Saat pintu private lift apartemen terbuka, suasana mewah langsung menyergap indra kami. Mr. Wei melangkah keluar dengan percaya diri, sementara aku hanya bisa mengikutinya dengan perasaan campur aduk yang terus mendera. Begitu masuk ke dalam apartemen yang dipenuhi dengan perabotan mewah, ia langsung melucuti pakaiannya dengan sikap tenang, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkanku tertegun sejenak di lorong yang luas. Suara detak jantungku seakan menguasai seluruh ruangan, dan pertanyaan berputar di benakku tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Seketika, suara Mr. Wei menggema dari dalam kamar, "Sonia, kemari!!" Panggilan suaranya yang tegas membuatku terperanjat dari lamunan. Apa yang diinginkannya dariku? Ketegangan sudah meluap, dan aku berusaha menenangkan diri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang yang diinginkan Mr. Wei.
Mr. Wei berbaring di ranjang king size, kemudian dengan lembut menepuk ranjang di sampingnya, memanggilku untuk mendekat.
"Maaf, Mr. Wei, apakah ini termasuk dalam tugasku?" tanyaku dengan suara lembut, mencoba menjaga nada profesional meskipun jantungku berdetak tidak teratur.
"Kemari!" Suara Mr. Wei membangkitkan rasa takut dan rasa ingin tahuku. Aku melangkah pelan, menyusun setiap langkah dengan hati-hati. "Ada yang bisa saya bantu, Mr. Wei?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang meski hatiku berdebar kencang.
"Buka, saya tidak perlu berkata dua kali," katanya sambil menunjuk ke arah pakaianku. Suaranya tegas, memberikan kesan bahwa tidak ada ruang untuk berdebatan. Rasa takut dan keraguanku pun melanda. Haruskah aku mematuhi perintah ini?
"Mr. Wei, saya tidak yakin ini adalah hal yang tepat untuk dilakukan," kuucapkan dengan hati-hati. Namun, tatapan tajamnya menuntut kepatuhan, dan rasa cemas terus memanjakan pikiranku.
"Apa kamu lupa akan hutang pengobatan anakmu?" ucapnya dengan nada yang lebih dingin, seolah menekankan setiap kata dengan pisau tajam. Kata-katanya menusuk ke dalam hatiku, mengingatkanku pada situasi sulit yang tengah kuhadapi. Aku tahu bahwa tanpa bantuannya, anakku tidak akan mendapatkan perawatan yang sangat dibutuhkannya.
Dengan tangan gemetar, aku mulai membuka kancing pakaianku, merasa beban tanggung jawab yang begitu besar menekan pundakku. Setiap kancing yang terbuka terasa seperti menanggalkan lapisan terakhir dari harga diriku, namun aku tahu aku tidak punya pilihan lain. Setelah aku berdiri hanya dengan pakaian dalam, rasa malu membanjiri diriku.
Mr. Wei menunjuk ke arah pakaian dalamku dengan tatapan yang tidak bisa diabaikan. Aku merasa jantungku berdebar semakin kencang, tetapi aku mencoba mengumpulkan keberanian. Dengan perlahan, kuraih tangan Mr. Wei dan kukaitkan pada pakaian dalamku.
"Mr, yang buka," bisikku dengan suara gemetar.
Namun, dia tidak membukanya. Sebaliknya, Mr. Wei menyelipkan jarinya di antara selang*kanganku dan mulai menggesekannya dengan gerakan yang lembut namun tegas. Sensasi yang ditimbulkannya membuat tubuhku merespons dengan cepat, sebuah desir listrik mengalir melalui kulitku, memicu setiap saraf menjadi hidup.
Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan erangan yang hampir lolos dari mulutku. Mr. Wei menatapku dengan intensitas yang membuatku merasa telanjang bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. "Santai, Sonia," bisiknya, suaranya mengalun seperti musik yang menenangkan. "Nikmati setiap sentuhanku."
Tangannya terus mengeksplorasi, menemukan titik-titik paling sensitif di tubuhku. Setiap gesekan, setiap tekanan, terasa seperti aliran energi yang semakin memperdalam koneksi kami. Aku merasa seolah-olah tubuhku adalah instrumen yang Mr. Wei mainkan dengan keahlian luar biasa.
"Mr. Wei," aku berbisik, suaraku hampir tak terdengar di tengah rasa nikmat yang melanda. Mataku tertutup rapat, fokus pada sensasi yang dirasakan oleh setiap inci kulitku. "Apa yang Anda lakukan pada saya?"
"Saya hanya membantu kamu menemukan dirimu, Sonia," jawabnya lembut.
Aku merasakan tubuhku merespons instruksinya, melonggarkan ketegangan yang semula terasa mencengkeram. Ketika jarinya menyentuh titik sensitifku, aku tidak bisa menahan diri lagi. Sebuah erangan keras keluar dari bibirku, dan aku merasakan gelombang kenikmatan yang lebih besar datang menghantam.
