Ronald dengan cepat menarikku lebih dekat saat Donny melangkah maju dengan amarah yang meledak-ledak.
"Beraninya kau muncul di sini, Sonia! Kau pikir bisa lari begitu saja dari rumah, membawa Angel tanpa izinku?!" bentak Donny, suaranya penuh kemarahan yang tertahan.
Ronald menahan lengan Donny yang mencoba menjangkauku, memberikan jarak di antara kami.
"Cukup, Pak Donny! Sonia sudah punya hak untuk hidupnya sendiri. Anda tidak bisa memaksakan kehendak Anda lagi," kata Ronald dengan nada tegas.
Wajah Donny memerah karena marah, dan dia berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Ronald. "Ini tidak akan berakhir di sini, Sonia! Kau pikir bisa kabur dariku? Aku akan memastikan kau membayar untuk ini!"
Ketika situasi semakin panas, beberapa petugas keamanan pabrik bergegas datang, berlari ke arah kami. Mereka segera mengambil posisi di sekitar Donny, mencoba menenangkannya dan mencegahnya melakukan tindakan yang lebih kasar.
"Pak, tolong te
Aku segera menuju ruangan Mr. Wei. Langkahku terasa berat, seolah ada sesuatu yang tidak biasa menunggu di balik pintu itu. Setibanya di sana, aku mengetuk pintu dengan hati-hati."Masuk," suara Mr. Wei terdengar dari dalam, tenang namun ada sesuatu di baliknya yang tidak bisa kuabaikan.Aku mendorong pintu dan melangkah masuk. Di dalam ruangan, Mr. Wei sedang duduk di meja kerjanya, tampak begitu tenang namun penuh perhitungan. Di sekelilingnya, ada Pak Harvey, pengacaranya, bersama timnya, dan Joshua, koordinator akuisisi, yang terlihat sedang berdiskusi serius."Mr. Wei, sebaiknya Anda pikirkan lagi. Lebih baik kita bertindak sekarang, tidak perlu repot-repot sejauh itu," Joshua berbicara dengan nada mendesak, seolah-olah ada keputusan penting yang perlu segera diambil.Namun, Mr. Wei hanya tersenyum optimis, sebuah senyuman yang selalu membuat orang-orang di sekitarnya merasa tenang, tetapi kali ini terasa berbeda. Dia melirik ke arahku dengan pandang
Sore itu, di dalam ruangan kantornya yang sepi, seperti biasa Mr. Wei membantuku mengosongkan beban yang menumpuk di kedua gunung kembarku. Setiap gerakannya penuh perhatian, dan meskipun momen ini seharusnya terasa aneh atau canggung, ada ketenangan yang selalu menyertai saat dia melakukannya. Kehadirannya, kedekatannya, dan sentuhannya yang lembut selalu berhasil menenangkan pikiranku dari segala kerumitan yang menghantuiku sepanjang hari.Setelah semuanya selesai, aku perlahan merapikan pakaianku, mencoba mengembalikan penampilanku yang rapi dan profesional. Aku tahu bahwa aku harus segera bergabung dengan yang lainnya di Hall Bronze, tempat tim kami biasa berkumpul untuk mendiskusikan perkembangan akuisisi pabrik. Namun, saat aku melangkah keluar dari ruangan dan berjalan menyusuri koridor menuju Hall Bronze, pikiranku kembali ke Mr. Wei. Ada sesuatu yang unik dan tidak biasa tentangnya—caranya yang aneh tapi efektif untuk menenangkanku, menghapus sementara semua masalah
Ketika aku tiba di apartemen, perasaanku semakin tidak menentu. Langkahku semakin cepat saat memasuki pintu, berharap semuanya baik-baik saja."Ratna, ada apa?" tanyaku cemas, segera setelah melihatnya keluar dari kamar Angel dengan ekspresi gelisah. Dia sedang menimang Angel yang terlihat tenang di pelukannya, namun wajah Ratna penuh kekhawatiran. Setelah menenangkannya sedikit, dia berjalan ke arah sofa dan duduk, tubuhnya tampak gemetar.Aku menghampirinya dan duduk di samping, mengambil Angel dari gendongannya agar bisa menyapih. Angel menggeliat nyaman di pelukanku, tetapi aku tak bisa menikmati momen itu sepenuhnya dengan kekhawatiran yang tampak jelas di wajah Ratna."Sonia," kata Ratna, suaranya bergetar. "Tadi sore, ibuku menelepon. Dia bilang seseorang... seseorang mengancam akan membakar rumah orangtuaku
Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian, lalu menekan tombol jawab. "Halo, Ma," sapaku dengan suara yang kubuat setenang mungkin.Suara Mama Hilda terdengar segera, tajam dan penuh emosi. "Sonia, kamu di mana sekarang? Mama mau ketemu."Nada suaranya tidak mengisyaratkan percakapan yang menyenangkan. Ada kemarahan dan ketegangan yang tidak biasa dalam setiap katanya. Aku menggigit bibir, merasa suasana semakin tidak menentu."Ada masalah apa, Ma?" tanyaku, mencoba memahami maksud dari panggilannya yang tiba-tiba ini."Masalah?" Mama Hilda hampir mendengus dengan nada mengejek. "Masalah, Sonia? Masalahnya justru kamu! KAMU masalahnya!" bentaknya, membuatku terdiam, seolah kata-katanya telah menamparku keras.Jantungku langsung berdegup kencang. Rasa takut dan bingung menyerangku dalam sekejap. Apa yang terjadi? Kenapa Mama Hilda begitu marah? Apa yang dia dengar dari Donny? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?"Maafkan Sonia, Ma, tapi Sonia sungguh tidak bisa bertahan
Aku berdiri di dalam lift, menatap kosong ke pintu yang tertutup rapat di depanku. Suara mesin lift yang berderak naik semakin samar di telingaku, tenggelam oleh kekacauan pikiranku sendiri. Terror Donny kepada keluarga Ratna terus menghantuiku, ancaman Mama Hilda yang masih terngiang di kepala, masalah pekerjaan yang seolah tak pernah ada habisnya, dan yang paling berat—kesehatan Angel yang masih tak menentu. Semuanya menumpuk di pikiranku, membuatku merasa sesak, seolah-olah aku sedang tenggelam di dalam lautan masalah tanpa ujung.Pintu lift akhirnya terbuka dengan bunyi ding. Aku melangkah keluar, mencoba menarik napas dalam-dalam, tapi dadaku masih terasa berat. Setiap langkahku menuju unit apartemen Mr. Wei terasa lambat, seakan-akan beban pikiranku menghentikan setiap langkah. Saat pintu terbuka, aku langsung mendengar suara Mr. Wei yang sedang berbicara menggunakan bahasa Kanton. Nada bicaranya terdengar serius, dan meskipun aku tidak mengerti sepatah kata pun dari apa yang dia
"Mr. Wei... kenapa di sini?" tanyaku dengan suara serak, tanganku mencengkeram pegangan balkon, hati-hati sambil sesekali melirik ke arah kota yang bersinar di bawah.Dia tertawa pelan, dekat di telingaku, suaranya rendah dan memabukkan. "Karena kamu selalu membuatku tergoda, Sonia."Dia mendekatkan wajahnya, dan tanpa ragu, bibirnya menyentuh leherku, memberikan ciuman lembut yang membuat tubuhku merinding. Kehangatannya menyelimuti, dan sentuhan bibirnya membuat pikiranku yang kalut mulai menghilang.Semua hal yang menggangguku sebelumnya—teror, ancaman, masalah pekerjaan—seolah memudar dalam kehadirannya. Setiap sentuhan Mr. Wei membuatku semakin larut dalam keintiman yang tercipta di antara kami. Ketika akhirnya aku mencapai puncak di balkon itu, napasku tersengal-sengal, dan ciuman yang dia berikan seakan menjadi penutup sempurna. Aku tidak bisa lagi berpikir tentang hal lain, hanya terhanyut dalam momen itu bersamanya.Kami kemudian beranjak menuju sofa. Mr. Wei memegang tanganku
Ratna menatap pengacara itu dengan tenang, meski ada ketegangan di wajahnya. “Saya hanya menceritakan apa yang saya lihat dan alami. Saya berada di sana, dan saya menyaksikan sendiri apa yang terjadi.”Hakim menatap pengacara Donny dengan dingin. “Pertanyaan Anda tidak relevan. Saksi sudah menyampaikan kesaksiannya dengan jelas.”Setelah beberapa saat, hakim beralih kepadaku. "Ibu Sonia, apakah Anda ingin memberikan keterangan tambahan?"Aku menarik napas dalam-dalam, menatap Ratna yang duduk di sampingku dengan penuh rasa terima kasih. Perlahan, aku berdiri, menatap hakim, dan mulai berbicara, meski suaraku sedikit bergetar."Yang Mulia, apa yang disampaikan Ratna adalah kebenaran. Saya telah mengalami kekerasan dari Donny berkali-kali. Saya sudah berusaha bertahan demi anak kami, Angel, tapi akhirnya saya tidak bisa lagi. Malam itu, Donny menyerang saya dengan cara yang begitu kejam, dan saya tidak punya pilihan selain mencari bantuan. Ratna menyelamatkan hidup saya."Mama Hilda meng
