"Bagaimana, Sonia? Kau hanya perlu mengangguk, dan semuanya akan selesai. Kami akan melepaskanmu," suaranya terdengar semakin mendesak, tapi tetap tenang, seperti racun yang merayap pelan ke dalam pikiranku.
Aku menelan ludah, tanganku gemetar di pangkuanku. "Aku... tidak bisa," suaraku hampir tak terdengar, seolah keluar dari tempat yang jauh di dalam diriku. Aku tidak sanggup membayangkan pengkhianatan sebesar itu.
"Yakin, Sonia?" tanyanya lagi, nadanya kali ini tajam, seolah dia sudah memperkirakan jawabanku, sudah tahu apa yang akan terjadi jika aku menolak. Tapi aku tetap diam. Aku tidak punya jawaban.
Lalu, tiba-tiba, layar TV besar di depanku menyala, sesuatu muncul di layar, tampak seperti siaran CCTV yang berkedip-kedip. Pandanganku menyipit, dan hatiku berdebar semakin kencang. Aku menahan napas, mencoba mengenali apa yang kulihat. Gambar itu semakin jelas... Itu... Itu apartemenku. Darah di tubuhku terasa membeku saat kenyataan menghantamku.
"A
"Angel... sudah bangun?" Suara Donny terdengar akrab namun dingin di telingaku. Dia memanggil putri kami, sementara aku hanya berdiri di sana, tidak percaya dengan apa yang kulihat. Bagaimana mungkin Donny ada di sini? Segala sesuatunya terasa begitu aneh, begitu salah.Angel menoleh ke arah Donny, tatapannya melewati tubuhku tanpa pengakuan. Saat dia berjalan menghampiri Donny, matanya sejenak bertemu dengan mataku—tatapan itu aneh, kosong, seolah dia tidak benar-benar mengenaliku."Angel, makan yuk. Papa bawa sarapan buat Angel," kata Donny sambil tersenyum, menyiapkan makanan di meja.Aku berdiri diam, memandangi mereka. Angel duduk di kursi, tampak seperti anak kecil yang patuh. Tapi sesuatu tidak terasa benar. Aku tahu dia melihatku... tapi kenapa dia tidak bereaksi? Apa yang terjadi di sini?Donny menatap Angel dengan senyum yang tampak normal, namun rasanya ada sesuatu yang salah dalam kehangatan itu. "Angel tadi ngomong sama siapa?" tanyanya
Mataku penuh dengan kebingungan, masih mencoba memahami apa yang baru saja kualami. Kenyataan dan mimpi terasa kabur, tapi di sini, bersamanya, ada sesuatu yang terasa begitu benar.Mr. Wei tersenyum, senyum yang menenangkan, dan tanpa menjawab langsung, dia kembali menciumku, kali ini lebih lembut, seolah ingin memastikan bahwa aku tahu jawabannya.Seketika, rasa sakit yang tajam menusuk di bagian dalam pahaku. Mr. Wei dengan sengaja menjepit kecil area itu, cukup keras hingga membuatku terpekik. Tubuhku seketika menegang, napasku tercekat oleh kejutan yang datang tiba-tiba."Mr. Wei... sakit..." bisikku, suaraku bergetar saat rasa sakit itu menjalar, memaksa tubuhku bereaksi.Dia hanya tersenyum tipis, matanya yang tajam menatapku dengan penuh arti. Jari-jarinya yang d
"Kamu masih ingat tentang ujian?" Mr. Wei melanjutkan dengan suara lembut namun tegas, seolah kata-katanya dirancang untuk mengguncang namun sekaligus menenangkan. Aku masih terdiam, tubuhku gemetar dalam pelukannya. Isakan kecil terjebak di tenggorokanku, tapi aku tak mampu berkata apa-apa. Ujian?"Itu salah satunya, Sonia," lanjutnya, mengencangkan pelukannya sedikit, seolah ingin memastikan aku tetap berada di dekatnya. "Apa yang terjadi kemarin... adalah bagian dari ujian."Aku menggigit bibirku, rasa sakit di hatiku kembali menyengat. Ujian? Kata itu menggema di kepalaku, menggerus pikiranku yang masih kacau. Bagaimana mungkin semua itu adalah ujian? Apa arti semua penderitaan yang baru saja kualami?Mr. Wei melanjutkan dengan suara yang lebih dalam, matanya yang tajam namun penuh kelembutan menatapku dengan in
