Tepat saat itu, Pak Harvey muncul dari belakangku. Dia melangkah maju dengan tenang namun tegas, berdiri di antara kami. "Bu Hilda, Ibu pikir ini tempat apa?" suaranya tenang, tapi nadanya sangat tegas. "Bicara sembarangan, kasar, dan kotor di tempat terhormat seperti ini? Hah!"Mama Hilda terkejut, tapi masih mempertahankan tatapan marahnya. Dia memelototi Pak Harvey seolah dia tak gentar, meski aku tahu, sikapnya mulai retak.Pak Harvey melanjutkan, "Saya akan catat semua perkataan Ibu tadi, untuk dijadikan bukti dalam sidang selanjutnya. Saya jamin, itu akan memberatkan posisi Donny di pengadilan." Suaranya dingin dan penuh ancaman, tetapi itu bukan ancaman kosong. Pak Harvey berbicara dengan keyakinan seorang yang sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini.Aku bisa merasakan sedikit ketenangan mulai mengalir dalam diriku, meskipun tubuhku masih gemetar. Mama Hilda mundur selangkah, tatapannya berubah gugup untuk pertama kalinya. Dia tahu, Pak Harvey tidak main-main."Ini b
Aku melirik Mama Hilda, yang kini tampak lebih tenang namun tetap keras kepala. Ada keheningan singkat di ruangan itu, seolah-olah mereka sedang mempertimbangkan pilihan mereka dengan sangat hati-hati."Baik," kata Mama Hilda akhirnya, dengan nada berat dan enggan. "Kami setuju. Kami hanya ingin Donny keluar dari penjara. Tapi... ingat, Sonia, kami tidak akan pernah melupakan ini. Apa yang kau lakukan akan selalu ada dalam ingatan kami."Aku menahan napas, tetapi Pak Harvey segera mengambil alih. “Ibu Hilda, tidak ada yang perlu diingat jika kalian mematuhi perjanjian ini. Kita semua bisa melanjutkan hidup kita masing-masing tanpa masalah.”Dengan kata-kata itu, percakapan berakhir. Keluarga Donny bangkit dari kursi mereka dengan raut wajah yang campur aduk—antara lega karena Donny mungkin bisa dibebaskan, dan marah karena mereka tidak lagi memiliki kendali penuh atas hidupku. Aku menatap mereka pergi, merasa ada beban besar yang terangkat dari pundakku.Setelah keluarga Donny meningga
Setiba diLucy in the Sky, suasananya terasa santai dan nyaman dengan lampu temaram yang menciptakan nuansa malam yang hangat. Aku baru saja keluar dari mobil ketika tiba-tiba Ronald dengan cepat bergerak, mengambil posisi duduk di sebelahku. Aku sedikit terkejut dengan kecepatan dan kepastian tindakannya, tapi tidak terlalu memikirkannya—seperti biasanya, dia memang selalu penuh perhatian.Tak berselang lama, Sarah muncul dengan senyuman cerah. Dia langsung menghampiri kami dan memberikan selamat. "Sonia, selamat ya. Kamu hebat bisa melewati semuanya."Aku tersenyum, berusaha menunjukkan rasa terima kasih meski pikiranku masih melayang, terfokus pada ketidakpastian tentang Mr. Wei. "Terima kasih, Sarah. Aku hanya mencoba bertahan.""Pak Joshua?" tanyaku, sedikit berharap dia juga akan bergabung malam ini.Sarah tertawa kecil sambil duduk di depanku. "Oh, Pak Joshua nggak bisa. Kalau malam biasanya dia sibuk... ngelonin istrinya," ka
Setelah malam itu berlalu, aku kembali bekerja seperti biasa. Beban yang selama ini menghimpitku memang sedikit terangkat setelah keputusan pengadilan, tetapi aku masih memiliki satu misi besar yang belum selesai—mendapatkan pabrik Indah Karya Swastika bagaimanapun caranya. Aku mulai menggunakan data yang sudah kukumpulkan dan dengan hati-hati menghubungi beberapa karyawan Indah Karya Swastika yang masih berada di lingkaran Donny. Aku perlu mencari celah, mencari informasi yang bisa dipergunakan untuk melancarkan rencana akuisisi ini.Namun, meski pekerjaanku berjalan sesuai rencana, hatiku semakin galau. Mr. Wei masih belum juga memberikan kabar. Sudah beberapa hari berlalu sejak aku terakhir kali mengirimkan pesan kepadanya, namun tak ada satu pun yang dibalas. Ketika aku mencoba bertanya pada beberapa karyawan yang biasa berinteraksi dengannya, jawabannya selalu sama: mereka juga belum mendengar apa pun dari Mr. Wei.Pikiranku penuh pertanyaan. Di mana Mr. Wei? Meng
