Tamparan keraspun mendarat di kepalaku, membuatku terjerembab ke lantai. Rasa sakit seolah menyebar di seluruh tubuhku, dan aku merasakan panas di wajahku. Air mata mulai menetes, namun kutahan sekuat mungkin.Aku benci suamiku; aku sangat membenci dia. Setiap kata yang terucap dari mulutnya seperti jarum yang menusuk, mengingatkanku pada semua pengorbanan yang telah kulakukan demi keluarga kita. Kenyataan bahwa dia tidak pernah mengerti perjuanganku hanya menambah rasa frustrasiku.Lalu dia menarik lenganku dengan kasar, menyeretku ke dalam kamar. Aku melihat Ratna, dia akan mendekat, namun aku menggelengkan kepalaku padanya agar tidak mendekat. Aku tahu, dalam situasi seperti ini, kehadiran Ratna justru bisa memperburuk keadaan.Setibanya di kamar, dia melemparkanku ke sudut ranjang, membuat kepalaku menghantam tembok dengan keras.Rasa sakit langsung menjalar di kepalaku, pandanganku sedikit kabur. Aku melihat Donny, dia sedang melepaskan sabuk dari celananya. Dalam keadaan panik, a
"Sial," gumamku dalam hati, berharap Donny tidak terbangun. Aku berdiri diam, menahan napas, menunggu reaksi. Namun, dia tetap terlelap, napasnya terdengar tenang. Aku menghela napas pelan, melangkah lebih hati-hati. Setiap langkah terasa seperti tantangan besar.Setibanya di samping tempat tidur, aku dengan perlahan meraih saku celananya. Jantungku berdebar kencang saat jariku menyentuh ponselnya. Tapi saat aku mencoba menariknya keluar, ponsel itu tersangkut pada kain celana. Aku menariknya perlahan sekali lagi, namun celana Donny bergerak sedikit, membuatku semakin cemas.Donny bergerak, dan aku membeku. Napasnya berubah sejenak, tapi kemudian ia kembali terlelap. Aku mencoba lagi, kini lebih hati-hati. Dengan sangat perlahan, aku berhasil mengeluarkan ponsel itu dari saku celananya. Seketika, layar ponsel menyala, menampilkan daya baterai yang tinggal 1%."Sial, hanya 1%," pikirku panik. Aku menekan tombol daya untuk mematikan layar, berharap baterainya bisa bertahan sedikit lebih
"Luar biasa, ternyata jadi simpanan bos membuat kamu kaya, yah," Donny mengejek sebelum memasukkan kembali dompet ke dalam tas dan melemparkannya kepadaku dengan kasar.Aku menahan napas, menahan amarah dan sakit hati yang meluap dalam diriku. Aku tahu, aku tidak boleh terpancing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku meraih tas dan memeluknya erat, seolah itu satu-satunya pegangan yang kumiliki saat ini."Donny, aku hanya ingin memastikan Angel mendapatkan perawatan yang terbaik. Semua uang ini untuk biaya rumah sakitnya," kataku, mencoba menjelaskan dengan suara bergetar."Jangan banyak alasan! Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan pikir aku bodoh!" Donny menatapku dengan mata penuh kebencian. Aku menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah."Aku harus pergi sekarang, Donny. Angel butuh aku," kataku dengan suara yang mencoba setenang mungkin.Donny hanya menggelengkan kepala, lalu berbalik dan meninggalkanku tanpa se
Dengan perlahan, aku membuka mataku, berusaha memahami lingkungan yang asing ini. Di sekelilingku, bayangan orang-orang bergerak, tetapi semua tampak kabur, seperti mimpi yang belum sepenuhnya pudar. Di mana ini? Mengapa begitu banyak orang di sini?Tiba-tiba, rasa panik menyergapku. Aku berusaha bangkit dari pembaringan, kepalaku terasa berat, namun hatiku lebih berat lagi. "Angel! Jam berapa sekarang?" seruku, suaraku terdengar serak dan terdesak.Begitu kata-kataku menggema di ruangan yang mirip rumah sakit ini, Mr. Wei segera mengambil alih."Baiklah, kalian semua keluar," perintahnya dengan tegas namun tenang. Semua yang berada di ruangan tersebut segera bergerak, meninggalkan kami berdua.Aku memandang sekeliling dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi, mata tertuju pada selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhku. Kegelisahan melanda, membuatku ingin meronta."Mr. Wei, jam berapa ini? Angel butuh darah, Mr. Wei," kata
