Mr. Wei hanya tersenyum, matanya berkilat dengan keinginan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Dengan gerakan yang tegas, aku langsung menaiki tubuh Mr. Wei, merengkuh kendali atas kenikmatan kami. "Maafkan aku, Mr. Wei," bisikku dengan penuh gairah.
Kugenggam kejantanannya yang kembali mengeras dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam vaginaku. Sensasi yang menggetarkan segera memenuhi tubuhku. "Ahhhh, besar sekali..." desahku dengan penuh nikmat. Mr. Wei mengerang rendah, tangannya menggenggam pinggulku dengan kuat, membantuku menetapkan ritme yang memabukkan.
Kami bergerak bersama dalam harmoni yang sempurna, setiap dorongan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami dambakan. Matanya tidak pernah lepas dari wajahku, penuh dengan intensitas yang membuatku semakin terang*sang.
Tak berapa lama, gelombang puncak menghampiriku, dan aku mencapai puncak dengan erangan yang tak tertahan. Tubuhku gemetar dalam pelukannya, merasakan setiap denyut dari kenikmatan yang luar biasa.
Namun, Mr. Wei belum selesai. Dengan lembut namun tegas, dia membaringkanku di atas ranjang, membuatku berbaring dengan pasrah. Dia menatapku dengan tatapan penuh hasrat, dan tanpa ragu, kembali menyodokkan kejantanannya ke dalamku.
Sensasi itu kembali menguasai tubuhku, kali ini lebih intens dan mendalam. Setiap dorongannya membawa kami lebih jauh ke dalam pusaran gairah yang kami ciptakan bersama. Aku melenguh, merasakan setiap gerakan yang penuh dengan kekuatan dan keinginan.
"Ah, Mr. Wei...," desahku, merasakan gelombang kenikmatan yang semakin kuat. Dia mengerang dengan suara yang dalam, memenuhi permintaanku dengan dorongan yang lebih dalam dan kuat. Setiap gerakan adalah simfoni yang membawa kami ke puncak yang baru, lebih tinggi dan lebih intens dari sebelumnya.
Tubuh kami bergerak dalam harmoni sempurna, setiap sentuhan dan dorongan adalah ekspresi dari keinginan dan cinta yang mendalam. Kami mencapai puncak bersama, terbungkus dalam gelombang kenikmatan yang menyatukan jiwa kami dalam cara yang tak terlukiskan.
Mr. Wei tersenyum, menatapku dengan tatapan penuh kasih dan kekaguman. "Sekarang kita fair, bukan aku yang memulai untuk memasukkan kejantananku ke dalammu," katanya dengan nada menggoda, membuatku tersenyum malu-malu.
Aku tertawa kecil, merasakan kehangatan dan kasih sayangnya. "Benar, Mr. Wei. Aku hanya tidak bisa menahan diriku lagi," jawabku jujur, mataku bertemu dengan matanya yang penuh dengan cerminan hasrat yang kami bagi.
Dia mengusap lembut pipiku, menghapus sisa-sisa keringat dari kenikmatan yang baru saja kami alami. "Sonia, kamu benar-benar luar biasa," bisiknya lembut di telingaku, suaranya penuh dengan kehangatan dan kekaguman.
"Apakah kau mendapatkan kenikmatan seperti ini dari suami berengsekmu?" tanyanya, suaranya terdengar menggoda namun penuh tantangan.
Aku menatapnya, merasakan campuran rasa sakit dan kebebasan yang baru. "Tidak, Mr. Wei. Dia tidak pernah bisa memberikanku apa yang kamu berikan," jawabku dengan jujur, merasakan beban yang terangkat dari hatiku.
Mr. Wei tersenyum penuh kemenangan. "Apakah kita berhenti sampai di sini?" tanyanya dengan nada menggoda, sambil menghisap pun*tingku, membuatku mendesah penuh kegelian.
"Aku tidak ingin ini berakhir, Mr. Wei," jawabku dengan nada manja, tubuhku merespons setiap sentuhannya dengan intensitas yang semakin meningkat.
