"Sial," gumamku dalam hati, berharap Donny tidak terbangun. Aku berdiri diam, menahan napas, menunggu reaksi. Namun, dia tetap terlelap, napasnya terdengar tenang. Aku menghela napas pelan, melangkah lebih hati-hati. Setiap langkah terasa seperti tantangan besar.Setibanya di samping tempat tidur, aku dengan perlahan meraih saku celananya. Jantungku berdebar kencang saat jariku menyentuh ponselnya. Tapi saat aku mencoba menariknya keluar, ponsel itu tersangkut pada kain celana. Aku menariknya perlahan sekali lagi, namun celana Donny bergerak sedikit, membuatku semakin cemas.Donny bergerak, dan aku membeku. Napasnya berubah sejenak, tapi kemudian ia kembali terlelap. Aku mencoba lagi, kini lebih hati-hati. Dengan sangat perlahan, aku berhasil mengeluarkan ponsel itu dari saku celananya. Seketika, layar ponsel menyala, menampilkan daya baterai yang tinggal 1%."Sial, hanya 1%," pikirku panik. Aku menekan tombol daya untuk mematikan layar, berharap baterainya bisa bertahan sedikit lebih
"Luar biasa, ternyata jadi simpanan bos membuat kamu kaya, yah," Donny mengejek sebelum memasukkan kembali dompet ke dalam tas dan melemparkannya kepadaku dengan kasar.Aku menahan napas, menahan amarah dan sakit hati yang meluap dalam diriku. Aku tahu, aku tidak boleh terpancing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku meraih tas dan memeluknya erat, seolah itu satu-satunya pegangan yang kumiliki saat ini."Donny, aku hanya ingin memastikan Angel mendapatkan perawatan yang terbaik. Semua uang ini untuk biaya rumah sakitnya," kataku, mencoba menjelaskan dengan suara bergetar."Jangan banyak alasan! Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan pikir aku bodoh!" Donny menatapku dengan mata penuh kebencian. Aku menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah."Aku harus pergi sekarang, Donny. Angel butuh aku," kataku dengan suara yang mencoba setenang mungkin.Donny hanya menggelengkan kepala, lalu berbalik dan meninggalkanku tanpa se
Dengan perlahan, aku membuka mataku, berusaha memahami lingkungan yang asing ini. Di sekelilingku, bayangan orang-orang bergerak, tetapi semua tampak kabur, seperti mimpi yang belum sepenuhnya pudar. Di mana ini? Mengapa begitu banyak orang di sini?Tiba-tiba, rasa panik menyergapku. Aku berusaha bangkit dari pembaringan, kepalaku terasa berat, namun hatiku lebih berat lagi. "Angel! Jam berapa sekarang?" seruku, suaraku terdengar serak dan terdesak.Begitu kata-kataku menggema di ruangan yang mirip rumah sakit ini, Mr. Wei segera mengambil alih."Baiklah, kalian semua keluar," perintahnya dengan tegas namun tenang. Semua yang berada di ruangan tersebut segera bergerak, meninggalkan kami berdua.Aku memandang sekeliling dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi, mata tertuju pada selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhku. Kegelisahan melanda, membuatku ingin meronta."Mr. Wei, jam berapa ini? Angel butuh darah, Mr. Wei," kata
Dengan keberanian yang terkumpul, aku akhirnya bertanya, "Lalu, bagaimana dengan Nyonya Cynthia, istrimu?"Mr. Wei menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan kekuatan sebelum berbicara. "Sonia," katanya dengan suara yang tegas namun lembut."Hmm?" Aku menjawab, berusaha menahan keingintahuan yang membara di dadaku."Ini terakhir kalinya," lanjut Mr. Wei, pandangannya langsung menatap mataku dengan intensitas yang membuat jantungku berdebar kencang. "Aku tidak mau pertanyaan itu muncul lagi dari mulutmu, mengerti?"Kata-katanya menggantung di udara, menyisakan ketegangan yang bisa kurasakan hingga ke tulang. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa bahwa pembicaraan ini lebih dari sekadar permintaan. Itu adalah peringatan yang sarat dengan emosi yang belum terungkap.Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang tak kunjung surut."Ya, Mr. Wei," jawabku, suaraku nyaris berbisik.Ketukan
