan. Dia menerima perjodohan itu dengan lapang dada. 

Sherly adalah istri yang baik. Jadi mudah saja untuk Marsel jatuh cinta kepadanya. Namun ketika benih cinta mulai tumbuh, Tuhan malah memanggilnya untuk pulang. Lalu takdir malah mempertemukan Marsel kembali pada cinta lamanya. Mengapa dunia harus serumit itu? 

Nawang hanya memakan nasi itu tiga suap saja. Selain rasanya yang tidak enak, dia juga kehilangan selera makan tiap ingat penjelasan dari dokter. 

"Berapa lama lagi anakku bisa bertahan?" batin Nawang sembari menatap tubuh anaknya dari balik kaca jendela. Bayi mungil itu sedang berperang dengan maut. Namun ibunya tak punya daya untuk menyelamatkan nyawanya. 

Di tengah keadaan putus asa, Nawang sering membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Andai dulu dia tidak menolak Marsel, mungkin dia tidak akan hidup dalam keadaan kekuarangan. 

Nawang mengunyah nasi di hadapannya dengan berlinang air mata. Sungguh suatu keadaan yang menyakitkan. Andai dia masih memiliki uang, tentu dia akan membeli makanan yang layak makan. Bukan nasi basi yang bisa memberi efek buruk untuk tubuhnya. 

"Dok, bayi yang menderita jantung bocor itu semakin sering mengalami sesak nafas. Bahkan beberapa kali badannya membiru." Samar-samar, Nawang mendengar pembicaraan perawat dan dokter yang berjalan keluar dari ruang NICU. 

Nawang langsung berhenti mengunyah. Makanan itu terasa sulit dia telan. Dia kembali membungkus rapat kertas minyak yang menjadi alas dari makanan tersebut menggunakan karet gelang. Lalu dia abaikan begitu saja. 

"Iya. Tapi mau gimana lagi? Ibunya belum dapat uang untuk biaya operasi," jawab sang dokter. 

"Kasihan sekali ya, Dok. Ya maklum saja, Dok. Biaya operasinya memang mahal. Apalagi dengar-dengar dia baru saja ditinggal mati suaminya."

"Cobaan itu nggak kenal kasta. Nggak cuma ibu itu saja yang diuji sama Tuhan. Lihat saja Pak Marsel, direktur rumah sakit ini. Dia juga lagi diberi ujian kan sama Tuhan. Istrinya meninggal setelah melahirkan anaknya. Sekarang dia lagi bingung mencari ibu susu."

Nawang yang sedari tadi menyimak obrolan mereka lekas menoleh. Apalagi setelah Nawang mendengar nama Marsel disebut. 

"Oiya .... Dok, bagaimana perkembangan soal pencarian ibu susu untuk anak Pak Marsel?" 

Nawang terus memerhatikan mereka berdua. Entah mengapa, obrolan mereka begitu menarik perhatian Nawang. Dia juga penasaran, ingin tahu tentang keadaan anaknya Marsel. 

"Apa Pak Marsel sudah mendapatkan ibu susu untuk anaknya, Dok?" Perawat itu bertanya lagi sambil menatap serius wajah dokter di hadapannya.

Dokter menggeleng pelan. "Sampai sekarang, Pak Marsel belum mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Dan kabarnya stok ASI perah dari pendonor kemarin sudah mau habis." 

Penjelasan dokter tersebut membuat Nawang terkejut. Bukannya Marsel sendiri yang bilang kalau dia sudah mendapatkan ibu susu untuk anaknya? Maka Marsel menolak lamaran Nawang waktu itu. 

"Apakah Marsel berbohong?" pikir Nawang dalam hati. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   5. Kesempatan Kedua

    "Perbanyak lagi usaha mencari ibu susu untuk anakku! Harus dapat hari ini juga!" Perintah Marsel pada dua anak buahnya. "Tapi, Pak, kita sudah berusaha semaksimal mungkin," jawab salah satu anak buahnya sembari menunduk takut. "Tinggikan lagi imbalannya. Masak masih nggak ada yang mau?" Marsel menghembuskan nafas kesal. Pikirannya mulai buntu. "Mau ditinggikan berapa lagi, Pak?""Berapa saja akan saya bayar," tegas Marsel sekali lagi. "Sebar pengumuman lebih banyak lagi di media. Datangi stasiun televisi dan radio-radio. Pokoknya bagaimana pun caranya hari ini anak saya harus cepat dapat ASI."Marsel mulai gundah. Rasa khawatir pada anaknya menekan pikirannya dengan kuat. Sebenarnya ada setitik rasa sesal kenapa waktu itu dia menolak Nawang. Sekarang dia mulai kebingungan sendiri karena tak kunjung mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Kadang rasa gengsi memang bisa menyesatkan diri sendiri. Dua laki-laki itu pergi dari hadapan Marsel untuk segera melaksanakan perintah. Sambil berj

