Hari-hari berikutnya, hidupku seolah berputar hanya untuk memenuhi hasrat Mr. Wei yang seakan tak pernah surut. Setiap pagi aku terbangun dengan tubuh yang lelah namun penuh kenikmatan. Bahkan di saat aku baru membuka mata, dia sudah ada di sana, membangunkanku dengan cara yang paling menggoda, tak memberi ruang bagi pikiranku untuk protes. Pagi-pagi buta, ketika dunia masih diam, Mr. Wei menemukan jalannya ke dalam diriku dengan desakan yang seolah tak kenal batas.
Pada suatu hari di akhir pekan, dia sudah berada di antara kedua kakiku sebelum aku sepenuhnya sadar, napasnya hangat melintas di atas kulitku yang dingin oleh udara pagi. Setiap sentuhannya terasa intens, seolah dia tidak ingin melewatkan satu inci pun dari tubuhku. Aku menggigit bibirku, tak mampu menahan desahan panjang yang keluar dengan sendirinya. Berapa kali puncak yang kuraih saat itu? Aku bahkan tak mampu menghitung. Tubuhku sudah terb
Sore itu, setelah seharian menjaga booth kosmetik, aku mulai bersiap untuk pulang. Langkahku ringan saat berjalan menuju motorku di parkiran. Tapi tiba-tiba, sebuah mobil Avanza mendekat dengan cepat, membuatku hampir terserempet. Aku terkejut, mundur sedikit, berusaha menghindar.Sebelum aku sempat bereaksi lebih jauh, kaca mobil itu perlahan turun, memperlihatkan wajah yang sangat kukenal. Mr. Wei tersenyum lebar dari dalam mobil, matanya penuh canda."Masuk!" serunya, santai seperti tidak ada kejadian yang baru saja membuat jantungku hampir copot.Aku masih dalam keadaan terkejut. "Mobil? Dari mana kamu punya mobil?" gumamku, bingung. Tapi aku langsung membuka pintu dan masuk ke dalam tanpa banyak bertanya.Begitu duduk, aku menatapnya dengan heran. "Sayang, ini mobil dari mana?" tanyaku, masih belum paham. Mr. Wei bukan tipe orang yang mendadak punya mobil.Dia tertawa kecil, melirikku sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. "Ini mobil sewaan, aku lagi kerja jadi pengemudi taksi o
Tiba-tiba, pintu ruangan kantor Ivan terbuka. Sosok Pak Rudi, pimpinan cabang yang selalu tegas namun adil, masuk dengan langkah pasti. Wajahnya datar, tapi jelas ada rasa penasaran di matanya. Aku dan Ivan sama-sama terkejut, tak menyangka kedatangannya.“Ivan, ada masalah apa di sini?” tanya Pak Rudi dengan nada tenang, tapi penuh wibawa.Ivan, yang sebelumnya terlihat begitu percaya diri, sekarang mulai gelagapan. Dia bangkit dari kursinya, mencoba memasang wajah tenang, meski jelas terlihat canggung. “Ini, Pak… ada karyawan yang mau resign,” katanya dengan suara terbata-bata sambil melirikku, mencoba menjaga sikapnya di depan atasannya.Pak Rudi mengerutkan kening, menatap Ivan, lalu beralih padaku. Dia melihat berkas surat resign di tangannya dan menghela napas kecil. “Saya dengar dari luar,” ujarnya dengan nada lebih tajam. “Kenapa kamu mempersulit pengunduran diri ini, Ivan?”Ivan terdiam sejenak, matanya sedikit panik. “E-eh, bukan begitu, Pak. Saya hanya khawatir… jika Sonia
Mr. Wei membawa kami menuju daerah Kebayoran, tepat di jantung kota Jakarta. Suasananya begitu berbeda dari tempat tinggalku yang sederhana. Jalanan di sini dipenuhi oleh deretan rumah mewah yang tampak seperti milik para pengusaha atau pejabat penting. Taman-taman kecil dengan pohon yang terawat rapi menyambut kami di sepanjang jalan. Mobil-mobil mewah berbaris di sepanjang sisi jalan, membuatku merasa seperti memasuki dunia yang sama sekali berbeda dari kehidupan kami selama ini.Mobil kami berhenti di depan sebuah rumah yang, meskipun tidak sebesar yang lainnya, tampak begitu baru dan indah. Mr. Wei turun terlebih dahulu, membuka pintu untukku, dan dengan senyum lembut dia berkata, “Mari, aku ingin kau melihat tempat ini.”Rumah itu memiliki desain minimalis, dengan fasad berwarna putih dan abu-abu lembut yang memancarkan kesan modern dan bersih. Dari luar saja, aku sudah bisa merasakan bahwa tempat ini dirancang dengan hati-hati. Meskipun ukurannya tidak sebesar rumah di sekitar k
Minggu itu, kami akhirnya pindah ke rumah baru di Kebayoran. Tidak banyak barang yang perlu dipindahkan, mengingat kehidupanku sebelumnya di kos sederhana tidak memerlukan banyak perabot. Aku hanya membawa beberapa pakaian, peralatan pribadi, dan barang-barang kecil yang penting bagi kami. Rasanya begitu aneh dan menyenangkan berada di rumah yang jauh lebih luas dan nyaman, seolah-olah hidup kami berdua telah melonjak ke dimensi baru.Hari pertamaku di Fleurs de Luxe Cosmétiques masih minggu depan, jadi aku punya cukup waktu untuk bersantai dan menyesuaikan diri. Mr. Wei sibuk bekerja sebagai pengemudi taksi online, sering kali keluar rumah untuk mencari orderan. Sementara itu, aku menggunakan waktu yang tersisa untuk merapikan rumah, mempersiapkan makanan, menata baju tidur, dan… mempersiapkan diriku untuk malam-malam bersama Mr. Wei. Setiap kali dia kembali pulang, rasanya seperti ada percikan baru yang terus menyala di antara kami. Seperti sepasang kekasih yang baru saja pindah ke
