Aku menatap Mr. Wei dengan tatapan kosong. "Baiklah," kataku akhirnya, suara ku terdengar lemah. "Saya menerima tawaran Anda."
Mr. Wei tersenyum puas, seolah-olah dia baru saja memenangkan sebuah permainan besar. "Baiklah, Sonia. Namun, kamu harus melewati beberapa ujian," katanya dengan nada yang dingin.
"Ujian? Maksud Anda?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik.
Mr. Wei mengangguk perlahan, senyum licik masih terpampang di wajahnya. "Ya, ujian. Aku ingin memastikan bahwa kamu memang pantas mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan," ujarnya dengan nada yang penuh arti.
Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan tekanan yang semakin berat. "Apa yang harus saya lakukan untuk lulus ujian ini, Mr. Wei?" tanyaku, berusaha menjaga suaraku tetap stabil.
Dia berjalan mengitari meja, berhenti hanya beberapa inci dari wajahku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan sedikit beraroma mint. "Berdirilah," perintahnya.
Sedikit ragu, aku perlahan-lahan berdiri. Mr. Wei mengulurkan tangannya dan dengan lembut menyentuh salah satu gunung kembarku. Aku tertegun, tubuhku tiba-tiba menegang tanpa kusadari.
"Kamu tahu, Sonia, ini bukan hanya soal pekerjaan, ini tentang kepercayaan," bisik Mr. Wei dengan nada menggoda. "Kamu bisa memberikan itu, bukan?"
Aku berusaha menarik napasku, namun rasanya sesak. "Tuan Wei," kataku, suara ku gemetar, "Saya tidak mengerti."
"Oh, kamu akan mengerti," jawabnya dengan senyum yang semakin lebar. "Kamu harus lebih dari sekadar karyawan."
Seketika, semua potongan puzzle mulai tersusun. Aku mengerti sekarang. Ini bukan hanya tentang pekerjaan, ini tentang eksploitasi. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri karena telah sampai pada titik ini.
"Saya pikir saya salah paham," kataku, berusaha melepaskan diri dari genggamannya. "Saya pikir ini hanya tentang pekerjaan."
Mr. Wei menarikku lebih dekat, matanya menyala dengan nafsu. "Oh, Sonia, kamu terlalu polos. Tapi tidak apa-apa, aku akan mengajarkanmu semuanya."
Mr. Wei tersenyum, melepaskan tangannya dan melangkah mundur. "Baiklah. Kalau begitu, ayo kita lanjutkan."
Dia menunjuk ke sebuah pintu di belakang kantor yang sebelumnya tidak kuperhatikan. "Di sana," katanya, "itu tempat kita bisa mengadakan pertemuan yang lebih... pribadi."
Aku menarik napas dalam-dalam dan melangkah ragu menuju pintu itu. Tanganku bergetar saat mendorongnya terbuka. Di dalam, ruangan itu remang-remang dengan musik lembut yang mengalun di latar belakang. Sebuah sofa besar dan nyaman menjadi pusat perhatian, dikelilingi oleh berbagai benda dan perangkat yang tidak bisa aku lihat dengan jelas dalam kegelapan.
Mr. Wei mengikuti masuk dan menutup pintu di belakang kami. “Relax, Sonia,” katanya. “Ini baru permulaan.”
Ketika aku memasuki ruangan remang-remang, suasananya begitu mengguncang hati. Aroma yang samar-samar mengisi udara, membuatku merasa bergetar antara harapan dan ketakutan. "Apa yang sebenarnya Anda inginkan dari saya?" tanyaku dengan suara bergetar, berusaha menahan gemuruh emosi di dalam hati. "Jika saya melakukan ini, apakah anak saya akan mendapatkan perawatan yang dia butuhkan?"
Mr. Wei mendekat, suaranya lembut tetapi penuh otoritas. "Tentu, Sonia. Itu sudah menjadi bagian dari kesepakatan kita. Tetapi, aku ingin lebih dari sekadar kepatuhan. Aku ingin dedikasi dan kepercayaan penuh darimu." bisiknya sambil mengajakku duduk di sofa.
