Dengan perasaan campur aduk, aku akhirnya mengetuk pintu. Suara berat Mr. Wei menyuruhku masuk. Aku menarik napas dalam-dalam sekali lagi, lalu membuka pintu dan melangkah masuk.
Pintu ruangan Mr. Wei terbuka lebar. Interior yang mewah dan elegan itu kontras dengan perasaan gelisah yang menggelayuti hatiku. Mr. Wei duduk di balik meja besar, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. "Silakan duduk, Sonia," katanya dengan suara lembut namun tegas. Aku duduk di hadapannya, jantungku berdebar kencang. Aku berusaha untuk tetap tenang, tetapi pikiranku terasa kacau.
Aku, seorang gadis berusia 23 tahun, duduk di kursi yang terasa terlalu besar, sementara Mr. Wei, CEO perusahaan farmasi berusia 45 tahun, pesonanya yang karismatik dan percaya diri menegaskan perbedaan usia dan pengalaman kami. Di hadapannya, aku merasa kecil dan tidak berdaya, seolah dunia di sekelilingku menghilang, hanya ada dia yang memancarkan daya tarik luar biasa.
Namun, tatapannya yang tajam tertuju pada dadaku, membuatku merasa malu. Dadaku yang besar, ditambah kondisi menyusui saat ini membuatnya semakin membengkak, membuatku kurang percaya diri. Aku berusaha menutupinya dengan blazerku, meskipun aku tahu itu tidak sepenuhnya berhasil.
"Jadi, Sonia," Mr. Wei mulai, suaranya dalam dan tegas, "Kamu paham kan dengan syarat-syarat posisi ini?"
Aku mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan kegugupanku. "Ya, Mr. Wei. Saya mengerti." Jawaban singkatku terasa hambar di telingaku sendiri.
Mr. Wei bersandar santai, senyum licik mengembang di bibirnya. "Kamu tahu tentang permintaan khusus yang harus dilakukan di posisi ini, kan?"
"Saya... saya baru saja diberitahu tentang adanya permintaan khusus untuk menyusui, tetapi saya tidak tahu harus menyusui siapa," kataku, suara ku bergetar.
Mr. Wei mengangkat alisnya, dan wajahnya langsung jadi serius. "Apa itu masalah untukmu?"
"Mr, ini benar-benar sulit buat saya," kataku, suaraku hampir bergetar.
"Baiklah, ceritakan apa kesulitanmu," tanyanya dengan nada datar.
"Anak saya mengidap Thalassemia dan membutuhkan perawatan medis yang mahal dan terus-menerus. Setiap bulan, biaya pengobatan membuat saya terjebak dalam hutang yang menumpuk. Saya tidak tahu harus berbuat apa," kataku dengan nada putus asa, merasakan air mata menggenang di mataku.
Mr. Wei tersenyum tipis, matanya tetap tajam menatapku. "Untuk biaya pengobatan anakmu, saya tawarkan gaji empat kali lipat jika kamu bersedia dengan permintaan khusus itu. Namun, untuk melunasi seluruh hutang, saya perlu sesuatu yang lebih dari sekadar permintaan khusus," jawabnya dengan nada penuh makna.
Aku merasakan aliran darahku membeku. "Apa maksud Anda, Mr. Wei?" tanyaku dengan suara yang nyaris berbisik. Ketakutan dan harapan berbaur menjadi satu, membuat pikiranku berkecamuk.
"Kamu adalah wanita yang menarik, Sonia," katanya dengan nada pelan namun tegas. "Saya ingin kita memiliki hubungan yang lebih intim. Kamu akan mendapatkan semua yang kamu butuhkan untuk anakmu."
Kata-katanya menamparku seperti angin dingin. Aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia—antara martabat dan kebutuhan. Bagaimana mungkin aku bisa menerima tawaran seperti ini? Namun, bayangan anakku yang menderita kembali menghantuiku, memaksa hati nuraniku untuk berpikir lebih jauh.
"Mr. Wei," suaraku terdengar serak, "itu... itu bukan sesuatu yang bisa saya putuskan dengan mudah."
Mr. Wei memandangku dengan tajam, seolah ingin menembus jiwaku dan menemukan jawabannya di dalam sana.
“Sonia,” katanya dengan nada yang lembut namun penuh tekanan, “seandainya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan anakmu, seberapa jauh kamu akan bersedia melangkah?”
Pertanyaannya mengguncang hatiku, menciptakan pusaran dilema moral yang tak kunjung reda. Dalam sekejap, aku terjebak dalam pemikiran yang kelam, membayangkan setiap pilihan yang ada. Akankah aku mengorbankan prinsip yang telah kutegakkan selama ini demi nyawa putriku?
Seketika bayangan anakku yang sakit kembali menghantuiku. Aku tidak tega melihatnya menderita. Namun, harga yang harus kubayar terasa begitu mahal. Aku merasa seperti sedang tenggelam dalam lautan keputusasaan, tanpa ada pelampung untuk menyelamatkanku.
"Saya... saya butuh waktu untuk berpikir," kataku akhirnya, suara ku terdengar lirih.
