Aku berdiri di depan kaca ICU, mataku tak lepas dari tubuh kecil Angel yang terbaring tak bergerak di balik kaca. Mesin-mesin yang mengawasi setiap detak jantung dan napasnya terdengar pelan namun berirama, seperti pengingat yang konstan bahwa hidupnya masih tergantung pada hal-hal yang berada di luar kendali. Rasanya seperti berada di dua dunia yang berbeda—satu dunia di mana aku harus berjuang untuk Angel, dan dunia lain di mana aku sedang bertarung untuk sebuah pabrik yang bahkan tak punya hubungan langsung dengan hidupku. Namun, keduanya tak terpisahkan. Semua yang kulakukan sekarang adalah untuk masa depan Angel.Ponselku tiba-tiba bergetar di dalam sakuku, memecah keheningan di ruangan itu. Aku mengambilnya, dan melihat ada pesan masuk dari Joshua."Selamat, Sonia. Mereka sepakat."Aku membaca kata-kata itu beberapa kali, memastikan bahwa aku tidak salah paham. Sepakat. Itu artinya semuanya berjalan sesuai rencana. Aku membuka pesan lebih lanjut."45%."Itu adalah angka yang kam
Aku menatap kosong ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat, jantungku terasa seperti berhenti. Mereka baru saja membawa Angel masuk lagi, suara alat medis yang berderit dan langkah-langkah cepat para dokter masih terngiang di telingaku. Waktu terasa begitu lambat. Aku ingin berteriak, menangis, atau berlari masuk ke dalam untuk memeluk Angel, tapi tubuhku terasa terlalu berat untuk bergerak. Ratna ada di sebelahku, matanya tak lepas dari pintu itu, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran.Aku memaksa diriku untuk bernapas perlahan, mencoba menenangkan jantung yang berdetak kencang di dadaku. Setiap detik yang berlalu terasa seperti penyiksaan, seolah-olah ruangan ini dipenuhi oleh kecemasan yang semakin menekan. Tidak ada suara selain desahan napas kami yang terputus-putus dan detak jarum jam yang terus bergerak, seakan menghitung mundur waktu yang tersisa bagi Angel.Kami duduk di kursi di luar ruang operasi, mencoba tetap tegar, meskipun harapan dan ketakutan b
"Tidak... ini tidak mungkin..." bisikku, meskipun suaraku hampir tak terdengar. Bibirku bergerak, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa keluar, hanya rasa sesak yang terus menyiksa dadaku. Aku merasakan tubuhku melemah, dan sebelum aku menyadarinya, kakiku goyah dan aku jatuh ke lantai rumah sakit yang dingin.Ratna berusaha menahanku, tapi aku hanya duduk di lantai, menatap kosong ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, Angel... Angel yang selama ini bertahan, yang selama ini kukira akan selamat, sudah tiada. Tiadanya Angel meninggalkan lubang menganga di dalam diriku yang tak bisa kugambarkan.Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana, tanpa gerak, tanpa kata. Aku seperti terperangkap di dalam badai emosiku sendiri. Segalanya terasa begitu kosong. Dunia yang tadinya penuh dengan harapan dan rencana untuk Angel, tiba-tiba hancur
Entah sudah berapa lama aku membiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan. Hidupku terasa seperti terhenti, seolah waktu tidak lagi bergerak. Hari-hari berlalu tanpa arti, hanya diisi dengan menatap dinding kosong atau terpekur di sudut ruangan, mencoba memahami bagaimana dunia bisa terus berputar ketika duniaku sendiri telah hancur.Aku bahkan tidak tahu lagi kapan terakhir kali aku benar-benar keluar dari apartemen ini. Makan, tidur, bangun—semua terasa seperti rutinitas yang tanpa jiwa. Angel sudah pergi, dan bersamanya, pergi pula keinginan untuk hidup. Ada saat-saat di mana aku hanya duduk diam, menatap keluar jendela, bertanya-tanya apa yang masih tersisa untukku.Sebuah ketukan di pintu terdengar, mengganggu kesunyian yang telah menjadi teman setiaku selama berminggu-minggu. Biasanya, aku mengabaikan setiap suara dari luar, membiarkan siapa pun yang