"Ronald!!!" teriakku sekuat tenaga, tubuhku mendadak dipenuhi oleh adrenalin. Aku mendorongnya sekuat tenaga hingga dia tersentak ke belakang, terkejut oleh reaksiku yang tiba-tiba.Tatapannya berubah, campuran kebingungan dan rasa bersalah terlintas di wajahnya. "Sonia... aku tidak bermaksud—""Maaf, Ronald, tapi aku tidak suka dipaksa," kataku tajam, suaraku bergetar oleh emosi yang bercampur aduk. Aku tidak menunggu dia berbicara lagi. Rasa marah, kecewa, dan kebingungan berbaur menjadi satu dalam benakku.Dengan cepat, aku melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan Ronald yang masih tampak terkejut di belakangku. Langkahku cepat, hampir seperti lari. Pikiran-pikiranku berputar-putar tanpa henti—aku tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Apa yang dia pikirkan? Kenapa dia melakukannya?Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan kegelisahan yang semakin memburuk. Setiap langkah yang kutempuh terasa berat, seolah-olah ada r
Aku mencoba tenang, mengatur napasku meskipun jantungku berdebar kencang, nyaris meledak di dalam dada. Kesunyian yang begitu mencekam di ruangan ini membuat pikiranku melayang-layang, merasakan ketakutan yang semakin mendalam. Setiap detik terasa seperti hukuman—aku di sini, sendirian, tak berdaya, tergantung dengan tali yang membatasi gerakanku. Di dalam kegelapan ini, satu-satunya hal yang bisa kudengar adalah desiran napasku sendiri.Siapa yang tega melakukan ini padaku? Apakah Donny? Rasanya sangat mungkin, mengingat sejarah kelam kami. Atau mungkin keluarganya—Mama Hilda dan keluarganya yang selalu membenciku, melihatku sebagai musuh.Tapi kemudian, ada sosok lain yang lebih menyeramkan di benakku. Nyonya Cynthia. Bagaimana jika ini ulahnya? Istri Mr. Wei, wanita yang mungkin merasa terancam oleh kehadiranku di hidup suaminya. Apakah ini balas
"Jadi Sonia, apa hubunganmu dengan Mr. Wei?" Suara itu kembali menggema, kali ini lebih rendah, lebih dingin, mengirimkan getaran ketakutan ke seluruh tubuhku.Aku merasakan jemarinya yang dingin meremas dadaku, mencengkeram dengan kelembutan yang justru menakutkan. Jantungku semakin berdebar kencang, rasa takut menjalar cepat ke seluruh tubuhku."Sonia?" Suaranya terdengar lebih mendesak, dengan nada yang begitu mengancam, meskipun bibirnya melontarkan nama kecilku dengan pelan dan tenang.Aku tersedak oleh ketakutan, bibirku bergetar. "Tolong... jangan," suaraku hampir tak terdengar, tercekat oleh tangis yang sulit kutahan. Air mataku terus mengalir, membasahi wajahku yang kini penuh dengan rasa putus asa dan ketidakberdayaan. Aku tak bisa bergerak, hanya terkurung dalam tali yang menahan tubuhku.Dia tidak berhenti. Tangannya mulai menjelajah lebih jauh, semakin membuat dadaku terasa berat dengan ketakutan yang tak tertahankan."Berbicara sekara
"Bagaimana, Sonia? Kau hanya perlu mengangguk, dan semuanya akan selesai. Kami akan melepaskanmu," suaranya terdengar semakin mendesak, tapi tetap tenang, seperti racun yang merayap pelan ke dalam pikiranku.Aku menelan ludah, tanganku gemetar di pangkuanku. "Aku... tidak bisa," suaraku hampir tak terdengar, seolah keluar dari tempat yang jauh di dalam diriku. Aku tidak sanggup membayangkan pengkhianatan sebesar itu."Yakin, Sonia?" tanyanya lagi, nadanya kali ini tajam, seolah dia sudah memperkirakan jawabanku, sudah tahu apa yang akan terjadi jika aku menolak. Tapi aku tetap diam. Aku tidak punya jawaban.Lalu, tiba-tiba, layar TV besar di depanku menyala, sesuatu muncul di layar, tampak seperti siaran CCTV yang berkedip-kedip. Pandanganku menyipit, dan hatiku berdebar semakin kencang. Aku menahan napas, mencoba mengenali apa yang kulihat. Gambar itu semakin jelas... Itu... Itu apartemenku. Darah di tubuhku terasa membeku saat kenyataan menghantamku."A