Begitu kami masuk ke dalam ruangan, Aldo langsung menutup pintu dan dengan hati-hati melihat ke luar jendela melalui celah kecil pada window blinds, memastikan tidak ada yang mendekat atau menguping percakapan kami. Setelah merasa aman, dia berbalik dan menatapku dengan tatapan serius."Duduk," katanya sambil menyandarkan bokongnya di tepi meja, suaranya pelan namun santai.Aku menuruti permintaannya dan duduk, masih merasa tegang setelah insiden di luar tadi. Tapi seketika, wajahnya berubah, menunjukkan ekspresi kocak yang membuat keteganganku sedikit mereda. "Gimana? Marah-marahku tadi udah meyakinkan belum?" tanya Aldo dengan nada yang lebih pelan, suaranya agak jahil.Aku tak bisa menahan tawa kecil, meskipun masih bingung dengan semua yang terjadi. "Meyakinkan banget," jawabku sambil mengacungkan kedua jempolku. Tapi rasa ingin tahuku masih besar, terutama soal bagaimana dia bisa ada di sini, memegang posisi penting di perusahaan ini. "Tapi... ko bisa di sini?" tanyaku, masih t
Saat menunggu Mr. Wei di depan gedung, mataku fokus pada layar ponsel, menunggu pesan balasan darinya. Setiap detik terasa semakin lama, terutama setelah hari yang penuh tekanan. Aku ingin segera pergi, menghindari pandangan dan bisikan yang seolah tak berhenti mengejarku.Tiba-tiba, sebuah suara memanggilku dari belakang. Suara yang segera membuat tubuhku tegang.“Sonia,” suaranya dingin dan tajam—Donny.Jantungku berdegup kencang, rasa gelisah langsung melanda. Aku berbalik dengan hati-hati, dan di sana, berdiri mantan suamiku, Donny, dengan ekspresi arogan yang kukenal begitu baik. Tatapan matanya penuh kebencian yang mengintimidasi.“Rupanya, kamu tidak bisa jauh dariku ya,” Donny terkekeh, nada suaranya sinis dan mengancam.Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri, tapi kata-katanya menusuk jauh ke dalam. "Bagaimana kabar bos bangkrutmu sekarang?" lanjutnya, suaranya semakin menyengat, seolah menikmati kekuasaannya atas masa laluku."Kenapa? Sekarang jadi bisu?" ejeknya, me
“Sonia,” dia memulai, suaranya lembut namun penuh makna, “ketika aku masuk penjara dulu, aku pernah bilang, nggak perlu menungguku. Jadi, kenapa kamu masih keras kepala terus mengunjungiku di penjara?”Aku menatapnya, terdiam sejenak. Pertanyaan itu membawaku kembali ke masa-masa sulit ketika dia dipenjara. Aku selalu tahu bahwa kata-kata itu hanyalah bentuk perlindungannya, cara dia agar aku tak perlu terbebani. Namun, dalam hatiku, aku tak pernah bisa meninggalkannya."Karena aku tidak bisa," jawabku akhirnya, suaraku bergetar sedikit. "Aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja. Kau mungkin berpikir aku bisa melanjutkan hidup tanpa kamu, tapi bagiku... kamu selalu menjadi bagian dari hidupku. Bahkan ketika kau memintaku untuk tidak menunggu, hatiku sudah tahu jawabannya."Tatapan Mr. Wei me
Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosiku. Aku ingin sekali berbalik dan menantang mereka, mempertanyakan bagaimana mereka bisa begitu mudah menilai tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, konfrontasi terbuka hanya akan memberi mereka lebih banyak alasan untuk bergosip. Setelah beberapa langkah lagi, aku tiba di mejaku. Duduk di kursi, aku mencoba menenangkan diri. Mereka salah, pikirku. Aku berhasil karena kerja keras, bukan karena ada Aldo di belakangku. Tapi di sisi lain, aku tahu gosip semacam ini akan terus ada. Terlebih lagi, dengan Marini dan Mama Hilda yang sudah sejak awal memandangku dengan penuh kebencian, situasi ini pasti akan semakin sulit.******Siang itu, aku bersiap-siap untuk menghadiri Gala Dinner di Hotel Mandarin. Perasaan campur aduk—antara gugup dan antusias—mengisi benakku. Aku tahu malam ini akan menjadi malam yang penting, bukan hanya untuk karierku, tetapi juga untuk menghadapi semua mata yang terus memandangku dengan pen
