Aku segera mencari Rina, masih dengan perasaan yang kacau dan detak jantung yang belum sepenuhnya tenang. Tak butuh waktu lama sebelum aku menemukannya sedang berbicara dengan seorang rekan di meja kerjanya. Tanpa banyak basa-basi, aku mendekat dan, sambil merendahkan posisi tubuhku, berusaha tetap tidak terlihat dari pandangan mantan mertuaku.“Rin,” bisikku, dengan nada sedikit panik, “kalau boleh tahu, yang di ruangan itu siapa?” Aku menunjuk pelan ke arah ruangan tempat aku melihat Mama Hilda sebelumnya.Rina menoleh sejenak, kemudian memberikan senyum kecil, tampak tidak sadar dengan kegelisahanku. “Oh, itu ruangan Bu Marini, kepala divisi Business Development. Dia sering banget ngobrol sama mertuanya—Bu Hilda, dia Board Member di Fleurs de Luxe,” jawabnya dengan santai.Aku merasa tubuhku seolah-olah membeku. Board Member? Jadi, Mama Hilda bukan hanya seorang pengunjung biasa, tapi salah satu orang paling berkuasa di perusahaan ini. Tentu saja, ini menjelaskan bagaimana dia bisa
Mr. Wei melirik ke arahku, memperhatikan posisi dudukku yang melorot dan ekspresi gelisah yang jelas terlihat di wajahku. “Sonia, kamu kenapa?” tanyanya dengan nada lembut, penuh perhatian.Aku menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan ketegangan yang merasuki pikiranku. Dengan hati-hati, aku membetulkan posisi dudukku, berusaha untuk terlihat normal meskipun dadaku terasa sesak. “Nggak ada apa-apa, sayang,” jawabku pelan, tapi jelas ketidaknyamanan itu masih tersirat dalam suaraku.Mr. Wei menatapku sejenak, tak mudah percaya begitu saja. “Hari pertama ada masalah?” tanyanya lagi, lebih serius kali ini, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.Aku menghela napas panjang, tahu bahwa aku tidak bisa terus mengabaikan perasaanku ini. “Mantan mertuaku,” gumamku pelan, hampir tak terdengar.Dia menoleh, alisnya mengernyit. “Mantan mertua?”Aku mengangguk, mengambil napas dalam untuk mengatur pikiranku. “Mama Hilda. Ternyata dia adalah Board Member di Fleurs de Luxe,” kataku, suara penuh
Mr. Wei melihat ponselku yang bergetar di meja. Dia menatap layar sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, menghabiskan suapan terakhirnya dengan tenang. Kemudian, dengan gerakan cepat namun tenang, dia mengambil ponselku dari meja.Aku menatapnya, masih syok dan tidak tahu harus berkata apa. Sambil tetap tenang, Mr. Wei membaca pesan itu. Dia tak berkata apa pun, hanya menghela napas pendek, lalu dengan sekali klik, dia menghapus pesan dari Donny dan segera memblokir nomornya.“Tidak penting, tidak usah diladeni,” katanya santai, suaranya penuh kepastian. Dia meletakkan ponselku kembali di meja dengan ringan, seolah-olah apa yang baru saja terjadi bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan.Aku menatapnya, setengah bingung setengah lega, meskipun rasa takut yang tadi menyerang masih menggantung di udara.Betul juga, pikirku. Apa urusannya Donny harus berbicara denganku? Kami sudah bercerai, hubungan kami sudah selesai sejak lama. Tidak ada lagi alasan untuk terhubung, apalagi berbicara. P
"Lalu, apa bedanya, sayang?" tanyaku dengan nada menggoda, meskipun di dalam hatiku ada rasa penasaran.Mr. Wei tertawa kecil, namun tatapannya tetap tajam, penuh arti. "Aku butuh kamu," jawabnya dengan lembut tapi penuh intensitas, senyumnya perlahan menghilang, digantikan oleh sorot mata yang lebih dalam. "Meredam kegilaanku, Sonia. Hanya kamu yang bisa."Kalimatnya membuatku terdiam sejenak. Ada sesuatu di balik ucapannya, sebuah kejujuran yang lebih dalam dari sekadar candaan. Seolah dia mengisyaratkan bahwa dalam hidupnya yang mungkin penuh kekacauan atau kegilaan, aku adalah satu-satunya yang bisa membuatnya merasa tenang.******Keesokan harinya, saat masuk kerja, ada perasaan malas yang menyelimuti hatiku. Konflik yang mungkin akan terjadi sudah terasa seperti bayangan gelap di atas kepala. Namun, aku tahu bahwa aku harus tetap bertahan, bagaimanapun beratnya situasi ini.Hari itu, bersama tim sales, kami berkeliling ke beberapa pameran kosmetik di mana Fleurs de Luxe Cosmétiq