Ketika akhirnya pintu lift terbuka, aku melangkah keluar dengan cepat. Kantor terasa berbeda, penuh dengan kegelisahan yang tidak biasa. Orang-orang berjalan cepat ke sana kemari, ekspresi tegang terlihat di wajah mereka. Aku bisa melihat petugas keamanan dan beberapa orang berpakaian resmi yang tampaknya dari penyidik. Ada ketegangan di udara, dan semua orang terlihat terlibat dalam sesuatu yang sangat besar.Aku berhenti sejenak, mencoba mem proses apa yang sedang terjadi di sini. Kantor yang biasanya tenang kini terasa seperti sarang lebah yang sibuk, penuh dengan ketegangan dan bisikan yang tak berujung. WeiLife Sciences sedang berada di bawah pengawasan ketat, dan itu lebih jelas dari apa pun yang pernah kulihat di tempat ini sebelumnya.Aku harus mencari Gita dan Joshua. Mereka pasti tahu sesuatu.Mataku menya
Setelah menerima pesan dari Pak Harvey, rasa gelisah dalam hatiku semakin menggunung. Aku butuh lebih dari sekadar pesan teks yang samar. Aku butuh kejelasan. Dan yang bisa memberiku jawaban lebih banyak selain Pak Harvey adalah Joshua. Dia selalu berada di tengah-tengah semua ini—urusan pabrik, strategi bisnis, dan tentu saja, kasus yang menjerat Mr. Wei.Aku memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Malam itu, aku memutuskan untuk menemui Joshua di rumahnya. Aku ingin bicara langsung dengannya, tanpa gangguan atau batasan. Aku butuh penjelasan yang lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak hanya dengan Mr. Wei, tapi juga dengan perusahaan, akuisisi Indah Karya Swastika, dan semua masalah yang terus bergulir ini.Malam itu, setelah membereskan pikiranku sebisa mungkin, aku berdiri di depan rumah Joshua. Sebuah rumah yang sederhana namun elegan, jauh dari hiruk-pikuk kantor dan segala macam tekanan pekerjaan. Joshua membuka pintu dengan senyum tipis, meskipun aku bisa m
Aku termenung di apartemen, duduk di sofa sambil menatap ke luar jendela. Hujan tipis turun di luar sana, menambah suasana kelam di dalam hatiku. Apartemen ini terasa begitu sepi, begitu hampa, seperti jiwaku yang kosong tanpa arah. Angel, anakku, cahaya hidupku, sudah tidak ada lagi. Aku merindukannya lebih dari apa pun. Aku merindukan tawa kecilnya, pelukan hangatnya, dan suara lembutnya yang selalu memanggilku "Mama". Setiap sudut apartemen ini mengingatkanku pada dirinya—mainannya yang masih tertinggal di sudut ruangan, foto-foto yang dulu kuambil bersamanya, semua itu kini hanya menjadi kenangan yang menghantui.Dan Ratna, yang selama ini selalu ada untukku, kini juga sudah kembali ke kehidupannya. Dia sudah cukup lama mendampingi dan menguatkanku, tetapi dia juga punya tanggung jawab dan keluarga yang harus diurus. Tanpa Ratna, apartemen ini terasa semakin sunyi, seperti gaung yang tak berujung.Tapi yang paling menyakitkan adalah kehilangan yang lebih besar, kehilangan yang tak
"Ronald, aku sudah bilang, aku tidak suka diperlakukan seperti ini!" kataku dengan nada dingin, mencoba menahan amarah yang semakin memuncak. Aku merasakan napas Ronald di dekat wajahku, membuatku semakin mual dan marah. Dia tidak bergeming, malah tersenyum, seolah-olah permainan ini memberinya kesenangan.Aku tak tahan lagi. Aku tidak bisa membiarkan dia memperlakukan aku seperti ini. Dengan kekuatan yang tiba-tiba muncul entah dari mana, aku mendorongnya dengan sekuat tenaga, membuat jarak antara tubuhku dan tubuhnya. Ronald tampak terkejut sesaat, tidak menyangka bahwa aku akan melawan.“Jangan sentuh aku lagi!” kataku tegas, mataku menatapnya tajam. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan Ronald atau apa rencana liciknya, tapi aku tidak akan membiarkan diriku menjadi bagian dari permainannya.Dia melangkah mundur, tatapannya berubah dingin. "Kau akan menyesalinya, Sonia," katanya dengan nada ancaman. “Kau pikir Mr. Wei akan menyelamatkanmu? Dia akan lama di penjara, dan kau akan send
