Aku menikmati rasa dan tekstur pusaka Mr. Wei, lidahku bermain-main dengan kepala pusakanya yang sensitif. Aku merasakan kekenyalan pusakanya di antara bibirku, menikmati kehangatan dan kekuatannya. Mr. Wei tampak menikmati perhatian yang kuberikan, tangannya meremas lembut rambutku saat aku terus menghisap dan mengecup pusakanya dengan penuh nafsu.
Aku meningkatkan intensitas hisapanku, bergerak naik turun dengan kecepatan yang membuat Mr. Wei mendesah lebih dalam. Aku bisa merasakan pusakanya yang semakin mengeras di mulutku, pertanda bahwa ia semakin dekat dengan ambang kenikmatan. Aku terus bermain-main dengan lidahku, menikmati rasa Mr. Wei yang memenuhi mulutku.
Tak lama kemudian, Mr. Wei mencapai pelepasan yang kuat. Ia mengerang, tubuhnya mengejang saat ia melepaskan diri ke dalam mulutku. Aku menelan cairan hangatnya, merasakan kenikmatan yang tak tertahankan. Mr. Wei tersenyum puas, menikmati pengalaman yang luar biasa ini, dan kami berdua merasakan ikatan ya
Setelah Joshua keluar dari ruangan Mr. Wei, aku tetap berdiri sebentar, menatap Mr. Wei untuk memastikan instruksinya. Dengan ekspresi datarnya, Mr. Wei perlahan mengangguk, memberikan isyarat halus agar aku mengikuti Joshua. Aku mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah keluar dari ruangan.Di ruangannya, Joshua tampak tenggelam dalam tumpukan berkas, seolah sengaja mengabaikanku. Aku berdiri di depan meja, menunggu dengan sabar meskipun perasaan was-was merayap di hatiku. Lima belas menit berlalu dalam keheningan yang menekan, hingga akhirnya Joshua mengangkat pandangannya dan menarik napas panjang."Sonia," ujarnya, suaranya dingin dan tajam. "Aku tidak peduli seberapa dekat hubunganmu dengan Mr. Wei," lanjutnya sambil berdiri dan mendekat."Tapi saat ini kamu berada di timku, jadi aku mohon," katanya, mendekatkan wajahnya ke arahku dengan ancaman halus yang terasa nyata."Jangan pernah berlagak pintar di hadapanku, karena semua yan
Gita menatapku dengan mata curiga, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dengar."Kenapa kamu harus pergi dengan nyamar?" tanyanya, masih bingung.Aku menarik napas dalam, mencari kata-kata yang tepat."Gita, aku cuma nggak mau Donny mengenaliku. Terakhir kali itu... yah, kamu tahu sendiri," kataku, berusaha menahan getaran di suaraku.Gita mengangguk pelan, akhirnya memahami situasiku. "Oke, aku ngerti. Tapi, ini cuma kacamata yang bisa kupinjamkan sekarang," ujarnya sambil menyerahkan kacamata hitam yang cukup besar. Aku menerimanya dengan rasa syukur, walaupun tahu itu belum cukup untuk sepenuhnya menyamarkan diriku."Terima kasih banyak, Gita. Ini sangat membantu," jawabku sambil mencoba kacamata tersebut. Meski sedikit kebesaran, setidaknya bisa menutupi sebagian wajahku."Jangan khawatir, Sonia. Kalau ada sesuatu, kabari aku ya," kata Gita dengan nada penuh perhatian, membuatku merasa sedikit lebih tenang.Aku tersenyum,
Ronald cepat tanggap. Dia meraih lenganku dengan tegas namun lembut, mendorongku masuk lebih dulu ke dalam gedung kantor manajemen. Jantungku berdegup kencang saat aku mendorong pintu kaca, membukanya perlahan. Di dalam, ruangan itu luas dan dingin, dengan lantai marmer yang mengkilap dan meja-meja kayu yang teratur. Tetapi aku tidak bisa menikmati pemandangan itu. Kecemasanku terlalu besar, membuatku merasa terperangkap dalam jebakan yang aku sendiri tidak bisa keluar.Ketika aku baru saja akan melangkah lebih jauh, suara berat Donny menggema di belakang kami, "Tunggu... Pak Ronald." Langkahku terhenti. Tubuhku langsung tegang, dan aku mencoba menenangkan diri, menahan napas, berharap dia tidak mengenaliku.Aku tidak berani berbalik. Ronald, yang masih menjaga sikap profesionalnya, menghadapi Donny dengan senyuman diplomatis. "Pak Donny, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada yang terdengar hangat namun penuh kontrol.
