Keesokan paginya, aku dipanggil ke ruangan HRD. Jantungku berdebar kencang saat melangkah masuk, bertanya-tanya apa yang akan mereka katakan padaku. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah menyambutku di meja resepsionis.
"Halo, Sonia. Ayo masuk, kami sudah menunggu," katanya dengan senyum yang menenangkan.
Aku mengikuti dia ke sebuah ruangan yang terang dan rapi. Di dalam, ada seorang pria dengan kacamata tipis yang duduk di belakang meja besar. Dia berdiri dan menyambutku dengan ramah.
"Selamat pagi, Sonia. Nama saya Pak Joko, kepala divisi HRD. Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan meja.
Dengan gugup, aku duduk dan menunggu apa yang akan dia katakan.
"Sonia, saya ingin memberitahumu bahwa kamu telah diberikan posisi sebagai Junior Asisten di divisi ini," kata Pak Joko sambil tersenyum. "Ini adalah posisi paling bawah di divisi ini, tapi merupakan awal yang bagus."
Aku mengangguk, mencoba memahami semuanya. "Apa saja tugas saya, Pak?" tanyaku, mencoba menjaga suaraku tetap tenang.
"Sebagai Junior Asisten, tugasmu akan sangat beragam," jelas Pak Joko. "Kamu akan terlibat dalam administrasi sehari-hari, menjawab telepon, mengatur jadwal pertemuan, dan memberikan dukungan kepada tim dalam berbagai proyek. Selain itu, kamu juga akan bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan Mr. Wei dan bekerja langsung di bawah pengawasannya."
Aku mencoba menyerap semua informasi yang diberikan oleh Pak Joko, sementara pikiranku berputar cepat mempertimbangkan segala hal yang akan datang. "Terima kasih banyak, Pak. Saya sangat menghargai kesempatan ini," jawabku dengan tulus. Rasanya seperti beban besar terangkat dari bahuku.
"Saya yakin kamu akan melakukan pekerjaan yang luar biasa, Sonia. Ingin saya katakan, setiap posisi memiliki potensi untuk berkembang, dan saya mendorong kamu untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya," kata Pak Joko sembari tersenyum.
Setelah beberapa menit ngobrol, kami menyudahi pertemuan tersebut. Saat aku keluar dari ruangan, rasa penasaran mulai menghantui pikiranku tentang bagaimana kehidupan kerjaku akan berjalan, terutama apa yang akan terjadi ketika aku harus bekerja langsung
Ketika aku keluar dari kantor Pak Joko, langkahku terasa lebih ringan. Namun, suasana gembira itu segera terganggu ketika resepsionis memanggilku. "Sonia, tunggu sebentar!" katanya dengan suara lembut. Aku berhenti dan menoleh, wajahku kini dipenuhi rasa ingin tahu. "Ada apa?" tanyaku. Resepsionis itu mengangguk, kemudian melanjutkan, "Mr. Wei memanggilmu ke kantornya. Dia ingin berbicara denganmu tentang beberapa hal penting."
Dengan jantung berdegup kencang, aku merasa campur aduk antara khawatir dan antusias. Aku mengucapkan terima kasih kepada resepsionis sebelum bergegas menuju kantor Mr. Wei, tidak sabar untuk mengetahui apa yang diinginkannya.
Saat mendekati pintu kantor Mr. Wei, aku melihat seorang karyawan wanita berpayudara besar keluar dengan cepat. Wanita itu tampak terburu-buru, sambil membetulkan kancing bajunya yang terlihat sedikit berantakan. Raut wajahnya menunjukkan kepuasan namun berubah sinis ketika melihatku.
Aku mengetuk pintu ringan sebelum masuk ke dalam kantor Mr. Wei. Setelah memastikan tidak ada orang di dalam, aku memutuskan untuk berdiri di depan meja Mr. Wei sambil menunggu.
Beberapa menit berlalu, dan suasana menjadi terasa hening. Tiba-tiba, pintu kecil di pojok ruangan terbuka, dan Mr. Wei muncul dari toilet, wajahnya terlihat segar setelah mencuci tangan.
Lalu, Mr. Wei berdiri di depan mejanya dan mendudukkan bokongnya ke meja tersebut, tampak santai namun tetap berwibawa. Dia memanggilku untuk mendekatinya, dan aku merasa ragu namun tetap melangkah mendekat. Aku mengelus-elus lengan bajuku, merasakan ketegangan di udara antara kami.
"Pakaian apa yang kamu kenakan ini, hah?" tanya Mr. Wei dengan nada sedikit mengejek. Aku merasa sedikit terkejut, menyadari bahwa aku mengenakan safari berwarna krem yang dipadukan dengan dalaman turtleneck hitam dan celana jeans biru.
"Ini hanya pakaian santai, Mr. Wei," jawabku dengan suara ragu. "Saya pikir ini cukup nyaman untuk bekerja."
