Mr. Wei menekan interkom di meja kerjanya dengan nada yang tegas. "Gita, dalam 5 menit saya mau Ronald ada di sini bersamamu," perintahnya dengan suara yang tidak bisa dibantah."Baik, Mr.," jawab Gita dengan mantap. Waktu seolah berdetak lebih lambat, pikiranku berputar mencoba meramu semua kemungkinan yang ada. Siapa Ronald dan mengapa kehadirannya sangat dibutuhkan saat ini?"Tak lama setelah perintah Mr. Wei, pintu terbuka dan masuklah Ronald diikuti oleh Gita. Ronald, dengan postur tegap dan kacamata berbingkai tebal yang mencirikan intelektualitasnya, mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino. Ia langsung menghampiri meja Mr. Wei dan berbisik, suara baritonnya terdengar jelas di ruangan yang sunyi.Sementara itu, Gita dengan senyum ramah mendekat ke arahku. "Sonia, tahukah kau bahwa Ronald adalah kepala divisi riset kita?" bisiknya, matanya berbinar. "Ia meraih gelar Bachelor of Science di bidang Bioteknologi serta gelar MBA, keduanya dari Harva
Aku mendekat ke telinga Mr. Wei dan berbisik, "Aku akan membantumu untuk mendapatkan pabrik itu, jika aku berhasil, aku punya satu permintaan." Perlahan, kutahan tangan Mr. Wei yang berada di pahaku, memastikan dia merasakan kepastian dan keberanianku."Apa permintaanmu?" tanyanya, suaranya kini lebih serius. Nada suaranya berubah, dari menggoda menjadi penuh perhitungan."Transplantasi sumsum tulang untuk Angel," pintaku dengan suara yang tegas namun tetap bergetar. Aku merasakan jantungku berdebar kencang. Angel, anakku, sangat membutuhkan transplantasi ini. Ini adalah satu-satunya harapannya untuk sembuh."Hmm, transplantasi sumsum tulang?" Mr. Wei mengulang perkataanku, seolah sedang menimbang-nimbang."Kita lihat, seberapa kemampuanmu. Untuk transplantasi, aku bisa menggunakan koneksi perusahaan farmasiku," ujarnya, suaranya rendah dan penuh perhitungan."Aku serius, Mr. Wei," bisikku, sambil menaikan tangan Mr. Wei yang berada di pangkal pahaku."Angel tidak memiliki banyak waktu
"Sonia," panggil Ronald, kepalanya mengintip dari balik pintu."Hmm?" kataku, dengan tampang bodoh. Aku terkejut melihat Ronald berdiri di ambang pintu, seolah ingin mengajakku berbicara.Kepala Ronald memberi isyarat agar mengikutinya. Aku bergegas mengikuti Ronald ke luar ruangan, berusaha menyesuaikan langkahku dengan cepat.Kami berjalan melewati beberapa meja kerja yang penuh dengan kertas dan laptop, menuju sebuah ruangan kerja di ujung koridor. Ruangan kerja yang kami masuki cukup luas dan terang, dengan pencahayaan alami yang masuk dari jendela besar di salah satu sisi. Di tengah ruangan terdapat sepuluh meja kerja yang tersusun rapi, masing-masing dilengkapi dengan kursi ergonomis, monitor komputer, dan perlengkapan kerja lainnya.Ronald kembali ke meja kerjanya dan langsung sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di hadapannya. Lalu aku duduk di kursi yang telah disediakan di salah satu meja, berusaha menenangkan diri di tengah suasana yang tampak sangat sibuk.Dia membuka
Tamparan keraspun mendarat di kepalaku, membuatku terjerembab ke lantai. Rasa sakit seolah menyebar di seluruh tubuhku, dan aku merasakan panas di wajahku. Air mata mulai menetes, namun kutahan sekuat mungkin.Aku benci suamiku; aku sangat membenci dia. Setiap kata yang terucap dari mulutnya seperti jarum yang menusuk, mengingatkanku pada semua pengorbanan yang telah kulakukan demi keluarga kita. Kenyataan bahwa dia tidak pernah mengerti perjuanganku hanya menambah rasa frustrasiku.Lalu dia menarik lenganku dengan kasar, menyeretku ke dalam kamar. Aku melihat Ratna, dia akan mendekat, namun aku menggelengkan kepalaku padanya agar tidak mendekat. Aku tahu, dalam situasi seperti ini, kehadiran Ratna justru bisa memperburuk keadaan.Setibanya di kamar, dia melemparkanku ke sudut ranjang, membuat kepalaku menghantam tembok dengan keras.Rasa sakit langsung menjalar di kepalaku, pandanganku sedikit kabur. Aku melihat Donny, dia sedang melepaskan sabuk dari celananya. Dalam keadaan panik, a