Aku termenung di sore hari, duduk di halaman vila yang menghadap ke pantai, angin laut yang lembut menerpa wajahku, membawa aroma asin yang segar. Di depanku, matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, memancarkan warna-warna jingga yang sempurna, seolah lukisan yang ditorehkan dengan tangan paling mahir. Ombak bergulung perlahan, menciptakan ritme yang menenangkan, dan aku hanya duduk di sana, membiarkan keindahan alam ini menyelimuti pikiranku yang kalut.Tapi di balik semua ketenangan dan kesempurnaan ini, pikiranku tetap tak bisa diam. Pikiranku masih kalut mengenai ujian Mr. Wei. Terguncang? Ya, aku terguncang. Segala hal yang telah terjadi, setiap langkah yang kuambil, membawa beban yang semakin berat. Apakah semua ini sebanding? Apakah itu sebanding dengan pengobatan dan transplantasi Angel?Mungkin, ya... itu sebanding. Semua yang dilakukannya&mdas
"Mr. Wei," panggilku dengan suara pelan, masih tenggelam dalam semua pikiran tentang Angel."Hmm?" jawabnya sambil menatapku, menunggu pertanyaanku.Aku menatapnya, sedikit ragu, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Kenapa kamu begitu pintar, Mr. Wei?" tanyaku, mencoba meringankan suasana yang penuh dengan ketegangan dan emosi.Dia tersenyum lebar, tatapannya penuh percaya diri. "Karena aku minum ini," jawabnya sambil dengan lembut menunjuk dadaku, yang terisi ASI. Matanya bermain, sementara senyum nakalnya menyiratkan lebih dari sekadar jawaban sederhana.Aku tertawa kecil, meski sedikit malu, mendengar jawabannya yang begitu percaya diri."Mr. Wei... aku serius..." kataku dengan nada yang lebih dalam, meski masih terselip senyum kecil di wajahku.Dia menatapku dengan senyum tipis yang sama, matanya memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan. "Kau pikir aku tidak?" jawabnya, nadanya masih bermain-main, tapi ada ketulusan di baliknya.Aku terdiam sejenak, menatapnya, mencoba menafsirkan
Mr. Wei membuka kotak beludru itu, memperlihatkan sebuah cincin berlian yang berkilau indah di bawah cahaya bulan. Mataku membesar, napasku tertahan sejenak saat aku menyadari apa yang sedang terjadi. Ini lebih dari sekadar momen—ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.Dia menatapku dengan penuh keyakinan, tapi ada kelembutan dalam sorot matanya, seolah menungguku untuk memahami betapa pentingnya momen ini. "Sonia, aku ingin kau tahu... kamu sangat berharga untukku. Lebih dari apa pun. Aku ingin kau menjadi bagian dari hidupku, selamanya."Suara lembutnya masuk ke dalam hatiku, membuat dadaku terasa sesak oleh emosi yang tiba-tiba meledak. Semua yang telah kami lalui—semua rasa sakit, ketakutan, kebahagiaan, dan kebingungan—seakan terikat dalam momen ini, momen di mana dia mengulurkan janji yang lebih dari sekadar cinta. Dia menginginkanku sebagai bagian dari hidupnya.Tangan Mr. Wei yang kokoh namun lembut memegang tanganku, jemarinya mengusap lembut kulitku saat dia bersiap m
Joshua menatapku dengan sorot mata serius, mengisyaratkan bahwa ini bukan hanya soal keberanian atau strategi yang cerdas. Ada lebih banyak hal yang dipertaruhkan, dan risikonya tidak kecil. Setelah menghela napas panjang, dia akhirnya berkata dengan nada tegas, "Sonia, karena risikonya besar, aku menginginkanmu untuk mengerjakannya sebisa mungkin tanpa melibatkan terlalu banyak orang."Aku menatapnya, mencoba memahami arah pemikirannya. "Kenapa, Pak?""Orang-orang yang terlibat harus dengan sepengetahuanku, tidak boleh ada yang berjalan di luar kendali. Kau tahu sendiri, orang-orang Nyonya Cynthia di kantor ini terlalu banyak," lanjutnya. "Aku tidak ingin rencana ini bocor dan sampai ke telinga Nyonya Cynthia sebelum waktunya."Nyonya Cynthia. Nama itu seketika membuatku merasa waspada. Dia adalah sosok yang sulit dipercaya, selalu mengawasi dengan licik dari balik bayang-bayang. Jika dia tahu rencana kami untuk mendapatkan IKS, semuanya bisa berantakan sebelum kami sempat bergerak. M