"Saya tidak suka," Mr. Wei berbisik, suaranya rendah dan penuh penekanan. "Memangnya dengan menggajimu besar, saya harus melihatmu seperti ini setiap hari?" Rasa terkejut melanda diriku, seolah-olah dia baru saja memberikan sebuah tamparan. Aku merasa darahku mendidih, namun keputusan untuk tetap tenang sangat penting. "Namun, saya hanya ingin menunjukkan sisi santai dari diri saya, Mr. Wei," balasku berusaha memperhalus situasi.
"Apakah pakaianmu semua seperti ini?" tanya Mr. Wei dengan nada yang masih penuh skeptisisme. Aku merasa jantungku berdegup kencang, berpikir sejenak untuk merespons."Saya selalu berusaha untuk tampil nyaman dan profesional sesuai dengan pengalaman yang saya miliki, Mr," jawabku dengan suara tegas meskipun terasa bergetar. "Tapi saya juga terbuka untuk saran mengenai cara berpakaian yang lebih sesuai dengan ekspektasi di kantor ini."Mr. Wei lalu berjalan keluar ketika di pintu. "Ikut dengan saya," perintahnya. Aku merasa sedikit terkejut, namun segera mengikuti langkahnya. Kami berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi dengan gambar-gambar karyawan yang berprestasi dan penghargaan yang diraih oleh perusahaan.Aku mengikuti Mr. Wei dengan langkah ragu, menahan rasa cemas yang menyelimuti pikiranku. Saat kami tiba di area parkir, Mr. Wei langsung menuju mobil hitam yang terparkir rapi. Begitu dia membuka pintu, sopirnya segera mendekat dan bertanya, "Mau ke mana, Mr?"Mr. Wei menjawab
Saat pintu private lift apartemen terbuka, suasana mewah langsung menyergap indra kami. Mr. Wei melangkah keluar dengan percaya diri, sementara aku hanya bisa mengikutinya dengan perasaan campur aduk yang terus mendera. Begitu masuk ke dalam apartemen yang dipenuhi dengan perabotan mewah, ia langsung melucuti pakaiannya dengan sikap tenang, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkanku tertegun sejenak di lorong yang luas. Suara detak jantungku seakan menguasai seluruh ruangan, dan pertanyaan berputar di benakku tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Seketika, suara Mr. Wei menggema dari dalam kamar, "Sonia, kemari!!" Panggilan suaranya yang tegas membuatku terperanjat dari lamunan. Apa yang diinginkannya dariku? Ketegangan sudah meluap, dan aku berusaha menenangkan diri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang yang diinginkan Mr. Wei.Mr. Wei berbaring di ranjang king size, kemudian dengan lembut menepuk ranja
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari gelombang keinginan yang masih membara di tubuhku. Mr. Wei mengamati tubuhku dengan seksama, dan pandangannya tertuju pada dadaku. Aku mengikuti tatapannya dan menyadari apa yang dilihatnya. Kedua payu*daraku penuh dan meneteskan ASI karena dari pagi belum sempat aku keluarkan untuk menyapih anakku.Mr. Wei tampak terperangah, namun matanya berkilat dengan ketertarikan yang mendalam. "Sonia," bisiknya dengan nada yang lebih lembut, "kau sungguh mempesona."Aku merasa pipiku memerah, malu dan terkejut oleh situasi ini. "Maaf, Mr. Wei. Saya tidak bermaksud...""Tidak perlu minta maaf. Ini adalah bagian dari dirimu yang alami dan indah," katanya, suaranya penuh kehangatan. Tangannya terulur, dengan lembut menyentuh payu*daraku yang penuh, dan aku merasakan arus listrik mengalir melalui tubuhku."Biarkan aku membantu," katanya, dan tangan serta mulutnya mulai bekerja dengan keahlian yang luar biasa. Setiap sentuhan, setiap hisap
Mr. Wei hanya tersenyum, matanya berkilat dengan keinginan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Dengan gerakan yang tegas, aku langsung menaiki tubuh Mr. Wei, merengkuh kendali atas kenikmatan kami. "Maafkan aku, Mr. Wei," bisikku dengan penuh gairah.Kugenggam kejantanannya yang kembali mengeras dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam vaginaku. Sensasi yang menggetarkan segera memenuhi tubuhku. "Ahhhh, besar sekali..." desahku dengan penuh nikmat. Mr. Wei mengerang rendah, tangannya menggenggam pinggulku dengan kuat, membantuku menetapkan ritme yang memabukkan.Kami bergerak bersama dalam harmoni yang sempurna, setiap dorongan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami dambakan. Matanya tidak pernah lepas dari wajahku, penuh dengan intensitas yang membuatku semakin terang*sang.Tak berapa lama, gelombang puncak menghampiriku, dan aku mencapai puncak dengan erangan yang tak tertahan. Tubuhku gemetar dalam pelukannya, merasakan setiap denyut dari kenikmatan yang luar biasa.Namun, Mr.