"Sial," gumamku dalam hati, berharap Donny tidak terbangun. Aku berdiri diam, menahan napas, menunggu reaksi. Namun, dia tetap terlelap, napasnya terdengar tenang. Aku menghela napas pelan, melangkah lebih hati-hati. Setiap langkah terasa seperti tantangan besar.Setibanya di samping tempat tidur, aku dengan perlahan meraih saku celananya. Jantungku berdebar kencang saat jariku menyentuh ponselnya. Tapi saat aku mencoba menariknya keluar, ponsel itu tersangkut pada kain celana. Aku menariknya perlahan sekali lagi, namun celana Donny bergerak sedikit, membuatku semakin cemas.Donny bergerak, dan aku membeku. Napasnya berubah sejenak, tapi kemudian ia kembali terlelap. Aku mencoba lagi, kini lebih hati-hati. Dengan sangat perlahan, aku berhasil mengeluarkan ponsel itu dari saku celananya. Seketika, layar ponsel menyala, menampilkan daya baterai yang tinggal 1%."Sial, hanya 1%," pikirku panik. Aku menekan tombol daya untuk mematikan layar, berharap baterainya bisa bertahan sedikit lebih
"Luar biasa, ternyata jadi simpanan bos membuat kamu kaya, yah," Donny mengejek sebelum memasukkan kembali dompet ke dalam tas dan melemparkannya kepadaku dengan kasar.Aku menahan napas, menahan amarah dan sakit hati yang meluap dalam diriku. Aku tahu, aku tidak boleh terpancing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku meraih tas dan memeluknya erat, seolah itu satu-satunya pegangan yang kumiliki saat ini."Donny, aku hanya ingin memastikan Angel mendapatkan perawatan yang terbaik. Semua uang ini untuk biaya rumah sakitnya," kataku, mencoba menjelaskan dengan suara bergetar."Jangan banyak alasan! Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan pikir aku bodoh!" Donny menatapku dengan mata penuh kebencian. Aku menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah."Aku harus pergi sekarang, Donny. Angel butuh aku," kataku dengan suara yang mencoba setenang mungkin.Donny hanya menggelengkan kepala, lalu berbalik dan meninggalkanku tanpa se
Dengan perlahan, aku membuka mataku, berusaha memahami lingkungan yang asing ini. Di sekelilingku, bayangan orang-orang bergerak, tetapi semua tampak kabur, seperti mimpi yang belum sepenuhnya pudar. Di mana ini? Mengapa begitu banyak orang di sini?Tiba-tiba, rasa panik menyergapku. Aku berusaha bangkit dari pembaringan, kepalaku terasa berat, namun hatiku lebih berat lagi. "Angel! Jam berapa sekarang?" seruku, suaraku terdengar serak dan terdesak.Begitu kata-kataku menggema di ruangan yang mirip rumah sakit ini, Mr. Wei segera mengambil alih."Baiklah, kalian semua keluar," perintahnya dengan tegas namun tenang. Semua yang berada di ruangan tersebut segera bergerak, meninggalkan kami berdua.Aku memandang sekeliling dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi, mata tertuju pada selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhku. Kegelisahan melanda, membuatku ingin meronta."Mr. Wei, jam berapa ini? Angel butuh darah, Mr. Wei," kata
Dengan keberanian yang terkumpul, aku akhirnya bertanya, "Lalu, bagaimana dengan Nyonya Cynthia, istrimu?"Mr. Wei menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan kekuatan sebelum berbicara. "Sonia," katanya dengan suara yang tegas namun lembut."Hmm?" Aku menjawab, berusaha menahan keingintahuan yang membara di dadaku."Ini terakhir kalinya," lanjut Mr. Wei, pandangannya langsung menatap mataku dengan intensitas yang membuat jantungku berdebar kencang. "Aku tidak mau pertanyaan itu muncul lagi dari mulutmu, mengerti?"Kata-katanya menggantung di udara, menyisakan ketegangan yang bisa kurasakan hingga ke tulang. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa bahwa pembicaraan ini lebih dari sekadar permintaan. Itu adalah peringatan yang sarat dengan emosi yang belum terungkap.Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang tak kunjung surut."Ya, Mr. Wei," jawabku, suaraku nyaris berbisik.Ketukan