Aku membuka mataku, mendapati diriku berdiri di tengah hamparan putih yang membentang tanpa batas. Semuanya begitu ringan, seolah-olah aku melayang dalam kekosongan yang damai. Tubuhku dibalut jubah putih, membuatku bertanya-tanya,"Di mana aku? Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah aku sudah mati?"Suara lembut dan akrab memanggil namaku,"Sonia, cucuku," terdengar seperti suara nenek. Jantungku berdebar kencang mendengar panggilan itu. Sekelilingku perlahan berubah, membawa aku kembali ke alam nyata yang terasa samar. Aku menoleh ke arah suara itu, berharap melihat sosok yang kurindukan.Aku mendapati diriku berada di rumah nenek, tempat yang penuh kenangan hangat. Namun, keheranan menyelimuti pikiranku.Bagaimana mungkin nenek masih hidup? Atau, mungkinkah ini berarti aku yang telah meninggalkan dunia?"Apakah ini nyata, Nek?" tanyaku dengan suara gemetar, sambil melangkah perlahan mendekatinya. Tanpa ragu, aku tersungkur di pangkuannya
Ponselku bergetar, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. Aku mengalihkan pandangan ke meja kecil di samping tempat tidur, meraih perangkat itu. Nama Mr. Wei tertera jelas di layar, membuatku sejenak terdiam sebelum akhirnya mengangkatnya."Mr. Wei," sapaku dengan nada lembut."Sonia, sudah merasa lebih baik?" tanya Mr. Wei, suaranya terdengar hangat, seolah menembus jarak yang memisahkan kami."Sudah, Mr. Wei. Ini apartemen siapa?" tanyaku, menahan rasa ingin tahu yang membuncah."Untuk sementara, anggap saja milikmu," jawabnya tanpa keraguan."Mr. Wei, jangan menambah banyak hutang budiku," kataku, mencoba menahan rasa terima kasih yang bercampur dengan kebingungan."Sonia, istirahatlah. Itu perintah," tegasnya, namun ada kelembutan yang terselip di antara katanya."Mr. Wei...," ucapku, keragu-raguan menyelimuti."Kenapa, Sonia?" tanyanya, suaranya kini lebih lembut."Aku... aku...," suaraku hampir tak ter
"Baik, aku ke bawah untuk mengambilnya," kata Ratna sambil melihat ke arahku. Aku mengangguk, memberi isyarat persetujuan.Saat Ratna menuruni anak tangga, aku berbalik ke Lidia, merasa perutku kembali bergejolak. "Lidia, aku lapar lagi," kataku sambil tertawa kecil.Lidia tersenyum hangat, menatapku dengan penuh pengertian. "Kak Sonia mau makan apa?" tanyanya lembut."Kita pesan pizza, yuk. Boleh, kan?" pintaku dengan mata berbinar."Tentu saja, sebentar ya, aku pesankan dulu," jawab Lidia sambil mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk memesan pizza.Tak lama kemudian, Ratna kembali membawa tas belanja besar bertuliskan AInfinite. "Sonia, ini sepertinya laptop," katanya sambil menyerahkan paket itu padaku.Aku membuka bungkusnya dengan rasa penasaran yang bercampur dengan ketidaknyamanan. Melihat kotak berlogo apel yang berkilau di dalamnya membuatku terdiam sejenak. Aku merasa tidak enak menerima hadiah yang begitu mewah ini. Se
Tiba-tiba, sebuah tangan merengkuhku dengan cepat dari belakang, membuat tubuhku menegang dalam keterkejutan yang mendalam. Sentuhan itu terasa nyata dan kuat, mengguncang setiap serat keberanianku yang tersisa. Jantungku berdegup kencang, seolah hendak melompat keluar dari dadaku."Sonya," bisik suara yang lembut namun tegas, membuat bulu kudukku meremang. Itu suara Mr. Wei, penuh dengan kesan misteri dan kedalaman yang tak terduga.Dengan gerakan cepat dan refleks yang dipicu oleh adrenalin, aku memutar tubuhku, menghadapi sosok yang berdiri di belakangku. Mataku melebar, terperangkap dalam tatapan tajam Mr. Wei. Kehadirannya membawa gelombang emosi yang campur aduk—antara rasa takut, terkejut, dan rasa ingin tahu yang tak terelakkan.Dalam sekejap, tanpa berpikir panjang, aku menggulingkan tubuhku dan berhasil menindih Mr. Wei, melingkarkan tanganku erat di sekelilingnya. Sensasi menyentuh tubuhnya yang hangat membuatku merasakan kenyataan dari kehadirannya,