Saat aku duduk di sofa besar itu, pikiranku melayang kepada anakku. Bayangan senyumnya yang ceria memberiku kekuatan untuk menjalani semua ini. Aku berdoa dalam hati, semoga pengorbananku tidak sia-sia dan anakku bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Mr. Wei melangkah ke sebuah meja kecil di sudut ruangan, mengambil botol wine yang elegan, dan membuka tutupnya. Ia menuangkan wine ke dalam dua gelas kristal, lalu menyodorkan salah satunya kepadaku. "Minumlah," ujarnya lembut, matanya menatapku dengan intens.
Aku ragu-ragu, namun tatapannya yang penuh kuasa membuatku sulit menolak. Aku mengambil gelas itu dan meneguk sedikit demi sedikit. Rasa anggur yang memabukkan perlahan menyebar di tubuhku, menenangkan saraf-sarafku yang tegang.
Mr. Wei meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. "Kamu aman di sini, Sonia. Aku tidak akan menyakitimu."
Sentuhannya yang hangat membuatku merasa nyaman, seakan ada aliran listrik yang mengalir dari ujung jari-jarinya ke seluruh tubuhku. Mr. Wei, dengan pesonanya yang luar biasa, berhasil membuatku merasa dicintai dan dihargai.
Lalu ia meraih pipiku dan membelai lembut rambutku. "Kamu sangat cantik, Sonia," bisiknya. Matanya yang dalam menatapku penuh makna.
Aku menutup mataku sejenak, menikmati sentuhannya. Dalam hati, aku berjuang melawan perasaan ini. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menolak daya tariknya.
Mr. Wei semakin mendekatkan wajahnya, jarak antara bibir kami hanya beberapa sentimeter. "Biarkan aku mencintaimu," bisiknya.
Aku membuka mata, menatapnya dalam-dalam. Dalam sekejap, semua pertahanan yang telah kubangun runtuh. Aku mengangguk pelan, membiarkan bibirnya menyentuh bibirku. Ciuman itu terasa begitu lembut dan penuh kasih sayang, seakan mengobati luka batinku selama ini.
Tangan Mr. Wei mulai menjelajah, dengan lembut membuka kancing blusku. Aku memejamkan mata dan mendesah pelan saat tangannya mulai menjelajahi tubuhku.
"Buka matamu, Sonia," kata Mr. Wei tegas tapi tetap lembut. "Lihat aku."
Aku membuka mataku perlahan, menatap dalam matanya yang penuh gairah. Sentuhan tangannya pada kulitku membuatku merasa hangat dan terbuai. Ada kekuatan di balik kelembutannya, yang membuatku merasa terlindungi sekaligus terikat.
Mr. Wei menarik tubuhku lebih dekat, bibirnya beralih dari bibirku ke leherku, meninggalkan jejak ciuman yang membakar di setiap sentuhan. Aku merasakan tangan lainnya membuka br*a-ku dengan ketangkasan yang mengejutkan, membiarkan pakaian itu jatuh ke lantai.
Mr. Wei mengerang dengan penuh gairah, tangannya dengan sigap menangkup payu*daraku, sementara ibu jarinya dengan nakal menjentikkan put*ingku yang sensitif. Tubuhku melengkung mengikuti sentuhannya.
"Indah sekali," gumamnya. Perlahan, ia menunduk dan mulai menghisap put*ingku. Erangan keluar dari bibirku, punggungku melengkung saat gelombang kenikmatan mengalir dalam tubuhku. Lidahnya bermain lembut di sekitar put*ingku, menghisap dengan penuh kelembutan, menciptakan sensasi manis yang luar biasa.
Kepalaku mendongak ke belakang, jari-jariku membelai rambut Mr. Wei saat dia melanjutkan aksinya. Aku merasakan kenikmatan yang begitu intens.
Aku memejamkan mata, menyerah pada sensasi yang mengalir di tubuhku. Tapi saat tangan Mr. Wei melakukan keajaibannya, aku merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar permainan.
Mr. Wei melepaskan put*ingku dengan lembut lalu menciumku dengan penuh semangat. Aku mengerang dalam ciumannya, ketika lidah kami bersentuhan, tangan Mr. Wei menjelajah bebas.
"Lebarkan kakimu," gumamnya di telingaku, suaranya penuh perintah dan gairah.
