Beranda / CEO / Ibu Susu Untuk BOSKU / Bab 2 - Harga Sebuah Keputusasaan

Share

Bab 2 - Harga Sebuah Keputusasaan

Dengan perasaan campur aduk, aku akhirnya mengetuk pintu. Suara berat Mr. Wei menyuruhku masuk. Aku menarik napas dalam-dalam sekali lagi, lalu membuka pintu dan melangkah masuk.

Pintu ruangan Mr. Wei terbuka lebar. Interior yang mewah dan elegan itu kontras dengan perasaan gelisah yang menggelayuti hatiku. Mr. Wei duduk di balik meja besar, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. "Silakan duduk, Sonia," katanya dengan suara lembut namun tegas. Aku duduk di hadapannya, jantungku berdebar kencang. Aku berusaha untuk tetap tenang, tetapi pikiranku terasa kacau.

Aku, seorang gadis berusia 23 tahun, duduk di kursi yang terasa terlalu besar, sementara Mr. Wei, CEO perusahaan farmasi berusia 45 tahun, pesonanya yang karismatik dan percaya diri menegaskan perbedaan usia dan pengalaman kami. Di hadapannya, aku merasa kecil dan tidak berdaya, seolah dunia di sekelilingku menghilang, hanya ada dia yang memancarkan daya tarik luar biasa.

Namun, tatapannya yang tajam tertuju pada dadaku, membuatku merasa malu. Dadaku yang besar, ditambah kondisi menyusui saat ini membuatnya semakin membengkak, membuatku kurang percaya diri. Aku berusaha menutupinya dengan blazerku, meskipun aku tahu itu tidak sepenuhnya berhasil.

"Jadi, Sonia," Mr. Wei mulai, suaranya dalam dan tegas, "Kamu paham kan dengan syarat-syarat posisi ini?"

Aku mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kegugupanku. "Ya, Mr. Wei. Saya mengerti." Jawaban singkatku terasa hambar di telingaku sendiri.

Mr. Wei bersandar santai, senyum licik mengembang di bibirnya. "Kamu tahu tentang permintaan khusus yang harus dilakukan di posisi ini, kan?"

"Saya... saya baru saja diberitahu tentang adanya permintaan khusus untuk menyusui, tetapi saya tidak tahu harus menyusui siapa," kataku, suara ku bergetar.

Mr. Wei mengangkat alisnya, dan wajahnya langsung jadi serius. "Apa itu masalah untukmu?"

"Mr, ini benar-benar sulit buat saya," kataku, suaraku hampir bergetar.

"Baiklah, ceritakan apa kesulitanmu," tanyanya dengan nada datar.

"Anak saya mengidap Thalassemia dan membutuhkan perawatan medis yang mahal dan terus-menerus. Setiap bulan, biaya pengobatan membuat saya terjebak dalam hutang yang menumpuk. Saya tidak tahu harus berbuat apa," kataku dengan nada putus asa, merasakan air mata menggenang di mataku.

Mr. Wei tersenyum tipis, matanya tetap tajam menatapku. "Untuk biaya pengobatan anakmu, saya tawarkan gaji empat kali lipat jika kamu bersedia dengan permintaan khusus itu. Namun, untuk melunasi seluruh hutang, saya perlu sesuatu yang lebih dari sekadar permintaan khusus," jawabnya dengan nada penuh makna.

Aku merasakan aliran darahku membeku. "Apa maksud Anda, Mr. Wei?" tanyaku dengan suara yang nyaris berbisik. Ketakutan dan harapan berbaur menjadi satu, membuat pikiranku berkecamuk.

"Kamu adalah wanita yang menarik, Sonia," katanya dengan nada pelan namun tegas. "Saya ingin kita memiliki hubungan yang lebih intim. Kamu akan mendapatkan semua yang kamu butuhkan untuk anakmu."

Kata-katanya menamparku seperti angin dingin. Aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia—antara martabat dan kebutuhan. Bagaimana mungkin aku bisa menerima tawaran seperti ini? Namun, bayangan anakku yang menderita kembali menghantuiku, memaksa hati nuraniku untuk berpikir lebih jauh.

"Mr. Wei," suaraku terdengar serak, "itu... itu bukan sesuatu yang bisa saya putuskan dengan mudah."

Mr. Wei memandangku dengan tajam, seolah ingin menembus jiwaku dan menemukan jawabannya di dalam sana.

“Sonia,” katanya dengan nada yang lembut namun penuh tekanan, “seandainya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan anakmu, seberapa jauh kamu akan bersedia melangkah?”

Pertanyaannya mengguncang hatiku, menciptakan pusaran dilema moral yang tak kunjung reda. Dalam sekejap, aku terjebak dalam pemikiran yang kelam, membayangkan setiap pilihan yang ada. Akankah aku mengorbankan prinsip yang telah kutegakkan selama ini demi nyawa putriku?

Seketika bayangan anakku yang sakit kembali menghantuiku. Aku tidak tega melihatnya menderita. Namun, harga yang harus kubayar terasa begitu mahal. Aku merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan keputusasaan, tanpa ada pelampung untuk menyelamatkanku.

"Saya... saya butuh waktu untuk berpikir," kataku akhirnya, suara ku terdengar lirih.

Mr. Wei mengangguk pelan. "Tentu saja, Sonia. Pikirkanlah baik-baik. Ini adalah keputusan yang sangat penting. Ingatlah, waktu tidak menunggu siapa pun."

"Berikan saya waktu sampai besok," kataku akhirnya.

Mr. Wei menggelengkan kepala. "Maaf, Sonia. Keputusan harus diambil hari ini. Ada banyak kandidat lain yang siap menggantikanmu."

Aku terdiam, pikiranku kacau. Aku tidak bisa membayangkan harus kehilangan kesempatan ini. Anakku membutuhkan perawatan yang mahal, dan aku tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

"Aku tidak bisa kehilangan dia. Aku harus melakukan apa pun untuk menyelamatkan anakku. Tapi, apakah ini benar-benar jalan keluar? Aku akan menyesal seumur hidup. Aku tidak ingin menjadi orang yang berbeda hanya karena uang. Tapi, jika aku tidak menerima tawaran ini, bagaimana nasib anakku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status