Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari gelombang keinginan yang masih membara di tubuhku. Mr. Wei mengamati tubuhku dengan seksama, dan pandangannya tertuju pada dadaku. Aku mengikuti tatapannya dan menyadari apa yang dilihatnya. Kedua payu*daraku penuh dan meneteskan ASI karena dari pagi belum sempat aku keluarkan untuk menyapih anakku.
Mr. Wei tampak terperangah, namun matanya berkilat dengan ketertarikan yang mendalam. "Sonia," bisiknya dengan nada yang lebih lembut, "kau sungguh mempesona."
Aku merasa pipiku memerah, malu dan terkejut oleh situasi ini. "Maaf, Mr. Wei. Saya tidak bermaksud..."
"Tidak perlu minta maaf. Ini adalah bagian dari dirimu yang alami dan indah," katanya, suaranya penuh kehangatan. Tangannya terulur, dengan lembut menyentuh payu*daraku yang penuh, dan aku merasakan arus listrik mengalir melalui tubuhku.
"Biarkan aku membantu," katanya, dan tangan serta mulutnya mulai bekerja dengan keahlian yang luar biasa. Setiap sentuhan, setiap hisapan, mengirimkan gelombang kenikmatan yang luar biasa melalui tubuhku.
Aku merasakan ASI mengalir, dan dengan setiap tetes yang keluar, aku merasa lebih ringan, lebih bebas. Mr. Wei tampak menikmati setiap momen, dan aku bisa merasakan koneksi yang semakin dalam antara kami.
aku tak kuasa melihat kejantananya yang begitu besar dan kokoh. Dengan hasrat yang meluap, kugenggam kejantanannya dan kuko*cok dengan lembut, menikmati sensasi setiap gerakan tanganku. Mr. Wei mengerang, suaranya terdengar serak dan penuh gairah.
"Sonia, kamu memang mengerti apa yang kumau," desahnya, matanya terpejam menikmati setiap sensasi yang kuberikan.
Aku merasa kepercayaan diri mengalir dalam diriku, dan dengan setiap erangan dari Mr. Wei, aku tahu bahwa aku telah menemukan kekuatan baru dalam diriku sendiri. Kami melanjutkan dengan penuh hasrat, setiap sentuhan dan gerakan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami damba-dambakan.
Mr. Wei menggenggam tanganku, matanya terbuka dan menatapku dengan intensitas yang mendalam. "Jangan berhenti, Sonia. Teruskan," bisiknya, suaranya penuh dengan kebutuhan yang mendesak.
Aku mengangguk, melanjutkan gerakan tanganku dengan lebih berani dan penuh perasaan. Setelah kedua payu*daraku terasa ringan, kulepaskan dari hisapan Mr. Wei. Aku menatapnya dengan penuh hasrat dan kebutuhan yang mendesak. "Mr. Wei, aku ingin ini," kataku sambil memeras kejantanannya dengan lembut.
Tatapan mata kami bertemu, penuh dengan gairah yang tidak bisa lagi dibendung. Perlahan, aku menunduk dan memasukkan kejantanannya ke dalam mulutku.
Mr. Wei mengerang, suaranya terdengar dalam dan penuh kenikmatan. Setiap gerakan bibir dan lidahku terasa seperti percikan api yang menyulut seluruh tubuhnya. Aku menikmati setiap sensasi, setiap rasa, dan setiap reaksi yang kutimbulkan padanya.
"Ya, Sonia... teruskan," desahnya dengan suara yang hampir bergetar. Aku bisa merasakan betapa dia menikmati setiap momen, dan itu memberiku kepercayaan diri yang lebih besar.
Aku bisa merasakan betapa dia menikmati setiap momen, dan itu memberiku kepercayaan diri yang lebih besar.
Dengan setiap gerakan bibir dan lidahku, Mr. Wei tampak semakin kehilangan kendali. Nafasnya semakin cepat, erangannya semakin keras, dan aku tahu dia semakin dekat ke puncak. Aku melanjutkan dengan penuh semangat, ingin menyaksikan momen ketika dia benar-benar melepaskan segala ketegangannya.