Aku menurut tanpa ragu, kakinya terbuka lebar saat Mr. Wei mengambil posisinya di antara kedua kakiku. Jari-jarinya merambat masuk, menemukan jalan ke inti tubuhku, membelai titik sensitifku dengan ketepatan yang hampir membuatku gila. Aku menggeliat melawan sentuhannya, pinggulku bergerak liar saat gelombang kenikmatan membanjiriku.
Mr. Wei tidak berhenti di situ. Dia terus menjelajahi tubuhku, menelusuri titik-titik yang membuatku mendesah dan menggeliat tak terkendali. "Bagaimana rasanya?" tanyanya, suaranya rendah dan serak, seperti bara api yang menyala.
"Luar biasa," aku terengah-engah, hampir kehabisan napas.
"Teruslah bersamaku, Sonia. Nikmati setiap momennya," bisiknya di telingaku, membuat tubuhku bergetar karena gairah yang tak tertahankan.
Setiap sentuhan, setiap ciuman, membawaku lebih dekat ke puncak. Dalam momen itu, aku merasa benar-benar hidup, bebas dari segala keraguan dan ketakutan yang pernah menghantuiku.
"Sudah cukup, Sonia," Mr. Wei mendorong, suaranya penuh hasrat dan kekuatan. "Sekarang lepaskanlah untukku."
Aku mengikuti perintahnya, tubuhku bergetar kuat saat puncak merobekku. Aku berteriak, suaraku menggema di seluruh ruangan ketika aku mencapai puncak. Dengan tangan yang bergetar, aku meraih wajahnya, merasakan lembutnya kulitnya di bawah jari-jariku. Hatiku berdetak lebih cepat, dan saat bibirku akhirnya menyentuh bibirnya, seolah semua yang terpendam dalam diriku meledak menjadi satu. Ciuman kami penuh gairah, menyatu dalam keinginan yang dalam, seolah mengungkapkan semua kata yang tak terucapkan dan perasaan yang saling berbicara tanpa suara.
Mr. Wei menatapku dengan tatapan yang mesra, seolah setiap detik bersama adalah sebuah kenangan berharga yang tak ingin ia lepaskan. Sorot matanya lembut namun membara, membuat jantungku berdebar kencang. Dalam tatapannya, aku merasakan kerinduan dan cinta yang mendalam, seakan ia ingin menyampaikan segalanya tanpa sepatah kata pun.
"Bagus sekali, Sonia," katanya dengan nada penuh persetujuan. "Kamu lulus ujian pertama."
Aku mengerjap, masih linglung oleh kenikmatan itu. "Ujian pertama? Apa maksudmu?" tanyaku, suaraku hampir berbisik karena kelelahan.
Mr. Wei tersenyum, ekspresinya penuh teka-teki dan misteri. "Kamu akan segera mengetahuinya, Sonia."
Setelah aku mengenakan pakaianku, Mr. Wei membimbingku keluar dari ruangan itu, kembali ke ruangan di mana semuanya dimulai. Aku merasa begitu lelah, namun anehnya segar, seolah-olah aku baru saja melewati batas yang selama ini tak berani kujamah.
Mr. Wei menatapku dengan penuh perhatian, seolah ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja. "Sonia," katanya lembut, "kita telah membuka sebuah bab baru. Ini baru permulaan." Kata-katanya menggema dalam hatiku, mengisyaratkan janji akan petualangan yang belum terbayangkan.
Namun, rasa penasaran dan ketegangan melingkupi suasana; ada sesuatu yang belum ia katakan, sebuah rahasia yang mungkin bisa mengubah segalanya. Apa yang sebenarnya menanti di balik lembaran baru ini?