Ratna mengulurkan tangan, menggenggam tanganku dengan erat. "Sonia, aku mengerti ketakutanmu. Aku juga takut. Tapi dokter-dokter terbaik sudah disiapkan, dan Mr. Wei sudah mengurus semuanya dengan sangat hati-hati. Yang kau butuhkan sekarang adalah keyakinan. Keyakinan bahwa kau membuat keputusan yang terbaik untuk Angel."Aku mengangguk pelan, hatiku masih dipenuhi keraguan. "Aku hanya tidak ingin membuat kesalahan... Aku takut langkahku bisa menyakiti Angel."Ratna tersenyum, senyum yang penuh ketulusan. "Tidak ada orang yang menginginkan hal buruk terjadi, Sonia. Tetapi kau ibu yang hebat. Kau selalu memikirkan Angel sebelum dirimu sendiri. Itulah yang membuatku yakin kau akan mengambil keputusan yang benar."Kata-kata Ratna membuatku merasa sedikit lebih tenang. Dia selalu tahu bagaimana memberikan ketenangan ketika aku merasa terombang-ambing di tengah badai keraguan. Kami berbincang lama malam itu, berbagi pikiran dan perasaan. Akhirnya, aku merasa sedikit lebih siap untuk mengh
//DUA TAHUN KEMUDIANDi kantor pusat WeiLife Corp di Hong Kong, Sonia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dua suster di belakangnya, masing-masing membawa stroller bayi kembar mereka yang berusia tiga bulan. Gedung pencakar langit itu penuh dengan kesibukan, tetapi Sonia melangkah dengan tenang, auranya penuh percaya diri sebagai CEO WeiLife Beauty dan ibu dari dua anak.Sonia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah para suster. “Tolong, bawa mereka ke ruangan khusus untuk merawat bayi,” katanya lembut. Kedua suster mengangguk, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Sonia, sementara dia melanjutkan langkahnya menuju kantor Mr. Wei.Saat mendekati pintu ruangan Mr. Wei, Sonia tiba-tiba melihat seorang wanita muda, salah satu karyawan, keluar dari ruangannya dengan ekspresi gugup. Wanita itu membersihkan bajunya, seperti sedang menutupi sesuatu. Kenangan dari masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya, mengingat situasi serupa yang pernah terjadi.Rasa curiga muncul sejenak di hati
Akhir pekan itu terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari pernikahan kami di Bali, yang sudah lama kutunggu-tunggu, kini tiba. Ini adalah akhir pekan tergugup dalam hidupku. Di tengah udara segar Pulau Dewata, semuanya tampak begitu sempurna. Acara ini akan diadakan di lokasi outdoor, di salah satu resort mewah di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.Pernikahan ini kami rancang dengan sederhana namun tetap anggun. Dikelilingi oleh pemandangan alam yang menakjubkan—pohon kelapa yang menjulang tinggi, pasir putih yang menghampar, dan lautan biru yang tenang. Tenda putih besar didirikan di pinggir pantai dengan dekorasi bunga berwarna krem dan putih yang memberikan kesan lembut dan elegan. Sebuah altar kayu sederhana berdiri di bawah kanopi bunga, tempat kami akan mengucapkan janji suci.Pagi itu, tim dari
Aku tersenyum tipis, melihat ini sebagai upaya untuk memperlambat proses yang sedang kujalankan. “Tentu saja, Pak Djoko. Namun, kita tidak punya banyak waktu jika ingin tetap bersaing di pasar. Fleurs de Luxe membutuhkan perubahan cepat dan tepat. Setiap hari yang kita tunda, adalah kerugian bagi perusahaan.”Setelah perdebatan yang cukup panjang, pertemuan berakhir dengan suasana tegang. Beberapa board members terlihat mendukung langkahku, sementara yang lain, terutama Mama Hilda dan Djoko Pramono, masih mempertahankan ekspresi mereka yang sinis. Namun, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruangan dengan perasaan lega, meski tahu masih
Mami melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Mami selalu memantau dari kejauhan, Sonia. Meskipun Mami tidak ada di sisimu, Mami sering mendengar kabar tentangmu dari nenek. Lalu, baru-baru ini, Mami melihat namamu di berita. Kamu jadi CEO termuda di Indonesia, kamu luar biasa, sayang." Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi aku merasakan itu seperti pujian dari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada dalam hidupku."Aku melihat semua prestasimu, perjuanganmu. Kamu membangun sesuatu yang sangat besar dengan tanganmu sendiri. Mami sangat bangga, Sonia. Kamu sukses… kamu membuktikan dirimu. Dan ketika Mami melihat itu, Mami sadar, Mami tidak bisa terus menghindar. Mami harus bertemu denganmu, harus memperbaiki hubungan kita."Aku terdiam lagi, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku merasa hangat mendengar kata-kata itu, mendengar pujian yang selam
