"Tentu saja, Bu Sonia," jawabnya dengan tenang. "Saya sudah diberitahu mengenai situasi ini, dan saya akan memastikan semua berjalan dengan aman."Aku memberikan detail pertemuan pertama yang sudah kuatur. Orang yang akan kutemui adalah seorang teman lama dari masa sekolahku, salah satu nama yang sudah kupastikan bisa dipercaya. Rasanya aneh, melibatkan pengamanan dalam pertemuan yang seharusnya santai, tetapi aku sadar, di dunia yang penuh intrik seperti ini, keamanan adalah hal yang tak bisa diabaikan.Sore itu, Seno menjemputku di lobi apartemen. Aku sedikit terburu-buru keluar dari lift, masih mengatur napas setelah baru saja menyapih Angel. Ada perasaan cemas di dadaku—takut Seno sudah menungguku terlalu lama. Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya kami bertemu, dan aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar.Ketika aku sampai di lobi, aku langsung mengenali Seno. Ternyata, penampilannya sedikit mengejutkanku. Mungkin karena ini pertemuan pertama kami, atau aku hanya tidak p
"Yakin, Pak. Saya harus membicarakan mengenai transplantasi sumsum Angel dengan Donny," jawabku dengan tegas, meski ada keraguan yang tersimpan di dalam hati. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku tahu bahwa sebagai ayah biologis Angel, Donny berhak untuk tahu, terlepas dari apa yang terjadi di antara kami.Pak Harvey menarik napas, suaranya terdengar berat di ujung telepon. "Sebetulnya, dengan posisi Ibu saat ini, tidak perlu lagi dibicarakan dengan Donny. Secara hukum, Ibu sudah punya kendali penuh atas keputusan ini," katanya, suaranya penuh pertimbangan.Aku mengangguk, meski dia tak bisa melihatku. "Memang betul, Pak. Tapi Donny tetap ayah kandung Angel. Saya merasa dia harus tahu dan, kalau memungkinkan, terlibat."Pak Harvey terdiam sejenak, mungkin mempertimbangkan jawabanku sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Besok jam 2 siang Donny akan ke kantor saya. Kebetulan saya sedang mengurus sidang lainnya, jadi besok Ibu Sonia akan ditemani oleh salah satu senior di kantor saya, W
“Cukuppp...!!!” Pak Wilson tiba-tiba berseru, suaranya tegas dan memecah ketegangan yang telah mencapai puncaknya. Semua mata langsung tertuju padanya, termasuk tatapan sinis Donny yang tampak sedikit terkejut karena interupsi itu.Pak Wilson menatap Donny dengan tajam, menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkan percakapan ini berlanjut dengan cara yang tidak pantas. "Saya rasa pertemuan ini kita akhiri saja sekarang," lanjutnya dengan nada yang masih tegas, namun lebih tenang. "Bu Sonia sudah menyampaikan apa yang harus disampaikan."Ruangan mendadak hening, hanya terdengar suara napasku yang masih berat akibat kemarahan yang kutahan. Donny tampak tidak senang dengan interupsi itu, tetapi Pak Wilson tidak memberikan celah baginya untuk melanjutkan cemoohannya. Tatapan Pak Wilson yang penuh otoritas membuat suasana di ruangan itu berubah, menegaskan bahwa diskusi ini sudah tidak lagi produktif.Mama Hilda tampak masih ingin berbicara, bibirnya mengejek, tapi tatapan tajam Pak Wilson me
Joshua mengangguk. "Ya, saya sudah mengetahui ini dari awal. Sonia sudah merancangnya dengan matang. Dengan dukungan dari dalam pabrik, terutama dari serikat pekerja yang sekarang sudah mulai berbalik, kita bisa menurunkan nilai Indah Karya Swastika dan membuat pengambilalihan ini jauh lebih efektif."Mr. Wei kembali menatapku, kali ini sedikit lebih lembut, meski tetap penuh pertimbangan. "Baiklah, Sonia. Saya percaya padamu. Tapi kita harus memastikan ini tidak berlarut-larut. Jika demo ini berlangsung terlalu lama, bisa berdampak buruk bagi citra kita dan keuntungan di kemudian hari."Aku mengangguk, merasa lega meskipun masih ada beban besar yang harus kuhadapi. "Saya mengerti, Mr. Saya akan pastikan situasinya terkendali."Joshua menambahkan, "Dan jangan lupa, kita juga harus memikirkan bagaimana Nyonya Cynthia akan bereaksi. Dia tidak akan tinggal diam melihat situasi pabrik memburuk. Pastikan dia tidak ikut memanfaatkan ini untuk keuntungannya sendiri."Mr. Wei menatap layar lag
