//agar lebih simple percakapan di Jerman dengan Dokter dan staffnya sengaja saya gunakan bahasa Indonesia
Sudah tiga hari berlalu sejak Angel jatuh koma, dan waktu terasa berjalan begitu lambat. Aku dan Ratna terus menunggu dengan cemas di rumah sakit, memantau setiap perubahan kecil yang terjadi pada Angel. Setiap kali seorang perawat masuk ke ruang ICU atau dokter datang memeriksa, aku berharap ada kabar baik. Tapi selama tiga hari ini, tidak ada perkembangan berarti. Angel masih tak sadarkan diri, terperangkap dalam kegelapan yang tak bisa kugapai.Kecemasan itu semakin menggerogotiku, tetapi di sela-sela itu, pikiranku terpecah pada hal lain—pabrik Indah Karya Swastika. Meskipun Angel adalah prioritas utama dalam hidupku, aku tak bisa sepenuhnya melepaskan rencana besar yang sedang berlangsung di sana. Situasi pabrik semakin kacau, demo yang kurencanakan mulai menghasilkan efek yang kuinginkan. Setiap laporan berita yang kubaca menunjukkan bahwa situasi semakin sulit untuk Donny dan serikat pekerja. Kondisi di lapangan benar-benar di luar kendali mereka, dan ini sesuai dengan strategik
Aku berdiri di depan kaca ICU, mataku tak lepas dari tubuh kecil Angel yang terbaring tak bergerak di balik kaca. Mesin-mesin yang mengawasi setiap detak jantung dan napasnya terdengar pelan namun berirama, seperti pengingat yang konstan bahwa hidupnya masih tergantung pada hal-hal yang berada di luar kendali. Rasanya seperti berada di dua dunia yang berbeda—satu dunia di mana aku harus berjuang untuk Angel, dan dunia lain di mana aku sedang bertarung untuk sebuah pabrik yang bahkan tak punya hubungan langsung dengan hidupku. Namun, keduanya tak terpisahkan. Semua yang kulakukan sekarang adalah untuk masa depan Angel.Ponselku tiba-tiba bergetar di dalam sakuku, memecah keheningan di ruangan itu. Aku mengambilnya, dan melihat ada pesan masuk dari Joshua."Selamat, Sonia. Mereka sepakat."Aku membaca kata-kata itu beberapa kali, memastikan bahwa aku tidak salah paham. Sepakat. Itu artinya semuanya berjalan sesuai rencana. Aku membuka pesan lebih lanjut."45%."Itu adalah angka yang kam
Aku menatap kosong ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat, jantungku terasa seperti berhenti. Mereka baru saja membawa Angel masuk lagi, suara alat medis yang berderit dan langkah-langkah cepat para dokter masih terngiang di telingaku. Waktu terasa begitu lambat. Aku ingin berteriak, menangis, atau berlari masuk ke dalam untuk memeluk Angel, tapi tubuhku terasa terlalu berat untuk bergerak. Ratna ada di sebelahku, matanya tak lepas dari pintu itu, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran.Aku memaksa diriku untuk bernapas perlahan, mencoba menenangkan jantung yang berdetak kencang di dadaku. Setiap detik yang berlalu terasa seperti penyiksaan, seolah-olah ruangan ini dipenuhi oleh kecemasan yang semakin menekan. Tidak ada suara selain desahan napas kami yang terputus-putus dan detak jarum jam yang terus bergerak, seakan menghitung mundur waktu yang tersisa bagi Angel.Kami duduk di kursi di luar ruang operasi, mencoba tetap tegar, meskipun harapan dan ketakutan b
"Tidak... ini tidak mungkin..." bisikku, meskipun suaraku hampir tak terdengar. Bibirku bergerak, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa keluar, hanya rasa sesak yang terus menyiksa dadaku. Aku merasakan tubuhku melemah, dan sebelum aku menyadarinya, kakiku goyah dan aku jatuh ke lantai rumah sakit yang dingin.Ratna berusaha menahanku, tapi aku hanya duduk di lantai, menatap kosong ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, Angel... Angel yang selama ini bertahan, yang selama ini kukira akan selamat, sudah tiada. Tiadanya Angel meninggalkan lubang menganga di dalam diriku yang tak bisa kugambarkan.Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana, tanpa gerak, tanpa kata. Aku seperti terperangkap di dalam badai emosiku sendiri. Segalanya terasa begitu kosong. Dunia yang tadinya penuh dengan harapan dan rencana untuk Angel, tiba-tiba hancur
