Aku meraih ponsel yang terus bergetar di tanganku, dan dengan tangan gemetar, aku segera menjawabnya. Di ujung sana, terdengar suara dokter Angel, suaranya terdengar tenang namun membawa beban yang berat.“Bu Sonia?” suara dokter itu terdengar, dan jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya.“Iya, Dok. Bagaimana kondisi Angel?” tanyaku dengan cepat, nyaris tak bisa menahan kecemasan yang kini membuncah dalam dada.Dokter itu menarik napas dalam, dan aku bisa mendengar ketegangan di balik nada suaranya. “Bu Sonia, saya akan berbicara terus terang. Kondisi Angel memburuk lebih cepat dari yang kami perkirakan. Tubuhnya tidak merespons kemoterapi sebagaimana yang diharapkan.” Suaranya berubah serius, setiap kata yang diucapkannya terasa menamparku keras.“Ada penurunan signifikan dalam sistem imunnya, dan sekarang kami harus mengambil langkah lebih agresif. Kami akan mulai memberikan perawatan intensif dan mempertimbangkan tindakan darurat. Tapi, ini tidak akan mudah. Angel membutuhkan
17:45 WIB Aku meninggalkan ruangan Mr. Wei dengan perasaan campur aduk. Aku tahu sekarang waktunya sangat penting. Tania sudah mengatur segalanya, dan aku harus bergerak cepat menuju rumah sakit. Waktu adalah musuh terbesar saat ini, dan setiap detik yang berlalu bisa menjadi jarak antara hidup dan mati bagi Angel.18:10 WIB Aku tiba di rumah sakit setelah perjalanan yang terasa begitu panjang meskipun sebenarnya hanya beberapa kilometer dari kantor. Begitu aku keluar dari taksi, Ratna sudah berdiri di lobi dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Aku menghampirinya dengan langkah cepat, hati berdebar-debar.“Sonia, dokter sudah bilang kita harus segera bertindak. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi.” Suara Ratna terdengar mendesak. Aku bisa merasakan napasku semakin cepat, tetapi aku mencoba mengendalikan diri.Aku mengangguk, napasku terasa pendek karena panik. "Kita akan pergi ke Jerman, Ratna. Mr. Wei sudah mengatur segalanya. Ada tim medis yang siap di sana, dan Angel akan
Aku duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit, tubuhku terasa berat, seakan seluruh dunia menimpaku. Udara di dalam ruangan itu terasa begitu dingin, meskipun ruangan tersebut seharusnya hangat. Dinding putih steril di sekitarku seperti penjara yang tak kasat mata, mengungkung semua ketakutanku di dalam. Ratna duduk di sebelahku, berusaha menahan tangisnya sambil sesekali memandang ke arahku dengan tatapan cemas. Kami berdua sama-sama diam, seolah-olah kata-kata sudah kehilangan maknanya. Angel, anakku, berada di balik pintu besar ruang operasi, di bawah kendali dokter-dokter terbaik yang bisa kupikirkan. Namun, rasa takut itu tetap tidak pergi.08:10 CETWaktu bergerak sangat lambat. Setiap detik yang berlalu terdengar begitu keras di telingaku, seperti detak jam yang menghitung sisa waktu yang kumiliki bersama Angel. Napasku terasa berat, dan tanganku gemetar saat mencoba memegang ponsel untuk sekadar melihat waktu. Dokter Sudkamp tadi sempat mengatakan bahwa kondisi Angel sangat lema
Untuk beberapa saat, aku hanya bisa menangis dan menunggu. Angel sudah keluar dari ruang operasi dan sekarang berada di ruang ICU, masih dalam kondisi koma. Ketika melihat tubuh kecilnya terbaring di sana, diselimuti oleh mesin-mesin yang menopang hidupnya, perasaanku tak menentu. Aku merasa hampa, seolah-olah sebagian besar diriku ikut terperangkap dalam ketidakpastian itu.Kondisi Angel yang begitu lemah membuatku tidak tahu harus bagaimana. Setiap napasnya, setiap detik yang berlalu, rasanya seperti beban yang semakin berat di dadaku. Aku mencoba mencari secercah harapan, tapi ruang ICU itu begitu sunyi. Hanya suara mesin yang berbunyi pelan, menjaga nyawa Angel.Ponselku bergetar, memecah kesunyian yang mencekam. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar. Itu Tania.“Sonia, aku sudah dengar soal kondisi Angel,” suaranya tenang, namun penuh perhatian. "Aku tahu ini berat, tapi kau harus istirahat. Kau tidak bisa menjaga Angel kalau kau tidak menjaga dirimu sendiri. Aku sudah memesan ho
