Joshua menatapku dengan sorot mata serius, mengisyaratkan bahwa ini bukan hanya soal keberanian atau strategi yang cerdas. Ada lebih banyak hal yang dipertaruhkan, dan risikonya tidak kecil. Setelah menghela napas panjang, dia akhirnya berkata dengan nada tegas, "Sonia, karena risikonya besar, aku menginginkanmu untuk mengerjakannya sebisa mungkin tanpa melibatkan terlalu banyak orang."Aku menatapnya, mencoba memahami arah pemikirannya. "Kenapa, Pak?""Orang-orang yang terlibat harus dengan sepengetahuanku, tidak boleh ada yang berjalan di luar kendali. Kau tahu sendiri, orang-orang Nyonya Cynthia di kantor ini terlalu banyak," lanjutnya. "Aku tidak ingin rencana ini bocor dan sampai ke telinga Nyonya Cynthia sebelum waktunya."Nyonya Cynthia. Nama itu seketika membuatku merasa waspada. Dia adalah sosok yang sulit dipercaya, selalu mengawasi dengan licik dari balik bayang-bayang. Jika dia tahu rencana kami untuk mendapatkan IKS, semuanya bisa berantakan sebelum kami sempat bergerak. M
Ratna mengulurkan tangan, menggenggam tanganku dengan erat. "Sonia, aku mengerti ketakutanmu. Aku juga takut. Tapi dokter-dokter terbaik sudah disiapkan, dan Mr. Wei sudah mengurus semuanya dengan sangat hati-hati. Yang kau butuhkan sekarang adalah keyakinan. Keyakinan bahwa kau membuat keputusan yang terbaik untuk Angel."Aku mengangguk pelan, hatiku masih dipenuhi keraguan. "Aku hanya tidak ingin membuat kesalahan... Aku takut langkahku bisa menyakiti Angel."Ratna tersenyum, senyum yang penuh ketulusan. "Tidak ada orang yang menginginkan hal buruk terjadi, Sonia. Tetapi kau ibu yang hebat. Kau selalu memikirkan Angel sebelum dirimu sendiri. Itulah yang membuatku yakin kau akan mengambil keputusan yang benar."Kata-kata Ratna membuatku merasa sedikit lebih tenang. Dia selalu tahu bagaimana memberikan ketenangan ketika aku merasa terombang-ambing di tengah badai keraguan. Kami berbincang lama malam itu, berbagi pikiran dan perasaan. Akhirnya, aku merasa sedikit lebih siap untuk mengh
"Tentu saja, Bu Sonia," jawabnya dengan tenang. "Saya sudah diberitahu mengenai situasi ini, dan saya akan memastikan semua berjalan dengan aman."Aku memberikan detail pertemuan pertama yang sudah kuatur. Orang yang akan kutemui adalah seorang teman lama dari masa sekolahku, salah satu nama yang sudah kupastikan bisa dipercaya. Rasanya aneh, melibatkan pengamanan dalam pertemuan yang seharusnya santai, tetapi aku sadar, di dunia yang penuh intrik seperti ini, keamanan adalah hal yang tak bisa diabaikan.Sore itu, Seno menjemputku di lobi apartemen. Aku sedikit terburu-buru keluar dari lift, masih mengatur napas setelah baru saja menyapih Angel. Ada perasaan cemas di dadaku—takut Seno sudah menungguku terlalu lama. Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya kami bertemu, dan aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar.Ketika aku sampai di lobi, aku langsung mengenali Seno. Ternyata, penampilannya sedikit mengejutkanku. Mungkin karena ini pertemuan pertama kami, atau aku hanya tidak p
"Yakin, Pak. Saya harus membicarakan mengenai transplantasi sumsum Angel dengan Donny," jawabku dengan tegas, meski ada keraguan yang tersimpan di dalam hati. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku tahu bahwa sebagai ayah biologis Angel, Donny berhak untuk tahu, terlepas dari apa yang terjadi di antara kami.Pak Harvey menarik napas, suaranya terdengar berat di ujung telepon. "Sebetulnya, dengan posisi Ibu saat ini, tidak perlu lagi dibicarakan dengan Donny. Secara hukum, Ibu sudah punya kendali penuh atas keputusan ini," katanya, suaranya penuh pertimbangan.Aku mengangguk, meski dia tak bisa melihatku. "Memang betul, Pak. Tapi Donny tetap ayah kandung Angel. Saya merasa dia harus tahu dan, kalau memungkinkan, terlibat."Pak Harvey terdiam sejenak, mungkin mempertimbangkan jawabanku sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Besok jam 2 siang Donny akan ke kantor saya. Kebetulan saya sedang mengurus sidang lainnya, jadi besok Ibu Sonia akan ditemani oleh salah satu senior di kantor saya, W