Kami terbaring dalam keheningan yang diisi oleh napas berat dan detak jantung yang masih berpacu cepat. Tubuh kami masih saling melekat, keringat yang bercampur di antara kami menjadi bukti dari gairah yang baru saja kami lepaskan. Bibirnya kembali menempel di bibirku, ciuman kami kali ini lembut, lambat, seolah menahan momen terakhir dari sisa-sisa kenikmatan yang masih menggantung di udara. Lidahnya bermain dengan manis, menyentuh lembut, membuatku tersenyum kecil di antara kehangatan yang perlahan mereda.Mr. Wei menarik diri sedikit, namun tidak sepenuhnya, wajahnya masih sangat dekat denganku. Dengan senyuman nakal yang mengintip di sudut bibirnya, dia berbisik pelan, “Best quicky I ever had.” Suaranya serak, penuh kepuasan yang jelas tak bisa disembunyikan.Aku tertawa kecil, menggeleng pelan sambil menatapnya dengan penuh arti. "Quicky? Aku k
Mama Hilda terlihat semakin cemas, tapi sebelum dia bisa menjawab, Aldo melanjutkan, "Kita di sini untuk bekerja secara profesional, bukan membuat keputusan berdasarkan emosi pribadi. Saya harap ke depannya kita bisa menjaga hal itu." Tatapannya tetap keras, memastikan pesan itu sampai dengan jelas.Marini hanya menunduk, tak berani menatap Aldo. Sementara Mama Hilda, meskipun masih terlihat marah, tampaknya sadar bahwa ini bukan tempat dan waktu untuk melanjutkan pertengkaran."Sekarang, mari kita lanjutkan acara Gala ini dengan tenang. Saya tidak ingin mendengar ada lagi gosip atau ancaman seperti ini," lanjut Aldo sambil menatap keduanya dengan tajam. Mereka berdua terpaksa mengangguk tanpa banyak bicara, lalu perlahan mundur dari tempat itu.Setelah Mama Hilda dan Marini masuk ke tempat acara, Aldo menghampiriku
"Izinkan saya memperkenalkan jajaran manajemen dan CEO WeiLife Corp, yang merupakan inti dari banyak anak perusahaan yang kini bernaung di bawah bendera baru ini," kata pembawa acara dengan nada resmi namun penuh semangat.Aku merasa tegang. Ada sesuatu yang besar akan terjadi, dan aku bisa merasakannya semakin dekat. Saat itu, Aldo menyenggol lenganku, sedikit menyeringai. "Bos kita dari luar negeri nih, gue baru mau liat sekarang," bisiknya sambil menahan senyum.Aku menoleh ke arah panggung, penasaran melihat siapa yang akan muncul. Dari belakang, terlihat jajaran manajemen WeiLife Corp mulai berjalan menuju panggung, tampak profesional dan penuh keyakinan. Mereka semua mengenakan setelan formal, memancarkan aura kekuasaan dan kendali yang kuat. Namun, mataku terpaku pada sosok paling belakang.Dari belakang bari
Saat aku berdiri di samping Mr. Wei dan Joshua di atas panggung, tatapan Mr. Wei yang penuh makna bertemu denganku. Ada kebanggaan di matanya, tetapi juga misteri yang belum terjawab. Semua kebohongan dan rahasia yang dia sembunyikan dariku kini bercampur dengan kenyataan bahwa dia telah merancang jalan untukku menuju posisi ini.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang, meskipun pikiranku masih berputar dengan berbagai pertanyaan dan keraguan. Tepuk tangan terus bergema di ruangan, dan semua mata tertuju padaku. Tapi tatapan Mr. Wei—tatapan yang penuh makna dan rahasia yang belum terjawab—membuat semuanya semakin sulit kucerna. Pria ini telah merancang jalan hidupku hingga titik ini, tanpa pernah memberi tahu detail yang seharusnya aku ketahui.Namun sebelum aku sempat berkata apa pun, pembawa acara kembali berbicara, menghentikan detik