"Lalu, mengapa kamu tampak enggan melepaskan pakaianmu saat pertama kali tiba?" tanyanya dengan nada penasaran dan sedikit menggoda, sambil menatap mataku dengan intens.
Aku menelan ludah, merasakan jantungku berdetak cepat. "Aku bukan pelacur, Mr. Wei," bisikku, suaraku bergetar dengan emosi yang campur aduk antara rasa sakit dan ketulusan.
Dia berhenti sejenak, menatapku dengan tajam sebelum menjawab dengan nada kesal, "Eh bodoh, siapa yang menganggapmu sebagai pelacur? Jika aku mau, aku bisa mendatangkan 100 pelacur sekarang juga!"
Kata-kata Mr. Wei menggantung di udara, memberi berat pada suasana di antara kami. Dalam kepalaku, terlintas berbagai pemikiran; apakah aku harus marah, atau justru mengabaikan komentar itu?
"Kalau begitu biarkan aku jadi pelacurmu," bisikku, air mataku pun menggenang, suaraku dipenuhi kepedihan dan keputusasaan.
Mr. Wei menatapku dengan sorot mata yang lebih lembut namun tetap tajam. "Baiklah, apakah kamu siap tubuhmu hanya untukku?" tanyanya dengan nada tegas, tangannya perlahan mengusap pipiku, menghapus air mata yang jatuh.
Aku menggigit bibir, merasakan gelombang emosi mengalir dalam diriku. "Ya, aku siap, Mr. Wei," jawabku dengan suara bergetar, namun penuh keyakinan. "Tubuhku, hatiku, semuanya untukmu."
Mr. Wei menyipitkan mata, menatapku dengan tatapan yang lebih tajam. "Lalu bagaimana dengan suamimu?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit ketegangan.
Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan gemuruh emosi yang berkecamuk dalam hatiku. "Suamiku... dia tidak pernah benar-benar mengerti aku. Hubungan kami hanya formalitas, tanpa cinta dan tanpa gairah," jawabku dengan suara serak.
Mr. Wei memiringkan kepalanya sedikit, seolah mencerna setiap kata yang kuucapkan. "Apakah kamu yakin tentang ini, Sonia?"
Aku mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi, hanya menatapnya dengan mata yang penuh keyakinan dan tekad. Mr. Wei menghela napas, seolah merasakan beban dari keputusan besar yang baru saja kuambil.
Dia kemudian menarikku ke dalam pelukannya, membiarkan tubuhku menyatu dengan kehangatan dan perlindungannya. "Baiklah," katanya dengan suara lembut tapi tegas.
Tiba-tiba, air susu menetes lagi dari kedua payudaraku yang kencang, menambah rasa malu sekaligus godaan di antara kami.
Mr. Wei memperhatikan dengan mata yang penuh gairah, senyumnya semakin melebar saat melihatnya. "Sonia, kamu benar-benar membuatku tergila-gila," katanya dengan nada memikat, membuatku merasakan getaran di seluruh tubuhku.Mr. Wei menghisap pun*tingku dengan lahapnya, meneguk setiap tetes ASI yang keluar. Sensasi yang kurasakan begitu intens, membuatku menggeliat dalam pelukannya. Setiap hisapan dan sentuhan bibirnya di kulitku membuatku semakin terang*sang, seolah-olah seluruh tubuhku merespons dengan penuh gairah.Aku menggenggam rambutnya, menariknya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari tubuhnya yang menempel erat padaku. "Mr. Wei..." desahku, suaraku bergetar oleh campuran rasa malu dan kenikmatan yang tak tertahankan.Lalu aku duduk di pangkuannya lagi, membiarkan Mr. Wei bermain-main dengan payu*daraku. Tangannya yang kuat dan terampil meremas lembut, sementara bibirnya terus mengeksplorasi setiap inci kulitku.Dengan hati-hati, aku menggenggam kejantanan Mr. Wei