//DUA TAHUN KEMUDIANDi kantor pusat WeiLife Corp di Hong Kong, Sonia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dua suster di belakangnya, masing-masing membawa stroller bayi kembar mereka yang berusia tiga bulan. Gedung pencakar langit itu penuh dengan kesibukan, tetapi Sonia melangkah dengan tenang, auranya penuh percaya diri sebagai CEO WeiLife Beauty dan ibu dari dua anak.Sonia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah para suster. “Tolong, bawa mereka ke ruangan khusus untuk merawat bayi,” katanya lembut. Kedua suster mengangguk, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Sonia, sementara dia melanjutkan langkahnya menuju kantor Mr. Wei.Saat mendekati pintu ruangan Mr. Wei, Sonia tiba-tiba melihat seorang wanita muda, salah satu karyawan, keluar dari ruangannya dengan ekspresi gugup. Wanita itu membersihkan bajunya, seperti sedang menutupi sesuatu. Kenangan dari masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya, mengingat situasi serupa yang pernah terjadi.Rasa curiga muncul sejenak di hati
Akhir pekan itu terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari pernikahan kami di Bali, yang sudah lama kutunggu-tunggu, kini tiba. Ini adalah akhir pekan tergugup dalam hidupku. Di tengah udara segar Pulau Dewata, semuanya tampak begitu sempurna. Acara ini akan diadakan di lokasi outdoor, di salah satu resort mewah di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.Pernikahan ini kami rancang dengan sederhana namun tetap anggun. Dikelilingi oleh pemandangan alam yang menakjubkan—pohon kelapa yang menjulang tinggi, pasir putih yang menghampar, dan lautan biru yang tenang. Tenda putih besar didirikan di pinggir pantai dengan dekorasi bunga berwarna krem dan putih yang memberikan kesan lembut dan elegan. Sebuah altar kayu sederhana berdiri di bawah kanopi bunga, tempat kami akan mengucapkan janji suci.Pagi itu, tim dari
Aku tersenyum tipis, melihat ini sebagai upaya untuk memperlambat proses yang sedang kujalankan. “Tentu saja, Pak Djoko. Namun, kita tidak punya banyak waktu jika ingin tetap bersaing di pasar. Fleurs de Luxe membutuhkan perubahan cepat dan tepat. Setiap hari yang kita tunda, adalah kerugian bagi perusahaan.”Setelah perdebatan yang cukup panjang, pertemuan berakhir dengan suasana tegang. Beberapa board members terlihat mendukung langkahku, sementara yang lain, terutama Mama Hilda dan Djoko Pramono, masih mempertahankan ekspresi mereka yang sinis. Namun, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruangan dengan perasaan lega, meski tahu masih
Mami melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Mami selalu memantau dari kejauhan, Sonia. Meskipun Mami tidak ada di sisimu, Mami sering mendengar kabar tentangmu dari nenek. Lalu, baru-baru ini, Mami melihat namamu di berita. Kamu jadi CEO termuda di Indonesia, kamu luar biasa, sayang." Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi aku merasakan itu seperti pujian dari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada dalam hidupku."Aku melihat semua prestasimu, perjuanganmu. Kamu membangun sesuatu yang sangat besar dengan tanganmu sendiri. Mami sangat bangga, Sonia. Kamu sukses… kamu membuktikan dirimu. Dan ketika Mami melihat itu, Mami sadar, Mami tidak bisa terus menghindar. Mami harus bertemu denganmu, harus memperbaiki hubungan kita."Aku terdiam lagi, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku merasa hangat mendengar kata-kata itu, mendengar pujian yang selam