Mr. Wei memperhatikan dengan mata yang penuh gairah, senyumnya semakin melebar saat melihatnya. "Sonia, kamu benar-benar membuatku tergila-gila," katanya dengan nada memikat, membuatku merasakan getaran di seluruh tubuhku.Mr. Wei menghisap pun*tingku dengan lahapnya, meneguk setiap tetes ASI yang keluar. Sensasi yang kurasakan begitu intens, membuatku menggeliat dalam pelukannya. Setiap hisapan dan sentuhan bibirnya di kulitku membuatku semakin terang*sang, seolah-olah seluruh tubuhku merespons dengan penuh gairah.Aku menggenggam rambutnya, menariknya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari tubuhnya yang menempel erat padaku. "Mr. Wei..." desahku, suaraku bergetar oleh campuran rasa malu dan kenikmatan yang tak tertahankan.Lalu aku duduk di pangkuannya lagi, membiarkan Mr. Wei bermain-main dengan payu*daraku. Tangannya yang kuat dan terampil meremas lembut, sementara bibirnya terus mengeksplorasi setiap inci kulitku.Dengan hati-hati, aku menggenggam kejantanan Mr. Wei
"Kalau begitu, ceraikan aku saja, Biarkan aku yang merawat Angel." bisikku lirih, air mata mulai membasahi pipiku.Doni mendekat, tangannya mencengkeram leherku hingga tulang rahangku berderak, lalu menghempaskanku ke dinding."Kau pikir semudah itu? Dari mana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu, hah? Apa kau akan melacurkan diri?" tanyanya, napasnya bau alkohol menusuk hidung. Aku terbatuk, berusaha melepaskan cengkeramannya."Lalu, kau pikir biaya sebesar itu bisa didapatkan hanya dengan mabuk-mabukan?" lirihku. Kata-kataku seakan menusuknya dalam. Wajahnya memerah padam, urat-urat lehernya menonjol."Jangan berani-berani mengajariku cara hidup! Aku sudah cukup menderita karena kalian berdua!" Dengan kasar, ia melemparkanku ke lantai. Aku meringkuk di sudut, tulang rusukku terasa nyeri."Tolong, ceraikan saja aku. Hidupmu akan lebih tenang tanpaku dan Angel," pintaku, suara bergetar.Doni menghampiriku, menjambak rambutku dengan kasar. "Jangan bermimpi kau akan lepas dariku, wani
Aku membuka pintu ruangan Mr. Wei dengan perlahan. Di balik meja besar, Mr. Wei duduk di kursi bosnya, wajahnya terlihat gelisah dan marah. Aku bisa merasakan ketegangan di udara segera setelah matanya menatap tajam ke arahku."Mr. Wei, maaf aku terlambat," kataku dengan nada gemetar, kepalaku menunduk menghindari tatapan menusuknya."Tutup pintunya!" suaranya menggelegar, membuatku tersentak. Aku menutup pintu perlahan, berharap ini hanya mimpi buruk."Kunci!" perintahnya lagi. Jantungku berdegup semakin kencang. "Kenapa harus dikunci?" pikirku, merasa ketakutan."Jangan diam saja, kemari!" teriaknya, membuatku melangkah maju dengan ragu. Kaki-kakiku terasa berat, seolah-olah diikat oleh beban ketakutan."Kemari," ujarnya geram sambil menunjuk ke samping kursinya. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Langkahku kecil dan penuh keraguan saat aku mendekat. Setiap detik terasa seperti selamanya, ketegangan menyelimuti seluruh ruangan.Ketika aku hampir sampai di samping kursinya,
Mr. Wei tersenyum geli melihat ekspresi wajahku yang jelas-jelas kebingungan. "Kau terlihat seperti anak kecil yang baru saja diberi tugas sekolah," katanya.Aku mengerutkan kening, merasa sedikit kesal dengan reaksinya. "Ini tidak lucu, Mr. Wei," gerutuku, mencoba tetap serius meskipun dalam hati aku juga merasa sedikit terhibur.Senyum lebar mengembang di wajahnya, membuat kerutan di sudut matanya semakin dalam. "Aku akan mendirikan divisi kosmetik dan Itu adalah dokumen tentang pabrik yang akan kubeli. Pelajari semua yang diperlukan, mulai dari kondisi pabrik hingga potensi pasar."Aku mengangguk perlahan. "Baiklah, aku kira junior asisten kerjanya hanya menjawab telepon,"ujarku dengan nada setengah bercanda.Mr. Wei menatapku, matanya mendelik tajam. "Aku mengerti, aku mengerti," ujarku cepat sebelum dia sempat membentakku. "Aku mengerti, Mr. Wei."Mr. Wei menarik napas dalam-dalam, lalu menekan interkom. "Gita, masuk,'" perintahnya. Tak lama kemudian, seorang sekretaris cantik be