"Operasinya gagal, Dok?" Tangis Nawang hampir saja pecah. Tapi dia masih berharap bahwa dokter menyampaikan informasi yang keliru.
"Dokter nggak salah bicara kan? Dokter nggak lagi bercanda kan?" tanya Nawang dengan tubuh gemetar.
Dia tidak bisa langsung menerima kenyataan bahwa harapannya ternyata kandas. Padahal dia terlalu menumpukan hadapan terlalu tinggi pada operasi tersebut.
"Iya, Bu. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya dan teman-teman tenaga medis yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain."
Nawang menggigit bibir kuat-kuat. Seketika kaki Nawang terasa lunglai. Seolah semua tenaga telah tersedot habis oleh duka. Dia mulai kehilangan keseimbangan. Pandangan matanya mulai menggelap, lalu kemudian dia ambruk ke atas lantai. Nawang kehilangan kesadarannya.
Beberapa tenaga medis langsung memberikan pertolongan pada Nawang. Satu dua orang bahkan ikut menangis. Membayangkan betapa pedihnya berada di posisi Nawang. Apalagi sebagian besar dari mereka paham sesulit apa keadaan Nawang. Tapi apa mau dikata. Takdir sudah berjalan seperti bagaimana Tuhan menuliskannya.
Tak terkira seberapa perih hatinya. Namun dunia tetap memaksanya untuk menjadi manusia yang kuat. Nawang perlahan membuka mata. Dan pertanyaan pertama yang dia terima semakin meremuk redamkan perasaannya.
"Bu, anaknya sudah selesai dimandikan dan dikafani. Mau diantar pulang sama pihak rumah sakit untuk dimakamkan?"
Nawang hanya terdiam. Tatapannya kosong. Tapi dia masih mendengar dengan jelas setiap orang yang mengajaknya bicara. Dan kata pemakaman terasa menyakitkan baginya.
"Bu, apakah ada keluarga yang bisa menjemput?" Perawat itu melempar pertanyaan lagi. Tapi Nawang hanya menunduk.
Beberapa detik kemudian, Nawang menggeleng pelan. Masih dengan mata yang sayu. Dia tampak lelah lahir dan batin. Bahkan kelopak matanya tampak menghitam akibat kurang tidur.
"Lalu ini bagaimana, Bu, jenazah anaknya?" Perawat itu bertanya lagi. Dia duduk di samping Nawang dan mengajaknya bicara dengan sabar.
"Akan saya bawa pulang sendiri," jawab Nawang pada akhirnya.
"Kalau perlu bantuan, pihak rumah sakit siap membantu Bu Nawang. Pak Marsel sudah memberi kita perintah untuk membantu Bu Nawang."
Nawang mengerjab beberapa kali. Dia lalu menoleh, menatap wajah perawat tersebut dengan sendu.
"Marsel?" Nawang masih tak percaya. Marsel yang biasa bersikap dingin dan angkuh tiba-tiba menunjukkan kepeduliannya.
"Iya, Bu. Pak Marsel itu ayah dari bayi laki-laki yang ibu susui," terang sang perawat.
Nawang hanya mengangguk. Dia tersenyum simpul. Dia bahkan sudah mengenal Marsel lebih jauh daripada orang-orang di rumah sakit ini. Tapi tidak ada yang tahu masa lalu keduanya. Semua rahasia itu keduanya simpan dengan rapat.
"Sampaikan terima kasih saya kepada Pak Marsel," ucap Nawang dengan bibir bergetar menahan tangis. Sedih dan sesak yang dia rasakan sendiri. Bahkan hadirnya Marsel kembali di hidupnya tak lantas membuat Nawang merasa lebih baik.
"Aku sudah menganggap Marsel bagian dari masa laluku. Semua hal tentang dia sudah ku kubur dalam-dalam. Bagiku masa depanku hanyalah suami dan anakku. Tapi kenapa Tuhan malah memanggilnya pulang di waktu yang hampir bersamaan. Lalu menghadirkan Marsel kembali di hidupku. Tuhan ... sebenarnya apa rencana-Mu untukku?" Nawang bergelut dengan isi kepalanya sendiri.
Dipaksanya tubuh yang lelah itu untuk bangun. Dia berjalan menuju kamar jenazah. Tempat dimana bayinya disemayamkan.