Tepat saat itu, Pak Harvey muncul dari belakangku. Dia melangkah maju dengan tenang namun tegas, berdiri di antara kami. "Bu Hilda, Ibu pikir ini tempat apa?" suaranya tenang, tapi nadanya sangat tegas. "Bicara sembarangan, kasar, dan kotor di tempat terhormat seperti ini? Hah!"Mama Hilda terkejut, tapi masih mempertahankan tatapan marahnya. Dia memelototi Pak Harvey seolah dia tak gentar, meski aku tahu, sikapnya mulai retak.Pak Harvey melanjutkan, "Saya akan catat semua perkataan Ibu tadi, untuk dijadikan bukti dalam sidang selanjutnya. Saya jamin, itu akan memberatkan posisi Donny di pengadilan." Suaranya dingin dan penuh ancaman, tetapi itu bukan ancaman kosong. Pak Harvey berbicara dengan keyakinan seorang yang sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini.Aku bisa merasakan sedikit ketenangan mulai mengalir dalam diriku, meskipun tubuhku masih gemetar. Mama Hilda mundur selangkah, tatapannya berubah gugup untuk pertama kalinya. Dia tahu, Pak Harvey tidak main-main."Ini b
//DUA TAHUN KEMUDIANDi kantor pusat WeiLife Corp di Hong Kong, Sonia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dua suster di belakangnya, masing-masing membawa stroller bayi kembar mereka yang berusia tiga bulan. Gedung pencakar langit itu penuh dengan kesibukan, tetapi Sonia melangkah dengan tenang, auranya penuh percaya diri sebagai CEO WeiLife Beauty dan ibu dari dua anak.Sonia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah para suster. “Tolong, bawa mereka ke ruangan khusus untuk merawat bayi,” katanya lembut. Kedua suster mengangguk, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Sonia, sementara dia melanjutkan langkahnya menuju kantor Mr. Wei.Saat mendekati pintu ruangan Mr. Wei, Sonia tiba-tiba melihat seorang wanita muda, salah satu karyawan, keluar dari ruangannya dengan ekspresi gugup. Wanita itu membersihkan bajunya, seperti sedang menutupi sesuatu. Kenangan dari masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya, mengingat situasi serupa yang pernah terjadi.Rasa curiga muncul sejenak di hati
Akhir pekan itu terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari pernikahan kami di Bali, yang sudah lama kutunggu-tunggu, kini tiba. Ini adalah akhir pekan tergugup dalam hidupku. Di tengah udara segar Pulau Dewata, semuanya tampak begitu sempurna. Acara ini akan diadakan di lokasi outdoor, di salah satu resort mewah di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.Pernikahan ini kami rancang dengan sederhana namun tetap anggun. Dikelilingi oleh pemandangan alam yang menakjubkan—pohon kelapa yang menjulang tinggi, pasir putih yang menghampar, dan lautan biru yang tenang. Tenda putih besar didirikan di pinggir pantai dengan dekorasi bunga berwarna krem dan putih yang memberikan kesan lembut dan elegan. Sebuah altar kayu sederhana berdiri di bawah kanopi bunga, tempat kami akan mengucapkan janji suci.Pagi itu, tim dari
Aku tersenyum tipis, melihat ini sebagai upaya untuk memperlambat proses yang sedang kujalankan. “Tentu saja, Pak Djoko. Namun, kita tidak punya banyak waktu jika ingin tetap bersaing di pasar. Fleurs de Luxe membutuhkan perubahan cepat dan tepat. Setiap hari yang kita tunda, adalah kerugian bagi perusahaan.”Setelah perdebatan yang cukup panjang, pertemuan berakhir dengan suasana tegang. Beberapa board members terlihat mendukung langkahku, sementara yang lain, terutama Mama Hilda dan Djoko Pramono, masih mempertahankan ekspresi mereka yang sinis. Namun, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruangan dengan perasaan lega, meski tahu masih
Mami melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Mami selalu memantau dari kejauhan, Sonia. Meskipun Mami tidak ada di sisimu, Mami sering mendengar kabar tentangmu dari nenek. Lalu, baru-baru ini, Mami melihat namamu di berita. Kamu jadi CEO termuda di Indonesia, kamu luar biasa, sayang." Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi aku merasakan itu seperti pujian dari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada dalam hidupku."Aku melihat semua prestasimu, perjuanganmu. Kamu membangun sesuatu yang sangat besar dengan tanganmu sendiri. Mami sangat bangga, Sonia. Kamu sukses… kamu membuktikan dirimu. Dan ketika Mami melihat itu, Mami sadar, Mami tidak bisa terus menghindar. Mami harus bertemu denganmu, harus memperbaiki hubungan kita."Aku terdiam lagi, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku merasa hangat mendengar kata-kata itu, mendengar pujian yang selam