Keesokan paginya, aku dipanggil ke ruangan HRD. Jantungku berdebar kencang saat melangkah masuk, bertanya-tanya apa yang akan mereka katakan padaku. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah menyambutku di meja resepsionis."Halo, Sonia. Ayo masuk, kami sudah menunggu," katanya dengan senyum yang menenangkan.Aku mengikuti dia ke sebuah ruangan yang terang dan rapi. Di dalam, ada seorang pria dengan kacamata tipis yang duduk di belakang meja besar. Dia berdiri dan menyambutku dengan ramah."Selamat pagi, Sonia. Nama saya Pak Joko, kepala divisi HRD. Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan meja.Dengan gugup, aku duduk dan menunggu apa yang akan dia katakan."Sonia, saya ingin memberitahumu bahwa kamu telah diberikan posisi sebagai Junior Asisten di divisi ini," kata Pak Joko sambil tersenyum. "Ini adalah posisi paling bawah di divisi ini, tapi merupakan awal yang bagus."Aku mengangguk, mencoba memahami semuanya. "Apa saja tugas saya, Pak?" tanyaku, mencoba menjaga s
"Apakah pakaianmu semua seperti ini?" tanya Mr. Wei dengan nada yang masih penuh skeptisisme. Aku merasa jantungku berdegup kencang, berpikir sejenak untuk merespons."Saya selalu berusaha untuk tampil nyaman dan profesional sesuai dengan pengalaman yang saya miliki, Mr," jawabku dengan suara tegas meskipun terasa bergetar. "Tapi saya juga terbuka untuk saran mengenai cara berpakaian yang lebih sesuai dengan ekspektasi di kantor ini."Mr. Wei lalu berjalan keluar ketika di pintu. "Ikut dengan saya," perintahnya. Aku merasa sedikit terkejut, namun segera mengikuti langkahnya. Kami berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi dengan gambar-gambar karyawan yang berprestasi dan penghargaan yang diraih oleh perusahaan.Aku mengikuti Mr. Wei dengan langkah ragu, menahan rasa cemas yang menyelimuti pikiranku. Saat kami tiba di area parkir, Mr. Wei langsung menuju mobil hitam yang terparkir rapi. Begitu dia membuka pintu, sopirnya segera mendekat dan bertanya, "Mau ke mana, Mr?"Mr. Wei menjawab
Saat pintu private lift apartemen terbuka, suasana mewah langsung menyergap indra kami. Mr. Wei melangkah keluar dengan percaya diri, sementara aku hanya bisa mengikutinya dengan perasaan campur aduk yang terus mendera. Begitu masuk ke dalam apartemen yang dipenuhi dengan perabotan mewah, ia langsung melucuti pakaiannya dengan sikap tenang, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkanku tertegun sejenak di lorong yang luas. Suara detak jantungku seakan menguasai seluruh ruangan, dan pertanyaan berputar di benakku tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Seketika, suara Mr. Wei menggema dari dalam kamar, "Sonia, kemari!!" Panggilan suaranya yang tegas membuatku terperanjat dari lamunan. Apa yang diinginkannya dariku? Ketegangan sudah meluap, dan aku berusaha menenangkan diri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang yang diinginkan Mr. Wei.Mr. Wei berbaring di ranjang king size, kemudian dengan lembut menepuk ranja
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari gelombang keinginan yang masih membara di tubuhku. Mr. Wei mengamati tubuhku dengan seksama, dan pandangannya tertuju pada dadaku. Aku mengikuti tatapannya dan menyadari apa yang dilihatnya. Kedua payu*daraku penuh dan meneteskan ASI karena dari pagi belum sempat aku keluarkan untuk menyapih anakku.Mr. Wei tampak terperangah, namun matanya berkilat dengan ketertarikan yang mendalam. "Sonia," bisiknya dengan nada yang lebih lembut, "kau sungguh mempesona."Aku merasa pipiku memerah, malu dan terkejut oleh situasi ini. "Maaf, Mr. Wei. Saya tidak bermaksud...""Tidak perlu minta maaf. Ini adalah bagian dari dirimu yang alami dan indah," katanya, suaranya penuh kehangatan. Tangannya terulur, dengan lembut menyentuh payu*daraku yang penuh, dan aku merasakan arus listrik mengalir melalui tubuhku."Biarkan aku membantu," katanya, dan tangan serta mulutnya mulai bekerja dengan keahlian yang luar biasa. Setiap sentuhan, setiap hisap
Mr. Wei hanya tersenyum, matanya berkilat dengan keinginan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Dengan gerakan yang tegas, aku langsung menaiki tubuh Mr. Wei, merengkuh kendali atas kenikmatan kami. "Maafkan aku, Mr. Wei," bisikku dengan penuh gairah.Kugenggam kejantanannya yang kembali mengeras dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam vaginaku. Sensasi yang menggetarkan segera memenuhi tubuhku. "Ahhhh, besar sekali..." desahku dengan penuh nikmat. Mr. Wei mengerang rendah, tangannya menggenggam pinggulku dengan kuat, membantuku menetapkan ritme yang memabukkan.Kami bergerak bersama dalam harmoni yang sempurna, setiap dorongan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami dambakan. Matanya tidak pernah lepas dari wajahku, penuh dengan intensitas yang membuatku semakin terang*sang.Tak berapa lama, gelombang puncak menghampiriku, dan aku mencapai puncak dengan erangan yang tak tertahan. Tubuhku gemetar dalam pelukannya, merasakan setiap denyut dari kenikmatan yang luar biasa.Namun, Mr.
