Nawang tak langsung menjawab tawaran tersebut. Dia sibuk berpikir pekerjaan apa yang bisa mendapatkan uang semudah itu?
"Kenapa? Kok diam? Em ... gini aja, mendingan kamu ikut aku sekarang. Aku tunjukin ke kamu kerjanya gimana aja. Yuk!" Tanpa banyak basa-basi lagi, perempuan itu langsung menggandeng tangan Nawang dan mengajaknya masuk ke dalam mobil.
Nawang tak bisa menolak. Dia hanya diam dan menurut. Jujur dia bingung. Di satu sisi, dia butuh uang secepatnya. Namun di sisi lain dia merasakan firasat yang buruk. Bisa jadi dia diarahkan pada suatu pekerjaan yang tidak halal.
Mobil melaju kencang dengan tujuan yang Nawang sendiri tak bisa menebaknya.
"Kalau boleh tahu anakmu sakit apa?" tanya perempuan yang duduk di sampingnya itu.
"Jantung bocor, Mbak," jawab Nawang lalu kembali menundukkan kepala.
"Wah ... butuh biaya banyak banget itu. Anaknya salah satu anak buahku ada yang pernah sakit jantung bocor juga. Biaya operasinya bisa sampai ratusan juta."
"Berapa pun akan aku usahakan demi kesembuhan anakku, Mbak," ucap Nawang lirih. Meski tak yakin dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat, namun dia akan berusaha sampai titik darah penghabisan.
"Aku paham. Setiap orang tua pasti akan mengupayakan yang terbaik untuk anaknya." Perempuan itu berkata sembari mengusap lembut pundak Nawang. Dia berusaha menunjukkan rasa peduli. Meski ada maksud terselubung dibalik kepeduliannya itu.
Mobil berbelok ke sebuah mall tengah kota. Perempuan dan dua laki-laki yang berada di dalam mobil itu bergegas turun. Tangan Nawang masih digandeng. Mereka juga meyakinkan Nawang kalau dia tak kan disakiti.
"Jangan takut! Kita nggak ada maksud jahat. Kita hanya ingin membantumu," ucap perempuan itu sambil melengkungkan sebuah senyuman di bibirnya.
Mereka lekas berjalan memasuki mall dan menuju ke lantai lima. Sebuah diskotik menyambut mereka. Nawang berjalan dengan kaki gemetar.
"Tempat apa ini? Untuk apa kita kesini?" tanya Nawang pada perempuan yang mengajaknya.
"Ini dia tempat kerja kita," jawabnya sambil tersenyum. Dia pikir Nawang akan menyukainya. Padahal Nawang mulai merasa risih dengan suara musik dj yang diputar terlalu keras. Dia tidak terbiasa mengunjungi tempat semacam ini.
"Ayo masuk! Jangan takut! Aku akan terus ada di sampingmu. Tempat ini nggak menyeramkan kok. Justru disini bebanmu akan terasa ringan."
Nawang berdecak dalam hati. Bagaimana ceritanya beban bisa hilang di sebuah tempat yang terdengar begitu bising begini? Tak ada ketenangan. Yang ada mereka malah ditabrak beberapa kali oleh beberapa orang yang tengah mabuk berat.
"Kita duduk di sana saja," tunjuk perempuan itu pada sebuah sofa berwarna merah di sudut ruangan.
Nawang berjalan membuntuti. Tapi pikirannya ingin lari dari tempat ini. Dia hanya masih mencari celah yang tepat untuk pergi.
"Nah ... mereka itu anak buahku. Tahu nggak kerjaan mereka apa?"
Nawang menatap wajah perempuan itu dengan tanda tanya di kepala. Mana mungkin dia tahu apa pekerjaan mereka sedangkan Nawang saja tidak pernah menjejakkan kakinya di tempat semacam ini.
"Mereka itu LC. LC itu pemandu karaoke. Cuma nemenin tamu disini karaoke saja. Kalau nyari uang sejuta dalam sehari sih gampang, Na," ucapnya sambil menjentikkan ujung jari.
"Satu juta? Aku butuhnya lima ratus juta," gumam Nawang dalam hati.
"Kalau mau dapat lebih banyak juga bisa. Tapi kerjanya dobel. Melayani mereka di ranjang." Perempuan itu berkata seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Astagfirullah." Nawang mengucap istighfar di dalam hati.