Executive Meeting di WeiLife TowerKami naik ke lantai eksekutif, di mana Executive Meeting diadakan. Di sana, puluhan CEO dari berbagai anak perusahaan WeiLife yang tersebar di seluruh dunia telah berkumpul. Ruangan pertemuan itu luas, dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan panorama kota Hong Kong yang spektakuler. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan aura profesionalisme dan kekuasaan.Para CEO yang hadir datang dari berbagai negara, masing-masing mewakili divisi mereka yang penting. Di antara mereka ada wajah-wajah baru yang segera akan diperkenalkan dalam pertemuan malam nanti. Suasana diskusi terasa intens, namun penuh antisipasi. Semua ini adalah tentang menentukan arah masa d
The Executive Meeting di WeiLife Tower, Hong Kong: 6 Hari Setelah Gala DinnerMr. Wei, Joshua, dan aku berada di pesawat jet pribadi Mr. Wei, menuju Hong Kong untuk menghadiri pertemuan penting di WeiLife Tower. Suasana di dalam jet terasa nyaman dan eksklusif, tetapi pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang perusahaan besar yang kini kutangani sebagai CEO. Dengan pemandangan awan di luar jendela dan suara mesin yang lembut, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan.Aku menoleh ke Mr. Wei yang sedang santai membaca dokumen di sebelahku. "Sayang, aku tidak mengerti sepenuhnya tentang WeiLife Corp. Bisa tolong dijelaskan?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.Mr. Wei menutup dokumennya dan tersenyum lembut, seolah sudah menduga pert
Mr. Wei menurunkan satu kakinya ke tanah, dan dalam gerakan perlahan namun penuh makna, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku jasnya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, seolah tahu apa yang akan terjadi. Mataku mulai berkaca-kaca bahkan sebelum dia berkata apa-apa."Sonia," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan perasaan yang mendalam. "Aku pernah berjanji, setelah semua ini selesai..."Perasaan campur aduk mulai memenuhi dadaku—antara kebahagiaan yang memuncak, keterkejutan, dan rasa cinta yang begitu besar. Aku hampir tidak bisa bernapas, tenggelam dalam momen ini. Air mata menggenang di mataku, perasaanku bergemuruh, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang selama ini aku impikan, dan sekarang semuanya terjadi di hadapanku.Mr. Wei membuka kotak itu dengan perlahan, memperli
"Ga masalah, santai aja. Malah bebanku sekarang lebih ringan, hahahaha," katanya, dengan ekspresi yang membuatku merasa lebih santai. Aldo memang selalu tahu cara menghilangkan ketegangan.Tak lama, aku merasakan kehadiran Mr. Wei di belakangku. Aldo yang melihatnya langsung menunduk-nunduk sedikit, sementara Mr. Wei menepuk-nepuk bahunya dengan penuh penghargaan."Terima kasih kerjasamanya selama ini, Aldo. Saya harap kamu bisa bantu Sonia di WeiLife Beauty," kata Mr. Wei dengan nada ramah, meski tetap menunjukkan wibawa sebagai seorang pemimpin."Baik, Mr. Wei," balas Aldo, sebelum melanjutkan dengan senyum. "Saya yakin, dengan Ibu Son—""Halah, Aldo, jangan panggil aku ibu...,
Meja di bagian tengah diisi oleh para manajemen utama dari WeiLife Corp. Kebanyakan dari mereka adalah orang asing—beberapa berasal dari Asia, Amerika, dan Eropa. Mereka tampak profesional dan formal, dengan pandangan tajam yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kekuasaan besar di perusahaan ini. Setiap orang yang duduk di meja ini tampak tenang namun penuh kendali, seolah memahami tanggung jawab besar yang kini ada di pundak mereka.Di sebelah kiri, meja lain dipenuhi oleh petinggi manajemen dari WeiLife Science. Beberapa wajah yang duduk di sana adalah orang-orang yang pernah kukenal saat masih bekerja dengan Mr. Wei dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Ada rasa nostalgia yang aneh melihat mereka lagi, meskipun banyak