Mr. Wei mengangguk pelan. "Tentu saja, Sonia. Pikirkanlah baik-baik. Ini adalah keputusan yang sangat penting. Ingatlah, waktu tidak menunggu siapa pun."
"Berikan saya waktu sampai besok," kataku akhirnya.
Mr. Wei menggelengkan kepala. "Maaf, Sonia. Keputusan harus diambil hari ini. Ada banyak kandidat lain yang siap menggantikanmu."
Aku terdiam, pikiranku kacau. Aku tidak bisa membayangkan harus kehilangan kesempatan ini. Anakku membutuhkan perawatan yang mahal, dan aku tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.
"Aku tidak bisa kehilangan dia. Aku harus melakukan apa pun untuk menyelamatkan anakku. Tapi, apakah ini benar-benar jalan keluar? Aku akan menyesal seumur hidup. Aku tidak ingin menjadi orang yang berbeda hanya karena uang. Tapi, jika aku tidak menerima tawaran ini, bagaimana nasib anakku?"
Aku menatap Mr. Wei dengan tatapan kosong. "Baiklah," kataku akhirnya, suara ku terdengar lemah. "Saya menerima tawaran Anda."Mr. Wei tersenyum puas, seolah-olah dia baru saja memenangkan sebuah permainan besar. "Baiklah, Sonia. Namun, kamu harus melewati beberapa ujian," katanya dengan nada yang dingin."Ujian? Maksud Anda?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik.Mr. Wei mengangguk perlahan, senyum licik masih terpampang di wajahnya. "Ya, ujian. Aku ingin memastikan bahwa kamu memang pantas mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan," ujarnya dengan nada yang penuh arti.Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan tekanan yang semakin berat. "Apa yang harus saya lakukan untuk lulus ujian ini, Mr. Wei?" tanyaku, berusaha menjaga suaraku tetap stabil.Dia berjalan mengitari meja, berhenti hanya beberapa inci dari wajahku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan sedikit beraroma mint. "Berdirilah," perintahnya.Sedikit ragu, aku perlahan-lahan berdiri. Mr. Wei mengulurkan tangannya d
Keesokan paginya, aku dipanggil ke ruangan HRD. Jantungku berdebar kencang saat melangkah masuk, bertanya-tanya apa yang akan mereka katakan padaku. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah menyambutku di meja resepsionis."Halo, Sonia. Ayo masuk, kami sudah menunggu," katanya dengan senyum yang menenangkan.Aku mengikuti dia ke sebuah ruangan yang terang dan rapi. Di dalam, ada seorang pria dengan kacamata tipis yang duduk di belakang meja besar. Dia berdiri dan menyambutku dengan ramah."Selamat pagi, Sonia. Nama saya Pak Joko, kepala divisi HRD. Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan meja.Dengan gugup, aku duduk dan menunggu apa yang akan dia katakan."Sonia, saya ingin memberitahumu bahwa kamu telah diberikan posisi sebagai Junior Asisten di divisi ini," kata Pak Joko sambil tersenyum. "Ini adalah posisi paling bawah di divisi ini, tapi merupakan awal yang bagus."Aku mengangguk, mencoba memahami semuanya. "Apa saja tugas saya, Pak?" tanyaku, mencoba menjaga s
"Apakah pakaianmu semua seperti ini?" tanya Mr. Wei dengan nada yang masih penuh skeptisisme. Aku merasa jantungku berdegup kencang, berpikir sejenak untuk merespons."Saya selalu berusaha untuk tampil nyaman dan profesional sesuai dengan pengalaman yang saya miliki, Mr," jawabku dengan suara tegas meskipun terasa bergetar. "Tapi saya juga terbuka untuk saran mengenai cara berpakaian yang lebih sesuai dengan ekspektasi di kantor ini."Mr. Wei lalu berjalan keluar ketika di pintu. "Ikut dengan saya," perintahnya. Aku merasa sedikit terkejut, namun segera mengikuti langkahnya. Kami berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi dengan gambar-gambar karyawan yang berprestasi dan penghargaan yang diraih oleh perusahaan.Aku mengikuti Mr. Wei dengan langkah ragu, menahan rasa cemas yang menyelimuti pikiranku. Saat kami tiba di area parkir, Mr. Wei langsung menuju mobil hitam yang terparkir rapi. Begitu dia membuka pintu, sopirnya segera mendekat dan bertanya, "Mau ke mana, Mr?"Mr. Wei menjawab
Saat pintu private lift apartemen terbuka, suasana mewah langsung menyergap indra kami. Mr. Wei melangkah keluar dengan percaya diri, sementara aku hanya bisa mengikutinya dengan perasaan campur aduk yang terus mendera. Begitu masuk ke dalam apartemen yang dipenuhi dengan perabotan mewah, ia langsung melucuti pakaiannya dengan sikap tenang, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkanku tertegun sejenak di lorong yang luas. Suara detak jantungku seakan menguasai seluruh ruangan, dan pertanyaan berputar di benakku tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Seketika, suara Mr. Wei menggema dari dalam kamar, "Sonia, kemari!!" Panggilan suaranya yang tegas membuatku terperanjat dari lamunan. Apa yang diinginkannya dariku? Ketegangan sudah meluap, dan aku berusaha menenangkan diri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang yang diinginkan Mr. Wei.Mr. Wei berbaring di ranjang king size, kemudian dengan lembut menepuk ranja
