"Kamu masih ingat tentang ujian?" Mr. Wei melanjutkan dengan suara lembut namun tegas, seolah kata-katanya dirancang untuk mengguncang namun sekaligus menenangkan. Aku masih terdiam, tubuhku gemetar dalam pelukannya. Isakan kecil terjebak di tenggorokanku, tapi aku tak mampu berkata apa-apa. Ujian?
"Itu salah satunya, Sonia," lanjutnya, mengencangkan pelukannya sedikit, seolah ingin memastikan aku tetap berada di dekatnya. "Apa yang terjadi kemarin... adalah bagian dari ujian."
Aku menggigit bibirku, rasa sakit di hatiku kembali menyengat. Ujian? Kata itu menggema di kepalaku, menggerus pikiranku yang masih kacau. Bagaimana mungkin semua itu adalah ujian? Apa arti semua penderitaan yang baru saja kualami?
Mr. Wei melanjutkan dengan suara yang lebih dalam, matanya yang tajam namun penuh kelembutan menatapku dengan in
Aku termenung di sore hari, duduk di halaman vila yang menghadap ke pantai, angin laut yang lembut menerpa wajahku, membawa aroma asin yang segar. Di depanku, matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, memancarkan warna-warna jingga yang sempurna, seolah lukisan yang ditorehkan dengan tangan paling mahir. Ombak bergulung perlahan, menciptakan ritme yang menenangkan, dan aku hanya duduk di sana, membiarkan keindahan alam ini menyelimuti pikiranku yang kalut.Tapi di balik semua ketenangan dan kesempurnaan ini, pikiranku tetap tak bisa diam. Pikiranku masih kalut mengenai ujian Mr. Wei. Terguncang? Ya, aku terguncang. Segala hal yang telah terjadi, setiap langkah yang kuambil, membawa beban yang semakin berat. Apakah semua ini sebanding? Apakah itu sebanding dengan pengobatan dan transplantasi Angel?Mungkin, ya... itu sebanding. Semua yang dilakukannya&mdas
"Mr. Wei," panggilku dengan suara pelan, masih tenggelam dalam semua pikiran tentang Angel."Hmm?" jawabnya sambil menatapku, menunggu pertanyaanku.Aku menatapnya, sedikit ragu, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Kenapa kamu begitu pintar, Mr. Wei?" tanyaku, mencoba meringankan suasana yang penuh dengan ketegangan dan emosi.Dia tersenyum lebar, tatapannya penuh percaya diri. "Karena aku minum ini," jawabnya sambil dengan lembut menunjuk dadaku, yang terisi ASI. Matanya bermain, sementara senyum nakalnya menyiratkan lebih dari sekadar jawaban sederhana.Aku tertawa kecil, meski sedikit malu, mendengar jawabannya yang begitu percaya diri."Mr. Wei... aku serius..." kataku dengan nada yang lebih dalam, meski masih terselip senyum kecil di wajahku.Dia menatapku dengan senyum tipis yang sama, matanya memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan. "Kau pikir aku tidak?" jawabnya, nadanya masih bermain-main, tapi ada ketulusan di baliknya.Aku terdiam sejenak, menatapnya, mencoba menafsirkan
Mr. Wei membuka kotak beludru itu, memperlihatkan sebuah cincin berlian yang berkilau indah di bawah cahaya bulan. Mataku membesar, napasku tertahan sejenak saat aku menyadari apa yang sedang terjadi. Ini lebih dari sekadar momen—ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.Dia menatapku dengan penuh keyakinan, tapi ada kelembutan dalam sorot matanya, seolah menungguku untuk memahami betapa pentingnya momen ini. "Sonia, aku ingin kau tahu... kamu sangat berharga untukku. Lebih dari apa pun. Aku ingin kau menjadi bagian dari hidupku, selamanya."Suara lembutnya masuk ke dalam hatiku, membuat dadaku terasa sesak oleh emosi yang tiba-tiba meledak. Semua yang telah kami lalui—semua rasa sakit, ketakutan, kebahagiaan, dan kebingungan—seakan terikat dalam momen ini, momen di mana dia mengulurkan janji yang lebih dari sekadar cinta. Dia menginginkanku sebagai bagian dari hidupnya.Tangan Mr. Wei yang kokoh namun lembut memegang tanganku, jemarinya mengusap lembut kulitku saat dia bersiap m
Joshua menatapku dengan sorot mata serius, mengisyaratkan bahwa ini bukan hanya soal keberanian atau strategi yang cerdas. Ada lebih banyak hal yang dipertaruhkan, dan risikonya tidak kecil. Setelah menghela napas panjang, dia akhirnya berkata dengan nada tegas, "Sonia, karena risikonya besar, aku menginginkanmu untuk mengerjakannya sebisa mungkin tanpa melibatkan terlalu banyak orang."Aku menatapnya, mencoba memahami arah pemikirannya. "Kenapa, Pak?""Orang-orang yang terlibat harus dengan sepengetahuanku, tidak boleh ada yang berjalan di luar kendali. Kau tahu sendiri, orang-orang Nyonya Cynthia di kantor ini terlalu banyak," lanjutnya. "Aku tidak ingin rencana ini bocor dan sampai ke telinga Nyonya Cynthia sebelum waktunya."Nyonya Cynthia. Nama itu seketika membuatku merasa waspada. Dia adalah sosok yang sulit dipercaya, selalu mengawasi dengan licik dari balik bayang-bayang. Jika dia tahu rencana kami untuk mendapatkan IKS, semuanya bisa berantakan sebelum kami sempat bergerak. M