Nawang menyibak selimut yang menutupi tubuh putrinya. Bayi itu terlihat cantik meski wajahnya tampak pucat. Nawang berusaha menahan air mata agar tidak jatuh di atas jenazah anaknya. Meski hatinya tercabik. Melihat anaknya berpulang lebih dulu. Padahal dia masih ingin merawat dan membesarkan anak itu.
"Tidur yang tenang ya, Sayang. Sekarang kamu sudah nggak ngerasain sakit lagi. Bahagia disana sama ayah ya, Nak. Mama titip salam buat ayah."
Nawang menyeka air mata yang mulai turun. Dia angkat jenazah bayi tersebut dan mendekapnya dalam pelukannya untuk yang terakhir kali.
***
Pemakaman telah selesai. Tapi Nawang belum beranjak pergi. Diusapnya lembut batu nisan bertuliskan nama anaknya seolah dia sedang mengusap wajah anak yang dicintainya itu.
Nawang tertegun. Sudah tidak ada lagi pelayat yang tinggal. Atau sekedar membujuknya untuk pulang. Karena memang kini Nawang hanya hidup sebatang kara. Orang tuanya pun sudah meninggal semua. Kini dia melangkah bagai manusia tanpa tujuan.
"Aku harus kemana setelah ini?"
Nawang mulai bingung. Semua biaya rumah sakit sudah dilunasi oleh Marsel. Dia tidak perlu memikirkannya lagi. Harusnya dia merasa lega. Tapi nyatanya dia malah kebingungan. Dia tak tahu kemana harus pulang. Karena dia sudah nunggak bayar sewa kontrakan satu bulan lamanya. Pulang ke sana pasti juga ujung-ujungnya dia diusir oleh sang pemilik kontrakan.
"Nawang!" Mendengar seseorang memanggilnya, Nawang lekas menoleh. Dia mengenali suara itu.
"Marsel?" Nawang menatap Marsel dengan tanda tanya di kepala. Sepeduli itukah dia sampai bela-belain datang ke pemakaman putrinya.
"Ayo pulang!" ajak Marsel.
"Pulang kemana?" Nawang masih bingung.
"Pulang ke rumahku. Memangnya kamu mau ke mana? Balik ke rumah sakit?"
Nawang terdiam sejenak. "Apa aku jadi kerja sama kamu?" Nawang bertanya dengan hati-hati.
Jujur dia kecewa dengan keadaan. Dia rela menjadi ibu susu untuk anak orang demi menyelamatkan nyawa anaknya. Tapi harapan tak sesuai dengan takdir yang berjalan.
"Kamu pikir melunasi biaya rumah sakit yang segitu banyak aku lakukan karena cuma-cuma? Kamu melakukan ini semua demi nyawa anakmu. Dan aku pun sama. Rela menggelontorkan uang sebanyak itu juga demi menyelamatkan anakku."
"Maaf. Aku nggak bermaksud ..." Nawang merasa serba salah.
"Nggak bermaksud apa? Kamu mau coba-coba lari dari perjanjian yang sudah kamu sepakati?" Marsel berbicara dengan nada berapi-api. Nawang sampai begidik sendiri melihatnya.
"Enggak. Bukan begitu."
"Kalau begitu, ayo pulang ke rumahku sekarang! Tunaikan tugasmu sebagai ibu susu untuk anakku. Seperti apa yang sudah kamu tanda tangani kemarin. Kontrak kerja yang sudah ditanda tangani tidak bisa dibatalkan begitu saja. Paham?!"
