Ketika aku tiba di apartemen, perasaanku semakin tidak menentu. Langkahku semakin cepat saat memasuki pintu, berharap semuanya baik-baik saja.
"Ratna, ada apa?" tanyaku cemas, segera setelah melihatnya keluar dari kamar Angel dengan ekspresi gelisah. Dia sedang menimang Angel yang terlihat tenang di pelukannya, namun wajah Ratna penuh kekhawatiran. Setelah menenangkannya sedikit, dia berjalan ke arah sofa dan duduk, tubuhnya tampak gemetar.
Aku menghampirinya dan duduk di samping, mengambil Angel dari gendongannya agar bisa menyapih. Angel menggeliat nyaman di pelukanku, tetapi aku tak bisa menikmati momen itu sepenuhnya dengan kekhawatiran yang tampak jelas di wajah Ratna.
"Sonia," kata Ratna, suaranya bergetar. "Tadi sore, ibuku menelepon. Dia bilang seseorang... seseorang mengancam akan membakar rumah orangtuaku
Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian, lalu menekan tombol jawab. "Halo, Ma," sapaku dengan suara yang kubuat setenang mungkin.Suara Mama Hilda terdengar segera, tajam dan penuh emosi. "Sonia, kamu di mana sekarang? Mama mau ketemu."Nada suaranya tidak mengisyaratkan percakapan yang menyenangkan. Ada kemarahan dan ketegangan yang tidak biasa dalam setiap katanya. Aku menggigit bibir, merasa suasana semakin tidak menentu."Ada masalah apa, Ma?" tanyaku, mencoba memahami maksud dari panggilannya yang tiba-tiba ini."Masalah?" Mama Hilda hampir mendengus dengan nada mengejek. "Masalah, Sonia? Masalahnya justru kamu! KAMU masalahnya!" bentaknya, membuatku terdiam, seolah kata-katanya telah menamparku keras.Jantungku langsung berdegup kencang. Rasa takut dan bingung menyerangku dalam sekejap. Apa yang terjadi? Kenapa Mama Hilda begitu marah? Apa yang dia dengar dari Donny? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?"Maafkan Sonia, Ma, tapi Sonia sungguh tidak bisa bertahan
Aku berdiri di dalam lift, menatap kosong ke pintu yang tertutup rapat di depanku. Suara mesin lift yang berderak naik semakin samar di telingaku, tenggelam oleh kekacauan pikiranku sendiri. Terror Donny kepada keluarga Ratna terus menghantuiku, ancaman Mama Hilda yang masih terngiang di kepala, masalah pekerjaan yang seolah tak pernah ada habisnya, dan yang paling berat—kesehatan Angel yang masih tak menentu. Semuanya menumpuk di pikiranku, membuatku merasa sesak, seolah-olah aku sedang tenggelam di dalam lautan masalah tanpa ujung.Pintu lift akhirnya terbuka dengan bunyi ding. Aku melangkah keluar, mencoba menarik napas dalam-dalam, tapi dadaku masih terasa berat. Setiap langkahku menuju unit apartemen Mr. Wei terasa lambat, seakan-akan beban pikiranku menghentikan setiap langkah. Saat pintu terbuka, aku langsung mendengar suara Mr. Wei yang sedang berbicara menggunakan bahasa Kanton. Nada bicaranya terdengar serius, dan meskipun aku tidak mengerti sepatah kata pun dari apa yang dia
"Mr. Wei... kenapa di sini?" tanyaku dengan suara serak, tanganku mencengkeram pegangan balkon, hati-hati sambil sesekali melirik ke arah kota yang bersinar di bawah.Dia tertawa pelan, dekat di telingaku, suaranya rendah dan memabukkan. "Karena kamu selalu membuatku tergoda, Sonia."Dia mendekatkan wajahnya, dan tanpa ragu, bibirnya menyentuh leherku, memberikan ciuman lembut yang membuat tubuhku merinding. Kehangatannya menyelimuti, dan sentuhan bibirnya membuat pikiranku yang kalut mulai menghilang.Semua hal yang menggangguku sebelumnya—teror, ancaman, masalah pekerjaan—seolah memudar dalam kehadirannya. Setiap sentuhan Mr. Wei membuatku semakin larut dalam keintiman yang tercipta di antara kami. Ketika akhirnya aku mencapai puncak di balkon itu, napasku tersengal-sengal, dan ciuman yang dia berikan seakan menjadi penutup sempurna. Aku tidak bisa lagi berpikir tentang hal lain, hanya terhanyut dalam momen itu bersamanya.Kami kemudian beranjak menuju sofa. Mr. Wei memegang tanganku
Ratna menatap pengacara itu dengan tenang, meski ada ketegangan di wajahnya. “Saya hanya menceritakan apa yang saya lihat dan alami. Saya berada di sana, dan saya menyaksikan sendiri apa yang terjadi.”Hakim menatap pengacara Donny dengan dingin. “Pertanyaan Anda tidak relevan. Saksi sudah menyampaikan kesaksiannya dengan jelas.”Setelah beberapa saat, hakim beralih kepadaku. "Ibu Sonia, apakah Anda ingin memberikan keterangan tambahan?"Aku menarik napas dalam-dalam, menatap Ratna yang duduk di sampingku dengan penuh rasa terima kasih. Perlahan, aku berdiri, menatap hakim, dan mulai berbicara, meski suaraku sedikit bergetar."Yang Mulia, apa yang disampaikan Ratna adalah kebenaran. Saya telah mengalami kekerasan dari Donny berkali-kali. Saya sudah berusaha bertahan demi anak kami, Angel, tapi akhirnya saya tidak bisa lagi. Malam itu, Donny menyerang saya dengan cara yang begitu kejam, dan saya tidak punya pilihan selain mencari bantuan. Ratna menyelamatkan hidup saya."Mama Hilda meng