Mr. Wei memperhatikan dengan mata yang penuh gairah, senyumnya semakin melebar saat melihatnya. "Sonia, kamu benar-benar membuatku tergila-gila," katanya dengan nada memikat, membuatku merasakan getaran di seluruh tubuhku.Mr. Wei menghisap pun*tingku dengan lahapnya, meneguk setiap tetes ASI yang keluar. Sensasi yang kurasakan begitu intens, membuatku menggeliat dalam pelukannya. Setiap hisapan dan sentuhan bibirnya di kulitku membuatku semakin terang*sang, seolah-olah seluruh tubuhku merespons dengan penuh gairah.Aku menggenggam rambutnya, menariknya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari tubuhnya yang menempel erat padaku. "Mr. Wei..." desahku, suaraku bergetar oleh campuran rasa malu dan kenikmatan yang tak tertahankan.Lalu aku duduk di pangkuannya lagi, membiarkan Mr. Wei bermain-main dengan payu*daraku. Tangannya yang kuat dan terampil meremas lembut, sementara bibirnya terus mengeksplorasi setiap inci kulitku.Dengan hati-hati, aku menggenggam kejantanan Mr. Wei
"Kalau begitu, ceraikan aku saja, Biarkan aku yang merawat Angel." bisikku lirih, air mata mulai membasahi pipiku.Doni mendekat, tangannya mencengkeram leherku hingga tulang rahangku berderak, lalu menghempaskanku ke dinding."Kau pikir semudah itu? Dari mana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu, hah? Apa kau akan melacurkan diri?" tanyanya, napasnya bau alkohol menusuk hidung. Aku terbatuk, berusaha melepaskan cengkeramannya."Lalu, kau pikir biaya sebesar itu bisa didapatkan hanya dengan mabuk-mabukan?" lirihku. Kata-kataku seakan menusuknya dalam. Wajahnya memerah padam, urat-urat lehernya menonjol."Jangan berani-berani mengajariku cara hidup! Aku sudah cukup menderita karena kalian berdua!" Dengan kasar, ia melemparkanku ke lantai. Aku meringkuk di sudut, tulang rusukku terasa nyeri."Tolong, ceraikan saja aku. Hidupmu akan lebih tenang tanpaku dan Angel," pintaku, suara bergetar.Doni menghampiriku, menjambak rambutku dengan kasar. "Jangan bermimpi kau akan lepas dariku, wani
Aku membuka pintu ruangan Mr. Wei dengan perlahan. Di balik meja besar, Mr. Wei duduk di kursi bosnya, wajahnya terlihat gelisah dan marah. Aku bisa merasakan ketegangan di udara segera setelah matanya menatap tajam ke arahku."Mr. Wei, maaf aku terlambat," kataku dengan nada gemetar, kepalaku menunduk menghindari tatapan menusuknya."Tutup pintunya!" suaranya menggelegar, membuatku tersentak. Aku menutup pintu perlahan, berharap ini hanya mimpi buruk."Kunci!" perintahnya lagi. Jantungku berdegup semakin kencang. "Kenapa harus dikunci?" pikirku, merasa ketakutan."Jangan diam saja, kemari!" teriaknya, membuatku melangkah maju dengan ragu. Kaki-kakiku terasa berat, seolah-olah diikat oleh beban ketakutan."Kemari," ujarnya geram sambil menunjuk ke samping kursinya. Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Langkahku kecil dan penuh keraguan saat aku mendekat. Setiap detik terasa seperti selamanya, ketegangan menyelimuti seluruh ruangan.Ketika aku hampir sampai di samping kursinya,