Ketika akhirnya pintu lift terbuka, aku melangkah keluar dengan cepat. Kantor terasa berbeda, penuh dengan kegelisahan yang tidak biasa. Orang-orang berjalan cepat ke sana kemari, ekspresi tegang terlihat di wajah mereka. Aku bisa melihat petugas keamanan dan beberapa orang berpakaian resmi yang tampaknya dari penyidik. Ada ketegangan di udara, dan semua orang terlihat terlibat dalam sesuatu yang sangat besar.
Aku berhenti sejenak, mencoba mem proses apa yang sedang terjadi di sini. Kantor yang biasanya tenang kini terasa seperti sarang lebah yang sibuk, penuh dengan ketegangan dan bisikan yang tak berujung. WeiLife Sciences sedang berada di bawah pengawasan ketat, dan itu lebih jelas dari apa pun yang pernah kulihat di tempat ini sebelumnya.
Aku harus mencari Gita dan Joshua. Mereka pasti tahu sesuatu.
Mataku menya
Setelah menerima pesan dari Pak Harvey, rasa gelisah dalam hatiku semakin menggunung. Aku butuh lebih dari sekadar pesan teks yang samar. Aku butuh kejelasan. Dan yang bisa memberiku jawaban lebih banyak selain Pak Harvey adalah Joshua. Dia selalu berada di tengah-tengah semua ini—urusan pabrik, strategi bisnis, dan tentu saja, kasus yang menjerat Mr. Wei.Aku memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Malam itu, aku memutuskan untuk menemui Joshua di rumahnya. Aku ingin bicara langsung dengannya, tanpa gangguan atau batasan. Aku butuh penjelasan yang lebih dalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak hanya dengan Mr. Wei, tapi juga dengan perusahaan, akuisisi Indah Karya Swastika, dan semua masalah yang terus bergulir ini.Malam itu, setelah membereskan pikiranku sebisa mungkin, aku berdiri di depan rumah Joshua. Sebuah rumah yang sederhana namun elegan, jauh dari hiruk-pikuk kantor dan segala macam tekanan pekerjaan. Joshua membuka pintu dengan senyum tipis, meskipun aku bisa m
Aku termenung di apartemen, duduk di sofa sambil menatap ke luar jendela. Hujan tipis turun di luar sana, menambah suasana kelam di dalam hatiku. Apartemen ini terasa begitu sepi, begitu hampa, seperti jiwaku yang kosong tanpa arah. Angel, anakku, cahaya hidupku, sudah tidak ada lagi. Aku merindukannya lebih dari apa pun. Aku merindukan tawa kecilnya, pelukan hangatnya, dan suara lembutnya yang selalu memanggilku "Mama". Setiap sudut apartemen ini mengingatkanku pada dirinya—mainannya yang masih tertinggal di sudut ruangan, foto-foto yang dulu kuambil bersamanya, semua itu kini hanya menjadi kenangan yang menghantui.Dan Ratna, yang selama ini selalu ada untukku, kini juga sudah kembali ke kehidupannya. Dia sudah cukup lama mendampingi dan menguatkanku, tetapi dia juga punya tanggung jawab dan keluarga yang harus diurus. Tanpa Ratna, apartemen ini terasa semakin sunyi, seperti gaung yang tak berujung.Tapi yang paling menyakitkan adalah kehilangan yang lebih besar, kehilangan yang tak
"Ronald, aku sudah bilang, aku tidak suka diperlakukan seperti ini!" kataku dengan nada dingin, mencoba menahan amarah yang semakin memuncak. Aku merasakan napas Ronald di dekat wajahku, membuatku semakin mual dan marah. Dia tidak bergeming, malah tersenyum, seolah-olah permainan ini memberinya kesenangan.Aku tak tahan lagi. Aku tidak bisa membiarkan dia memperlakukan aku seperti ini. Dengan kekuatan yang tiba-tiba muncul entah dari mana, aku mendorongnya dengan sekuat tenaga, membuat jarak antara tubuhku dan tubuhnya. Ronald tampak terkejut sesaat, tidak menyangka bahwa aku akan melawan.“Jangan sentuh aku lagi!” kataku tegas, mataku menatapnya tajam. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan Ronald atau apa rencana liciknya, tapi aku tidak akan membiarkan diriku menjadi bagian dari permainannya.Dia melangkah mundur, tatapannya berubah dingin. "Kau akan menyesalinya, Sonia," katanya dengan nada ancaman. “Kau pikir Mr. Wei akan menyelamatkanmu? Dia akan lama di penjara, dan kau akan send
Joshua tampak berpikir sejenak, ekspresinya berubah semakin serius setelah mendengar apa yang kukatakan. Dia sudah mencurigai hubungan Ronald dengan Nyonya Cynthia, tetapi tampaknya dia belum mengetahui sejauh mana keterlibatan mereka."Aku sudah mencurigai ada sesuatu di antara mereka, Sonia," katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan wajah tegang. "Namun, aku belum punya cukup bukti untuk memastikan hubungan mereka sejauh mana. Jika benar mereka bekerja sama, ini lebih buruk dari yang aku bayangkan."Aku menatapnya, merasa cemas sekaligus bingung. Joshua biasanya adalah orang yang selalu punya rencana cadangan, seseorang yang bisa diandalkan di tengah kekacauan. Tapi kali ini, dia tampak ragu."Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, berharap dia akan memberi solusi konkret.Dia menggelengkan kepala pelan, tatapannya penuh dengan kekhawatiran. "Sonia, dalam situasi seperti ini... mungkin yang terbaik adalah menjauh. Aku tidak ingin kau terjebak di antara konflik mereka. Ro
