Mr. Wei membawa kami menuju daerah Kebayoran, tepat di jantung kota Jakarta. Suasananya begitu berbeda dari tempat tinggalku yang sederhana. Jalanan di sini dipenuhi oleh deretan rumah mewah yang tampak seperti milik para pengusaha atau pejabat penting. Taman-taman kecil dengan pohon yang terawat rapi menyambut kami di sepanjang jalan. Mobil-mobil mewah berbaris di sepanjang sisi jalan, membuatku merasa seperti memasuki dunia yang sama sekali berbeda dari kehidupan kami selama ini.Mobil kami berhenti di depan sebuah rumah yang, meskipun tidak sebesar yang lainnya, tampak begitu baru dan indah. Mr. Wei turun terlebih dahulu, membuka pintu untukku, dan dengan senyum lembut dia berkata, “Mari, aku ingin kau melihat tempat ini.”Rumah itu memiliki desain minimalis, dengan fasad berwarna putih dan abu-abu lembut yang memancarkan kesan modern dan bersih. Dari luar saja, aku sudah bisa merasakan bahwa tempat ini dirancang dengan hati-hati. Meskipun ukurannya tidak sebesar rumah di sekitar k
Minggu itu, kami akhirnya pindah ke rumah baru di Kebayoran. Tidak banyak barang yang perlu dipindahkan, mengingat kehidupanku sebelumnya di kos sederhana tidak memerlukan banyak perabot. Aku hanya membawa beberapa pakaian, peralatan pribadi, dan barang-barang kecil yang penting bagi kami. Rasanya begitu aneh dan menyenangkan berada di rumah yang jauh lebih luas dan nyaman, seolah-olah hidup kami berdua telah melonjak ke dimensi baru.Hari pertamaku di Fleurs de Luxe Cosmétiques masih minggu depan, jadi aku punya cukup waktu untuk bersantai dan menyesuaikan diri. Mr. Wei sibuk bekerja sebagai pengemudi taksi online, sering kali keluar rumah untuk mencari orderan. Sementara itu, aku menggunakan waktu yang tersisa untuk merapikan rumah, mempersiapkan makanan, menata baju tidur, dan… mempersiapkan diriku untuk malam-malam bersama Mr. Wei. Setiap kali dia kembali pulang, rasanya seperti ada percikan baru yang terus menyala di antara kami. Seperti sepasang kekasih yang baru saja pindah ke
Ketika lift tiba di lantai kantorku, bunyi lembut pintu yang terbuka membuatku tersentak dari pikiranku. Aku mencoba mengenyahkan rasa penasaran tentang sosok yang kulihat tadi di luar lift. Mungkin hanya kebetulan, pikirku, meski bayangannya masih terlintas di benakku. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, dan melangkah keluar menuju ruangan HR, berusaha fokus pada hari pertamaku.Di ruangan HR, aku disambut dengan ramah. Seorang staf memberiku nametag dan kartu nama yang telah dicetak dengan rapi. Di situ, tertulis dengan jelas:SoniaAccount Executive - Fleurs de Luxe CosmétiquesAku memandangi kartu nama itu sejenak, merasakan campuran rasa bangga dan gugup. Ini adalah awal yang baru bagiku. Setelah menjelaskan beberapa ketentuan dan peraturan perusahaan, staf HR memberikan penjelasan mengenai tugas-tugas pokokku. Semuanya terasa profesional dan tertata dengan baik, membuatku semakin yakin bahwa aku telah memilih tempat yang tepat untuk memulai babak baru dalam karie
Aku segera mencari Rina, masih dengan perasaan yang kacau dan detak jantung yang belum sepenuhnya tenang. Tak butuh waktu lama sebelum aku menemukannya sedang berbicara dengan seorang rekan di meja kerjanya. Tanpa banyak basa-basi, aku mendekat dan, sambil merendahkan posisi tubuhku, berusaha tetap tidak terlihat dari pandangan mantan mertuaku.“Rin,” bisikku, dengan nada sedikit panik, “kalau boleh tahu, yang di ruangan itu siapa?” Aku menunjuk pelan ke arah ruangan tempat aku melihat Mama Hilda sebelumnya.Rina menoleh sejenak, kemudian memberikan senyum kecil, tampak tidak sadar dengan kegelisahanku. “Oh, itu ruangan Bu Marini, kepala divisi Business Development. Dia sering banget ngobrol sama mertuanya—Bu Hilda, dia Board Member di Fleurs de Luxe,” jawabnya dengan santai.Aku merasa tubuhku seolah-olah membeku. Board Member? Jadi, Mama Hilda bukan hanya seorang pengunjung biasa, tapi salah satu orang paling berkuasa di perusahaan ini. Tentu saja, ini menjelaskan bagaimana dia bisa