//DUA TAHUN KEMUDIANDi kantor pusat WeiLife Corp di Hong Kong, Sonia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dua suster di belakangnya, masing-masing membawa stroller bayi kembar mereka yang berusia tiga bulan. Gedung pencakar langit itu penuh dengan kesibukan, tetapi Sonia melangkah dengan tenang, auranya penuh percaya diri sebagai CEO WeiLife Beauty dan ibu dari dua anak.Sonia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah para suster. “Tolong, bawa mereka ke ruangan khusus untuk merawat bayi,” katanya lembut. Kedua suster mengangguk, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Sonia, sementara dia melanjutkan langkahnya menuju kantor Mr. Wei.Saat mendekati pintu ruangan Mr. Wei, Sonia tiba-tiba melihat seorang wanita muda, salah satu karyawan, keluar dari ruangannya dengan ekspresi gugup. Wanita itu membersihkan bajunya, seperti sedang menutupi sesuatu. Kenangan dari masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya, mengingat situasi serupa yang pernah terjadi.Rasa curiga muncul sejenak di hati
Akhir pekan itu terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari pernikahan kami di Bali, yang sudah lama kutunggu-tunggu, kini tiba. Ini adalah akhir pekan tergugup dalam hidupku. Di tengah udara segar Pulau Dewata, semuanya tampak begitu sempurna. Acara ini akan diadakan di lokasi outdoor, di salah satu resort mewah di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.Pernikahan ini kami rancang dengan sederhana namun tetap anggun. Dikelilingi oleh pemandangan alam yang menakjubkan—pohon kelapa yang menjulang tinggi, pasir putih yang menghampar, dan lautan biru yang tenang. Tenda putih besar didirikan di pinggir pantai dengan dekorasi bunga berwarna krem dan putih yang memberikan kesan lembut dan elegan. Sebuah altar kayu sederhana berdiri di bawah kanopi bunga, tempat kami akan mengucapkan janji suci.Pagi itu, tim dari
Aku tersenyum tipis, melihat ini sebagai upaya untuk memperlambat proses yang sedang kujalankan. “Tentu saja, Pak Djoko. Namun, kita tidak punya banyak waktu jika ingin tetap bersaing di pasar. Fleurs de Luxe membutuhkan perubahan cepat dan tepat. Setiap hari yang kita tunda, adalah kerugian bagi perusahaan.”Setelah perdebatan yang cukup panjang, pertemuan berakhir dengan suasana tegang. Beberapa board members terlihat mendukung langkahku, sementara yang lain, terutama Mama Hilda dan Djoko Pramono, masih mempertahankan ekspresi mereka yang sinis. Namun, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruangan dengan perasaan lega, meski tahu masih
Mami melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Mami selalu memantau dari kejauhan, Sonia. Meskipun Mami tidak ada di sisimu, Mami sering mendengar kabar tentangmu dari nenek. Lalu, baru-baru ini, Mami melihat namamu di berita. Kamu jadi CEO termuda di Indonesia, kamu luar biasa, sayang." Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi aku merasakan itu seperti pujian dari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada dalam hidupku."Aku melihat semua prestasimu, perjuanganmu. Kamu membangun sesuatu yang sangat besar dengan tanganmu sendiri. Mami sangat bangga, Sonia. Kamu sukses… kamu membuktikan dirimu. Dan ketika Mami melihat itu, Mami sadar, Mami tidak bisa terus menghindar. Mami harus bertemu denganmu, harus memperbaiki hubungan kita."Aku terdiam lagi, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku merasa hangat mendengar kata-kata itu, mendengar pujian yang selam