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari gelombang keinginan yang masih membara di tubuhku. Mr. Wei mengamati tubuhku dengan seksama, dan pandangannya tertuju pada dadaku. Aku mengikuti tatapannya dan menyadari apa yang dilihatnya. Kedua payu*daraku penuh dan meneteskan ASI karena dari pagi belum sempat aku keluarkan untuk menyapih anakku.Mr. Wei tampak terperangah, namun matanya berkilat dengan ketertarikan yang mendalam. "Sonia," bisiknya dengan nada yang lebih lembut, "kau sungguh mempesona."Aku merasa pipiku memerah, malu dan terkejut oleh situasi ini. "Maaf, Mr. Wei. Saya tidak bermaksud...""Tidak perlu minta maaf. Ini adalah bagian dari dirimu yang alami dan indah," katanya, suaranya penuh kehangatan. Tangannya terulur, dengan lembut menyentuh payu*daraku yang penuh, dan aku merasakan arus listrik mengalir melalui tubuhku."Biarkan aku membantu," katanya, dan tangan serta mulutnya mulai bekerja dengan keahlian yang luar biasa. Setiap sentuhan, setiap hisap
Mr. Wei hanya tersenyum, matanya berkilat dengan keinginan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Dengan gerakan yang tegas, aku langsung menaiki tubuh Mr. Wei, merengkuh kendali atas kenikmatan kami. "Maafkan aku, Mr. Wei," bisikku dengan penuh gairah.Kugenggam kejantanannya yang kembali mengeras dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam vaginaku. Sensasi yang menggetarkan segera memenuhi tubuhku. "Ahhhh, besar sekali..." desahku dengan penuh nikmat. Mr. Wei mengerang rendah, tangannya menggenggam pinggulku dengan kuat, membantuku menetapkan ritme yang memabukkan.Kami bergerak bersama dalam harmoni yang sempurna, setiap dorongan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami dambakan. Matanya tidak pernah lepas dari wajahku, penuh dengan intensitas yang membuatku semakin terang*sang.Tak berapa lama, gelombang puncak menghampiriku, dan aku mencapai puncak dengan erangan yang tak tertahan. Tubuhku gemetar dalam pelukannya, merasakan setiap denyut dari kenikmatan yang luar biasa.Namun, Mr.
Mr. Wei memperhatikan dengan mata yang penuh gairah, senyumnya semakin melebar saat melihatnya. "Sonia, kamu benar-benar membuatku tergila-gila," katanya dengan nada memikat, membuatku merasakan getaran di seluruh tubuhku.Mr. Wei menghisap pun*tingku dengan lahapnya, meneguk setiap tetes ASI yang keluar. Sensasi yang kurasakan begitu intens, membuatku menggeliat dalam pelukannya. Setiap hisapan dan sentuhan bibirnya di kulitku membuatku semakin terang*sang, seolah-olah seluruh tubuhku merespons dengan penuh gairah.Aku menggenggam rambutnya, menariknya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari tubuhnya yang menempel erat padaku. "Mr. Wei..." desahku, suaraku bergetar oleh campuran rasa malu dan kenikmatan yang tak tertahankan.Lalu aku duduk di pangkuannya lagi, membiarkan Mr. Wei bermain-main dengan payu*daraku. Tangannya yang kuat dan terampil meremas lembut, sementara bibirnya terus mengeksplorasi setiap inci kulitku.Dengan hati-hati, aku menggenggam kejantanan Mr. Wei
"Kalau begitu, ceraikan aku saja, Biarkan aku yang merawat Angel." bisikku lirih, air mata mulai membasahi pipiku.Doni mendekat, tangannya mencengkeram leherku hingga tulang rahangku berderak, lalu menghempaskanku ke dinding."Kau pikir semudah itu? Dari mana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu, hah? Apa kau akan melacurkan diri?" tanyanya, napasnya bau alkohol menusuk hidung. Aku terbatuk, berusaha melepaskan cengkeramannya."Lalu, kau pikir biaya sebesar itu bisa didapatkan hanya dengan mabuk-mabukan?" lirihku. Kata-kataku seakan menusuknya dalam. Wajahnya memerah padam, urat-urat lehernya menonjol."Jangan berani-berani mengajariku cara hidup! Aku sudah cukup menderita karena kalian berdua!" Dengan kasar, ia melemparkanku ke lantai. Aku meringkuk di sudut, tulang rusukku terasa nyeri."Tolong, ceraikan saja aku. Hidupmu akan lebih tenang tanpaku dan Angel," pintaku, suara bergetar.Doni menghampiriku, menjambak rambutku dengan kasar. "Jangan bermimpi kau akan lepas dariku, wani