    Last Updated : 2025-01-27
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   6. Surat Perjanjian Kerja

    Nawang menatap mata itu dengan perasaan campur aduk. Dia lalu mengangguk, menerima tawaran pekerjaan sebagai ibu susu untuk anaknya Marsel."Iya. Aku mau."Dua orang pria, anak buah Marsel baru saja datang. Mereka membawa surat perjanjian yang harus Nawang tanda tangani. "Kalau gitu, tanda tangan disini!" Marsel meletakkan surat perjanjian tersebut ke atas meja. Nawang mulai membuka map berisi lembaran kertas yang menjelaskan perjanjian yang harus dia patuhi. "Baca semuanya! Jangan sampai ada yang terlewat. Aku nggak mau suatu hari nanti kamu protes. Pahami betul-betul apa isi dari semua perjanjian itu!" perintah Marsel lagi. Nawang menghela nafas sejenak. Sebenarnya dia sebal dengan sikap sombong dan angkuhnya Marsel, tapi dia tidak punya pilihan. Hanya dengan mengambil pekerjaan tersebut, anaknya bisa menjalani operasi. Mata Nawang mulai fokus menatap lembar demi lembar di hadapannya. Dibacanya satu per satu perjanjian yang Marsel buat. Diantaranya adalah semua gaji Nawang akan

    Last Updated : 2025-03-04
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   7. Pantang Membatalkan Kontrak

    "Operasinya gagal, Dok?" Tangis Nawang hampir saja pecah. Tapi dia masih berharap bahwa dokter menyampaikan informasi yang keliru. "Dokter nggak salah bicara kan? Dokter nggak lagi bercanda kan?" tanya Nawang dengan tubuh gemetar. Dia tidak bisa langsung menerima kenyataan bahwa harapannya ternyata kandas. Padahal dia terlalu menumpukan hadapan terlalu tinggi pada operasi tersebut. "Iya, Bu. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya dan teman-teman tenaga medis yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain."Nawang menggigit bibir kuat-kuat. Seketika kaki Nawang terasa lunglai. Seolah semua tenaga telah tersedot habis oleh duka. Dia mulai kehilangan keseimbangan. Pandangan matanya mulai menggelap, lalu kemudian dia ambruk ke atas lantai. Nawang kehilangan kesadarannya. Beberapa tenaga medis langsung memberikan pertolongan pada Nawang. Satu dua orang bahkan ikut menangis. Membayangkan betapa pedihnya berada di posisi Nawang. Apalagi sebagian be

    Last Updated : 2025-03-05
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   8. Hidup Berkecukupan

    Nawang tertegun sejenak. Dia tidak bermaksud kabur atau ingkar pada perjanjian tersebut. Tapi dia ingin mengundurkan diri dengan cara baik-baik. Tapi kembali lagi, Nawang berpikir panjang. Benar kata Marsel, dia telah menggelontorkan banyak uang untuk membantu dirinya. Maka tidak mungkin dia membatalkan pekerjaan tersebut. "Kok diam saja? Ayo jalan! Ikuti aku ke mobil!" perintah Marsel sekali lagi. Nawang hanya bisa meng-iya-kan semua ucapan Marsel. Karena kini Marsel adalah bos-nya. Nawang berjalan mengekor di belakang Marsel sambil menundukkan kepala. Seorang anak buah Marsel lalu membukakan pintu mobil agar Nawang bisa masuk. Dinginnya AC mobil langsung menyambut Nawang. Dia sampai merapatkan kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Nawang tidak pernah merasakan naik mobil semewah itu. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya sopir pribadi Marsel yang telah siap di belakang kemudi. "Kita ke mall dulu. Beliin baju buat dia. Lihatlah! Bajunya sudah nggak layak pakai seperti itu," jawa

    Last Updated : 2025-03-06
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   9. Cinta Tulus dari Sang Ibu Susu