Dinding kaca yang dingin ini terasa seperti cermin raksasa yang memantulkan kehampaanku. Aku terisolasi, terkungkung dalam kotak transparan ini, sementara dunia di luar sana berputar tanpa peduli pada nasibku. Detak jam di pergelangan tangan terasa seperti palu yang berdentum di dalam kepalaku, mengiringi irama debar jantungku yang tak menentu.Tatapanku terpaku pada pintu kaca yang menjadi satu-satunya penghubungku dengan dunia luar. Di baliknya, koridor panjang membentang, dihiasi deretan pintu-pintu identik yang menyembunyikan nasib para kandidat lainnya. Aku membayangkan mereka, masing-masing tengah bergulat dengan kecemasan yang sama sepertiku.Sebuah bayangan gelap melintas di balik kaca. Sosok itu semakin dekat, langkahnya pasti dan penuh kuasa. Pemimpin. Jantungku berpacu kencang. Ia adalah sosok yang selama ini menjadi idola sekaligus momok bagiku. Wajahnya yang tegas dan tatapan matanya yang tajam selalu berhasil membuatku bergidik.Staff HRD, seorang wanita dengan tatapan d
Dengan perasaan campur aduk, aku akhirnya mengetuk pintu. Suara berat Mr. Wei menyuruhku masuk. Aku menarik napas dalam-dalam sekali lagi, lalu membuka pintu dan melangkah masuk.Pintu ruangan Mr. Wei terbuka lebar. Interior yang mewah dan elegan itu kontras dengan perasaan gelisah yang menggelayuti hatiku. Mr. Wei duduk di balik meja besar, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. "Silakan duduk, Sonia," katanya dengan suara lembut namun tegas. Aku duduk di hadapannya, jantungku berdebar kencang. Aku berusaha untuk tetap tenang, tetapi pikiranku terasa kacau.Aku, seorang gadis berusia 23 tahun, duduk di kursi yang terasa terlalu besar, sementara Mr. Wei, CEO perusahaan farmasi berusia 45 tahun, pesonanya yang karismatik dan percaya diri menegaskan perbedaan usia dan pengalaman kami. Di hadapannya, aku merasa kecil dan tidak berdaya, seolah dunia di sekelilingku menghilang, hanya ada dia yang memancarkan daya tarik luar biasa.Namun, tatapannya yang tajam tertuju pada dadaku, memb
Aku menatap Mr. Wei dengan tatapan kosong. "Baiklah," kataku akhirnya, suara ku terdengar lemah. "Saya menerima tawaran Anda."Mr. Wei tersenyum puas, seolah-olah dia baru saja memenangkan sebuah permainan besar. "Baiklah, Sonia. Namun, kamu harus melewati beberapa ujian," katanya dengan nada yang dingin."Ujian? Maksud Anda?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik.Mr. Wei mengangguk perlahan, senyum licik masih terpampang di wajahnya. "Ya, ujian. Aku ingin memastikan bahwa kamu memang pantas mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan," ujarnya dengan nada yang penuh arti.Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan tekanan yang semakin berat. "Apa yang harus saya lakukan untuk lulus ujian ini, Mr. Wei?" tanyaku, berusaha menjaga suaraku tetap stabil.Dia berjalan mengitari meja, berhenti hanya beberapa inci dari wajahku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan sedikit beraroma mint. "Berdirilah," perintahnya.Sedikit ragu, aku perlahan-lahan berdiri. Mr. Wei mengulurkan tangannya d
Keesokan paginya, aku dipanggil ke ruangan HRD. Jantungku berdebar kencang saat melangkah masuk, bertanya-tanya apa yang akan mereka katakan padaku. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah menyambutku di meja resepsionis."Halo, Sonia. Ayo masuk, kami sudah menunggu," katanya dengan senyum yang menenangkan.Aku mengikuti dia ke sebuah ruangan yang terang dan rapi. Di dalam, ada seorang pria dengan kacamata tipis yang duduk di belakang meja besar. Dia berdiri dan menyambutku dengan ramah."Selamat pagi, Sonia. Nama saya Pak Joko, kepala divisi HRD. Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan meja.Dengan gugup, aku duduk dan menunggu apa yang akan dia katakan."Sonia, saya ingin memberitahumu bahwa kamu telah diberikan posisi sebagai Junior Asisten di divisi ini," kata Pak Joko sambil tersenyum. "Ini adalah posisi paling bawah di divisi ini, tapi merupakan awal yang bagus."Aku mengangguk, mencoba memahami semuanya. "Apa saja tugas saya, Pak?" tanyaku, mencoba menjaga s