Mr. Wei melirik ke arahku, memperhatikan posisi dudukku yang melorot dan ekspresi gelisah yang jelas terlihat di wajahku. “Sonia, kamu kenapa?” tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian.Aku menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan ketegangan yang merasuki pikiranku. Dengan hati-hati, aku membetulkan posisi dudukku, berusaha untuk terlihat normal meskipun dadaku terasa sesak. “Nggak ada apa-apa, sayang,” jawabku pelan, tapi jelas ketidaknyamanan itu masih tersirat dalam suaraku.Mr. Wei menatapku sejenak, tak mudah percaya begitu saja. “Hari pertama ada masalah?” tanyanya lagi, lebih serius kali ini, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.Aku menghela napas panjang, tahu bahwa aku tidak bisa terus mengabaikan perasaanku ini. “Mantan mertuaku,” gumamku pelan, hampir tak terdengar.Dia menoleh, alisnya mengernyit. “Mantan mertua?”Aku mengangguk, mengambil napas dalam untuk mengatur pikiranku. “Mama Hilda. Ternyata dia adalah Board Member di Fleurs de Luxe,” kataku, suara penuh
Mr. Wei melihat ponselku yang bergetar di meja. Dia menatap layar sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, menghabiskan suapan terakhirnya dengan tenang. Kemudian, dengan gerakan cepat namun tenang, dia mengambil ponselku dari meja.Aku menatapnya, masih syok dan tidak tahu harus berkata apa. Sambil tetap tenang, Mr. Wei membaca pesan itu. Dia tak berkata apa pun, hanya menghela napas pendek, lalu dengan sekali klik, dia menghapus pesan dari Donny dan segera memblokir nomornya.“Tidak penting, tidak usah diladeni,” katanya santai, suaranya penuh kepastian. Dia meletakkan ponselku kembali di meja dengan ringan, seolah-olah apa yang baru saja terjadi bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan.Aku menatapnya, setengah bingung setengah lega, meskipun rasa takut yang tadi menyerang masih menggantung di udara.Betul juga, pikirku. Apa urusannya Donny harus berbicara denganku? Kami sudah bercerai, hubungan kami sudah selesai sejak lama. Tidak ada lagi alasan untuk terhubung, apalagi berbicara. P
"Lalu, apa bedanya, sayang?" tanyaku dengan nada menggoda, meskipun di dalam hatiku ada rasa penasaran.Mr. Wei tertawa kecil, namun tatapannya tetap tajam, penuh arti. "Aku butuh kamu," jawabnya dengan lembut tapi penuh intensitas, senyumnya perlahan menghilang, digantikan oleh sorot mata yang lebih dalam. "Meredam kegilaanku, Sonia. Hanya kamu yang bisa."Kalimatnya membuatku terdiam sejenak. Ada sesuatu di balik ucapannya, sebuah kejujuran yang lebih dalam dari sekadar candaan. Seolah dia mengisyaratkan bahwa dalam hidupnya yang mungkin penuh kekacauan atau kegilaan, aku adalah satu-satunya yang bisa membuatnya merasa tenang.******Keesokan harinya, saat masuk kerja, ada perasaan malas yang menyelimuti hatiku. Konflik yang mungkin akan terjadi sudah terasa seperti bayangan gelap di atas kepala. Namun, aku tahu bahwa aku harus tetap bertahan, bagaimanapun beratnya situasi ini.Hari itu, bersama tim sales, kami berkeliling ke beberapa pameran kosmetik di mana Fleurs de Luxe Cosmétiq
Begitu kami masuk ke dalam ruangan, Aldo langsung menutup pintu dan dengan hati-hati melihat ke luar jendela melalui celah kecil pada window blinds, memastikan tidak ada yang mendekat atau menguping percakapan kami. Setelah merasa aman, dia berbalik dan menatapku dengan tatapan serius."Duduk," katanya sambil menyandarkan bokongnya di tepi meja, suaranya pelan namun santai.Aku menuruti permintaannya dan duduk, masih merasa tegang setelah insiden di luar tadi. Tapi seketika, wajahnya berubah, menunjukkan ekspresi kocak yang membuat keteganganku sedikit mereda. "Gimana? Marah-marahku tadi udah meyakinkan belum?" tanya Aldo dengan nada yang lebih pelan, suaranya agak jahil.Aku tak bisa menahan tawa kecil, meskipun masih bingung dengan semua yang terjadi. "Meyakinkan banget," jawabku sambil mengacungkan kedua jempolku. Tapi rasa ingin tahuku masih besar, terutama soal bagaimana dia bisa ada di sini, memegang posisi penting di perusahaan ini. "Tapi... ko bisa di sini?" tanyaku, masih t