"Kalau begitu, ceraikan aku saja, Biarkan aku yang merawat Angel." bisikku lirih, air mata mulai membasahi pipiku.Doni mendekat, tangannya mencengkeram leherku hingga tulang rahangku berderak, lalu menghempaskanku ke dinding."Kau pikir semudah itu? Dari mana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu, hah? Apa kau akan melacurkan diri?" tanyanya, napasnya bau alkohol menusuk hidung. Aku terbatuk, berusaha melepaskan cengkeramannya."Lalu, kau pikir biaya sebesar itu bisa didapatkan hanya dengan mabuk-mabukan?" lirihku. Kata-kataku seakan menusuknya dalam. Wajahnya memerah padam, urat-urat lehernya menonjol."Jangan berani-berani mengajariku cara hidup! Aku sudah cukup menderita karena kalian berdua!" Dengan kasar, ia melemparkanku ke lantai. Aku meringkuk di sudut, tulang rusukku terasa nyeri."Tolong, ceraikan saja aku. Hidupmu akan lebih tenang tanpaku dan Angel," pintaku, suara bergetar.Doni menghampiriku, menjambak rambutku dengan kasar. "Jangan bermimpi kau akan lepas dariku, wani
Aku membuka pintu ruangan Mr. Wei dengan perlahan. Di balik meja besar, Mr. Wei duduk di kursi bosnya, wajahnya terlihat gelisah dan marah. Aku bisa merasakan ketegangan di udara segera setelah matanya menatap tajam ke arahku."Mr. Wei, maaf aku terlambat," kataku dengan nada gemetar, kepalaku menunduk menghindari tatapan menusuknya."Tutup pintunya!" suaranya menggelegar, membuatku tersentak. Aku menutup pintu perlahan, berharap ini hanya mimpi buruk."Kunci!" perintahnya lagi. Jantungku berdegup semakin kencang. "Kenapa harus dikunci?" pikirku, merasa ketakutan."Jangan diam saja, kemari!" teriaknya, membuatku melangkah maju dengan ragu. Kaki-kakiku terasa berat, seolah-olah diikat oleh beban ketakutan."Kemari," ujarnya geram sambil menunjuk ke samping kursinya. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Langkahku kecil dan penuh keraguan saat aku mendekat. Setiap detik terasa seperti selamanya, ketegangan menyelimuti seluruh ruangan.Ketika aku hampir sampai di samping kursinya,
Mr. Wei tersenyum geli melihat ekspresi wajahku yang jelas-jelas kebingungan. "Kau terlihat seperti anak kecil yang baru saja diberi tugas sekolah," katanya.Aku mengerutkan kening, merasa sedikit kesal dengan reaksinya. "Ini tidak lucu, Mr. Wei," gerutuku, mencoba tetap serius meskipun dalam hati aku juga merasa sedikit terhibur.Senyum lebar mengembang di wajahnya, membuat kerutan di sudut matanya semakin dalam. "Aku akan mendirikan divisi kosmetik dan Itu adalah dokumen tentang pabrik yang akan kubeli. Pelajari semua yang diperlukan, mulai dari kondisi pabrik hingga potensi pasar."Aku mengangguk perlahan. "Baiklah, aku kira junior asisten kerjanya hanya menjawab telepon,"ujarku dengan nada setengah bercanda.Mr. Wei menatapku, matanya mendelik tajam. "Aku mengerti, aku mengerti," ujarku cepat sebelum dia sempat membentakku. "Aku mengerti, Mr. Wei."Mr. Wei menarik napas dalam-dalam, lalu menekan interkom. "Gita, masuk,'" perintahnya. Tak lama kemudian, seorang sekretaris cantik be
Mr. Wei menekan interkom di meja kerjanya dengan nada yang tegas. "Gita, dalam 5 menit saya mau Ronald ada di sini bersamamu," perintahnya dengan suara yang tidak bisa dibantah."Baik, Mr.," jawab Gita dengan mantap. Waktu seolah berdetak lebih lambat, pikiranku berputar mencoba meramu semua kemungkinan yang ada. Siapa Ronald dan mengapa kehadirannya sangat dibutuhkan saat ini?"Tak lama setelah perintah Mr. Wei, pintu terbuka dan masuklah Ronald diikuti oleh Gita. Ronald, dengan postur tegap dan kacamata berbingkai tebal yang mencirikan intelektualitasnya, mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino. Ia langsung menghampiri meja Mr. Wei dan berbisik, suara baritonnya terdengar jelas di ruangan yang sunyi.Sementara itu, Gita dengan senyum ramah mendekat ke arahku. "Sonia, tahukah kau bahwa Ronald adalah kepala divisi riset kita?" bisiknya, matanya berbinar. "Ia meraih gelar Bachelor of Science di bidang Bioteknologi serta gelar MBA, keduanya dari Harva