Mr. Wei tersenyum, ekspresinya penuh kepuasan, dan ketika aku akan mencapai puncak, Mr. Wei tiba-tiba menghentikannya. Aku terengah-engah, terkejut oleh hilangnya sensasi yang sebelumnya menghampiri tubuhku dengan begitu kuat. Tubuhku bergetar, masih menginginkan lebih, namun yang kudapatkan hanyalah kekosongan yang menghantui.
"Kenapa berhenti?" tanyaku, suaraku serak dan dipenuhi rasa frustrasi yang tak bisa disembunyikan. Mataku mencari penjelasan di wajahnya, namun yang kutemukan hanya senyum tipis dan tatapan yang penuh teka-teki.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari gelombang keinginan yang masih membara di tubuhku. Mr. Wei mengamati tubuhku dengan seksama, dan pandangannya tertuju pada dadaku. Aku mengikuti tatapannya dan menyadari apa yang dilihatnya. Kedua payu*daraku penuh dan meneteskan ASI karena dari pagi belum sempat aku keluarkan untuk menyapih anakku.Mr. Wei tampak terperangah, namun matanya berkilat dengan ketertarikan yang mendalam. "Sonia," bisiknya dengan nada yang lebih lembut, "kau sungguh mempesona."Aku merasa pipiku memerah, malu dan terkejut oleh situasi ini. "Maaf, Mr. Wei. Saya tidak bermaksud...""Tidak perlu minta maaf. Ini adalah bagian dari dirimu yang alami dan indah," katanya, suaranya penuh kehangatan. Tangannya terulur, dengan lembut menyentuh payu*daraku yang penuh, dan aku merasakan arus listrik mengalir melalui tubuhku."Biarkan aku membantu," katanya, dan tangan serta mulutnya mulai bekerja dengan keahlian yang luar biasa. Setiap sentuhan, setiap hisap
Mr. Wei hanya tersenyum, matanya berkilat dengan keinginan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Dengan gerakan yang tegas, aku langsung menaiki tubuh Mr. Wei, merengkuh kendali atas kenikmatan kami. "Maafkan aku, Mr. Wei," bisikku dengan penuh gairah.Kugenggam kejantanannya yang kembali mengeras dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam vaginaku. Sensasi yang menggetarkan segera memenuhi tubuhku. "Ahhhh, besar sekali..." desahku dengan penuh nikmat. Mr. Wei mengerang rendah, tangannya menggenggam pinggulku dengan kuat, membantuku menetapkan ritme yang memabukkan.Kami bergerak bersama dalam harmoni yang sempurna, setiap dorongan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami dambakan. Matanya tidak pernah lepas dari wajahku, penuh dengan intensitas yang membuatku semakin terang*sang.Tak berapa lama, gelombang puncak menghampiriku, dan aku mencapai puncak dengan erangan yang tak tertahan. Tubuhku gemetar dalam pelukannya, merasakan setiap denyut dari kenikmatan yang luar biasa.Namun, Mr.
Mr. Wei memperhatikan dengan mata yang penuh gairah, senyumnya semakin melebar saat melihatnya. "Sonia, kamu benar-benar membuatku tergila-gila," katanya dengan nada memikat, membuatku merasakan getaran di seluruh tubuhku.Mr. Wei menghisap pun*tingku dengan lahapnya, meneguk setiap tetes ASI yang keluar. Sensasi yang kurasakan begitu intens, membuatku menggeliat dalam pelukannya. Setiap hisapan dan sentuhan bibirnya di kulitku membuatku semakin terang*sang, seolah-olah seluruh tubuhku merespons dengan penuh gairah.Aku menggenggam rambutnya, menariknya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari tubuhnya yang menempel erat padaku. "Mr. Wei..." desahku, suaraku bergetar oleh campuran rasa malu dan kenikmatan yang tak tertahankan.Lalu aku duduk di pangkuannya lagi, membiarkan Mr. Wei bermain-main dengan payu*daraku. Tangannya yang kuat dan terampil meremas lembut, sementara bibirnya terus mengeksplorasi setiap inci kulitku.Dengan hati-hati, aku menggenggam kejantanan Mr. Wei
"Kalau begitu, ceraikan aku saja, Biarkan aku yang merawat Angel." bisikku lirih, air mata mulai membasahi pipiku.Doni mendekat, tangannya mencengkeram leherku hingga tulang rahangku berderak, lalu menghempaskanku ke dinding."Kau pikir semudah itu? Dari mana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu, hah? Apa kau akan melacurkan diri?" tanyanya, napasnya bau alkohol menusuk hidung. Aku terbatuk, berusaha melepaskan cengkeramannya."Lalu, kau pikir biaya sebesar itu bisa didapatkan hanya dengan mabuk-mabukan?" lirihku. Kata-kataku seakan menusuknya dalam. Wajahnya memerah padam, urat-urat lehernya menonjol."Jangan berani-berani mengajariku cara hidup! Aku sudah cukup menderita karena kalian berdua!" Dengan kasar, ia melemparkanku ke lantai. Aku meringkuk di sudut, tulang rusukku terasa nyeri."Tolong, ceraikan saja aku. Hidupmu akan lebih tenang tanpaku dan Angel," pintaku, suara bergetar.Doni menghampiriku, menjambak rambutku dengan kasar. "Jangan bermimpi kau akan lepas dariku, wani