Ronald dengan cepat menarikku lebih dekat saat Donny melangkah maju dengan amarah yang meledak-ledak."Beraninya kau muncul di sini, Sonia! Kau pikir bisa lari begitu saja dari rumah, membawa Angel tanpa izinku?!" bentak Donny, suaranya penuh kemarahan yang tertahan.Ronald menahan lengan Donny yang mencoba menjangkauku, memberikan jarak di antara kami."Cukup, Pak Donny! Sonia sudah punya hak untuk hidupnya sendiri. Anda tidak bisa memaksakan kehendak Anda lagi," kata Ronald dengan nada tegas.Wajah Donny memerah karena marah, dan dia berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Ronald. "Ini tidak akan berakhir di sini, Sonia! Kau pikir bisa kabur dariku? Aku akan memastikan kau membayar untuk ini!"Ketika situasi semakin panas, beberapa petugas keamanan pabrik bergegas datang, berlari ke arah kami. Mereka segera mengambil posisi di sekitar Donny, mencoba menenangkannya dan mencegahnya melakukan tindakan yang lebih kasar."Pak, tolong te
Aku segera menuju ruangan Mr. Wei. Langkahku terasa berat, seolah ada sesuatu yang tidak biasa menunggu di balik pintu itu. Setibanya di sana, aku mengetuk pintu dengan hati-hati."Masuk," suara Mr. Wei terdengar dari dalam, tenang namun ada sesuatu di baliknya yang tidak bisa kuabaikan.Aku mendorong pintu dan melangkah masuk. Di dalam ruangan, Mr. Wei sedang duduk di meja kerjanya, tampak begitu tenang namun penuh perhitungan. Di sekelilingnya, ada Pak Harvey, pengacaranya, bersama timnya, dan Joshua, koordinator akuisisi, yang terlihat sedang berdiskusi serius."Mr. Wei, sebaiknya Anda pikirkan lagi. Lebih baik kita bertindak sekarang, tidak perlu repot-repot sejauh itu," Joshua berbicara dengan nada mendesak, seolah-olah ada keputusan penting yang perlu segera diambil.Namun, Mr. Wei hanya tersenyum optimis, sebuah senyuman yang selalu membuat orang-orang di sekitarnya merasa tenang, tetapi kali ini terasa berbeda. Dia melirik ke arahku dengan pandang
Sore itu, di dalam ruangan kantornya yang sepi, seperti biasa Mr. Wei membantuku mengosongkan beban yang menumpuk di kedua gunung kembarku. Setiap gerakannya penuh perhatian, dan meskipun momen ini seharusnya terasa aneh atau canggung, ada ketenangan yang selalu menyertai saat dia melakukannya. Kehadirannya, kedekatannya, dan sentuhannya yang lembut selalu berhasil menenangkan pikiranku dari segala kerumitan yang menghantuiku sepanjang hari.Setelah semuanya selesai, aku perlahan merapikan pakaianku, mencoba mengembalikan penampilanku yang rapi dan profesional. Aku tahu bahwa aku harus segera bergabung dengan yang lainnya di Hall Bronze, tempat tim kami biasa berkumpul untuk mendiskusikan perkembangan akuisisi pabrik. Namun, saat aku melangkah keluar dari ruangan dan berjalan menyusuri koridor menuju Hall Bronze, pikiranku kembali ke Mr. Wei. Ada sesuatu yang unik dan tidak biasa tentangnya—caranya yang aneh tapi efektif untuk menenangkanku, menghapus sementara semua masalah
Ketika aku tiba di apartemen, perasaanku semakin tidak menentu. Langkahku semakin cepat saat memasuki pintu, berharap semuanya baik-baik saja."Ratna, ada apa?" tanyaku cemas, segera setelah melihatnya keluar dari kamar Angel dengan ekspresi gelisah. Dia sedang menimang Angel yang terlihat tenang di pelukannya, namun wajah Ratna penuh kekhawatiran. Setelah menenangkannya sedikit, dia berjalan ke arah sofa dan duduk, tubuhnya tampak gemetar.Aku menghampirinya dan duduk di samping, mengambil Angel dari gendongannya agar bisa menyapih. Angel menggeliat nyaman di pelukanku, tetapi aku tak bisa menikmati momen itu sepenuhnya dengan kekhawatiran yang tampak jelas di wajah Ratna."Sonia," kata Ratna, suaranya bergetar. "Tadi sore, ibuku menelepon. Dia bilang seseorang... seseorang mengancam akan membakar rumah orangtuaku
Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian, lalu menekan tombol jawab. "Halo, Ma," sapaku dengan suara yang kubuat setenang mungkin.Suara Mama Hilda terdengar segera, tajam dan penuh emosi. "Sonia, kamu di mana sekarang? Mama mau ketemu."Nada suaranya tidak mengisyaratkan percakapan yang menyenangkan. Ada kemarahan dan ketegangan yang tidak biasa dalam setiap katanya. Aku menggigit bibir, merasa suasana semakin tidak menentu."Ada masalah apa, Ma?" tanyaku, mencoba memahami maksud dari panggilannya yang tiba-tiba ini."Masalah?" Mama Hilda hampir mendengus dengan nada mengejek. "Masalah, Sonia? Masalahnya justru kamu! KAMU masalahnya!" bentaknya, membuatku terdiam, seolah kata-katanya telah menamparku keras.Jantungku langsung berdegup kencang. Rasa takut dan bingung menyerangku dalam sekejap. Apa yang terjadi? Kenapa Mama Hilda begitu marah? Apa yang dia dengar dari Donny? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?"Maafkan Sonia, Ma, tapi Sonia sungguh tidak bisa bertahan