"Badan kamu kan bagus. Tetap langsing meskipun sudah pernah melahirkan. Nggak melar kayak aku. Tinggal dipoles make up sedikit saja. Nanti aku pinjemin kamu baju yang bagus kayak punya mereka," lanjutnya. Nawang hanya membuang nafas pelan.
Melihat mereka, anak buah perempuan itu, duduk di samping beberapa laki-laki dengan baju terbuka saja Nawang langsung begidik sendiri. Melihatnya saja sudah tidak nyaman apalagi harus menjalani.
"Bagaimana, Na? Kamu berminat?"
Nawang langsung menggeleng, "Maaf, Mbak, tapi saya sepertinya nggak bisa."
"Lho, kenapa? Bukannya kamu lagi butuh biaya buat anakmu?"
"Iya tapi saya nggak bisa bekerja begini, Mbak. Maaf. Saya pamit dulu ya, Mbak. Saya harus kembali ke rumah sakit." Nawang gegas berdiri. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Dia tak mau kehidupannya yang serba sulit membuatnya terjerumus ke jalan yang salah.
"Nawang, tunggu dulu! Apa kamu punya nomor telepon yang bisa dihubungi?" tanya perempuan itu lagi.
"Maaf, Mbak. Aku nggak punya HP." Nawang terpaksa berbohong.
"Oh ... kalau gitu ini aku kasih kartu namaku ya. Barangkali sewaktu-waktu kamu berubah pikiran, kamu bisa mencariku."
Nawang tersenyum getir. Namun dia tetap menerima kartu nama itu sekedar untuk menghargai. Walau dalam hati dia berjanji tidak akan menghubungi nomor tersebut.
Langit sudah berubah gelap. Dia melihat jam yang tertera di layar handphone miliknya. Ternyata sudah jam setengah tujuh. Dia melewatkan waktu sholat maghrib.
"Astagfirullah ... gara-gara menuruti perempuan itu aku sampai nggak sholat maghrib," gerutu Nawang sendirian.
Masih dengan langkah pincang, Nawang berjalan menuju ke rumah sakit. Dia mulai merasa haus. Namun tak ada uang untuk membeli air minum.
Nawang berhenti di depan sebuah tong sampah. Dengan bantuan ranting kecil yang dia temukan di bawah pohon besar tak jauh dari tong sampah tersebut, Nawang mulai mengorek-orek isinya. Dia berharap bisa menemukan botol air mineral yang masih ada isinya. Sekedar membasahi tenggorokan yang kering.
Tanpa Nawang sadari, seseorang memerhatikannya dari jauh. Dia mengira Nawang adalah seorang pemulung. Lekas pria itu berjalan menghampiri Nawang.
"Mbak!" Pria itu menepuk pundak Nawang. Nawang sampai berjingkat. Dia lalu menoleh.
"Ada apa, Mas?"
"Mbak lagi nyari apa? Kok ngorek-ngorek tempat sampah?"
"Em ... nggak apa-apa kok, Mas. Saya lagi nyari minum."
"Nyari minum kok di tempat sampah?"
"Iya. Saya nggak punya uang buat beli minum. Jadi saya nyari botol yang dibuang barangkali isinya masih ada."
Pria itu terkejut mendengarnya, "Astaga, Mbak, mari ikut saya! Saya belikan minum di minimarket depan."
"Nggak usah, Mas. Terima kasih," tolak Nawang dengan halus.
"Nggak apa-apa kok, Mbak. Cuma air minum saja." Pria itu terus memaksa Nawang untuk menerima bantuannya. Mereka pun berjalan ke minimarket seberang jalan untuk membeli air minum.
"Mbak, mau kemana?" tanya pria itu sambil menyerahkan sebotol air mineral untuk Nawang.
"Mau ke rumah sakit, Mas. Anakku dirawat di sana."
"Saya anterin ya. Rumah sakit masih cukup jauh dari sini. Masih sekitar tiga kilo."
Kali ini Nawang tidak menolak. Jujur dia sudah sangat lelah berjalan. Ditambah luka di kakinya yang masih terasa perih.
Pria itu segera mengantar Nawang ke rumah sakit. Begitu sampai di depan pintu utama, seorang perawat berjalan terburu-buru mendekati Nawang.
"Bu Nawang kemana saja? Dicariin sama dokter. Dokter mau berbicara dengan Bu Nawang tentang keadaan anak ibu yang semakin menurun."