Sudah tiga hari berlalu sejak Angel jatuh koma, dan waktu terasa berjalan begitu lambat. Aku dan Ratna terus menunggu dengan cemas di rumah sakit, memantau setiap perubahan kecil yang terjadi pada Angel. Setiap kali seorang perawat masuk ke ruang ICU atau dokter datang memeriksa, aku berharap ada kabar baik. Tapi selama tiga hari ini, tidak ada perkembangan berarti. Angel masih tak sadarkan diri, terperangkap dalam kegelapan yang tak bisa kugapai.Kecemasan itu semakin menggerogotiku, tetapi di sela-sela itu, pikiranku terpecah pada hal lain—pabrik Indah Karya Swastika. Meskipun Angel adalah prioritas utama dalam hidupku, aku tak bisa sepenuhnya melepaskan rencana besar yang sedang berlangsung di sana. Situasi pabrik semakin kacau, demo yang kurencanakan mulai menghasilkan efek yang kuinginkan. Setiap laporan berita yang kubaca menunjukkan bahwa situasi semakin sulit untuk Donny dan serikat pekerja. Kondisi di lapangan benar-benar di luar kendali mereka, dan ini sesuai dengan strategik
Aku berdiri di depan kaca ICU, mataku tak lepas dari tubuh kecil Angel yang terbaring tak bergerak di balik kaca. Mesin-mesin yang mengawasi setiap detak jantung dan napasnya terdengar pelan namun berirama, seperti pengingat yang konstan bahwa hidupnya masih tergantung pada hal-hal yang berada di luar kendali. Rasanya seperti berada di dua dunia yang berbeda—satu dunia di mana aku harus berjuang untuk Angel, dan dunia lain di mana aku sedang bertarung untuk sebuah pabrik yang bahkan tak punya hubungan langsung dengan hidupku. Namun, keduanya tak terpisahkan. Semua yang kulakukan sekarang adalah untuk masa depan Angel.Ponselku tiba-tiba bergetar di dalam sakuku, memecah keheningan di ruangan itu. Aku mengambilnya, dan melihat ada pesan masuk dari Joshua."Selamat, Sonia. Mereka sepakat."Aku membaca kata-kata itu beberapa kali, memastikan bahwa aku tidak salah paham. Sepakat. Itu artinya semuanya berjalan sesuai rencana. Aku membuka pesan lebih lanjut."45%."Itu adalah angka yang kam
Aku menatap kosong ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat, jantungku terasa seperti berhenti. Mereka baru saja membawa Angel masuk lagi, suara alat medis yang berderit dan langkah-langkah cepat para dokter masih terngiang di telingaku. Waktu terasa begitu lambat. Aku ingin berteriak, menangis, atau berlari masuk ke dalam untuk memeluk Angel, tapi tubuhku terasa terlalu berat untuk bergerak. Ratna ada di sebelahku, matanya tak lepas dari pintu itu, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran.Aku memaksa diriku untuk bernapas perlahan, mencoba menenangkan jantung yang berdetak kencang di dadaku. Setiap detik yang berlalu terasa seperti penyiksaan, seolah-olah ruangan ini dipenuhi oleh kecemasan yang semakin menekan. Tidak ada suara selain desahan napas kami yang terputus-putus dan detak jarum jam yang terus bergerak, seakan menghitung mundur waktu yang tersisa bagi Angel.Kami duduk di kursi di luar ruang operasi, mencoba tetap tegar, meskipun harapan dan ketakutan b
"Tidak... ini tidak mungkin..." bisikku, meskipun suaraku hampir tak terdengar. Bibirku bergerak, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa keluar, hanya rasa sesak yang terus menyiksa dadaku. Aku merasakan tubuhku melemah, dan sebelum aku menyadarinya, kakiku goyah dan aku jatuh ke lantai rumah sakit yang dingin.Ratna berusaha menahanku, tapi aku hanya duduk di lantai, menatap kosong ke arah pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, Angel... Angel yang selama ini bertahan, yang selama ini kukira akan selamat, sudah tiada. Tiadanya Angel meninggalkan lubang menganga di dalam diriku yang tak bisa kugambarkan.Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana, tanpa gerak, tanpa kata. Aku seperti terperangkap di dalam badai emosiku sendiri. Segalanya terasa begitu kosong. Dunia yang tadinya penuh dengan harapan dan rencana untuk Angel, tiba-tiba hancur