***
Nawang tertegun sejenak. Dia tidak bermaksud kabur atau ingkar pada perjanjian tersebut. Tapi dia ingin mengundurkan diri dengan cara baik-baik. Tapi kembali lagi, Nawang berpikir panjang. Benar kata Marsel, dia telah menggelontorkan banyak uang untuk membantu dirinya. Maka tidak mungkin dia membatalkan pekerjaan tersebut. "Kok diam saja? Ayo jalan! Ikuti aku ke mobil!" perintah Marsel sekali lagi. Nawang hanya bisa meng-iya-kan semua ucapan Marsel. Karena kini Marsel adalah bos-nya. Nawang berjalan mengekor di belakang Marsel sambil menundukkan kepala. Seorang anak buah Marsel lalu membukakan pintu mobil agar Nawang bisa masuk. Dinginnya AC mobil langsung menyambut Nawang. Dia sampai merapatkan kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Nawang tidak pernah merasakan naik mobil semewah itu. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya sopir pribadi Marsel yang telah siap di belakang kemudi. "Kita ke mall dulu. Beliin baju buat dia. Lihatlah! Bajunya sudah nggak layak pakai seperti itu," jawa
Nawang hanya mengangguk. Dia juga bukan orang bodoh yang akan membeberkan rahasia siapa mereka di masa lalu. Karena bagi Nawang, kisah itu sudah dia kubur dalam-dalam. Untuk apa lagi harus membuka kisah lama. Yang ada nanti dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri. Karena pasti orang-orang akan berpikir jika Nawang masih mengharapkan cintanya Marsel. "Tenang saja. Tanpa kamu beri tahu pun, aku nggak akan melakukannya," ucap Nawang sambil menatap lurus wajah Marsel. Dulu memandang wajah itu selalu bisa membuatnya merasa tenang. Tapi sekarang, Nawang ingin sekali meminimalkan berinteraksi dengan Marsel karena tak tahan dengan sikap angkuhnya. "Cepat makan! Habis makan kamu susui Axelle di kamarnya!" perintah Marsel. "Jadi namanya Axelle?" tanya Nawang dengan mata membola. Dia kaget mendengar nama bayi itu. Marsel diam sejenak sebelum akhirnya memberikan sebuah anggukan. Dia lalu memakan makanan di hadapannya tanpa suara. Sedangkan Nawang mengulas secuil kisah manis dalam ingata
Nawang urung beristirahat. Dia bergegas menuju kamar Axelle untuk mengecek keadaan bayi itu. "Badannya agak demam. Tolong ambilkan termometer!" pinta Nawang. Marsel pun bergegas menuju kotak P3K untuk mengambil termometer dan memberikannya pada Nawang. Setelah menempelkan termometer ke salah satu lekukan badan Axelle, Nawang membaca angka yang tertera. "Panasnya 38,5 derajat. Pantas saja dia rewel," ucap Nawang lalu dia mulai menggendong Axelle. "Terus bagaimana? Apa perlu kita bawa ke IGD?" tanya Marsel mulai panik. Ini adalah pengalaman pertama dia menjadi seorang ayah. Jadi wajar kalau dia kebingungan. "Tenang dulu. Panasnya belum terlalu tinggi. Insya Allah bisa turun jika rutin mengkonsumsi ASI. ASI adalah makanan dan obat terbaik untuk bayi." Penjelasan Nawang membuat Marsel sedikit bernafas lega. "Ijinkan aku membawa Axelle tidur di kamarku. Biar aku nggak harus bolak-balik ke kamar Axelle jika tiba waktu dia menyusu. Juga biar dia lebih nyenyak tidurnya karena nggak haru
"Sa ... saya ... nggak pernah ..." Nawang terbata. Dia ingin membela diri tapi lidahnya terasa kaku, bingung harus darimana menjelaskannya. "Aku nggak pernah selingkuh sama Nawang, Ma. Mama salah paham." Marsel menyelamatkannya. "Lalu kenapa dia ada di rumahmu?" Wajah perempuan itu memerah. Tangannya berkacak pinggang. Matanya melotot. Nawang sampai begidik melihatnya. "Dia adalah ibu susu untuk Axelle," terang Marsel. Mata ibunya kembali membola. Masih tak menyangka kalau Nawang yang akhirnya menjadi ibu susu untuk cucunya. "Kamu nggak bisa cari orang lain? Gimana kalau dia sampai mencelakai Axelle karena sakit hati nggak jadi nikah sama kamu?" Perempuan itu mulai mengada-ada. Nawang hanya menghela nafas dituduh demikian. Padahal dulu Nawang lah yang mundur dari hubungan. Kalau Nawang memang sepicik itu, sudah pasti dia lebih memilih nikah lari dengan Marsel. "Maaf, Bu, tapi saya nggak akan melakukan itu. Saya menyayangi Axelle seperti anak saya sendiri. Tadi malam dia demam. B