***
Nawang segera berlari menuju ruangan dokter tanpa menghiraukan lagi rasa perih di kakinya. Bahkan luka yang sudah setengah kering itu kembali meneteskan darah. "Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?" Nawang duduk dengan nafas terengah-engah. Dokter yang menangani keadaan putrinya sampai iba melihatnya. Terlihat sekali perempuan itu sudah berjuang habis-habisan. "Keadaan anak ibu semakin kritis. Operasi harus segera dilakukan. Atau kalau tidak ...""Kalau tidak kenapa, Dok?" "Dia tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi," ucap dokter itu dengan lemas. Sebenarnya dia tidak tega menyampaikannya. Namun mau tidak mau, perempuan itu harus tahu bagaimana keadaan anaknya. "Tapi saya belum dapat uangnya, Dok," ucap Nawang dengan dada menahan sesak. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu. "Maaf, Bu, saya hanya sekedar menyampaikan saja."Dengan lesu, Nawang duduk di lantai depan ruang PICU. Air mata mulai menganak sungai di kedua pipinya. Nawang merasa semua jalan telah buntu. Dia tak ta
"Perbanyak lagi usaha mencari ibu susu untuk anakku! Harus dapat hari ini juga!" Perintah Marsel pada dua anak buahnya. "Tapi, Pak, kita sudah berusaha semaksimal mungkin," jawab salah satu anak buahnya sembari menunduk takut. "Tinggikan lagi imbalannya. Masak masih nggak ada yang mau?" Marsel menghembuskan nafas kesal. Pikirannya mulai buntu. "Mau ditinggikan berapa lagi, Pak?""Berapa saja akan saya bayar," tegas Marsel sekali lagi. "Sebar pengumuman lebih banyak lagi di media. Datangi stasiun televisi dan radio-radio. Pokoknya bagaimana pun caranya hari ini anak saya harus cepat dapat ASI."Marsel mulai gundah. Rasa khawatir pada anaknya menekan pikirannya dengan kuat. Sebenarnya ada setitik rasa sesal kenapa waktu itu dia menolak Nawang. Sekarang dia mulai kebingungan sendiri karena tak kunjung mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Kadang rasa gengsi memang bisa menyesatkan diri sendiri. Dua laki-laki itu pergi dari hadapan Marsel untuk segera melaksanakan perintah. Sambil berj
Nawang menatap mata itu dengan perasaan campur aduk. Dia lalu mengangguk, menerima tawaran pekerjaan sebagai ibu susu untuk anaknya Marsel."Iya. Aku mau."Dua orang pria, anak buah Marsel baru saja datang. Mereka membawa surat perjanjian yang harus Nawang tanda tangani. "Kalau gitu, tanda tangan disini!" Marsel meletakkan surat perjanjian tersebut ke atas meja. Nawang mulai membuka map berisi lembaran kertas yang menjelaskan perjanjian yang harus dia patuhi. "Baca semuanya! Jangan sampai ada yang terlewat. Aku nggak mau suatu hari nanti kamu protes. Pahami betul-betul apa isi dari semua perjanjian itu!" perintah Marsel lagi. Nawang menghela nafas sejenak. Sebenarnya dia sebal dengan sikap sombong dan angkuhnya Marsel, tapi dia tidak punya pilihan. Hanya dengan mengambil pekerjaan tersebut, anaknya bisa menjalani operasi. Mata Nawang mulai fokus menatap lembar demi lembar di hadapannya. Dibacanya satu per satu perjanjian yang Marsel buat. Diantaranya adalah semua gaji Nawang akan
"Operasinya gagal, Dok?" Tangis Nawang hampir saja pecah. Tapi dia masih berharap bahwa dokter menyampaikan informasi yang keliru. "Dokter nggak salah bicara kan? Dokter nggak lagi bercanda kan?" tanya Nawang dengan tubuh gemetar. Dia tidak bisa langsung menerima kenyataan bahwa harapannya ternyata kandas. Padahal dia terlalu menumpukan hadapan terlalu tinggi pada operasi tersebut. "Iya, Bu. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya dan teman-teman tenaga medis yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain."Nawang menggigit bibir kuat-kuat. Seketika kaki Nawang terasa lunglai. Seolah semua tenaga telah tersedot habis oleh duka. Dia mulai kehilangan keseimbangan. Pandangan matanya mulai menggelap, lalu kemudian dia ambruk ke atas lantai. Nawang kehilangan kesadarannya. Beberapa tenaga medis langsung memberikan pertolongan pada Nawang. Satu dua orang bahkan ikut menangis. Membayangkan betapa pedihnya berada di posisi Nawang. Apalagi sebagian be