//DUA TAHUN KEMUDIANDi kantor pusat WeiLife Corp di Hong Kong, Sonia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dua suster di belakangnya, masing-masing membawa stroller bayi kembar mereka yang berusia tiga bulan. Gedung pencakar langit itu penuh dengan kesibukan, tetapi Sonia melangkah dengan tenang, auranya penuh percaya diri sebagai CEO WeiLife Beauty dan ibu dari dua anak.Sonia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah para suster. “Tolong, bawa mereka ke ruangan khusus untuk merawat bayi,” katanya lembut. Kedua suster mengangguk, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Sonia, sementara dia melanjutkan langkahnya menuju kantor Mr. Wei.Saat mendekati pintu ruangan Mr. Wei, Sonia tiba-tiba melihat seorang wanita muda, salah satu karyawan, keluar dari ruangannya dengan ekspresi gugup. Wanita itu membersihkan bajunya, seperti sedang menutupi sesuatu. Kenangan dari masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya, mengingat situasi serupa yang pernah terjadi.Rasa curiga muncul sejenak di hati
Akhir pekan itu terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari pernikahan kami di Bali, yang sudah lama kutunggu-tunggu, kini tiba. Ini adalah akhir pekan tergugup dalam hidupku. Di tengah udara segar Pulau Dewata, semuanya tampak begitu sempurna. Acara ini akan diadakan di lokasi outdoor, di salah satu resort mewah di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.Pernikahan ini kami rancang dengan sederhana namun tetap anggun. Dikelilingi oleh pemandangan alam yang menakjubkan—pohon kelapa yang menjulang tinggi, pasir putih yang menghampar, dan lautan biru yang tenang. Tenda putih besar didirikan di pinggir pantai dengan dekorasi bunga berwarna krem dan putih yang memberikan kesan lembut dan elegan. Sebuah altar kayu sederhana berdiri di bawah kanopi bunga, tempat kami akan mengucapkan janji suci.Pagi itu, tim dari
Aku tersenyum tipis, melihat ini sebagai upaya untuk memperlambat proses yang sedang kujalankan. “Tentu saja, Pak Djoko. Namun, kita tidak punya banyak waktu jika ingin tetap bersaing di pasar. Fleurs de Luxe membutuhkan perubahan cepat dan tepat. Setiap hari yang kita tunda, adalah kerugian bagi perusahaan.”Setelah perdebatan yang cukup panjang, pertemuan berakhir dengan suasana tegang. Beberapa board members terlihat mendukung langkahku, sementara yang lain, terutama Mama Hilda dan Djoko Pramono, masih mempertahankan ekspresi mereka yang sinis. Namun, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruangan dengan perasaan lega, meski tahu masih
Mami melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Mami selalu memantau dari kejauhan, Sonia. Meskipun Mami tidak ada di sisimu, Mami sering mendengar kabar tentangmu dari nenek. Lalu, baru-baru ini, Mami melihat namamu di berita. Kamu jadi CEO termuda di Indonesia, kamu luar biasa, sayang." Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi aku merasakan itu seperti pujian dari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada dalam hidupku."Aku melihat semua prestasimu, perjuanganmu. Kamu membangun sesuatu yang sangat besar dengan tanganmu sendiri. Mami sangat bangga, Sonia. Kamu sukses… kamu membuktikan dirimu. Dan ketika Mami melihat itu, Mami sadar, Mami tidak bisa terus menghindar. Mami harus bertemu denganmu, harus memperbaiki hubungan kita."Aku terdiam lagi, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku merasa hangat mendengar kata-kata itu, mendengar pujian yang selam