Executive Meeting di WeiLife TowerKami naik ke lantai eksekutif, di mana Executive Meeting diadakan. Di sana, puluhan CEO dari berbagai anak perusahaan WeiLife yang tersebar di seluruh dunia telah berkumpul. Ruangan pertemuan itu luas, dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan panorama kota Hong Kong yang spektakuler. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan aura profesionalisme dan kekuasaan.Para CEO yang hadir datang dari berbagai negara, masing-masing mewakili divisi mereka yang penting. Di antara mereka ada wajah-wajah baru yang segera akan diperkenalkan dalam pertemuan malam nanti. Suasana diskusi terasa intens, namun penuh antisipasi. Semua ini adalah tentang menentukan arah masa d
The Executive Meeting di WeiLife Tower, Hong Kong: 6 Hari Setelah Gala DinnerMr. Wei, Joshua, dan aku berada di pesawat jet pribadi Mr. Wei, menuju Hong Kong untuk menghadiri pertemuan penting di WeiLife Tower. Suasana di dalam jet terasa nyaman dan eksklusif, tetapi pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang perusahaan besar yang kini kutangani sebagai CEO. Dengan pemandangan awan di luar jendela dan suara mesin yang lembut, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan.Aku menoleh ke Mr. Wei yang sedang santai membaca dokumen di sebelahku. "Sayang, aku tidak mengerti sepenuhnya tentang WeiLife Corp. Bisa tolong dijelaskan?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.Mr. Wei menutup dokumennya dan tersenyum lembut, seolah sudah menduga pert
Mr. Wei menurunkan satu kakinya ke tanah, dan dalam gerakan perlahan namun penuh makna, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku jasnya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, seolah tahu apa yang akan terjadi. Mataku mulai berkaca-kaca bahkan sebelum dia berkata apa-apa."Sonia," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan perasaan yang mendalam. "Aku pernah berjanji, setelah semua ini selesai..."Perasaan campur aduk mulai memenuhi dadaku—antara kebahagiaan yang memuncak, keterkejutan, dan rasa cinta yang begitu besar. Aku hampir tidak bisa bernapas, tenggelam dalam momen ini. Air mata menggenang di mataku, perasaanku bergemuruh, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang selama ini aku impikan, dan sekarang semuanya terjadi di hadapanku.Mr. Wei membuka kotak itu dengan perlahan, memperli
"Ga masalah, santai aja. Malah bebanku sekarang lebih ringan, hahahaha," katanya, dengan ekspresi yang membuatku merasa lebih santai. Aldo memang selalu tahu cara menghilangkan ketegangan.Tak lama, aku merasakan kehadiran Mr. Wei di belakangku. Aldo yang melihatnya langsung menunduk-nunduk sedikit, sementara Mr. Wei menepuk-nepuk bahunya dengan penuh penghargaan."Terima kasih kerjasamanya selama ini, Aldo. Saya harap kamu bisa bantu Sonia di WeiLife Beauty," kata Mr. Wei dengan nada ramah, meski tetap menunjukkan wibawa sebagai seorang pemimpin."Baik, Mr. Wei," balas Aldo, sebelum melanjutkan dengan senyum. "Saya yakin, dengan Ibu Son—""Halah, Aldo, jangan panggil aku ibu...,
Meja di bagian tengah diisi oleh para manajemen utama dari WeiLife Corp. Kebanyakan dari mereka adalah orang asing—beberapa berasal dari Asia, Amerika, dan Eropa. Mereka tampak profesional dan formal, dengan pandangan tajam yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kekuasaan besar di perusahaan ini. Setiap orang yang duduk di meja ini tampak tenang namun penuh kendali, seolah memahami tanggung jawab besar yang kini ada di pundak mereka.Di sebelah kiri, meja lain dipenuhi oleh petinggi manajemen dari WeiLife Science. Beberapa wajah yang duduk di sana adalah orang-orang yang pernah kukenal saat masih bekerja dengan Mr. Wei dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Ada rasa nostalgia yang aneh melihat mereka lagi, meskipun banyak