"Ya, Sonia... aku hampir..." desahnya, suaranya bergetar dengan intensitas yang tidak bisa disembunyikan.
Aku mempercepat gerakanku, memberikan semua yang kumiliki. Tubuh Mr. Wei tegang sejenak, dan kemudian dengan erangan yang dalam dan penuh kenikmatan, dia mencapai puncak. Aku bisa merasakan setiap denyut, setiap aliran, dan aku menerima semuanya dengan penuh hasrat.
Mr. Wei terengah-engah, terbaring dengan lemas namun puas. Aku menatapnya, merasa bangga dan puas dengan apa yang baru saja kami alami. Dia menatapku kembali, senyum tipis di bibirnya yang penuh kepuasan.
"Sonia, kamu luar biasa," katanya dengan suara yang lembut namun penuh rasa kagum.
Tanpa menunggu lama, Mr. Wei menarikku dan memelukku dengan erat. Kehangatan tubuhnya membuatku merasa aman dan diinginkan. Tatapannya penuh gairah ketika dia kembali menghisap put*ingku, mengirimkan gelombang kenikmatan yang membuatku gemetar.
Tangannya dengan ahli mulai memainkan biji kecilku, gerakannya lembut namun penuh presisi. Setiap sentuhan dan hisapan membawa kami ke dalam pusaran sensasi yang mengguncang. Aku tidak bisa menahan erangan yang keluar dari bibirku, tubuhku merespons dengan penuh hasrat.
Mr. Wei tersenyum di antara hisapannya, menikmati bagaimana aku bereaksi terhadap sentuhannya. "Aku suka melihatmu seperti ini, Sonia," bisiknya di antara hisapan, membuat tubuhku semakin panas dengan setiap kata yang dia ucapkan.
Aku merasakan gelombang kenikmatan yang semakin intens, tubuhku bergetar di bawah sentuhannya. Setiap gerakan tangannya di biji kecilku adalah simfoni yang membawa kami lebih dekat ke puncak.
"Mr. Wei, aku..." suaraku terputus oleh erangan, terlalu terhanyut dalam sensasi untuk menyelesaikan kalimatku.
Dan untuk kedua kalinya, dia menghentikan rangsangannya. Ini membuatku gila, tubuhku bergetar dengan keinginan yang terpendam. Aku menatapnya dengan tatapan penuh kebutuhan, merasa frustasi oleh hilangnya sensasi yang begitu mendekatkan kami pada puncak.
"Mengapa, Mr. Wei?" tanyaku dengan napas yang terengah-engah, suaraku penuh dengan campuran frustrasi dan permohonan.
Mr. Wei hanya tersenyum, matanya berkilat dengan keinginan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Dengan gerakan yang tegas, aku langsung menaiki tubuh Mr. Wei, merengkuh kendali atas kenikmatan kami. "Maafkan aku, Mr. Wei," bisikku dengan penuh gairah.Kugenggam kejantanannya yang kembali mengeras dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam vaginaku. Sensasi yang menggetarkan segera memenuhi tubuhku. "Ahhhh, besar sekali..." desahku dengan penuh nikmat. Mr. Wei mengerang rendah, tangannya menggenggam pinggulku dengan kuat, membantuku menetapkan ritme yang memabukkan.Kami bergerak bersama dalam harmoni yang sempurna, setiap dorongan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami dambakan. Matanya tidak pernah lepas dari wajahku, penuh dengan intensitas yang membuatku semakin terang*sang.Tak berapa lama, gelombang puncak menghampiriku, dan aku mencapai puncak dengan erangan yang tak tertahan. Tubuhku gemetar dalam pelukannya, merasakan setiap denyut dari kenikmatan yang luar biasa.Namun, Mr.