Executive Meeting di WeiLife TowerKami naik ke lantai eksekutif, di mana Executive Meeting diadakan. Di sana, puluhan CEO dari berbagai anak perusahaan WeiLife yang tersebar di seluruh dunia telah berkumpul. Ruangan pertemuan itu luas, dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan panorama kota Hong Kong yang spektakuler. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan aura profesionalisme dan kekuasaan.Para CEO yang hadir datang dari berbagai negara, masing-masing mewakili divisi mereka yang penting. Di antara mereka ada wajah-wajah baru yang segera akan diperkenalkan dalam pertemuan malam nanti. Suasana diskusi terasa intens, namun penuh antisipasi. Semua ini adalah tentang menentukan arah masa d
The Executive Meeting di WeiLife Tower, Hong Kong: 6 Hari Setelah Gala DinnerMr. Wei, Joshua, dan aku berada di pesawat jet pribadi Mr. Wei, menuju Hong Kong untuk menghadiri pertemuan penting di WeiLife Tower. Suasana di dalam jet terasa nyaman dan eksklusif, tetapi pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang perusahaan besar yang kini kutangani sebagai CEO. Dengan pemandangan awan di luar jendela dan suara mesin yang lembut, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan.Aku menoleh ke Mr. Wei yang sedang santai membaca dokumen di sebelahku. "Sayang, aku tidak mengerti sepenuhnya tentang WeiLife Corp. Bisa tolong dijelaskan?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.Mr. Wei menutup dokumennya dan tersenyum lembut, seolah sudah menduga pert
Mr. Wei menurunkan satu kakinya ke tanah, dan dalam gerakan perlahan namun penuh makna, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku jasnya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, seolah tahu apa yang akan terjadi. Mataku mulai berkaca-kaca bahkan sebelum dia berkata apa-apa."Sonia," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan perasaan yang mendalam. "Aku pernah berjanji, setelah semua ini selesai..."Perasaan campur aduk mulai memenuhi dadaku—antara kebahagiaan yang memuncak, keterkejutan, dan rasa cinta yang begitu besar. Aku hampir tidak bisa bernapas, tenggelam dalam momen ini. Air mata menggenang di mataku, perasaanku bergemuruh, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang selama ini aku impikan, dan sekarang semuanya terjadi di hadapanku.Mr. Wei membuka kotak itu dengan perlahan, memperli
"Ga masalah, santai aja. Malah bebanku sekarang lebih ringan, hahahaha," katanya, dengan ekspresi yang membuatku merasa lebih santai. Aldo memang selalu tahu cara menghilangkan ketegangan.Tak lama, aku merasakan kehadiran Mr. Wei di belakangku. Aldo yang melihatnya langsung menunduk-nunduk sedikit, sementara Mr. Wei menepuk-nepuk bahunya dengan penuh penghargaan."Terima kasih kerjasamanya selama ini, Aldo. Saya harap kamu bisa bantu Sonia di WeiLife Beauty," kata Mr. Wei dengan nada ramah, meski tetap menunjukkan wibawa sebagai seorang pemimpin."Baik, Mr. Wei," balas Aldo, sebelum melanjutkan dengan senyum. "Saya yakin, dengan Ibu Son—""Halah, Aldo, jangan panggil aku ibu...,
Meja di bagian tengah diisi oleh para manajemen utama dari WeiLife Corp. Kebanyakan dari mereka adalah orang asing—beberapa berasal dari Asia, Amerika, dan Eropa. Mereka tampak profesional dan formal, dengan pandangan tajam yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kekuasaan besar di perusahaan ini. Setiap orang yang duduk di meja ini tampak tenang namun penuh kendali, seolah memahami tanggung jawab besar yang kini ada di pundak mereka.Di sebelah kiri, meja lain dipenuhi oleh petinggi manajemen dari WeiLife Science. Beberapa wajah yang duduk di sana adalah orang-orang yang pernah kukenal saat masih bekerja dengan Mr. Wei dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Ada rasa nostalgia yang aneh melihat mereka lagi, meskipun banyak