Share

Bab 5 - Rok Mini dan Ambisi

"Apakah pakaianmu semua seperti ini?" tanya Mr. Wei dengan nada yang masih penuh skeptisisme. Aku merasa jantungku berdegup kencang, berpikir sejenak untuk merespons.

"Saya selalu berusaha untuk tampil nyaman dan profesional sesuai dengan pengalaman yang saya miliki, Mr," jawabku dengan suara tegas meskipun terasa bergetar. "Tapi saya juga terbuka untuk saran mengenai cara berpakaian yang lebih sesuai dengan ekspektasi di kantor ini."

Mr. Wei lalu berjalan keluar ketika di pintu. "Ikut dengan saya," perintahnya. Aku merasa sedikit terkejut, namun segera mengikuti langkahnya. Kami berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi dengan gambar-gambar karyawan yang berprestasi dan penghargaan yang diraih oleh perusahaan.

Aku mengikuti Mr. Wei dengan langkah ragu, menahan rasa cemas yang menyelimuti pikiranku. Saat kami tiba di area parkir, Mr. Wei langsung menuju mobil hitam yang terparkir rapi. Begitu dia membuka pintu, sopirnya segera mendekat dan bertanya, "Mau ke mana, Mr?"

Mr. Wei menjawab santai, "Mango, tempat biasa Nyonyamu buang duit," sambil menatapku di luar mobil. Suaranya tegas dan membuatku tertekan. "Berapa kali saya harus bilang? Jika saya minta kamu ikut, ya ikutlah!" tegurnya dengan marah. Rasa malu dan ketidaknyamanan melanda diriku, tapi aku berusaha menekan perasaan itu dan segera masuk ke mobil.

Setelah tiba di outlet Mango, Mr. Wei langsung dihampiri oleh pramuniaga yang jelas mengenalnya dengan baik. Mereka berdua berbincang dengan nada rendah, berbisik seakan-akan sedang berbagi rahasia penting. Setelah beberapa saat, pramuniaga itu menghampiriku dengan senyuman ramah, "Selamat datang, saya akan membantu Anda," ujarnya sebelum membawaku ke ruang ganti yang luas dan nyaman.

Di ruang ganti, dia membawa berbagai pakaian kerja yang sensual, seperti rok mini ketat, blus snug, dan gaun pendek glamor. Setiap item menggugah rasa percaya diriku, namun juga membuatku tidak nyaman dengan penampilan seperti itu di tempat kerja.

Pramuniaga itu memaksaku untuk mencoba dan memilih semua pakaian tanpa persetujuanku, membuatku semakin tidak nyaman dengan rok mini yang terlalu ketat dan blus yang terasa terlalu terbuka. Aku berdiri di depan cermin, kebingungan. Pakaian-pakaian ini seolah dirancang untuk menarik perhatian dengan cara yang tidak pantas.

Akhirnya, pramuniaga itu membawaku ke kasir dengan sembilan tas belanja Mango yang berisi pakaian-pakaian yang tidak mencerminkan diriku. Yang mengejutkan, pramuniaga itu tersenyum lebar dan memasukkan selusin thong lining underwear ke dalam tas belanja. "Ini adalah koleksi terbaru kami, pasti Anda akan menyukainya!" katanya dengan antusias. Rasa malu membakar pipiku, dan aku hanya bisa menganggukkan kepala, berusaha tenang meski hatiku berdebar dengan perasaan campur aduk. Kenapa situasi ini semakin membuatku tidak nyaman?

Aku terkejut melihat total tagihan di layar kasir, lebih dari 30 juta. Aku menatap Mr. Wei dengan mulut hampir terbuka. Namun, yang terjadi malah membuatku semakin kagum dan bingung. Dengan tenang, Mr. Wei mengeluarkan Black Cardnya, dan ketenangannya membuatku terpesona. Seolah-olah ia tidak hanya membayar barang-barang, Mr. Wei menegaskan kekuasaannya, sementara aku merasa terjebak dalam dunia yang berbeda dari yang aku kenal.

Mr. Wei mendekat dan dengan tegas berkata, "Jika saya melihatmu mengenakan pakaian aneh lagi, tagihan ini akan memotong gajimu." Suara dan tatapannya menambah ketegangan yang sudah terasa di udara.

"Tunggu apa lagi? Ganti bajumu sekarang," perintahnya, suaranya tegas dan tidak memberi ruang untuk perdebatan. Aku hanya bisa mengangguk, merasakan tekanan di dadaku, dan segera berbalik menuju ruang ganti.

Kecemasan menyelimuti pikiranku saat aku berusaha melepas pakaian yang baru saja dianggapnya tidak pantas. Dalam hatiku, aku merancang berbagai cara untuk menghadapi situasi ini, berusaha mempertahankan profesionalisme meski perasaanku dipenuhi dengan ketidaknyamanan.

Setelah mengganti pakaian dan menatap cermin, aku merasa seperti pelacur kantoran yang elit. Rok yang lebih pendek dari biasanya dan blus yang ketat membuatku merasa rentan dan tidak nyaman. Rasa malu dan ketidakpastian memenuhi pikiranku saat aku berusaha menyesuaikan diri dengan harapan Mr. Wei.

Saat di mobil, aku merasa risih dengan posisi dudukku yang merasa terlalu terbuka. Mr. Wei memandangku dengan tatapan datar, hanya sedikit mengangguk seolah-olah menilai penampilanku. Rasa cemas kembali menggelayuti pikiranku, membuatku ingin menyusut ke dalam jok dan menghilang.

"Ke mana sekarang, Mr?" tanya Pak Ano, sopir Mr. Wei.

"Langham, saya lelah," jawab Mr. Wei dengan nada tegas. Mendengar nama Langham, aku tersentak, menyadari bahwa itu adalah salah satu apartemen termahal di Jakarta. Rasa gugup dan bingung kembali menyergapku.

Untuk apa kami pergi ke apartemen tersebut? Pikiranku berputar, menciptakan berbagai spekulasi. Apakah akan ada pertemuan bisnis di sana? Atau mungkin Mr. Wei memiliki rencana lain yang lebih pribadi? Perasaan cemas membanjiriku, dan aku berusaha mempertahankan ekspresi tenang meskipun di dalam hati, aku merasa terjebak dalam situasi yang semakin tidak jelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status