"Yakin, Pak. Saya harus membicarakan mengenai transplantasi sumsum Angel dengan Donny," jawabku dengan tegas, meski ada keraguan yang tersimpan di dalam hati. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku tahu bahwa sebagai ayah biologis Angel, Donny berhak untuk tahu, terlepas dari apa yang terjadi di antara kami.Pak Harvey menarik napas, suaranya terdengar berat di ujung telepon. "Sebetulnya, dengan posisi Ibu saat ini, tidak perlu lagi dibicarakan dengan Donny. Secara hukum, Ibu sudah punya kendali penuh atas keputusan ini," katanya, suaranya penuh pertimbangan.Aku mengangguk, meski dia tak bisa melihatku. "Memang betul, Pak. Tapi Donny tetap ayah kandung Angel. Saya merasa dia harus tahu dan, kalau memungkinkan, terlibat."Pak Harvey terdiam sejenak, mungkin mempertimbangkan jawabanku sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Besok jam 2 siang Donny akan ke kantor saya. Kebetulan saya sedang mengurus sidang lainnya, jadi besok Ibu Sonia akan ditemani oleh salah satu senior di kantor saya, W
“Cukuppp...!!!” Pak Wilson tiba-tiba berseru, suaranya tegas dan memecah ketegangan yang telah mencapai puncaknya. Semua mata langsung tertuju padanya, termasuk tatapan sinis Donny yang tampak sedikit terkejut karena interupsi itu.Pak Wilson menatap Donny dengan tajam, menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkan percakapan ini berlanjut dengan cara yang tidak pantas. "Saya rasa pertemuan ini kita akhiri saja sekarang," lanjutnya dengan nada yang masih tegas, namun lebih tenang. "Bu Sonia sudah menyampaikan apa yang harus disampaikan."Ruangan mendadak hening, hanya terdengar suara napasku yang masih berat akibat kemarahan yang kutahan. Donny tampak tidak senang dengan interupsi itu, tetapi Pak Wilson tidak memberikan celah baginya untuk melanjutkan cemoohannya. Tatapan Pak Wilson yang penuh otoritas membuat suasana di ruangan itu berubah, menegaskan bahwa diskusi ini sudah tidak lagi produktif.Mama Hilda tampak masih ingin berbicara, bibirnya mengejek, tapi tatapan tajam Pak Wilson me
Joshua mengangguk. "Ya, saya sudah mengetahui ini dari awal. Sonia sudah merancangnya dengan matang. Dengan dukungan dari dalam pabrik, terutama dari serikat pekerja yang sekarang sudah mulai berbalik, kita bisa menurunkan nilai Indah Karya Swastika dan membuat pengambilalihan ini jauh lebih efektif."Mr. Wei kembali menatapku, kali ini sedikit lebih lembut, meski tetap penuh pertimbangan. "Baiklah, Sonia. Saya percaya padamu. Tapi kita harus memastikan ini tidak berlarut-larut. Jika demo ini berlangsung terlalu lama, bisa berdampak buruk bagi citra kita dan keuntungan di kemudian hari."Aku mengangguk, merasa lega meskipun masih ada beban besar yang harus kuhadapi. "Saya mengerti, Mr. Saya akan pastikan situasinya terkendali."Joshua menambahkan, "Dan jangan lupa, kita juga harus memikirkan bagaimana Nyonya Cynthia akan bereaksi. Dia tidak akan tinggal diam melihat situasi pabrik memburuk. Pastikan dia tidak ikut memanfaatkan ini untuk keuntungannya sendiri."Mr. Wei menatap layar la
Dinding kaca yang dingin ini terasa seperti cermin raksasa yang memantulkan kehampaanku. Aku terisolasi, terkungkung dalam kotak transparan ini, sementara dunia di luar sana berputar tanpa peduli pada nasibku. Detak jam di pergelangan tangan terasa seperti palu yang berdentum di dalam kepalaku, mengiringi irama debar jantungku yang tak menentu.Tatapanku terpaku pada pintu kaca yang menjadi satu-satunya penghubungku dengan dunia luar. Di baliknya, koridor panjang membentang, dihiasi deretan pintu-pintu identik yang menyembunyikan nasib para kandidat lainnya. Aku membayangkan mereka, masing-masing tengah bergulat dengan kecemasan yang sama sepertiku.Sebuah bayangan gelap melintas di balik kaca. Sosok itu semakin dekat, langkahnya pasti dan penuh kuasa. Pemimpin. Jantungku berpacu kencang. Ia adalah sosok yang selama ini menjadi idola sekaligus momok bagiku. Wajahnya yang tegas dan tatapan matanya yang tajam selalu berhasil membuatku bergidik.Staff HRD, seorang wanita dengan tatapan d
