Share

Bab 8 - Misteri di Langham 3 (21++)

Mr. Wei hanya tersenyum, matanya berkilat dengan keinginan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Dengan gerakan yang tegas, aku langsung menaiki tubuh Mr. Wei, merengkuh kendali atas kenikmatan kami. "Maafkan aku, Mr. Wei," bisikku dengan penuh gairah.

Kugenggam kejantanannya yang kembali mengeras dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam vaginaku. Sensasi yang menggetarkan segera memenuhi tubuhku. "Ahhhh, besar sekali..." desahku dengan penuh nikmat. Mr. Wei mengerang rendah, tangannya menggenggam pinggulku dengan kuat, membantuku menetapkan ritme yang memabukkan.

Kami bergerak bersama dalam harmoni yang sempurna, setiap dorongan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami dambakan. Matanya tidak pernah lepas dari wajahku, penuh dengan intensitas yang membuatku semakin terang*sang.

Tak berapa lama, gelombang puncak menghampiriku, dan aku mencapai puncak dengan erangan yang tak tertahan. Tubuhku gemetar dalam pelukannya, merasakan setiap denyut dari kenikmatan yang luar biasa.

Namun, Mr. Wei belum selesai. Dengan lembut namun tegas, dia membaringkanku di atas ranjang, membuatku berbaring dengan pasrah. Dia menatapku dengan tatapan penuh hasrat, dan tanpa ragu, kembali menyodokkan kejantanannya ke dalamku.

Sensasi itu kembali menguasai tubuhku, kali ini lebih intens dan mendalam. Setiap dorongannya membawa kami lebih jauh ke dalam pusaran gairah yang kami ciptakan bersama. Aku melenguh, merasakan setiap gerakan yang penuh dengan kekuatan dan keinginan.

"Ah, Mr. Wei...," desahku, merasakan gelombang kenikmatan yang semakin kuat. Dia mengerang dengan suara yang dalam, memenuhi permintaanku dengan dorongan yang lebih dalam dan kuat. Setiap gerakan adalah simfoni yang membawa kami ke puncak yang baru, lebih tinggi dan lebih intens dari sebelumnya.

Tubuh kami bergerak dalam harmoni sempurna, setiap sentuhan dan dorongan adalah ekspresi dari keinginan dan cinta yang mendalam. Kami mencapai puncak bersama, terbungkus dalam gelombang kenikmatan yang menyatukan jiwa kami dalam cara yang tak terlukiskan.

Mr. Wei tersenyum, menatapku dengan tatapan penuh kasih dan kekaguman. "Sekarang kita fair, bukan aku yang memulai untuk memasukkan kejantananku ke dalammu," katanya dengan nada menggoda, membuatku tersenyum malu-malu.

Aku tertawa kecil, merasakan kehangatan dan kasih sayangnya. "Benar, Mr. Wei. Aku hanya tidak bisa menahan diriku lagi," jawabku jujur, mataku bertemu dengan matanya yang penuh dengan cerminan hasrat yang kami bagi.

Dia mengusap lembut pipiku, menghapus sisa-sisa keringat dari kenikmatan yang baru saja kami alami. "Sonia, kamu benar-benar luar biasa," bisiknya lembut di telingaku, suaranya penuh dengan kehangatan dan kekaguman.

"Apakah kau mendapatkan kenikmatan seperti ini dari suami berengsekmu?" tanyanya, suaranya terdengar menggoda namun penuh tantangan.

Aku menatapnya, merasakan campuran rasa sakit dan kebebasan yang baru. "Tidak, Mr. Wei. Dia tidak pernah bisa memberikanku apa yang kamu berikan," jawabku dengan jujur, merasakan beban yang terangkat dari hatiku.

Mr. Wei tersenyum penuh kemenangan. "Apakah kita berhenti sampai di sini?" tanyanya dengan nada menggoda, sambil menghisap pun*tingku, membuatku mendesah penuh kegelian.

"Aku tidak ingin ini berakhir, Mr. Wei," jawabku dengan nada manja, tubuhku merespons setiap sentuhannya dengan intensitas yang semakin meningkat.

"Lalu, mengapa kamu tampak enggan melepaskan pakaianmu saat pertama kali tiba?" tanyanya dengan nada penasaran dan sedikit menggoda, sambil menatap mataku dengan intens.

Aku menelan ludah, merasakan jantungku berdetak cepat. "Aku bukan pelacur, Mr. Wei," bisikku, suaraku bergetar dengan emosi yang campur aduk antara rasa sakit dan ketulusan.

Dia berhenti sejenak, menatapku dengan tajam sebelum menjawab dengan nada kesal, "Eh bodoh, siapa yang menganggapmu sebagai pelacur? Jika aku mau, aku bisa mendatangkan 100 pelacur sekarang juga!"

Kata-kata Mr. Wei menggantung di udara, memberi berat pada suasana di antara kami. Dalam kepalaku, terlintas berbagai pemikiran; apakah aku harus marah, atau justru mengabaikan komentar itu?

"Kalau begitu biarkan aku jadi pelacurmu," bisikku, air mataku pun menggenang, suaraku dipenuhi kepedihan dan keputusasaan.

Mr. Wei menatapku dengan sorot mata yang lebih lembut namun tetap tajam. "Baiklah, apakah kamu siap tubuhmu hanya untukku?" tanyanya dengan nada tegas, tangannya perlahan mengusap pipiku, menghapus air mata yang jatuh.

Aku menggigit bibir, merasakan gelombang emosi mengalir dalam diriku. "Ya, aku siap, Mr. Wei," jawabku dengan suara bergetar, namun penuh keyakinan. "Tubuhku, hatiku, semuanya untukmu."

Mr. Wei menyipitkan mata, menatapku dengan tatapan yang lebih tajam. "Lalu bagaimana dengan suamimu?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit ketegangan.

Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan gemuruh emosi yang berkecamuk dalam hatiku. "Suamiku... dia tidak pernah benar-benar mengerti aku. Hubungan kami hanya formalitas, tanpa cinta dan tanpa gairah," jawabku dengan suara serak.

Mr. Wei memiringkan kepalanya sedikit, seolah mencerna setiap kata yang kuucapkan. "Apakah kamu yakin tentang ini, Sonia?"

Aku mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi, hanya menatapnya dengan mata yang penuh keyakinan dan tekad. Mr. Wei menghela napas, seolah merasakan beban dari keputusan besar yang baru saja kuambil.

Dia kemudian menarikku ke dalam pelukannya, membiarkan tubuhku menyatu dengan kehangatan dan perlindungannya. "Baiklah," katanya dengan suara lembut tapi tegas.

Tiba-tiba, air susu menetes lagi dari kedua payudaraku yang kencang, menambah rasa malu sekaligus godaan di antara kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status