Dengan keberanian yang terkumpul, aku akhirnya bertanya, "Lalu, bagaimana dengan Nyonya Cynthia, istrimu?"Mr. Wei menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan kekuatan sebelum berbicara. "Sonia," katanya dengan suara yang tegas namun lembut."Hmm?" Aku menjawab, berusaha menahan keingintahuan yang membara di dadaku."Ini terakhir kalinya," lanjut Mr. Wei, pandangannya langsung menatap mataku dengan intensitas yang membuat jantungku berdebar kencang. "Aku tidak mau pertanyaan itu muncul lagi dari mulutmu, mengerti?"Kata-katanya menggantung di udara, menyisakan ketegangan yang bisa kurasakan hingga ke tulang. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa bahwa pembicaraan ini lebih dari sekadar permintaan. Itu adalah peringatan yang sarat dengan emosi yang belum terungkap.Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang tak kunjung surut."Ya, Mr. Wei," jawabku, suaraku nyaris berbisik.Ketukan
Aku membuka mataku, mendapati diriku berdiri di tengah hamparan putih yang membentang tanpa batas. Semuanya begitu ringan, seolah-olah aku melayang dalam kekosongan yang damai. Tubuhku dibalut jubah putih, membuatku bertanya-tanya,"Di mana aku? Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah aku sudah mati?"Suara lembut dan akrab memanggil namaku,"Sonia, cucuku," terdengar seperti suara nenek. Jantungku berdebar kencang mendengar panggilan itu. Sekelilingku perlahan berubah, membawa aku kembali ke alam nyata yang terasa samar. Aku menoleh ke arah suara itu, berharap melihat sosok yang kurindukan.Aku mendapati diriku berada di rumah nenek, tempat yang penuh kenangan hangat. Namun, keheranan menyelimuti pikiranku.Bagaimana mungkin nenek masih hidup? Atau, mungkinkah ini berarti aku yang telah meninggalkan dunia?"Apakah ini nyata, Nek?" tanyaku dengan suara gemetar, sambil melangkah perlahan mendekatinya. Tanpa ragu, aku tersungkur di pangkuannya
Ponselku bergetar, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. Aku mengalihkan pandangan ke meja kecil di samping tempat tidur, meraih perangkat itu. Nama Mr. Wei tertera jelas di layar, membuatku sejenak terdiam sebelum akhirnya mengangkatnya."Mr. Wei," sapaku dengan nada lembut."Sonia, sudah merasa lebih baik?" tanya Mr. Wei, suaranya terdengar hangat, seolah menembus jarak yang memisahkan kami."Sudah, Mr. Wei. Ini apartemen siapa?" tanyaku, menahan rasa ingin tahu yang membuncah."Untuk sementara, anggap saja milikmu," jawabnya tanpa keraguan."Mr. Wei, jangan menambah banyak hutang budiku," kataku, mencoba menahan rasa terima kasih yang bercampur dengan kebingungan."Sonia, istirahatlah. Itu perintah," tegasnya, namun ada kelembutan yang terselip di antara katanya."Mr. Wei...," ucapku, keragu-raguan menyelimuti."Kenapa, Sonia?" tanyanya, suaranya kini lebih lembut."Aku... aku...," suaraku hampir tak ter
"Baik, aku ke bawah untuk mengambilnya," kata Ratna sambil melihat ke arahku. Aku mengangguk, memberi isyarat persetujuan.Saat Ratna menuruni anak tangga, aku berbalik ke Lidia, merasa perutku kembali bergejolak. "Lidia, aku lapar lagi," kataku sambil tertawa kecil.Lidia tersenyum hangat, menatapku dengan penuh pengertian. "Kak Sonia mau makan apa?" tanyanya lembut."Kita pesan pizza, yuk. Boleh, kan?" pintaku dengan mata berbinar."Tentu saja, sebentar ya, aku pesankan dulu," jawab Lidia sambil mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk memesan pizza.Tak lama kemudian, Ratna kembali membawa tas belanja besar bertuliskan AInfinite. "Sonia, ini sepertinya laptop," katanya sambil menyerahkan paket itu padaku.Aku membuka bungkusnya dengan rasa penasaran yang bercampur dengan ketidaknyamanan. Melihat kotak berlogo apel yang berkilau di dalamnya membuatku terdiam sejenak. Aku merasa tidak enak menerima hadiah yang begitu mewah ini. Se