Dengan perasaan campur aduk, aku akhirnya mengetuk pintu. Suara berat Mr. Wei menyuruhku masuk. Aku menarik napas dalam-dalam sekali lagi, lalu membuka pintu dan melangkah masuk.Pintu ruangan Mr. Wei terbuka lebar. Interior yang mewah dan elegan itu kontras dengan perasaan gelisah yang menggelayuti hatiku. Mr. Wei duduk di balik meja besar, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. "Silakan duduk, Sonia," katanya dengan suara lembut namun tegas. Aku duduk di hadapannya, jantungku berdebar kencang. Aku berusaha untuk tetap tenang, tetapi pikiranku terasa kacau.Aku, seorang gadis berusia 23 tahun, duduk di kursi yang terasa terlalu besar, sementara Mr. Wei, CEO perusahaan farmasi berusia 45 tahun, pesonanya yang karismatik dan percaya diri menegaskan perbedaan usia dan pengalaman kami. Di hadapannya, aku merasa kecil dan tidak berdaya, seolah dunia di sekelilingku menghilang, hanya ada dia yang memancarkan daya tarik luar biasa.Namun, tatapannya yang tajam tertuju pada dadaku, memb
Aku menatap Mr. Wei dengan tatapan kosong. "Baiklah," kataku akhirnya, suara ku terdengar lemah. "Saya menerima tawaran Anda."Mr. Wei tersenyum puas, seolah-olah dia baru saja memenangkan sebuah permainan besar. "Baiklah, Sonia. Namun, kamu harus melewati beberapa ujian," katanya dengan nada yang dingin."Ujian? Maksud Anda?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik.Mr. Wei mengangguk perlahan, senyum licik masih terpampang di wajahnya. "Ya, ujian. Aku ingin memastikan bahwa kamu memang pantas mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan," ujarnya dengan nada yang penuh arti.Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan tekanan yang semakin berat. "Apa yang harus saya lakukan untuk lulus ujian ini, Mr. Wei?" tanyaku, berusaha menjaga suaraku tetap stabil.Dia berjalan mengitari meja, berhenti hanya beberapa inci dari wajahku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan sedikit beraroma mint. "Berdirilah," perintahnya.Sedikit ragu, aku perlahan-lahan berdiri. Mr. Wei mengulurkan tangannya d
Keesokan paginya, aku dipanggil ke ruangan HRD. Jantungku berdebar kencang saat melangkah masuk, bertanya-tanya apa yang akan mereka katakan padaku. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah menyambutku di meja resepsionis."Halo, Sonia. Ayo masuk, kami sudah menunggu," katanya dengan senyum yang menenangkan.Aku mengikuti dia ke sebuah ruangan yang terang dan rapi. Di dalam, ada seorang pria dengan kacamata tipis yang duduk di belakang meja besar. Dia berdiri dan menyambutku dengan ramah."Selamat pagi, Sonia. Nama saya Pak Joko, kepala divisi HRD. Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan meja.Dengan gugup, aku duduk dan menunggu apa yang akan dia katakan."Sonia, saya ingin memberitahumu bahwa kamu telah diberikan posisi sebagai Junior Asisten di divisi ini," kata Pak Joko sambil tersenyum. "Ini adalah posisi paling bawah di divisi ini, tapi merupakan awal yang bagus."Aku mengangguk, mencoba memahami semuanya. "Apa saja tugas saya, Pak?" tanyaku, mencoba menjaga s
"Apakah pakaianmu semua seperti ini?" tanya Mr. Wei dengan nada yang masih penuh skeptisisme. Aku merasa jantungku berdegup kencang, berpikir sejenak untuk merespons."Saya selalu berusaha untuk tampil nyaman dan profesional sesuai dengan pengalaman yang saya miliki, Mr," jawabku dengan suara tegas meskipun terasa bergetar. "Tapi saya juga terbuka untuk saran mengenai cara berpakaian yang lebih sesuai dengan ekspektasi di kantor ini."Mr. Wei lalu berjalan keluar ketika di pintu. "Ikut dengan saya," perintahnya. Aku merasa sedikit terkejut, namun segera mengikuti langkahnya. Kami berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi dengan gambar-gambar karyawan yang berprestasi dan penghargaan yang diraih oleh perusahaan.Aku mengikuti Mr. Wei dengan langkah ragu, menahan rasa cemas yang menyelimuti pikiranku. Saat kami tiba di area parkir, Mr. Wei langsung menuju mobil hitam yang terparkir rapi. Begitu dia membuka pintu, sopirnya segera mendekat dan bertanya, "Mau ke mana, Mr?"Mr. Wei menjawab