Aku membuka pintu ruangan Mr. Wei dengan perlahan. Di balik meja besar, Mr. Wei duduk di kursi bosnya, wajahnya terlihat gelisah dan marah. Aku bisa merasakan ketegangan di udara segera setelah matanya menatap tajam ke arahku."Mr. Wei, maaf aku terlambat," kataku dengan nada gemetar, kepalaku menunduk menghindari tatapan menusuknya."Tutup pintunya!" suaranya menggelegar, membuatku tersentak. Aku menutup pintu perlahan, berharap ini hanya mimpi buruk."Kunci!" perintahnya lagi. Jantungku berdegup semakin kencang. "Kenapa harus dikunci?" pikirku, merasa ketakutan."Jangan diam saja, kemari!" teriaknya, membuatku melangkah maju dengan ragu. Kaki-kakiku terasa berat, seolah-olah diikat oleh beban ketakutan."Kemari," ujarnya geram sambil menunjuk ke samping kursinya. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Langkahku kecil dan penuh keraguan saat aku mendekat. Setiap detik terasa seperti selamanya, ketegangan menyelimuti seluruh ruangan.Ketika aku hampir sampai di samping kursinya,
Mr. Wei tersenyum geli melihat ekspresi wajahku yang jelas-jelas kebingungan. "Kau terlihat seperti anak kecil yang baru saja diberi tugas sekolah," katanya.Aku mengerutkan kening, merasa sedikit kesal dengan reaksinya. "Ini tidak lucu, Mr. Wei," gerutuku, mencoba tetap serius meskipun dalam hati aku juga merasa sedikit terhibur.Senyum lebar mengembang di wajahnya, membuat kerutan di sudut matanya semakin dalam. "Aku akan mendirikan divisi kosmetik dan Itu adalah dokumen tentang pabrik yang akan kubeli. Pelajari semua yang diperlukan, mulai dari kondisi pabrik hingga potensi pasar."Aku mengangguk perlahan. "Baiklah, aku kira junior asisten kerjanya hanya menjawab telepon,"ujarku dengan nada setengah bercanda.Mr. Wei menatapku, matanya mendelik tajam. "Aku mengerti, aku mengerti," ujarku cepat sebelum dia sempat membentakku. "Aku mengerti, Mr. Wei."Mr. Wei menarik napas dalam-dalam, lalu menekan interkom. "Gita, masuk,'" perintahnya. Tak lama kemudian, seorang sekretaris cantik be
Mr. Wei menekan interkom di meja kerjanya dengan nada yang tegas. "Gita, dalam 5 menit saya mau Ronald ada di sini bersamamu," perintahnya dengan suara yang tidak bisa dibantah."Baik, Mr.," jawab Gita dengan mantap. Waktu seolah berdetak lebih lambat, pikiranku berputar mencoba meramu semua kemungkinan yang ada. Siapa Ronald dan mengapa kehadirannya sangat dibutuhkan saat ini?"Tak lama setelah perintah Mr. Wei, pintu terbuka dan masuklah Ronald diikuti oleh Gita. Ronald, dengan postur tegap dan kacamata berbingkai tebal yang mencirikan intelektualitasnya, mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino. Ia langsung menghampiri meja Mr. Wei dan berbisik, suara baritonnya terdengar jelas di ruangan yang sunyi.Sementara itu, Gita dengan senyum ramah mendekat ke arahku. "Sonia, tahukah kau bahwa Ronald adalah kepala divisi riset kita?" bisiknya, matanya berbinar. "Ia meraih gelar Bachelor of Science di bidang Bioteknologi serta gelar MBA, keduanya dari Harva
Aku mendekat ke telinga Mr. Wei dan berbisik, "Aku akan membantumu untuk mendapatkan pabrik itu, jika aku berhasil, aku punya satu permintaan." Perlahan, kutahan tangan Mr. Wei yang berada di pahaku, memastikan dia merasakan kepastian dan keberanianku."Apa permintaanmu?" tanyanya, suaranya kini lebih serius. Nada suaranya berubah, dari menggoda menjadi penuh perhitungan."Transplantasi sumsum tulang untuk Angel," pintaku dengan suara yang tegas namun tetap bergetar. Aku merasakan jantungku berdebar kencang. Angel, anakku, sangat membutuhkan transplantasi ini. Ini adalah satu-satunya harapannya untuk sembuh."Hmm, transplantasi sumsum tulang?" Mr. Wei mengulang perkataanku, seolah sedang menimbang-nimbang."Kita lihat, seberapa kemampuanmu. Untuk transplantasi, aku bisa menggunakan koneksi perusahaan farmasiku," ujarnya, suaranya rendah dan penuh perhitungan."Aku serius, Mr. Wei," bisikku, sambil menaikan tangan Mr. Wei yang berada di pangkal pahaku."Angel tidak memiliki banyak waktu