Nawang tertegun sejenak. Dia tidak bermaksud kabur atau ingkar pada perjanjian tersebut. Tapi dia ingin mengundurkan diri dengan cara baik-baik. Tapi kembali lagi, Nawang berpikir panjang. Benar kata Marsel, dia telah menggelontorkan banyak uang untuk membantu dirinya. Maka tidak mungkin dia membatalkan pekerjaan tersebut. "Kok diam saja? Ayo jalan! Ikuti aku ke mobil!" perintah Marsel sekali lagi. Nawang hanya bisa meng-iya-kan semua ucapan Marsel. Karena kini Marsel adalah bos-nya. Nawang berjalan mengekor di belakang Marsel sambil menundukkan kepala. Seorang anak buah Marsel lalu membukakan pintu mobil agar Nawang bisa masuk. Dinginnya AC mobil langsung menyambut Nawang. Dia sampai merapatkan kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Nawang tidak pernah merasakan naik mobil semewah itu. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya sopir pribadi Marsel yang telah siap di belakang kemudi. "Kita ke mall dulu. Beliin baju buat dia. Lihatlah! Bajunya sudah nggak layak pakai seperti itu," jawa
Nawang hanya mengangguk. Dia juga bukan orang bodoh yang akan membeberkan rahasia siapa mereka di masa lalu. Karena bagi Nawang, kisah itu sudah dia kubur dalam-dalam. Untuk apa lagi harus membuka kisah lama. Yang ada nanti dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Karena pasti orang-orang akan berpikir jika Nawang masih mengharapkan cintanya Marsel. "Tenang saja. Tanpa kamu beri tahu pun, aku nggak akan melakukannya," ucap Nawang sambil menatap lurus wajah Marsel. Dulu memandang wajah itu selalu bisa membuatnya merasa tenang. Tapi sekarang, Nawang ingin sekali meminimalkan berinteraksi dengan Marsel karena tak tahan dengan sikap angkuhnya. "Cepat makan! Habis makan kamu susui Axelle di kamarnya!" perintah Marsel. "Jadi namanya Axelle?" tanya Nawang dengan mata membola. Dia kaget mendengar nama bayi itu. Marsel diam sejenak sebelum akhirnya memberikan sebuah anggukan. Dia lalu memakan makanan di hadapannya tanpa suara. Sedangkan Nawang mengulas secuil kisah manis dalam ingata
Nawang urung beristirahat. Dia bergegas menuju kamar Axelle untuk mengecek keadaan bayi itu. "Badannya agak demam. Tolong ambilkan termometer!" pinta Nawang. Marsel pun bergegas menuju kotak P3K untuk mengambil termometer dan memberikannya pada Nawang. Setelah menempelkan termometer ke salah satu lekukan badan Axelle, Nawang membaca angka yang tertera. "Panasnya 38,5 derajat. Pantas saja dia rewel," ucap Nawang lalu dia mulai menggendong Axelle. "Terus bagaimana? Apa perlu kita bawa ke IGD?" tanya Marsel mulai panik. Ini adalah pengalaman pertama dia menjadi seorang ayah. Jadi wajar kalau dia kebingungan. "Tenang dulu. Panasnya belum terlalu tinggi. Insya Allah bisa turun jika rutin mengkonsumsi ASI. ASI adalah makanan dan obat terbaik untuk bayi." Penjelasan Nawang membuat Marsel sedikit bernafas lega. "Ijinkan aku membawa Axelle tidur di kamarku. Biar aku nggak harus bolak-balik ke kamar Axelle jika tiba waktu dia menyusu. Juga biar dia lebih nyenyak tidurnya karena nggak haru
"Sa ... saya ... nggak pernah ..." Nawang terbata. Dia ingin membela diri tapi lidahnya terasa kaku, bingung harus darimana menjelaskannya. "Aku nggak pernah selingkuh sama Nawang, Ma. Mama salah paham." Marsel menyelamatkannya. "Lalu kenapa dia ada di rumahmu?" Wajah perempuan itu memerah. Tangannya berkacak pinggang. Matanya melotot. Nawang sampai begidik melihatnya. "Dia adalah ibu susu untuk Axelle," terang Marsel. Mata ibunya kembali membola. Masih tak menyangka kalau Nawang yang akhirnya menjadi ibu susu untuk cucunya. "Kamu nggak bisa cari orang lain? Gimana kalau dia sampai mencelakai Axelle karena sakit hati nggak jadi nikah sama kamu?" Perempuan itu mulai mengada-ada. Nawang hanya menghela nafas dituduh demikian. Padahal dulu Nawang lah yang mundur dari hubungan. Kalau Nawang memang sepicik itu, sudah pasti dia lebih memilih nikah lari dengan Marsel. "Maaf, Bu, tapi saya nggak akan melakukan itu. Saya menyayangi Axelle seperti anak saya sendiri. Tadi malam dia demam. B
Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t
Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k
Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal
Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s
"Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata
"Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.