Mr. Wei memperhatikan dengan mata yang penuh gairah, senyumnya semakin melebar saat melihatnya. "Sonia, kamu benar-benar membuatku tergila-gila," katanya dengan nada memikat, membuatku merasakan getaran di seluruh tubuhku.Mr. Wei menghisap pun*tingku dengan lahapnya, meneguk setiap tetes ASI yang keluar. Sensasi yang kurasakan begitu intens, membuatku menggeliat dalam pelukannya. Setiap hisapan dan sentuhan bibirnya di kulitku membuatku semakin terang*sang, seolah-olah seluruh tubuhku merespons dengan penuh gairah.Aku menggenggam rambutnya, menariknya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari tubuhnya yang menempel erat padaku. "Mr. Wei..." desahku, suaraku bergetar oleh campuran rasa malu dan kenikmatan yang tak tertahankan.Lalu aku duduk di pangkuannya lagi, membiarkan Mr. Wei bermain-main dengan payu*daraku. Tangannya yang kuat dan terampil meremas lembut, sementara bibirnya terus mengeksplorasi setiap inci kulitku.Dengan hati-hati, aku menggenggam kejantanan Mr. Wei
"Kalau begitu, ceraikan aku saja, Biarkan aku yang merawat Angel." bisikku lirih, air mata mulai membasahi pipiku.Doni mendekat, tangannya mencengkeram leherku hingga tulang rahangku berderak, lalu menghempaskanku ke dinding."Kau pikir semudah itu? Dari mana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu, hah? Apa kau akan melacurkan diri?" tanyanya, napasnya bau alkohol menusuk hidung. Aku terbatuk, berusaha melepaskan cengkeramannya."Lalu, kau pikir biaya sebesar itu bisa didapatkan hanya dengan mabuk-mabukan?" lirihku. Kata-kataku seakan menusuknya dalam. Wajahnya memerah padam, urat-urat lehernya menonjol."Jangan berani-berani mengajariku cara hidup! Aku sudah cukup menderita karena kalian berdua!" Dengan kasar, ia melemparkanku ke lantai. Aku meringkuk di sudut, tulang rusukku terasa nyeri."Tolong, ceraikan saja aku. Hidupmu akan lebih tenang tanpaku dan Angel," pintaku, suara bergetar.Doni menghampiriku, menjambak rambutku dengan kasar. "Jangan bermimpi kau akan lepas dariku, wani
Aku membuka pintu ruangan Mr. Wei dengan perlahan. Di balik meja besar, Mr. Wei duduk di kursi bosnya, wajahnya terlihat gelisah dan marah. Aku bisa merasakan ketegangan di udara segera setelah matanya menatap tajam ke arahku."Mr. Wei, maaf aku terlambat," kataku dengan nada gemetar, kepalaku menunduk menghindari tatapan menusuknya."Tutup pintunya!" suaranya menggelegar, membuatku tersentak. Aku menutup pintu perlahan, berharap ini hanya mimpi buruk."Kunci!" perintahnya lagi. Jantungku berdegup semakin kencang. "Kenapa harus dikunci?" pikirku, merasa ketakutan."Jangan diam saja, kemari!" teriaknya, membuatku melangkah maju dengan ragu. Kaki-kakiku terasa berat, seolah-olah diikat oleh beban ketakutan."Kemari," ujarnya geram sambil menunjuk ke samping kursinya. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Langkahku kecil dan penuh keraguan saat aku mendekat. Setiap detik terasa seperti selamanya, ketegangan menyelimuti seluruh ruangan.Ketika aku hampir sampai di samping kursinya,