Ketika lift tiba di lantai kantorku, bunyi lembut pintu yang terbuka membuatku tersentak dari pikiranku. Aku mencoba mengenyahkan rasa penasaran tentang sosok yang kulihat tadi di luar lift. Mungkin hanya kebetulan, pikirku, meski bayangannya masih terlintas di benakku. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, dan melangkah keluar menuju ruangan HR, berusaha fokus pada hari pertamaku.Di ruangan HR, aku disambut dengan ramah. Seorang staf memberiku nametag dan kartu nama yang telah dicetak dengan rapi. Di situ, tertulis dengan jelas:SoniaAccount Executive - Fleurs de Luxe CosmétiquesAku memandangi kartu nama itu sejenak, merasakan campuran rasa bangga dan gugup. Ini adalah awal yang baru bagiku. Setelah menjelaskan beberapa ketentuan dan peraturan perusahaan, staf HR memberikan penjelasan mengenai tugas-tugas pokokku. Semuanya terasa profesional dan tertata dengan baik, membuatku semakin yakin bahwa aku telah memilih tempat yang tepat untuk memulai babak baru dalam karie
Aku segera mencari Rina, masih dengan perasaan yang kacau dan detak jantung yang belum sepenuhnya tenang. Tak butuh waktu lama sebelum aku menemukannya sedang berbicara dengan seorang rekan di meja kerjanya. Tanpa banyak basa-basi, aku mendekat dan, sambil merendahkan posisi tubuhku, berusaha tetap tidak terlihat dari pandangan mantan mertuaku.“Rin,” bisikku, dengan nada sedikit panik, “kalau boleh tahu, yang di ruangan itu siapa?” Aku menunjuk pelan ke arah ruangan tempat aku melihat Mama Hilda sebelumnya.Rina menoleh sejenak, kemudian memberikan senyum kecil, tampak tidak sadar dengan kegelisahanku. “Oh, itu ruangan Bu Marini, kepala divisi Business Development. Dia sering banget ngobrol sama mertuanya—Bu Hilda, dia Board Member di Fleurs de Luxe,” jawabnya dengan santai.Aku merasa tubuhku seolah-olah membeku. Board Member? Jadi, Mama Hilda bukan hanya seorang pengunjung biasa, tapi salah satu orang paling berkuasa di perusahaan ini. Tentu saja, ini menjelaskan bagaimana dia bisa
Mr. Wei melirik ke arahku, memperhatikan posisi dudukku yang melorot dan ekspresi gelisah yang jelas terlihat di wajahku. “Sonia, kamu kenapa?” tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian.Aku menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan ketegangan yang merasuki pikiranku. Dengan hati-hati, aku membetulkan posisi dudukku, berusaha untuk terlihat normal meskipun dadaku terasa sesak. “Nggak ada apa-apa, sayang,” jawabku pelan, tapi jelas ketidaknyamanan itu masih tersirat dalam suaraku.Mr. Wei menatapku sejenak, tak mudah percaya begitu saja. “Hari pertama ada masalah?” tanyanya lagi, lebih serius kali ini, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.Aku menghela napas panjang, tahu bahwa aku tidak bisa terus mengabaikan perasaanku ini. “Mantan mertuaku,” gumamku pelan, hampir tak terdengar.Dia menoleh, alisnya mengernyit. “Mantan mertua?”Aku mengangguk, mengambil napas dalam untuk mengatur pikiranku. “Mama Hilda. Ternyata dia adalah Board Member di Fleurs de Luxe,” kataku, suara penuh
Mr. Wei melihat ponselku yang bergetar di meja. Dia menatap layar sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, menghabiskan suapan terakhirnya dengan tenang. Kemudian, dengan gerakan cepat namun tenang, dia mengambil ponselku dari meja.Aku menatapnya, masih syok dan tidak tahu harus berkata apa. Sambil tetap tenang, Mr. Wei membaca pesan itu. Dia tak berkata apa pun, hanya menghela napas pendek, lalu dengan sekali klik, dia menghapus pesan dari Donny dan segera memblokir nomornya.“Tidak penting, tidak usah diladeni,” katanya santai, suaranya penuh kepastian. Dia meletakkan ponselku kembali di meja dengan ringan, seolah-olah apa yang baru saja terjadi bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan.Aku menatapnya, setengah bingung setengah lega, meskipun rasa takut yang tadi menyerang masih menggantung di udara.Betul juga, pikirku. Apa urusannya Donny harus berbicara denganku? Kami sudah bercerai, hubungan kami sudah selesai sejak lama. Tidak ada lagi alasan untuk terhubung, apalagi berbicara. P