Entah sudah berapa lama aku membiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan. Hidupku terasa seperti terhenti, seolah waktu tidak lagi bergerak. Hari-hari berlalu tanpa arti, hanya diisi dengan menatap dinding kosong atau terpekur di sudut ruangan, mencoba memahami bagaimana dunia bisa terus berputar ketika duniaku sendiri telah hancur.Aku bahkan tidak tahu lagi kapan terakhir kali aku benar-benar keluar dari apartemen ini. Makan, tidur, bangun—semua terasa seperti rutinitas yang tanpa jiwa. Angel sudah pergi, dan bersamanya, pergi pula keinginan untuk hidup. Ada saat-saat di mana aku hanya duduk diam, menatap keluar jendela, bertanya-tanya apa yang masih tersisa untukku.Sebuah ketukan di pintu terdengar, mengganggu kesunyian yang telah menjadi teman setiaku selama berminggu-minggu. Biasanya, aku mengabaikan setiap suara dari luar, membiarkan siapa pun yang
Ketika akhirnya pintu lift terbuka, aku melangkah keluar dengan cepat. Kantor terasa berbeda, penuh dengan kegelisahan yang tidak biasa. Orang-orang berjalan cepat ke sana kemari, ekspresi tegang terlihat di wajah mereka. Aku bisa melihat petugas keamanan dan beberapa orang berpakaian resmi yang tampaknya dari penyidik. Ada ketegangan di udara, dan semua orang terlihat terlibat dalam sesuatu yang sangat besar.Aku berhenti sejenak, mencoba mem proses apa yang sedang terjadi di sini. Kantor yang biasanya tenang kini terasa seperti sarang lebah yang sibuk, penuh dengan ketegangan dan bisikan yang tak berujung. WeiLife Sciences sedang berada di bawah pengawasan ketat, dan itu lebih jelas dari apa pun yang pernah kulihat di tempat ini sebelumnya.Aku harus mencari Gita dan Joshua. Mereka pasti tahu sesuatu.Mataku menya
Setelah menerima pesan dari Pak Harvey, rasa gelisah dalam hatiku semakin menggunung. Aku butuh lebih dari sekadar pesan teks yang samar. Aku butuh kejelasan. Dan yang bisa memberiku jawaban lebih banyak selain Pak Harvey adalah Joshua. Dia selalu berada di tengah-tengah semua ini—urusan pabrik, strategi bisnis, dan tentu saja, kasus yang menjerat Mr. Wei.Aku memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Malam itu, aku memutuskan untuk menemui Joshua di rumahnya. Aku ingin bicara langsung dengannya, tanpa gangguan atau batasan. Aku butuh penjelasan yang lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak hanya dengan Mr. Wei, tapi juga dengan perusahaan, akuisisi Indah Karya Swastika, dan semua masalah yang terus bergulir ini.Malam itu, setelah membereskan pikiranku sebisa mungkin, aku berdiri di depan rumah Joshua. Sebuah rumah yang sederhana namun elegan, jauh dari hiruk-pikuk kantor dan segala macam tekanan pekerjaan. Joshua membuka pintu dengan senyum tipis, meskipun aku bisa m
Aku termenung di apartemen, duduk di sofa sambil menatap ke luar jendela. Hujan tipis turun di luar sana, menambah suasana kelam di dalam hatiku. Apartemen ini terasa begitu sepi, begitu hampa, seperti jiwaku yang kosong tanpa arah. Angel, anakku, cahaya hidupku, sudah tidak ada lagi. Aku merindukannya lebih dari apa pun. Aku merindukan tawa kecilnya, pelukan hangatnya, dan suara lembutnya yang selalu memanggilku "Mama". Setiap sudut apartemen ini mengingatkanku pada dirinya—mainannya yang masih tertinggal di sudut ruangan, foto-foto yang dulu kuambil bersamanya, semua itu kini hanya menjadi kenangan yang menghantui.Dan Ratna, yang selama ini selalu ada untukku, kini juga sudah kembali ke kehidupannya. Dia sudah cukup lama mendampingi dan menguatkanku, tetapi dia juga punya tanggung jawab dan keluarga yang harus diurus. Tanpa Ratna, apartemen ini terasa semakin sunyi, seperti gaung yang tak berujung.Tapi yang paling menyakitkan adalah kehilangan yang lebih besar, kehilangan yang tak