Tepat saat itu, Pak Harvey muncul dari belakangku. Dia melangkah maju dengan tenang namun tegas, berdiri di antara kami. "Bu Hilda, Ibu pikir ini tempat apa?" suaranya tenang, tapi nadanya sangat tegas. "Bicara sembarangan, kasar, dan kotor di tempat terhormat seperti ini? Hah!"Mama Hilda terkejut, tapi masih mempertahankan tatapan marahnya. Dia memelototi Pak Harvey seolah dia tak gentar, meski aku tahu, sikapnya mulai retak.Pak Harvey melanjutkan, "Saya akan catat semua perkataan Ibu tadi, untuk dijadikan bukti dalam sidang selanjutnya. Saya jamin, itu akan memberatkan posisi Donny di pengadilan." Suaranya dingin dan penuh ancaman, tetapi itu bukan ancaman kosong. Pak Harvey berbicara dengan keyakinan seorang yang sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini.Aku bisa merasakan sedikit ketenangan mulai mengalir dalam diriku, meskipun tubuhku masih gemetar. Mama Hilda mundur selangkah, tatapannya berubah gugup untuk pertama kalinya. Dia tahu, Pak Harvey tidak main-main."Ini b
Aku melirik Mama Hilda, yang kini tampak lebih tenang namun tetap keras kepala. Ada keheningan singkat di ruangan itu, seolah-olah mereka sedang mempertimbangkan pilihan mereka dengan sangat hati-hati."Baik," kata Mama Hilda akhirnya, dengan nada berat dan enggan. "Kami setuju. Kami hanya ingin Donny keluar dari penjara. Tapi... ingat, Sonia, kami tidak akan pernah melupakan ini. Apa yang kau lakukan akan selalu ada dalam ingatan kami."Aku menahan napas, tetapi Pak Harvey segera mengambil alih. “Ibu Hilda, tidak ada yang perlu diingat jika kalian mematuhi perjanjian ini. Kita semua bisa melanjutkan hidup kita masing-masing tanpa masalah.”Dengan kata-kata itu, percakapan berakhir. Keluarga Donny bangkit dari kursi mereka dengan raut wajah yang campur aduk—antara lega karena Donny mungkin bisa dibebaskan, dan marah karena mereka tidak lagi memiliki kendali penuh atas hidupku. Aku menatap mereka pergi, merasa ada beban besar yang terangkat dari pundakku.Setelah keluarga Donny meningga
Setiba diLucy in the Sky, suasananya terasa santai dan nyaman dengan lampu temaram yang menciptakan nuansa malam yang hangat. Aku baru saja keluar dari mobil ketika tiba-tiba Ronald dengan cepat bergerak, mengambil posisi duduk di sebelahku. Aku sedikit terkejut dengan kecepatan dan kepastian tindakannya, tapi tidak terlalu memikirkannya—seperti biasanya, dia memang selalu penuh perhatian.Tak berselang lama, Sarah muncul dengan senyuman cerah. Dia langsung menghampiri kami dan memberikan selamat. "Sonia, selamat ya. Kamu hebat bisa melewati semuanya."Aku tersenyum, berusaha menunjukkan rasa terima kasih meski pikiranku masih melayang, terfokus pada ketidakpastian tentang Mr. Wei. "Terima kasih, Sarah. Aku hanya mencoba bertahan.""Pak Joshua?" tanyaku, sedikit berharap dia juga akan bergabung malam ini.Sarah tertawa kecil sambil duduk di depanku. "Oh, Pak Joshua nggak bisa. Kalau malam biasanya dia sibuk... ngelonin istrinya," ka
Setelah malam itu berlalu, aku kembali bekerja seperti biasa. Beban yang selama ini menghimpitku memang sedikit terangkat setelah keputusan pengadilan, tetapi aku masih memiliki satu misi besar yang belum selesai—mendapatkan pabrik Indah Karya Swastika bagaimanapun caranya. Aku mulai menggunakan data yang sudah kukumpulkan dan dengan hati-hati menghubungi beberapa karyawan Indah Karya Swastika yang masih berada di lingkaran Donny. Aku perlu mencari celah, mencari informasi yang bisa dipergunakan untuk melancarkan rencana akuisisi ini.Namun, meski pekerjaanku berjalan sesuai rencana, hatiku semakin galau. Mr. Wei masih belum juga memberikan kabar. Sudah beberapa hari berlalu sejak aku terakhir kali mengirimkan pesan kepadanya, namun tak ada satu pun yang dibalas. Ketika aku mencoba bertanya pada beberapa karyawan yang biasa berinteraksi dengannya, jawabannya selalu sama: mereka juga belum mendengar apa pun dari Mr. Wei.Pikiranku penuh pertanyaan. Di mana Mr. Wei? Meng