"Saya nggak ngasih apa-apa ke baju Axelle, Bu," jawab Nawang dengan bibir bergetar. Dia sedih kenapa ibunya Marsel selalu menuduhnya yang tidak-tidak. Padahal Nawang mana mungkin tega menyelakai bayi mungil itu. "Lihatlah! Badannya penuh ruam merah. Kamu pasti nggak bersih nyuci baju dia," tuduhnya lagi.Nawang lekas menggeleng, "Sa ... saya belum pernah nyuci baju Axelle, Bu. Semua baju-baju dia di lemari baru beli semua.""Nah ... itu salahmu!" ucap perempuan tua itu lagi "Harusnya baju baru itu dicuci dulu sebelum dipakaikan. Ini malah nggak dicuci sama sekali. Gimana sih kamu itu."Nawang hampir mencebik. Jujur dia lelah menghadapi ibunya Marsel yang selalu cari perkara dengannya. "Baik, Bu. Nanti akan saya cuci," jawab Nawang sambil menundukkan kepala. "Ada apa sih ini?" tanya Marsel yang baru saja datang. "Ini si Nawang teledor. Kulit Axelle sampai iritasi. Lihat! Sampai merah-merah begini," tunjuk perempuan itu pada Marsel. "Nawang, cuci semua baju Axelle sekarang juga!" p
Teriakan Nawang yang spontan menyebut nama Marsel membuat security terkejut. Mulutnya melongo serta matanya membundar. "Berani-beraninya dia manggil tuan rumah tanpa sebutan 'Pak'? Bisa dikunyah hidup-hidup entar dia," ucapnya dalam hati. Nawang menepuk jidat, Marsel memberikan dia tatapan tajam. Dia kemudian berdehem, memberi Nawang kode. "Ehem ...""Eh ... Pak Marsel, maaf. Tadi saya panik. Itu si Axelle ... badannya merah-merah lagi. Padahal semua bajunya sudah saya cuci dan saya pastikan bersih. Kayaknya dia bukan karena iritasi baju baru deh, Pak. Kenapa lagi ya dia?" jelas Nawang bercampur rasa takut dan gugup. "Baik. Akan saya hubungi dokter Dani."Marsel merogoh ponsel dalam saku celananya lalu menelepon dokter Dani, dokter anak yang praktek di rumah sakit miliknya. "Hallo selamat sore, Dok! Saya mau tanya nih, Dok. Anak saya badannya muncul ruam merah. Itu kenapa ya, Dok?" tanya Marsel setelah telepon tersambung. "Munculnya ruam merah pada kulit bayi bisa disebabkan ole
"Tapi, Bu, saya nggak berani ambil keputusan apapun tanpa ijin dari Pak Marsel," Nawang mencoba mencari alasan untuk menolak. Nawang sayang dengan Axelle meski bukan anaknya sendiri. Dia tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa dengan Axelle. "Halah ... dia itu anakku. Dia pasti nurut sama semua perintahku," bantahnya lagi. Nawang membuang nafas kesal. "Maaf, Bu, sebelumnya. Saya mau cerita. Soal kemarin yang badan Axelle muncul ruam-ruam merah, itu bukan karena iritasi baju. Ternyata dia itu alergi sama minyak telon.""Haha ... ilmu darimana itu? Mana ada bayi alergi sama minyak telon." Dia malah terbahak. "Iya, Bu. Saya serius. Pak Marsel sendiri yang konsultasi sama dokter anak," jelas Nawang lagi. "Nggak percaya aku. Pasti itu hanya karanganmu saja.""Silakan tanya sendiri ke Pak Marsel kalau ibu tidak percaya dengan omongan saya," tegas Nawang. "Kamu itu cuma pembantu ya. Bukan ratu di sini. Jadi jangan coba-coba melawan saya!" gertak perempuan itu."Siapa yang melawan ibu. Sa
"Nanti aku pikirkan lagi, Ma. Sekarang aku masih sibuk."Marsel mematikan telepon."Hallo, Sel! Marsel! Ih ... mama masih ngomong kok malah dimatiin sih," gerutu perempuan tua itu sendirian. "Rasain tuh! Emang enak nggak digubris sama anak sendiri," ucap Nawang lirih sambil terkekeh kecil. Saat Nawang hendak berbalik pergi, meninggalkan tempat persembunyiannya, ibunya Marsel tiba-tiba sudah berdiri di depannya. "Heh ... ngapain kamu di sini? Jangan-jangan kamu nguping aku telepon dengan Marsel ya. Ngaku!" gertaknya. Nawang sedikit merasa takut, tapi dia berusaha tenang agar tidak ketahuan. "Enggak kok, Bu. Ini tadi saya lihat cicak kejepit pintu. Karena kasihan, jadi saya tolongin dia. Permisi!" Nawang langsung berlari pergi. Sedangkan ibunya Marsel memilih pulang. Setiap hari, Nawang selalu deg-degan tiap pagi. Pasalnya tiap perempuan tua itu datang, selalu saja ada ulahnya yang membuat Nawang jengkel. Berbagai fitnah telah kenyang Nawang terima. Untungnya Marsel tidak terpengar