Begitu kami masuk ke dalam ruangan, Aldo langsung menutup pintu dan dengan hati-hati melihat ke luar jendela melalui celah kecil pada window blinds, memastikan tidak ada yang mendekat atau menguping percakapan kami. Setelah merasa aman, dia berbalik dan menatapku dengan tatapan serius."Duduk," katanya sambil menyandarkan bokongnya di tepi meja, suaranya pelan namun santai.Aku menuruti permintaannya dan duduk, masih merasa tegang setelah insiden di luar tadi. Tapi seketika, wajahnya berubah, menunjukkan ekspresi kocak yang membuat keteganganku sedikit mereda. "Gimana? Marah-marahku tadi udah meyakinkan belum?" tanya Aldo dengan nada yang lebih pelan, suaranya agak jahil.Aku tak bisa menahan tawa kecil, meskipun masih bingung dengan semua yang terjadi. "Meyakinkan banget," jawabku sambil mengacungkan kedua jempolku. Tapi rasa ingin tahuku masih besar, terutama soal bagaimana dia bisa ada di sini, memegang posisi penting di perusahaan ini. "Tapi... ko bisa di sini?" tanyaku, masih t
Saat menunggu Mr. Wei di depan gedung, mataku fokus pada layar ponsel, menunggu pesan balasan darinya. Setiap detik terasa semakin lama, terutama setelah hari yang penuh tekanan. Aku ingin segera pergi, menghindari pandangan dan bisikan yang seolah tak berhenti mengejarku.Tiba-tiba, sebuah suara memanggilku dari belakang. Suara yang segera membuat tubuhku tegang.“Sonia,” suaranya dingin dan tajam—Donny.Jantungku berdegup kencang, rasa gelisah langsung melanda. Aku berbalik dengan hati-hati, dan di sana, berdiri mantan suamiku, Donny, dengan ekspresi arogan yang kukenal begitu baik. Tatapan matanya penuh kebencian yang mengintimidasi.“Rupanya, kamu tidak bisa jauh dariku ya,” Donny terkekeh, nada suaranya sinis dan mengancam.Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri, tapi kata-katanya menusuk jauh ke dalam. "Bagaimana kabar bos bangkrutmu sekarang?" lanjutnya, suaranya semakin menyengat, seolah menikmati kekuasaannya atas masa laluku."Kenapa? Sekarang jadi bisu?" ejeknya, me
“Sonia,” dia memulai, suaranya lembut namun penuh makna, “ketika aku masuk penjara dulu, aku pernah bilang, nggak perlu menungguku. Jadi, kenapa kamu masih keras kepala terus mengunjungiku di penjara?”Aku menatapnya, terdiam sejenak. Pertanyaan itu membawaku kembali ke masa-masa sulit ketika dia dipenjara. Aku selalu tahu bahwa kata-kata itu hanyalah bentuk perlindungannya, cara dia agar aku tak perlu terbebani. Namun, dalam hatiku, aku tak pernah bisa meninggalkannya."Karena aku tidak bisa," jawabku akhirnya, suaraku bergetar sedikit. "Aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja. Kau mungkin berpikir aku bisa melanjutkan hidup tanpa kamu, tapi bagiku... kamu selalu menjadi bagian dari hidupku. Bahkan ketika kau memintaku untuk tidak menunggu, hatiku sudah tahu jawabannya."Tatapan Mr. Wei me
Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosiku. Aku ingin sekali berbalik dan menantang mereka, mempertanyakan bagaimana mereka bisa begitu mudah menilai tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, konfrontasi terbuka hanya akan memberi mereka lebih banyak alasan untuk bergosip. Setelah beberapa langkah lagi, aku tiba di mejaku. Duduk di kursi, aku mencoba menenangkan diri. Mereka salah, pikirku. Aku berhasil karena kerja keras, bukan karena ada Aldo di belakangku. Tapi di sisi lain, aku tahu gosip semacam ini akan terus ada. Terlebih lagi, dengan Marini dan Mama Hilda yang sudah sejak awal memandangku dengan penuh kebencian, situasi ini pasti akan semakin sulit.******Siang itu, aku bersiap-siap untuk menghadiri Gala Dinner di Hotel Mandarin. Perasaan campur aduk—antara gugup dan antusias—mengisi benakku. Aku tahu malam ini akan menjadi malam yang penting, bukan hanya untuk karierku, tetapi juga untuk menghadapi semua mata yang terus memandangku dengan pen