Executive Meeting di WeiLife TowerKami naik ke lantai eksekutif, di mana Executive Meeting diadakan. Di sana, puluhan CEO dari berbagai anak perusahaan WeiLife yang tersebar di seluruh dunia telah berkumpul. Ruangan pertemuan itu luas, dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan panorama kota Hong Kong yang spektakuler. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan aura profesionalisme dan kekuasaan.Para CEO yang hadir datang dari berbagai negara, masing-masing mewakili divisi mereka yang penting. Di antara mereka ada wajah-wajah baru yang segera akan diperkenalkan dalam pertemuan malam nanti. Suasana diskusi terasa intens, namun penuh antisipasi. Semua ini adalah tentang menentukan arah masa d
The Executive Meeting di WeiLife Tower, Hong Kong: 6 Hari Setelah Gala DinnerMr. Wei, Joshua, dan aku berada di pesawat jet pribadi Mr. Wei, menuju Hong Kong untuk menghadiri pertemuan penting di WeiLife Tower. Suasana di dalam jet terasa nyaman dan eksklusif, tetapi pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang perusahaan besar yang kini kutangani sebagai CEO. Dengan pemandangan awan di luar jendela dan suara mesin yang lembut, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan.Aku menoleh ke Mr. Wei yang sedang santai membaca dokumen di sebelahku. "Sayang, aku tidak mengerti sepenuhnya tentang WeiLife Corp. Bisa tolong dijelaskan?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.Mr. Wei menutup dokumennya dan tersenyum lembut, seolah sudah menduga pert
Mr. Wei menurunkan satu kakinya ke tanah, dan dalam gerakan perlahan namun penuh makna, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku jasnya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, seolah tahu apa yang akan terjadi. Mataku mulai berkaca-kaca bahkan sebelum dia berkata apa-apa."Sonia," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan perasaan yang mendalam. "Aku pernah berjanji, setelah semua ini selesai..."Perasaan campur aduk mulai memenuhi dadaku—antara kebahagiaan yang memuncak, keterkejutan, dan rasa cinta yang begitu besar. Aku hampir tidak bisa bernapas, tenggelam dalam momen ini. Air mata menggenang di mataku, perasaanku bergemuruh, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang selama ini aku impikan, dan sekarang semuanya terjadi di hadapanku.Mr. Wei membuka kotak itu dengan perlahan, memperli
"Ga masalah, santai aja. Malah bebanku sekarang lebih ringan, hahahaha," katanya, dengan ekspresi yang membuatku merasa lebih santai. Aldo memang selalu tahu cara menghilangkan ketegangan.Tak lama, aku merasakan kehadiran Mr. Wei di belakangku. Aldo yang melihatnya langsung menunduk-nunduk sedikit, sementara Mr. Wei menepuk-nepuk bahunya dengan penuh penghargaan."Terima kasih kerjasamanya selama ini, Aldo. Saya harap kamu bisa bantu Sonia di WeiLife Beauty," kata Mr. Wei dengan nada ramah, meski tetap menunjukkan wibawa sebagai seorang pemimpin."Baik, Mr. Wei," balas Aldo, sebelum melanjutkan dengan senyum. "Saya yakin, dengan Ibu Son—""Halah, Aldo, jangan panggil aku ibu...,
Meja di bagian tengah diisi oleh para manajemen utama dari WeiLife Corp. Kebanyakan dari mereka adalah orang asing—beberapa berasal dari Asia, Amerika, dan Eropa. Mereka tampak profesional dan formal, dengan pandangan tajam yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kekuasaan besar di perusahaan ini. Setiap orang yang duduk di meja ini tampak tenang namun penuh kendali, seolah memahami tanggung jawab besar yang kini ada di pundak mereka.Di sebelah kiri, meja lain dipenuhi oleh petinggi manajemen dari WeiLife Science. Beberapa wajah yang duduk di sana adalah orang-orang yang pernah kukenal saat masih bekerja dengan Mr. Wei dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Ada rasa nostalgia yang aneh melihat mereka lagi, meskipun banyak