Aku mendekat ke telinga Mr. Wei dan berbisik, "Aku akan membantumu untuk mendapatkan pabrik itu, jika aku berhasil, aku punya satu permintaan." Perlahan, kutahan tangan Mr. Wei yang berada di pahaku, memastikan dia merasakan kepastian dan keberanianku."Apa permintaanmu?" tanyanya, suaranya kini lebih serius. Nada suaranya berubah, dari menggoda menjadi penuh perhitungan."Transplantasi sumsum tulang untuk Angel," pintaku dengan suara yang tegas namun tetap bergetar. Aku merasakan jantungku berdebar kencang. Angel, anakku, sangat membutuhkan transplantasi ini. Ini adalah satu-satunya harapannya untuk sembuh."Hmm, transplantasi sumsum tulang?" Mr. Wei mengulang perkataanku, seolah sedang menimbang-nimbang."Kita lihat, seberapa kemampuanmu. Untuk transplantasi, aku bisa menggunakan koneksi perusahaan farmasiku," ujarnya, suaranya rendah dan penuh perhitungan."Aku serius, Mr. Wei," bisikku, sambil menaikan tangan Mr. Wei yang berada di pangkal pahaku."Angel tidak memiliki banyak waktu
"Sonia," panggil Ronald, kepalanya mengintip dari balik pintu."Hmm?" kataku, dengan tampang bodoh. Aku terkejut melihat Ronald berdiri di ambang pintu, seolah ingin mengajakku berbicara.Kepala Ronald memberi isyarat agar mengikutinya. Aku bergegas mengikuti Ronald ke luar ruangan, berusaha menyesuaikan langkahku dengan cepat.Kami berjalan melewati beberapa meja kerja yang penuh dengan kertas dan laptop, menuju sebuah ruangan kerja di ujung koridor. Ruangan kerja yang kami masuki cukup luas dan terang, dengan pencahayaan alami yang masuk dari jendela besar di salah satu sisi. Di tengah ruangan terdapat sepuluh meja kerja yang tersusun rapi, masing-masing dilengkapi dengan kursi ergonomis, monitor komputer, dan perlengkapan kerja lainnya.Ronald kembali ke meja kerjanya dan langsung sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di hadapannya. Lalu aku duduk di kursi yang telah disediakan di salah satu meja, berusaha menenangkan diri di tengah suasana yang tampak sangat sibuk.Dia membuka
Tamparan keraspun mendarat di kepalaku, membuatku terjerembab ke lantai. Rasa sakit seolah menyebar di seluruh tubuhku, dan aku merasakan panas di wajahku. Air mata mulai menetes, namun kutahan sekuat mungkin.Aku benci suamiku; aku sangat membenci dia. Setiap kata yang terucap dari mulutnya seperti jarum yang menusuk, mengingatkanku pada semua pengorbanan yang telah kulakukan demi keluarga kita. Kenyataan bahwa dia tidak pernah mengerti perjuanganku hanya menambah rasa frustrasiku.Lalu dia menarik lenganku dengan kasar, menyeretku ke dalam kamar. Aku melihat Ratna, dia akan mendekat, namun aku menggelengkan kepalaku padanya agar tidak mendekat. Aku tahu, dalam situasi seperti ini, kehadiran Ratna justru bisa memperburuk keadaan.Setibanya di kamar, dia melemparkanku ke sudut ranjang, membuat kepalaku menghantam tembok dengan keras.Rasa sakit langsung menjalar di kepalaku, pandanganku sedikit kabur. Aku melihat Donny, dia sedang melepaskan sabuk dari celananya. Dalam keadaan panik, a