Share

Bab 6 - Misteri di Langham 1 (21++)

Saat pintu private lift apartemen terbuka, suasana mewah langsung menyergap indra kami. Mr. Wei melangkah keluar dengan percaya diri, sementara aku hanya bisa mengikutinya dengan perasaan campur aduk yang terus mendera. Begitu masuk ke dalam apartemen yang dipenuhi dengan perabotan mewah, ia langsung melucuti pakaiannya dengan sikap tenang, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkanku tertegun sejenak di lorong yang luas. Suara detak jantungku seakan menguasai seluruh ruangan, dan pertanyaan berputar di benakku tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Seketika, suara Mr. Wei menggema dari dalam kamar, "Sonia, kemari!!" Panggilan suaranya yang tegas membuatku terperanjat dari lamunan. Apa yang diinginkannya dariku? Ketegangan sudah meluap, dan aku berusaha menenangkan diri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang yang diinginkan Mr. Wei.

Mr. Wei berbaring di ranjang king size, kemudian dengan lembut menepuk ranjang di sampingnya, memanggilku untuk mendekat.

"Maaf, Mr. Wei, apakah ini termasuk dalam tugasku?" tanyaku dengan suara lembut, mencoba menjaga nada profesional meskipun jantungku berdetak tidak teratur.

"Kemari!" Suara Mr. Wei membangkitkan rasa takut dan rasa ingin tahuku. Aku melangkah pelan, menyusun setiap langkah dengan hati-hati. "Ada yang bisa saya bantu, Mr. Wei?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang meski hatiku berdebar kencang.

"Buka, saya tidak perlu berkata dua kali," katanya sambil menunjuk ke arah pakaianku. Suaranya tegas, memberikan kesan bahwa tidak ada ruang untuk berdebatan. Rasa takut dan keraguanku pun melanda. Haruskah aku mematuhi perintah ini?

"Mr. Wei, saya tidak yakin ini adalah hal yang tepat untuk dilakukan," kuucapkan dengan hati-hati. Namun, tatapan tajamnya menuntut kepatuhan, dan rasa cemas terus memanjakan pikiranku.

"Apa kamu lupa akan hutang pengobatan anakmu?" ucapnya dengan nada yang lebih dingin, seolah menekankan setiap kata dengan pisau tajam. Kata-katanya menusuk ke dalam hatiku, mengingatkanku pada situasi sulit yang tengah kuhadapi. Aku tahu bahwa tanpa bantuannya, anakku tidak akan mendapatkan perawatan yang sangat dibutuhkannya.

Dengan tangan gemetar, aku mulai membuka kancing pakaianku, merasa beban tanggung jawab yang begitu besar menekan pundakku. Setiap kancing yang terbuka terasa seperti menanggalkan lapisan terakhir dari harga diriku, namun aku tahu aku tidak punya pilihan lain. Setelah aku berdiri hanya dengan pakaian dalam, rasa malu membanjiri diriku.

Mr. Wei menunjuk ke arah pakaian dalamku dengan tatapan yang tidak bisa diabaikan. Aku merasa jantungku berdebar semakin kencang, tetapi aku mencoba mengumpulkan keberanian. Dengan perlahan, kuraih tangan Mr. Wei dan kukaitkan pada pakaian dalamku.

"Mr, yang buka," bisikku dengan suara gemetar.

Namun, dia tidak membukanya. Sebaliknya, Mr. Wei menyelipkan jarinya di antara selang*kanganku dan mulai menggesekannya dengan gerakan yang lembut namun tegas. Sensasi yang ditimbulkannya membuat tubuhku merespons dengan cepat, sebuah desir listrik mengalir melalui kulitku, memicu setiap saraf menjadi hidup.

Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan erangan yang hampir lolos dari mulutku. Mr. Wei menatapku dengan intensitas yang membuatku merasa telanjang bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. "Santai, Sonia," bisiknya, suaranya mengalun seperti musik yang menenangkan. "Nikmati setiap sentuhanku."

Tangannya terus mengeksplorasi, menemukan titik-titik paling sensitif di tubuhku. Setiap gesekan, setiap tekanan, terasa seperti aliran energi yang semakin memperdalam koneksi kami. Aku merasa seolah-olah tubuhku adalah instrumen yang Mr. Wei mainkan dengan keahlian luar biasa.

"Mr. Wei," aku berbisik, suaraku hampir tak terdengar di tengah rasa nikmat yang melanda. Mataku tertutup rapat, fokus pada sensasi yang dirasakan oleh setiap inci kulitku. "Apa yang Anda lakukan pada saya?"

"Saya hanya membantu kamu menemukan dirimu, Sonia," jawabnya lembut.

Aku merasakan tubuhku merespons instruksinya, melonggarkan ketegangan yang semula terasa mencengkeram. Ketika jarinya menyentuh titik sensitifku, aku tidak bisa menahan diri lagi. Sebuah erangan keras keluar dari bibirku, dan aku merasakan gelombang kenikmatan yang lebih besar datang menghantam.

Mr. Wei tersenyum, ekspresinya penuh kepuasan, dan ketika aku akan mencapai puncak, Mr. Wei tiba-tiba menghentikannya. Aku terengah-engah, terkejut oleh hilangnya sensasi yang sebelumnya menghampiri tubuhku dengan begitu kuat. Tubuhku bergetar, masih menginginkan lebih, namun yang kudapatkan hanyalah kekosongan yang menghantui.

"Kenapa berhenti?" tanyaku, suaraku serak dan dipenuhi rasa frustrasi yang tak bisa disembunyikan. Mataku mencari penjelasan di wajahnya, namun yang kutemukan hanya senyum tipis dan tatapan yang penuh teka-teki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status