Ponselku bergetar, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. Aku mengalihkan pandangan ke meja kecil di samping tempat tidur, meraih perangkat itu. Nama Mr. Wei tertera jelas di layar, membuatku sejenak terdiam sebelum akhirnya mengangkatnya.
"Mr. Wei," sapaku dengan nada lembut.
"Sonia, sudah merasa lebih baik?" tanya Mr. Wei, suaranya terdengar hangat, seolah menembus jarak yang memisahkan kami.
"Sudah, Mr. Wei. Ini apartemen siapa?" tanyaku, menahan rasa ingin tahu yang membuncah.
"Untuk sementara, anggap saja milikmu," jawabnya tanpa keraguan.
"Mr. Wei, jangan menambah banyak hutang budiku," kataku, mencoba menahan rasa terima kasih yang bercampur dengan kebingungan.
"Sonia, istirahatlah. Itu perintah," tegasnya, namun ada kelembutan yang terselip di antara katanya.
"Mr. Wei...," ucapku, keragu-raguan menyelimuti.
"Kenapa, Sonia?" tanyanya, suaranya kini lebih lembut.
"Aku... aku...," suaraku hampir tak ter
"Baik, aku ke bawah untuk mengambilnya," kata Ratna sambil melihat ke arahku. Aku mengangguk, memberi isyarat persetujuan.Saat Ratna menuruni anak tangga, aku berbalik ke Lidia, merasa perutku kembali bergejolak. "Lidia, aku lapar lagi," kataku sambil tertawa kecil.Lidia tersenyum hangat, menatapku dengan penuh pengertian. "Kak Sonia mau makan apa?" tanyanya lembut."Kita pesan pizza, yuk. Boleh, kan?" pintaku dengan mata berbinar."Tentu saja, sebentar ya, aku pesankan dulu," jawab Lidia sambil mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk memesan pizza.Tak lama kemudian, Ratna kembali membawa tas belanja besar bertuliskan AInfinite. "Sonia, ini sepertinya laptop," katanya sambil menyerahkan paket itu padaku.Aku membuka bungkusnya dengan rasa penasaran yang bercampur dengan ketidaknyamanan. Melihat kotak berlogo apel yang berkilau di dalamnya membuatku terdiam sejenak. Aku merasa tidak enak menerima hadiah yang begitu mewah ini. Se
Tiba-tiba, sebuah tangan merengkuhku dengan cepat dari belakang, membuat tubuhku menegang dalam keterkejutan yang mendalam. Sentuhan itu terasa nyata dan kuat, mengguncang setiap serat keberanianku yang tersisa. Jantungku berdegup kencang, seolah hendak melompat keluar dari dadaku."Sonya," bisik suara yang lembut namun tegas, membuat bulu kudukku meremang. Itu suara Mr. Wei, penuh dengan kesan misteri dan kedalaman yang tak terduga.Dengan gerakan cepat dan refleks yang dipicu oleh adrenalin, aku memutar tubuhku, menghadapi sosok yang berdiri di belakangku. Mataku melebar, terperangkap dalam tatapan tajam Mr. Wei. Kehadirannya membawa gelombang emosi yang campur aduk—antara rasa takut, terkejut, dan rasa ingin tahu yang tak terelakkan.Dalam sekejap, tanpa berpikir panjang, aku menggulingkan tubuhku dan berhasil menindih Mr. Wei, melingkarkan tanganku erat di sekelilingnya. Sensasi menyentuh tubuhnya yang hangat membuatku merasakan kenyataan dari kehadirannya,
"Oh, kau datang lebih awal," sahutnya, muncul dari kamarnya masih mengenakan bath robe. Ia menatapku sejenak, senyumnya hangat dan bersahabat.Mr. Wei melangkah anggun menuju meja makan, di mana sarapan dan kopi telah tersaji dengan rapi. Dia menarik kursi dan duduk menghadapku, menatap dengan tatapan yang seakan berkata banyak tanpa perlu berbicara. Dengan anggukan kecil, ia mengisyaratkan agar aku bergabung.Perasaanku campur aduk, antara gugup dan tersanjung. Aku tersipu, merasakan pipiku memerah sedikit.Setelah menguasai diri, aku menyimpan barang-barangku dengan hati-hati di meja dekat sofa dan melepas blazer, menempatkannya dengan rapi di atas sandaran sofa. Langkahku mendekat ke arah Mr. Wei, yang menatapku dengan senyuman lembut dan hangat.Dengan gerakan yang penuh kepercayaan diri, Mr. Wei mengulurkan tangan dan dengan lembut menarikku untuk duduk di pangkuannya. Keintiman yang tiba-tiba ini membuat perasaanku berdebar-debar, namun sekali