    Nawang hanya mengangguk. Dia juga bukan orang bodoh yang akan membeberkan rahasia siapa mereka di masa lalu. Karena bagi Nawang, kisah itu sudah dia kubur dalam-dalam. Untuk apa lagi harus membuka kisah lama. Yang ada nanti dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Karena pasti orang-orang akan berpikir jika Nawang masih mengharapkan cintanya Marsel. "Tenang saja. Tanpa kamu beri tahu pun, aku nggak akan melakukannya," ucap Nawang sambil menatap lurus wajah Marsel. Dulu memandang wajah itu selalu bisa membuatnya merasa tenang. Tapi sekarang, Nawang ingin sekali meminimalkan berinteraksi dengan Marsel karena tak tahan dengan sikap angkuhnya. "Cepat makan! Habis makan kamu susui Axelle di kamarnya!" perintah Marsel. "Jadi namanya Axelle?" tanya Nawang dengan mata membola. Dia kaget mendengar nama bayi itu. Marsel diam sejenak sebelum akhirnya memberikan sebuah anggukan. Dia lalu memakan makanan di hadapannya tanpa suara. Sedangkan Nawang mengulas secuil kisah manis dalam ingata

    Last Updated : 2025-03-07
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   10. Dituduh Jadi Selingkuhan Marsel

    Nawang urung beristirahat. Dia bergegas menuju kamar Axelle untuk mengecek keadaan bayi itu. "Badannya agak demam. Tolong ambilkan termometer!" pinta Nawang. Marsel pun bergegas menuju kotak P3K untuk mengambil termometer dan memberikannya pada Nawang. Setelah menempelkan termometer ke salah satu lekukan badan Axelle, Nawang membaca angka yang tertera. "Panasnya 38,5 derajat. Pantas saja dia rewel," ucap Nawang lalu dia mulai menggendong Axelle. "Terus bagaimana? Apa perlu kita bawa ke IGD?" tanya Marsel mulai panik. Ini adalah pengalaman pertama dia menjadi seorang ayah. Jadi wajar kalau dia kebingungan. "Tenang dulu. Panasnya belum terlalu tinggi. Insya Allah bisa turun jika rutin mengkonsumsi ASI. ASI adalah makanan dan obat terbaik untuk bayi." Penjelasan Nawang membuat Marsel sedikit bernafas lega. "Ijinkan aku membawa Axelle tidur di kamarku. Biar aku nggak harus bolak-balik ke kamar Axelle jika tiba waktu dia menyusu. Juga biar dia lebih nyenyak tidurnya karena nggak haru

    Last Updated : 2025-03-08
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   11. Tuduhan Kejam

    "Sa ... saya ... nggak pernah ..." Nawang terbata. Dia ingin membela diri tapi lidahnya terasa kaku, bingung harus darimana menjelaskannya. "Aku nggak pernah selingkuh sama Nawang, Ma. Mama salah paham." Marsel menyelamatkannya. "Lalu kenapa dia ada di rumahmu?" Wajah perempuan itu memerah. Tangannya berkacak pinggang. Matanya melotot. Nawang sampai begidik melihatnya. "Dia adalah ibu susu untuk Axelle," terang Marsel. Mata ibunya kembali membola. Masih tak menyangka kalau Nawang yang akhirnya menjadi ibu susu untuk cucunya. "Kamu nggak bisa cari orang lain? Gimana kalau dia sampai mencelakai Axelle karena sakit hati nggak jadi nikah sama kamu?" Perempuan itu mulai mengada-ada. Nawang hanya menghela nafas dituduh demikian. Padahal dulu Nawang lah yang mundur dari hubungan. Kalau Nawang memang sepicik itu, sudah pasti dia lebih memilih nikah lari dengan Marsel. "Maaf, Bu, tapi saya nggak akan melakukan itu. Saya menyayangi Axelle seperti anak saya sendiri. Tadi malam dia demam. B

    Last Updated : 2025-03-09
  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   12. Termakan Mitos

    "Saya nggak ngasih apa-apa ke baju Axelle, Bu," jawab Nawang dengan bibir bergetar. Dia sedih kenapa ibunya Marsel selalu menuduhnya yang tidak-tidak. Padahal Nawang mana mungkin tega menyelakai bayi mungil itu. "Lihatlah! Badannya penuh ruam merah. Kamu pasti nggak bersih nyuci baju dia," tuduhnya lagi.Nawang lekas menggeleng, "Sa ... saya belum pernah nyuci baju Axelle, Bu. Semua baju-baju dia di lemari baru beli semua.""Nah ... itu salahmu!" ucap perempuan tua itu lagi "Harusnya baju baru itu dicuci dulu sebelum dipakaikan. Ini malah nggak dicuci sama sekali. Gimana sih kamu itu."Nawang hampir mencebik. Jujur dia lelah menghadapi ibunya Marsel yang selalu cari perkara dengannya. "Baik, Bu. Nanti akan saya cuci," jawab Nawang sambil menundukkan kepala. "Ada apa sih ini?" tanya Marsel yang baru saja datang. "Ini si Nawang teledor. Kulit Axelle sampai iritasi. Lihat! Sampai merah-merah begini," tunjuk perempuan itu pada Marsel. "Nawang, cuci semua baju Axelle sekarang juga!" p