Aku meraih ponsel yang terus bergetar di tanganku, dan dengan tangan gemetar, aku segera menjawabnya. Di ujung sana, terdengar suara dokter Angel, suaranya terdengar tenang namun membawa beban yang berat.“Bu Sonia?” suara dokter itu terdengar, dan jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya.“Iya, Dok. Bagaimana kondisi Angel?” tanyaku dengan cepat, nyaris tak bisa menahan kecemasan yang kini membuncah dalam dada.Dokter itu menarik napas dalam, dan aku bisa mendengar ketegangan di balik nada suaranya. “Bu Sonia, saya akan berbicara terus terang. Kondisi Angel memburuk lebih cepat dari yang kami perkirakan. Tubuhnya tidak merespons kemoterapi sebagaimana yang diharapkan.” Suaranya berubah serius, setiap kata yang diucapkannya terasa menamparku keras.“Ada penurunan signifikan dalam sistem imunnya, dan sekarang kami harus mengambil langkah lebih agresif. Kami akan mulai memberikan perawatan intensif dan mempertimbangkan tindakan darurat. Tapi, ini tidak akan mudah. Angel membutuhkan
17:45 WIB Aku meninggalkan ruangan Mr. Wei dengan perasaan campur aduk. Aku tahu sekarang waktunya sangat penting. Tania sudah mengatur segalanya, dan aku harus bergerak cepat menuju rumah sakit. Waktu adalah musuh terbesar saat ini, dan setiap detik yang berlalu bisa menjadi jarak antara hidup dan mati bagi Angel.18:10 WIB Aku tiba di rumah sakit setelah perjalanan yang terasa begitu panjang meskipun sebenarnya hanya beberapa kilometer dari kantor. Begitu aku keluar dari taksi, Ratna sudah berdiri di lobi dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Aku menghampirinya dengan langkah cepat, hati berdebar-debar.“Sonia, dokter sudah bilang kita harus segera bertindak. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Suara Ratna terdengar mendesak. Aku bisa merasakan napasku semakin cepat, tetapi aku mencoba mengendalikan diri.Aku mengangguk, napasku terasa pendek karena panik. "Kita akan pergi ke Jerman, Ratna. Mr. Wei sudah mengatur segalanya. Ada tim medis yang siap di sana, dan Angel akan
Aku duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit, tubuhku terasa berat, seakan seluruh dunia menimpaku. Udara di dalam ruangan itu terasa begitu dingin, meskipun ruangan tersebut seharusnya hangat. Dinding putih steril di sekitarku seperti penjara yang tak kasat mata, mengungkung semua ketakutanku di dalam. Ratna duduk di sebelahku, berusaha menahan tangisnya sambil sesekali memandang ke arahku dengan tatapan cemas. Kami berdua sama-sama diam, seolah-olah kata-kata sudah kehilangan maknanya. Angel, anakku, berada di balik pintu besar ruang operasi, di bawah kendali dokter-dokter terbaik yang bisa kupikirkan. Namun, rasa takut itu tetap tidak pergi.08:10 CETWaktu bergerak sangat lambat. Setiap detik yang berlalu terdengar begitu keras di telingaku, seperti detak jam yang menghitung sisa waktu yang kumiliki bersama Angel. Napasku terasa berat, dan tanganku gemetar saat mencoba memegang ponsel untuk sekadar melihat waktu. Dokter Sudkamp tadi sempat mengatakan bahwa kondisi Angel sangat lema
Untuk beberapa saat, aku hanya bisa menangis dan menunggu. Angel sudah keluar dari ruang operasi dan sekarang berada di ruang ICU, masih dalam kondisi koma. Ketika melihat tubuh kecilnya terbaring di sana, diselimuti oleh mesin-mesin yang menopang hidupnya, perasaanku tak menentu. Aku merasa hampa, seolah-olah sebagian besar diriku ikut terperangkap dalam ketidakpastian itu.Kondisi Angel yang begitu lemah membuatku tidak tahu harus bagaimana. Setiap napasnya, setiap detik yang berlalu, rasanya seperti beban yang semakin berat di dadaku. Aku mencoba mencari secercah harapan, tapi ruang ICU itu begitu sunyi. Hanya suara mesin yang berbunyi pelan, menjaga nyawa Angel.Ponselku bergetar, memecah kesunyian yang mencekam. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar. Itu Tania.“Sonia, aku sudah dengar soal kondisi Angel,” suaranya tenang, namun penuh perhatian. "Aku tahu ini berat, tapi kau harus istirahat. Kau tidak bisa menjaga Angel kalau kau tidak menjaga dirimu sendiri. Aku sudah memesan ho