Bab 37 :Udara malam terasa dingin menusuk kulit saat Nawang dan Marsel akhirnya memutuskan untuk pulang. Axelle kecil, yang sejak sore tampak ceria, kini mulai menguap lebar, matanya yang bulat nyaris terpejam dalam gendongan Nawang. Marsel segera mengambil alih, membopong putranya dengan hati-hati. Ia tahu, udara malam yang seperti ini tidak baik untuk anak kecil, apalagi Axelle memang sedikit sensitif terhadap perubahan cuaca."Cepat masuk, Na. Udara makin dingin," perintah Marsel sambil membukakan pintu mobil. Mobil segera melaju pergi meninggalkan lapak penjual nasi goreng tersebut. Namun mereka berjanji akan datang kembali mengingat kelezatan rasa nasi goreng itu. Setelah mobil memasuki halaman, Nawang bergegas masuk sambil memeluk Axelle dengan erat. Axelle hanya meringkuk kecil di dada Nawang. Matanya sudah benar-benar tertutup. Nafasnya teratur dan tenang. "Langsung tidurkan saja di kamarnya. Terus kamu segera istirahat," perintah Marsel sekali lagi. Nawang pun mengangguk
Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t
Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k
Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal
Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s
"Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata
"Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.
Nawang membawa Axelle melangkah masuk. Bu Sri menuntun Nawang ke sebuah ruangan kecil di salah satu sudut warung. Terpisah dengan ruang depan di mana pengunjung makan. Mata Nawang langsung membola. Ruang kecil itu penuh dengan mainan dan kasur kecil yang pas untuk tubuh Axelle. Tak lupa Bu Sri juga menyiapkan kipas angin agar Axelle tidak kegerahan berada di dalamnya. "Ibu nyiapin ini semua buat Axelle?" tanya Nawang dengan tatapan heran. "Tentu saja. Buat siapa lagi memangnya?" jawab Bu Sri masih dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Bu, sambutan ini terlalu berlebihan. Saya kan hanya pembantu ibu di sini," ucap Nawang dengan mata mulai berkaca-kaca. "Nggak ada yang namanya pembantu di sini. Memangnya ini restoran mewah apa? Sengaja ibu buatkan ruangan ini agar Axelle nyaman dan tidak rewel kalau kamu tinggal kerja," ujarnya dengan sorot mata penuh binar. "Ya Allah, Bu. Ibu baik sekali dengan saya. Bagaimana caranya saya membalas semua ini?" Nawang hampir mencebik. Dia t
"Sebenarnya mau kamu apa sih, Na? Kalau kamu mati kelaparan di sini nanti aku juga yang repot. Nyiapin acara tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari ...""Eh ... eh ... ngomong apa itu? Kamu doain aku cepat mati? Dengerin ya, Sel, aku nggak akan mati semudah itu," sambar Nawang. Dia memasang wajah sebal. "Habisnya kamu ngeselin. Selalu bikin aku naik darah.""Kamu dan ibumu juga begitu," gumam Nawang dalam hati "Bahkan berlipat-lipat ngeselinnya. Andai saja aku nggak sayang dengan Axelle, sudah angkat kaki aku dari rumah ini."Namun jangankan semua kalimat itu bisa meluncur bebas dari bibirnya, Nawang malah memilih untuk meredamnya. Nawang mengerti, Marsel begini karena tidak tahu hal yang sebenarnya terjadi. Dan Nawang memilih diam karena dia tidak mau mengadu domba keduanya. Dia tidak mau melihat hubungan ibu dan anak menjadi hancur."Terus ngapain kamu makan nasi bungkus? Mana ada gizinya? Padahal tadi aku sudah belikan kamu kerang laut. Ke mana makanan yang aku belika