Mr. Wei tersenyum geli melihat ekspresi wajahku yang jelas-jelas kebingungan. "Kau terlihat seperti anak kecil yang baru saja diberi tugas sekolah," katanya.Aku mengerutkan kening, merasa sedikit kesal dengan reaksinya. "Ini tidak lucu, Mr. Wei," gerutuku, mencoba tetap serius meskipun dalam hati aku juga merasa sedikit terhibur.Senyum lebar mengembang di wajahnya, membuat kerutan di sudut matanya semakin dalam. "Aku akan mendirikan divisi kosmetik dan Itu adalah dokumen tentang pabrik yang akan kubeli. Pelajari semua yang diperlukan, mulai dari kondisi pabrik hingga potensi pasar."Aku mengangguk perlahan. "Baiklah, aku kira junior asisten kerjanya hanya menjawab telepon,"ujarku dengan nada setengah bercanda.Mr. Wei menatapku, matanya mendelik tajam. "Aku mengerti, aku mengerti," ujarku cepat sebelum dia sempat membentakku. "Aku mengerti, Mr. Wei."Mr. Wei menarik napas dalam-dalam, lalu menekan interkom. "Gita, masuk,'" perintahnya. Tak lama kemudian, seorang sekretaris cantik be
Mr. Wei menekan interkom di meja kerjanya dengan nada yang tegas. "Gita, dalam 5 menit saya mau Ronald ada di sini bersamamu," perintahnya dengan suara yang tidak bisa dibantah."Baik, Mr.," jawab Gita dengan mantap. Waktu seolah berdetak lebih lambat, pikiranku berputar mencoba meramu semua kemungkinan yang ada. Siapa Ronald dan mengapa kehadirannya sangat dibutuhkan saat ini?"Tak lama setelah perintah Mr. Wei, pintu terbuka dan masuklah Ronald diikuti oleh Gita. Ronald, dengan postur tegap dan kacamata berbingkai tebal yang mencirikan intelektualitasnya, mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino. Ia langsung menghampiri meja Mr. Wei dan berbisik, suara baritonnya terdengar jelas di ruangan yang sunyi.Sementara itu, Gita dengan senyum ramah mendekat ke arahku. "Sonia, tahukah kau bahwa Ronald adalah kepala divisi riset kita?" bisiknya, matanya berbinar. "Ia meraih gelar Bachelor of Science di bidang Bioteknologi serta gelar MBA, keduanya dari Harva
Aku mendekat ke telinga Mr. Wei dan berbisik, "Aku akan membantumu untuk mendapatkan pabrik itu, jika aku berhasil, aku punya satu permintaan." Perlahan, kutahan tangan Mr. Wei yang berada di pahaku, memastikan dia merasakan kepastian dan keberanianku."Apa permintaanmu?" tanyanya, suaranya kini lebih serius. Nada suaranya berubah, dari menggoda menjadi penuh perhitungan."Transplantasi sumsum tulang untuk Angel," pintaku dengan suara yang tegas namun tetap bergetar. Aku merasakan jantungku berdebar kencang. Angel, anakku, sangat membutuhkan transplantasi ini. Ini adalah satu-satunya harapannya untuk sembuh."Hmm, transplantasi sumsum tulang?" Mr. Wei mengulang perkataanku, seolah sedang menimbang-nimbang."Kita lihat, seberapa kemampuanmu. Untuk transplantasi, aku bisa menggunakan koneksi perusahaan farmasiku," ujarnya, suaranya rendah dan penuh perhitungan."Aku serius, Mr. Wei," bisikku, sambil menaikan tangan Mr. Wei yang berada di pangkal pahaku."Angel tidak memiliki banyak waktu
"Sonia," panggil Ronald, kepalanya mengintip dari balik pintu."Hmm?" kataku, dengan tampang bodoh. Aku terkejut melihat Ronald berdiri di ambang pintu, seolah ingin mengajakku berbicara.Kepala Ronald memberi isyarat agar mengikutinya. Aku bergegas mengikuti Ronald ke luar ruangan, berusaha menyesuaikan langkahku dengan cepat.Kami berjalan melewati beberapa meja kerja yang penuh dengan kertas dan laptop, menuju sebuah ruangan kerja di ujung koridor. Ruangan kerja yang kami masuki cukup luas dan terang, dengan pencahayaan alami yang masuk dari jendela besar di salah satu sisi. Di tengah ruangan terdapat sepuluh meja kerja yang tersusun rapi, masing-masing dilengkapi dengan kursi ergonomis, monitor komputer, dan perlengkapan kerja lainnya.Ronald kembali ke meja kerjanya dan langsung sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di hadapannya. Lalu aku duduk di kursi yang telah disediakan di salah satu meja, berusaha menenangkan diri di tengah suasana yang tampak sangat sibuk.Dia membuka