Nawang membawa Axelle melangkah masuk. Bu Sri menuntun Nawang ke sebuah ruangan kecil di salah satu sudut warung. Terpisah dengan ruang depan di mana pengunjung makan. Mata Nawang langsung membola. Ruang kecil itu penuh dengan mainan dan kasur kecil yang pas untuk tubuh Axelle. Tak lupa Bu Sri juga menyiapkan kipas angin agar Axelle tidak kegerahan berada di dalamnya. "Ibu nyiapin ini semua buat Axelle?" tanya Nawang dengan tatapan heran. "Tentu saja. Buat siapa lagi memangnya?" jawab Bu Sri masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Bu, sambutan ini terlalu berlebihan. Saya kan hanya pembantu ibu di sini," ucap Nawang dengan mata mulai berkaca-kaca. "Nggak ada yang namanya pembantu di sini. Memangnya ini restoran mewah apa? Sengaja ibu buatkan ruangan ini agar Axelle nyaman dan tidak rewel kalau kamu tinggal kerja," ujarnya dengan sorot mata penuh binar. "Ya Allah, Bu. Ibu baik sekali dengan saya. Bagaimana caranya saya membalas semua ini?" Nawang hampir mencebik. Dia t
"Sebenarnya mau kamu apa sih, Na? Kalau kamu mati kelaparan di sini nanti aku juga yang repot. Nyiapin acara tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari ...""Eh ... eh ... ngomong apa itu? Kamu doain aku cepat mati? Dengerin ya, Sel, aku nggak akan mati semudah itu," sambar Nawang. Dia memasang wajah sebal. "Habisnya kamu ngeselin. Selalu bikin aku naik darah.""Kamu dan ibumu juga begitu," gumam Nawang dalam hati "Bahkan berlipat-lipat ngeselinnya. Andai saja aku nggak sayang dengan Axelle, sudah angkat kaki aku dari rumah ini."Namun jangankan semua kalimat itu bisa meluncur bebas dari bibirnya, Nawang malah memilih untuk meredamnya. Nawang mengerti, Marsel begini karena tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi. Dan Nawang memilih diam karena dia tidak mau mengadu domba keduanya. Dia tidak mau melihat hubungan ibu dan anak menjadi hancur."Terus ngapain kamu makan nasi bungkus? Mana ada gizinya? Padahal tadi aku sudah belikan kamu kerang laut. Ke mana makanan yang aku belika
"Di rumah itu ada pintu belakang yang jarang dibuka. Tapi sebenarnya kamu bisa cepat sampai di sini jika lewat pintu itu. Tanpa ketahuan sama satpam di depan," jelas Bu Sri dengan raut wajah serius. "Oya? Kok ibu bisa tahu?""Dulu pembantu yang bekerja di situ sering memesan makanan di warung ibu. Ibu nganternya lewat pintu belakang. Apa sih bahasa kerennya sekarang? COD ya?" tanya Bu Sri sambil garuk-garuk kepala. Nawang terkekeh kecil. "Iya, Bu. Benar. Nanti akan aku coba cari di mana letak pintu itu.""Kalau sekarang paling udah jarang dibuka, Nak. Paling juga sudah banyak ditumbuhi tumbuhan liar. Pokoknya pintunya itu di dekat kolam renang."Nawang mengangguk mengerti. Dia mengucapkan terima kasih pada Bu Sri karena sudah banyak membantu. Karena hari sudah semakin sore, Nawang pamit pulang. Takut keduluan oleh Marsel. Bu Sri pun tidak membiarkan Nawang pulang dengan tangan kosong. Dia memberikan sebungkus nasi dengan lauk bali telur dan orek tempe untuk Nawang. "Terima kasih b