Ratna mengulurkan tangan, menggenggam tanganku dengan erat. "Sonia, aku mengerti ketakutanmu. Aku juga takut. Tapi dokter-dokter terbaik sudah disiapkan, dan Mr. Wei sudah mengurus semuanya dengan sangat hati-hati. Yang kau butuhkan sekarang adalah keyakinan. Keyakinan bahwa kau membuat keputusan yang terbaik untuk Angel."Aku mengangguk pelan, hatiku masih dipenuhi keraguan. "Aku hanya tidak ingin membuat kesalahan... Aku takut langkahku bisa menyakiti Angel."Ratna tersenyum, senyum yang penuh ketulusan. "Tidak ada orang yang menginginkan hal buruk terjadi, Sonia. Tetapi kau ibu yang hebat. Kau selalu memikirkan Angel sebelum dirimu sendiri. Itulah yang membuatku yakin kau akan mengambil keputusan yang benar."Kata-kata Ratna membuatku merasa sedikit lebih tenang. Dia selalu tahu bagaimana memberikan ketenangan ketika aku merasa terombang-ambing di tengah badai keraguan. Kami berbincang lama malam itu, berbagi pikiran dan perasaan. Akhirnya, aku merasa sedikit lebih siap untuk mengh
"Tentu saja, Bu Sonia," jawabnya dengan tenang. "Saya sudah diberitahu mengenai situasi ini, dan saya akan memastikan semua berjalan dengan aman."Aku memberikan detail pertemuan pertama yang sudah kuatur. Orang yang akan kutemui adalah seorang teman lama dari masa sekolahku, salah satu nama yang sudah kupastikan bisa dipercaya. Rasanya aneh, melibatkan pengamanan dalam pertemuan yang seharusnya santai, tetapi aku sadar, di dunia yang penuh intrik seperti ini, keamanan adalah hal yang tak bisa diabaikan.Sore itu, Seno menjemputku di lobi apartemen. Aku sedikit terburu-buru keluar dari lift, masih mengatur napas setelah baru saja menyapih Angel. Ada perasaan cemas di dadaku—takut Seno sudah menungguku terlalu lama. Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya kami bertemu, dan aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar.Ketika aku sampai di lobi, aku langsung mengenali Seno. Ternyata, penampilannya sedikit mengejutkanku. Mungkin karena ini pertemuan pertama kami, atau aku hanya tidak p
"Yakin, Pak. Saya harus membicarakan mengenai transplantasi sumsum Angel dengan Donny," jawabku dengan tegas, meski ada keraguan yang tersimpan di dalam hati. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku tahu bahwa sebagai ayah biologis Angel, Donny berhak untuk tahu, terlepas dari apa yang terjadi di antara kami.Pak Harvey menarik napas, suaranya terdengar berat di ujung telepon. "Sebetulnya, dengan posisi Ibu saat ini, tidak perlu lagi dibicarakan dengan Donny. Secara hukum, Ibu sudah punya kendali penuh atas keputusan ini," katanya, suaranya penuh pertimbangan.Aku mengangguk, meski dia tak bisa melihatku. "Memang betul, Pak. Tapi Donny tetap ayah kandung Angel. Saya merasa dia harus tahu dan, kalau memungkinkan, terlibat."Pak Harvey terdiam sejenak, mungkin mempertimbangkan jawabanku sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Besok jam 2 siang Donny akan ke kantor saya. Kebetulan saya sedang mengurus sidang lainnya, jadi besok Ibu Sonia akan ditemani oleh salah satu senior di kantor saya, W
“Cukuppp...!!!” Pak Wilson tiba-tiba berseru, suaranya tegas dan memecah ketegangan yang telah mencapai puncaknya. Semua mata langsung tertuju padanya, termasuk tatapan sinis Donny yang tampak sedikit terkejut karena interupsi itu.Pak Wilson menatap Donny dengan tajam, menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkan percakapan ini berlanjut dengan cara yang tidak pantas. "Saya rasa pertemuan ini kita akhiri saja sekarang," lanjutnya dengan nada yang masih tegas, namun lebih tenang. "Bu Sonia sudah menyampaikan apa yang harus disampaikan."Ruangan mendadak hening, hanya terdengar suara napasku yang masih berat akibat kemarahan yang kutahan. Donny tampak tidak senang dengan interupsi itu, tetapi Pak Wilson tidak memberikan celah baginya untuk melanjutkan cemoohannya. Tatapan Pak Wilson yang penuh otoritas membuat suasana di ruangan itu berubah, menegaskan bahwa diskusi ini sudah tidak lagi produktif.Mama Hilda tampak masih ingin berbicara, bibirnya mengejek, tapi tatapan tajam Pak Wilson me