//DUA TAHUN KEMUDIANDi kantor pusat WeiLife Corp di Hong Kong, Sonia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dua suster di belakangnya, masing-masing membawa stroller bayi kembar mereka yang berusia tiga bulan. Gedung pencakar langit itu penuh dengan kesibukan, tetapi Sonia melangkah dengan tenang, auranya penuh percaya diri sebagai CEO WeiLife Beauty dan ibu dari dua anak.Sonia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah para suster. “Tolong, bawa mereka ke ruangan khusus untuk merawat bayi,” katanya lembut. Kedua suster mengangguk, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Sonia, sementara dia melanjutkan langkahnya menuju kantor Mr. Wei.Saat mendekati pintu ruangan Mr. Wei, Sonia tiba-tiba melihat seorang wanita muda, salah satu karyawan, keluar dari ruangannya dengan ekspresi gugup. Wanita itu membersihkan bajunya, seperti sedang menutupi sesuatu. Kenangan dari masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya, mengingat situasi serupa yang pernah terjadi.Rasa curiga muncul sejenak di hati
Akhir pekan itu terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari pernikahan kami di Bali, yang sudah lama kutunggu-tunggu, kini tiba. Ini adalah akhir pekan tergugup dalam hidupku. Di tengah udara segar Pulau Dewata, semuanya tampak begitu sempurna. Acara ini akan diadakan di lokasi outdoor, di salah satu resort mewah di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.Pernikahan ini kami rancang dengan sederhana namun tetap anggun. Dikelilingi oleh pemandangan alam yang menakjubkan—pohon kelapa yang menjulang tinggi, pasir putih yang menghampar, dan lautan biru yang tenang. Tenda putih besar didirikan di pinggir pantai dengan dekorasi bunga berwarna krem dan putih yang memberikan kesan lembut dan elegan. Sebuah altar kayu sederhana berdiri di bawah kanopi bunga, tempat kami akan mengucapkan janji suci.Pagi itu, tim dari
Aku tersenyum tipis, melihat ini sebagai upaya untuk memperlambat proses yang sedang kujalankan. “Tentu saja, Pak Djoko. Namun, kita tidak punya banyak waktu jika ingin tetap bersaing di pasar. Fleurs de Luxe membutuhkan perubahan cepat dan tepat. Setiap hari yang kita tunda, adalah kerugian bagi perusahaan.”Setelah perdebatan yang cukup panjang, pertemuan berakhir dengan suasana tegang. Beberapa board members terlihat mendukung langkahku, sementara yang lain, terutama Mama Hilda dan Djoko Pramono, masih mempertahankan ekspresi mereka yang sinis. Namun, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruangan dengan perasaan lega, meski tahu masih
Mami melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Mami selalu memantau dari kejauhan, Sonia. Meskipun Mami tidak ada di sisimu, Mami sering mendengar kabar tentangmu dari nenek. Lalu, baru-baru ini, Mami melihat namamu di berita. Kamu jadi CEO termuda di Indonesia, kamu luar biasa, sayang." Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi aku merasakan itu seperti pujian dari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada dalam hidupku."Aku melihat semua prestasimu, perjuanganmu. Kamu membangun sesuatu yang sangat besar dengan tanganmu sendiri. Mami sangat bangga, Sonia. Kamu sukses… kamu membuktikan dirimu. Dan ketika Mami melihat itu, Mami sadar, Mami tidak bisa terus menghindar. Mami harus bertemu denganmu, harus memperbaiki hubungan kita."Aku terdiam lagi, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku merasa hangat mendengar kata-kata itu, mendengar pujian yang selam