Setelah Mr. Wei dijatuhi hukuman dua tahun penjara, hidupku berubah drastis. Aku terpaksa meninggalkan semua kenyamanan yang pernah kurasakan, dan sekarang aku tinggal di sebuah kontrakan kecil yang letaknya tidak jauh dari rumah tahanan tempat Mr. Wei dipenjara. Tempat ini jauh dari apa yang pernah kumiliki bersama Mr. Wei. Tidak ada kemewahan, tidak ada kehangatan. Hanya dinding dingin yang membuatku merasa seolah terjebak dalam kotak kecil. Tapi ini cukup untuk bertahan. Untuk saat ini.Setiap hari terasa seperti perjuangan. Angel sudah tidak ada, dan sekarang Mr. Wei juga pergi, meninggalkan ruang kosong yang semakin hari semakin sulit kuisi. Kehidupan yang pernah kukenal hancur berkeping-keping. Tapi aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan menyerah. Mr. Wei mempercayakan masa depannya padaku, dan aku tidak bisa mengecewakannya.Untuk menghidupi diriku sendiri, aku bekerja sebagai SPG di sebuah perusahaan kosmetik. Pekerjaan ini bukanlah pilihan yang ideal, tap
Akhirnya, setelah 1,5 tahun penuh cobaan, hari yang kutunggu-tunggu tiba. Mr. Wei mendapatkan keringanan hukuman karena kelakuan baik, dan dia akhirnya dibebaskan dari penjara. Pagi itu terasa berbeda. Hawa dingin yang biasanya menusuk kulit seolah tidak ada artinya lagi, karena di dalam dadaku, kehangatan tak sabar telah membara. Aku berdiri di depan pintu Lembaga Pemasyarakatan, mataku terus mengarah ke gerbang besar yang setiap detiknya akan terbuka. Mr. Wei akan keluar dari sana. Setelah dua tahun penantian, penderitaan, dan harapan, hari ini adalah hari kebebasannya.Aku merapatkan jaketku, mencoba menenangkan diri meski jantungku berdegup kencang. Napasku terengah, seolah tak sabar untuk melihat sosoknya. Semua rasa sakit dan perjuangan selama ini terasa seperti angin lalu saat membayangkan dia akan kembali ke sisiku. Dunia mungkin mengira dia pria yang telah hancur, tapi bagiku, dia selalu menjadi seseorang yang kuat dan tak tergantikan.Lalu, pintu besar itu perlahan terbuka.
Hari-hari berikutnya, hidupku seolah berputar hanya untuk memenuhi hasrat Mr. Wei yang seakan tak pernah surut. Setiap pagi aku terbangun dengan tubuh yang lelah namun penuh kenikmatan. Bahkan di saat aku baru membuka mata, dia sudah ada di sana, membangunkanku dengan cara yang paling menggoda, tak memberi ruang bagi pikiranku untuk protes. Pagi-pagi buta, ketika dunia masih diam, Mr. Wei menemukan jalannya ke dalam diriku dengan desakan yang seolah tak kenal batas.Pada suatu hari di akhir pekan, dia sudah berada di antara kedua kakiku sebelum aku sepenuhnya sadar, napasnya hangat melintas di atas kulitku yang dingin oleh udara pagi. Setiap sentuhannya terasa intens, seolah dia tidak ingin melewatkan satu inci pun dari tubuhku. Aku menggigit bibirku, tak mampu menahan desahan panjang yang keluar dengan sendirinya. Berapa kali puncak yang kuraih saat itu? Aku bahkan tak mampu menghitung. Tubuhku sudah terb
Sore itu, setelah seharian menjaga booth kosmetik, aku mulai bersiap untuk pulang. Langkahku ringan saat berjalan menuju motorku di parkiran. Tapi tiba-tiba, sebuah mobil Avanza mendekat dengan cepat, membuatku hampir terserempet. Aku terkejut, mundur sedikit, berusaha menghindar.Sebelum aku sempat bereaksi lebih jauh, kaca mobil itu perlahan turun, memperlihatkan wajah yang sangat kukenal. Mr. Wei tersenyum lebar dari dalam mobil, matanya penuh canda."Masuk!" serunya, santai seperti tidak ada kejadian yang baru saja membuat jantungku hampir copot.Aku masih dalam keadaan terkejut. "Mobil? Dari mana kamu punya mobil?" gumamku, bingung. Tapi aku langsung membuka pintu dan masuk ke dalam tanpa banyak bertanya.Begitu duduk, aku menatapnya dengan heran. "Sayang, ini mobil dari mana?" tanyaku, masih belum paham. Mr. Wei bukan tipe orang yang mendadak punya mobil.Dia tertawa kecil, melirikku sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. "Ini mobil sewaan, aku lagi kerja jadi pengemudi taksi o