Aku menikmati rasa dan tekstur pusaka Mr. Wei, lidahku bermain-main dengan kepala pusakanya yang sensitif. Aku merasakan kekenyalan pusakanya di antara bibirku, menikmati kehangatan dan kekuatannya. Mr. Wei tampak menikmati perhatian yang kuberikan, tangannya meremas lembut rambutku saat aku terus menghisap dan mengecup pusakanya dengan penuh nafsu.Aku meningkatkan intensitas hisapanku, bergerak naik turun dengan kecepatan yang membuat Mr. Wei mendesah lebih dalam. Aku bisa merasakan pusakanya yang semakin mengeras di mulutku, pertanda bahwa ia semakin dekat dengan ambang kenikmatan. Aku terus bermain-main dengan lidahku, menikmati rasa Mr. Wei yang memenuhi mulutku.Tak lama kemudian, Mr. Wei mencapai pelepasan yang kuat. Ia mengerang, tubuhnya mengejang saat ia melepaskan diri ke dalam mulutku. Aku menelan cairan hangatnya, merasakan kenikmatan yang tak tertahankan. Mr. Wei tersenyum puas, menikmati pengalaman yang luar biasa ini, dan kami berdua merasakan ikatan ya
Setelah Joshua keluar dari ruangan Mr. Wei, aku tetap berdiri sebentar, menatap Mr. Wei untuk memastikan instruksinya. Dengan ekspresi datarnya, Mr. Wei perlahan mengangguk, memberikan isyarat halus agar aku mengikuti Joshua. Aku mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah keluar dari ruangan.Di ruangannya, Joshua tampak tenggelam dalam tumpukan berkas, seolah sengaja mengabaikanku. Aku berdiri di depan meja, menunggu dengan sabar meskipun perasaan was-was merayap di hatiku. Lima belas menit berlalu dalam keheningan yang menekan, hingga akhirnya Joshua mengangkat pandangannya dan menarik napas panjang."Sonia," ujarnya, suaranya dingin dan tajam. "Aku tidak peduli seberapa dekat hubunganmu dengan Mr. Wei," lanjutnya sambil berdiri dan mendekat."Tapi saat ini kamu berada di timku, jadi aku mohon," katanya, mendekatkan wajahnya ke arahku dengan ancaman halus yang terasa nyata."Jangan pernah berlagak pintar di hadapanku, karena semua yan
Gita menatapku dengan mata curiga, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dengar."Kenapa kamu harus pergi dengan nyamar?" tanyanya, masih bingung.Aku menarik napas dalam, mencari kata-kata yang tepat."Gita, aku cuma nggak mau Donny mengenaliku. Terakhir kali itu... yah, kamu tahu sendiri," kataku, berusaha menahan getaran di suaraku.Gita mengangguk pelan, akhirnya memahami situasiku. "Oke, aku ngerti. Tapi, ini cuma kacamata yang bisa kupinjamkan sekarang," ujarnya sambil menyerahkan kacamata hitam yang cukup besar. Aku menerimanya dengan rasa syukur, walaupun tahu itu belum cukup untuk sepenuhnya menyamarkan diriku."Terima kasih banyak, Gita. Ini sangat membantu," jawabku sambil mencoba kacamata tersebut. Meski sedikit kebesaran, setidaknya bisa menutupi sebagian wajahku."Jangan khawatir, Sonia. Kalau ada sesuatu, kabari aku ya," kata Gita dengan nada penuh perhatian, membuatku merasa sedikit lebih tenang.Aku tersenyum,
Ronald cepat tanggap. Dia meraih lenganku dengan tegas namun lembut, mendorongku masuk lebih dulu ke dalam gedung kantor manajemen. Jantungku berdegup kencang saat aku mendorong pintu kaca, membukanya perlahan. Di dalam, ruangan itu luas dan dingin, dengan lantai marmer yang mengkilap dan meja-meja kayu yang teratur. Tetapi aku tidak bisa menikmati pemandangan itu. Kecemasanku terlalu besar, membuatku merasa terperangkap dalam jebakan yang aku sendiri tidak bisa keluar.Ketika aku baru saja akan melangkah lebih jauh, suara berat Donny menggema di belakang kami, "Tunggu... Pak Ronald." Langkahku terhenti. Tubuhku langsung tegang, dan aku mencoba menenangkan diri, menahan napas, berharap dia tidak mengenaliku.Aku tidak berani berbalik. Ronald, yang masih menjaga sikap profesionalnya, menghadapi Donny dengan senyuman diplomatis. "Pak Donny, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada yang terdengar hangat namun penuh kontrol.
Ronald dengan cepat menarikku lebih dekat saat Donny melangkah maju dengan amarah yang meledak-ledak."Beraninya kau muncul di sini, Sonia! Kau pikir bisa lari begitu saja dari rumah, membawa Angel tanpa izinku?!" bentak Donny, suaranya penuh kemarahan yang tertahan.Ronald menahan lengan Donny yang mencoba menjangkauku, memberikan jarak di antara kami."Cukup, Pak Donny! Sonia sudah punya hak untuk hidupnya sendiri. Anda tidak bisa memaksakan kehendak Anda lagi," kata Ronald dengan nada tegas.Wajah Donny memerah karena marah, dan dia berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Ronald. "Ini tidak akan berakhir di sini, Sonia! Kau pikir bisa kabur dariku? Aku akan memastikan kau membayar untuk ini!"Ketika situasi semakin panas, beberapa petugas keamanan pabrik bergegas datang, berlari ke arah kami. Mereka segera mengambil posisi di sekitar Donny, mencoba menenangkannya dan mencegahnya melakukan tindakan yang lebih kasar."Pak, tolong te