Executive Meeting di WeiLife TowerKami naik ke lantai eksekutif, di mana Executive Meeting diadakan. Di sana, puluhan CEO dari berbagai anak perusahaan WeiLife yang tersebar di seluruh dunia telah berkumpul. Ruangan pertemuan itu luas, dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan panorama kota Hong Kong yang spektakuler. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan aura profesionalisme dan kekuasaan.Para CEO yang hadir datang dari berbagai negara, masing-masing mewakili divisi mereka yang penting. Di antara mereka ada wajah-wajah baru yang segera akan diperkenalkan dalam pertemuan malam nanti. Suasana diskusi terasa intens, namun penuh antisipasi. Semua ini adalah tentang menentukan arah masa d
The Executive Meeting di WeiLife Tower, Hong Kong: 6 Hari Setelah Gala DinnerMr. Wei, Joshua, dan aku berada di pesawat jet pribadi Mr. Wei, menuju Hong Kong untuk menghadiri pertemuan penting di WeiLife Tower. Suasana di dalam jet terasa nyaman dan eksklusif, tetapi pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang perusahaan besar yang kini kutangani sebagai CEO. Dengan pemandangan awan di luar jendela dan suara mesin yang lembut, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan.Aku menoleh ke Mr. Wei yang sedang santai membaca dokumen di sebelahku. "Sayang, aku tidak mengerti sepenuhnya tentang WeiLife Corp. Bisa tolong dijelaskan?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.Mr. Wei menutup dokumennya dan tersenyum lembut, seolah sudah menduga pert
Mr. Wei menurunkan satu kakinya ke tanah, dan dalam gerakan perlahan namun penuh makna, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku jasnya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, seolah tahu apa yang akan terjadi. Mataku mulai berkaca-kaca bahkan sebelum dia berkata apa-apa."Sonia," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan perasaan yang mendalam. "Aku pernah berjanji, setelah semua ini selesai..."Perasaan campur aduk mulai memenuhi dadaku—antara kebahagiaan yang memuncak, keterkejutan, dan rasa cinta yang begitu besar. Aku hampir tidak bisa bernapas, tenggelam dalam momen ini. Air mata menggenang di mataku, perasaanku bergemuruh, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang selama ini aku impikan, dan sekarang semuanya terjadi di hadapanku.Mr. Wei membuka kotak itu dengan perlahan, memperli
"Ga masalah, santai aja. Malah bebanku sekarang lebih ringan, hahahaha," katanya, dengan ekspresi yang membuatku merasa lebih santai. Aldo memang selalu tahu cara menghilangkan ketegangan.Tak lama, aku merasakan kehadiran Mr. Wei di belakangku. Aldo yang melihatnya langsung menunduk-nunduk sedikit, sementara Mr. Wei menepuk-nepuk bahunya dengan penuh penghargaan."Terima kasih kerjasamanya selama ini, Aldo. Saya harap kamu bisa bantu Sonia di WeiLife Beauty," kata Mr. Wei dengan nada ramah, meski tetap menunjukkan wibawa sebagai seorang pemimpin."Baik, Mr. Wei," balas Aldo, sebelum melanjutkan dengan senyum. "Saya yakin, dengan Ibu Son—""Halah, Aldo, jangan panggil aku ibu...,
Meja di bagian tengah diisi oleh para manajemen utama dari WeiLife Corp. Kebanyakan dari mereka adalah orang asing—beberapa berasal dari Asia, Amerika, dan Eropa. Mereka tampak profesional dan formal, dengan pandangan tajam yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kekuasaan besar di perusahaan ini. Setiap orang yang duduk di meja ini tampak tenang namun penuh kendali, seolah memahami tanggung jawab besar yang kini ada di pundak mereka.Di sebelah kiri, meja lain dipenuhi oleh petinggi manajemen dari WeiLife Science. Beberapa wajah yang duduk di sana adalah orang-orang yang pernah kukenal saat masih bekerja dengan Mr. Wei dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Ada rasa nostalgia yang aneh melihat mereka lagi, meskipun banyak