    Last Updated : 2025-03-10

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   36. Cinta Itu Datang Lagi

    Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   35. Amarah yang Gagal Meledak

    Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   34. Maria, Si Mata-Mata

    Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   33. Kecurigaan Teman-Teman Intan

    Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   32. Kepergok Lagi

    "Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   31. Kejutan Untuk Ibunya Marsel

    "Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   30. Dua Perempuan yang Menyimpan Duka

    Nawang membawa Axelle melangkah masuk. Bu Sri menuntun Nawang ke sebuah ruangan kecil di salah satu sudut warung. Terpisah dengan ruang depan di mana pengunjung makan. Mata Nawang langsung membola. Ruang kecil itu penuh dengan mainan dan kasur kecil yang pas untuk tubuh Axelle. Tak lupa Bu Sri juga menyiapkan kipas angin agar Axelle tidak kegerahan berada di dalamnya. "Ibu nyiapin ini semua buat Axelle?" tanya Nawang dengan tatapan heran. "Tentu saja. Buat siapa lagi memangnya?" jawab Bu Sri masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Bu, sambutan ini terlalu berlebihan. Saya kan hanya pembantu ibu di sini," ucap Nawang dengan mata mulai berkaca-kaca. "Nggak ada yang namanya pembantu di sini. Memangnya ini restoran mewah apa? Sengaja ibu buatkan ruangan ini agar Axelle nyaman dan tidak rewel kalau kamu tinggal kerja," ujarnya dengan sorot mata penuh binar. "Ya Allah, Bu. Ibu baik sekali dengan saya. Bagaimana caranya saya membalas semua ini?" Nawang hampir mencebik. Dia t

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   29. Angin Segar

    "Sebenarnya mau kamu apa sih, Na? Kalau kamu mati kelaparan di sini nanti aku juga yang repot. Nyiapin acara tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari ...""Eh ... eh ... ngomong apa itu? Kamu doain aku cepat mati? Dengerin ya, Sel, aku nggak akan mati semudah itu," sambar Nawang. Dia memasang wajah sebal. "Habisnya kamu ngeselin. Selalu bikin aku naik darah.""Kamu dan ibumu juga begitu," gumam Nawang dalam hati "Bahkan berlipat-lipat ngeselinnya. Andai saja aku nggak sayang dengan Axelle, sudah angkat kaki aku dari rumah ini."Namun jangankan semua kalimat itu bisa meluncur bebas dari bibirnya, Nawang malah memilih untuk meredamnya. Nawang mengerti, Marsel begini karena tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi. Dan Nawang memilih diam karena dia tidak mau mengadu domba keduanya. Dia tidak mau melihat hubungan ibu dan anak menjadi hancur."Terus ngapain kamu makan nasi bungkus? Mana ada gizinya? Padahal tadi aku sudah belikan kamu kerang laut. Ke mana makanan yang aku belika

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   28. Hampir Ketahuan

    "Di rumah itu ada pintu belakang yang jarang dibuka. Tapi sebenarnya kamu bisa cepat sampai di sini jika lewat pintu itu. Tanpa ketahuan sama satpam di depan," jelas Bu Sri dengan raut wajah serius. "Oya? Kok ibu bisa tahu?""Dulu pembantu yang bekerja di situ sering memesan makanan di warung ibu. Ibu nganternya lewat pintu belakang. Apa sih bahasa kerennya sekarang? COD ya?" tanya Bu Sri sambil garuk-garuk kepala. Nawang terkekeh kecil. "Iya, Bu. Benar. Nanti akan aku coba cari di mana letak pintu itu.""Kalau sekarang paling udah jarang dibuka, Nak. Paling juga sudah banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Pokoknya pintunya itu di dekat kolam renang."Nawang mengangguk mengerti. Dia mengucapkan terima kasih pada Bu Sri karena sudah banyak membantu. Karena hari sudah semakin sore, Nawang pamit pulang. Takut keduluan oleh Marsel. Bu Sri pun tidak membiarkan Nawang pulang dengan tangan kosong. Dia memberikan sebungkus nasi dengan lauk bali telur dan orek tempe untuk Nawang. "Terima kasih b

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status