Executive Meeting di WeiLife TowerKami naik ke lantai eksekutif, di mana Executive Meeting diadakan. Di sana, puluhan CEO dari berbagai anak perusahaan WeiLife yang tersebar di seluruh dunia telah berkumpul. Ruangan pertemuan itu luas, dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan panorama kota Hong Kong yang spektakuler. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan aura profesionalisme dan kekuasaan.Para CEO yang hadir datang dari berbagai negara, masing-masing mewakili divisi mereka yang penting. Di antara mereka ada wajah-wajah baru yang segera akan diperkenalkan dalam pertemuan malam nanti. Suasana diskusi terasa intens, namun penuh antisipasi. Semua ini adalah tentang menentukan arah masa d
The Executive Meeting di WeiLife Tower, Hong Kong: 6 Hari Setelah Gala DinnerMr. Wei, Joshua, dan aku berada di pesawat jet pribadi Mr. Wei, menuju Hong Kong untuk menghadiri pertemuan penting di WeiLife Tower. Suasana di dalam jet terasa nyaman dan eksklusif, tetapi pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang perusahaan besar yang kini kutangani sebagai CEO. Dengan pemandangan awan di luar jendela dan suara mesin yang lembut, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan.Aku menoleh ke Mr. Wei yang sedang santai membaca dokumen di sebelahku. "Sayang, aku tidak mengerti sepenuhnya tentang WeiLife Corp. Bisa tolong dijelaskan?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.Mr. Wei menutup dokumennya dan tersenyum lembut, seolah sudah menduga pert
Mr. Wei menurunkan satu kakinya ke tanah, dan dalam gerakan perlahan namun penuh makna, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku jasnya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, seolah tahu apa yang akan terjadi. Mataku mulai berkaca-kaca bahkan sebelum dia berkata apa-apa."Sonia," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan perasaan yang mendalam. "Aku pernah berjanji, setelah semua ini selesai..."Perasaan campur aduk mulai memenuhi dadaku—antara kebahagiaan yang memuncak, keterkejutan, dan rasa cinta yang begitu besar. Aku hampir tidak bisa bernapas, tenggelam dalam momen ini. Air mata menggenang di mataku, perasaanku bergemuruh, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang selama ini aku impikan, dan sekarang semuanya terjadi di hadapanku.Mr. Wei membuka kotak itu dengan perlahan, memperli
"Ga masalah, santai aja. Malah bebanku sekarang lebih ringan, hahahaha," katanya, dengan ekspresi yang membuatku merasa lebih santai. Aldo memang selalu tahu cara menghilangkan ketegangan.Tak lama, aku merasakan kehadiran Mr. Wei di belakangku. Aldo yang melihatnya langsung menunduk-nunduk sedikit, sementara Mr. Wei menepuk-nepuk bahunya dengan penuh penghargaan."Terima kasih kerjasamanya selama ini, Aldo. Saya harap kamu bisa bantu Sonia di WeiLife Beauty," kata Mr. Wei dengan nada ramah, meski tetap menunjukkan wibawa sebagai seorang pemimpin."Baik, Mr. Wei," balas Aldo, sebelum melanjutkan dengan senyum. "Saya yakin, dengan Ibu Son—""Halah, Aldo, jangan panggil aku ibu...,
Meja di bagian tengah diisi oleh para manajemen utama dari WeiLife Corp. Kebanyakan dari mereka adalah orang asing—beberapa berasal dari Asia, Amerika, dan Eropa. Mereka tampak profesional dan formal, dengan pandangan tajam yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kekuasaan besar di perusahaan ini. Setiap orang yang duduk di meja ini tampak tenang namun penuh kendali, seolah memahami tanggung jawab besar yang kini ada di pundak mereka.Di sebelah kiri, meja lain dipenuhi oleh petinggi manajemen dari WeiLife Science. Beberapa wajah yang duduk di sana adalah orang-orang yang pernah kukenal saat masih bekerja dengan Mr. Wei dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Ada rasa nostalgia yang aneh melihat mereka lagi, meskipun banyak