Dinding kaca yang dingin ini terasa seperti cermin raksasa yang memantulkan kehampaanku. Aku terisolasi, terkungkung dalam kotak transparan ini, sementara dunia di luar sana berputar tanpa peduli pada nasibku. Detak jam di pergelangan tangan terasa seperti palu yang berdentum di dalam kepalaku, mengiringi irama debar jantungku yang tak menentu.
Tatapanku terpaku pada pintu kaca yang menjadi satu-satunya penghubungku dengan dunia luar. Di baliknya, koridor panjang membentang, dihiasi deretan pintu-pintu identik yang menyembunyikan nasib para kandidat lainnya. Aku membayangkan mereka, masing-masing tengah bergulat dengan kecemasan yang sama sepertiku.
Sebuah bayangan gelap melintas di balik kaca. Sosok itu semakin dekat, langkahnya pasti dan penuh kuasa. Pemimpin. Jantungku berpacu kencang. Ia adalah sosok yang selama ini menjadi idola sekaligus momok bagiku. Wajahnya yang tegas dan tatapan matanya yang tajam selalu berhasil membuatku bergidik.
Staff HRD, seorang wanita dengan tatapan datar, mengikutinya dari belakang. Ia membawa setumpuk berkas—nasib kami tertulis di sana. Mataku mengikuti setiap gerakannya, berharap ada keajaiban yang akan terjadi. Namun, harapan itu sirna seketika ketika pemimpin itu berhenti di depan salah satu berkas. Ia membolak-balik halaman demi halaman, tatapannya fokus dan tajam.
Sebuah firasat buruk mulai menyelimutiku. Aku tahu, saat itu juga, bahwa keputusan telah diambil. Detik berikutnya, ia berbisik sesuatu kepada Staff HRD. Tatapanku tak lepas dari mereka saat Staff HRD itu menoleh ke arahku. Anggukan kecilnya menjadi pertanda bahwa nasibku telah ditentukan.
Langkah kaki mendekat. Pintu kaca terbuka perlahan. Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Pintu ruang isolasi terbuka perlahan, dan staff HRD itu masuk dengan senyum tipis di wajahnya. "Selamat, kamu terpilih dari puluhan kandidat untuk langsung diwawancarai oleh Mr. Wei. Beliau sedang menanti di kantornya saat ini," katanya dengan nada resmi.
Jantungku berdebar semakin kencang. Ini adalah kesempatan yang selama ini kuimpikan. Dengan tangan sedikit gemetar, aku beranjak dari dudukku dan melangkah menuju pintu. Namun, sebelum aku sempat membuka pintu itu, Staff HRD menahanku.
"Sebentar, Sonia," katanya dengan suara yang lebih lembut namun serius. "Ada penawaran khusus dari Mr. Wei untukmu. Gaji yang ditawarkan empat kali lipat dari yang sebelumnya."
Aku mengerutkan kening, bingung namun penasaran. "Apa maksudnya?" tanyaku dengan hati-hati.
"Mr. Wei memiliki permintaan khusus," jawab Staff HRD sambil menatap mataku dengan intens.
"Apa permintaan khusus itu?" tanyaku, berusaha menahan getir di tenggorokan.
"Permintaan khusus itu," ia melanjutkan, suaranya bergetar di udara yang tegang, "adalah kamu harus bersedia menyusui."
Dunia seakan berhenti berputar. Tawaran itu begitu menggiurkan, tetapi juga sangat mengejutkan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna informasi yang baru saja kudengar. Dengan penghasilan sebesar itu, aku bisa memberikan perawatan terbaik untuk anakku yang mengidap thalasemia. Namun, harga yang harus kubayar terasa begitu mahal.
Aku teringat wajah polos anakku yang selalu ceria, meski harus berjuang melawan penyakitnya. Hatiku tercabik-cabik. Di satu sisi, aku ingin memberikan yang terbaik untuknya. Di sisi lain, aku merasa dilema dengan permintaan yang begitu tidak biasa.
"Aku butuh waktu untuk berpikir," kataku akhirnya, suara ku terdengar lirih.
Staff HRD mengangguk mengerti. "Tentu saja, Sonia. Pikirkanlah baik-baik. File ini berisi detail lengkap tentang penawaran ini. Mr. Wei menunggumu di kantornya." Ia menyerahkan file itu padaku, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan.
Aku menatap file di tanganku, perasaan campur aduk memenuhi hatiku. Keputusan ini akan mengubah hidupku selamanya. Aku harus memilih antara ambisi karirku dan kesejahteraan anakku. Jalan mana yang akan kuambil?
***
"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungku yang tak terkendali. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Semakin dekat aku dengan ruangan Mr. Wei, semakin kuat pula rasa cemas yang menyelimutiku.
Bayangan anakku yang terbaring lemah di rumah sakit kembali menghantuiku. Penyakitnya yang langka membuatku merasa begitu kecil dan tidak berdaya. Aku pernah berjanji pada diri sendiri akan melakukan apa saja untuk menyembuhkannya, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan segalanya.
Tiba di depan pintu, aku ragu-ragu untuk mengetuk. Apa yang akan kutemukan di balik pintu ini? Apakah ini benar-benar jalan keluar dari semua masalahku? Atau justru akan menjadi awal dari penderitaan yang lebih besar? Segala macam pertanyaan berputar-putar di kepalaku.
Dengan perasaan campur aduk, aku akhirnya mengetuk pintu. Suara berat Mr. Wei menyuruhku masuk. Aku menarik napas dalam-dalam sekali lagi, lalu membuka pintu dan melangkah masuk.Pintu ruangan Mr. Wei terbuka lebar. Interior yang mewah dan elegan itu kontras dengan perasaan gelisah yang menggelayuti hatiku. Mr. Wei duduk di balik meja besar, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. "Silakan duduk, Sonia," katanya dengan suara lembut namun tegas. Aku duduk di hadapannya, jantungku berdebar kencang. Aku berusaha untuk tetap tenang, tetapi pikiranku terasa kacau.Aku, seorang gadis berusia 23 tahun, duduk di kursi yang terasa terlalu besar, sementara Mr. Wei, CEO perusahaan farmasi berusia 45 tahun, pesonanya yang karismatik dan percaya diri menegaskan perbedaan usia dan pengalaman kami. Di hadapannya, aku merasa kecil dan tidak berdaya, seolah dunia di sekelilingku menghilang, hanya ada dia yang memancarkan daya tarik luar biasa.Namun, tatapannya yang tajam tertuju pada dadaku, memb
Aku menatap Mr. Wei dengan tatapan kosong. "Baiklah," kataku akhirnya, suara ku terdengar lemah. "Saya menerima tawaran Anda."Mr. Wei tersenyum puas, seolah-olah dia baru saja memenangkan sebuah permainan besar. "Baiklah, Sonia. Namun, kamu harus melewati beberapa ujian," katanya dengan nada yang dingin."Ujian? Maksud Anda?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik.Mr. Wei mengangguk perlahan, senyum licik masih terpampang di wajahnya. "Ya, ujian. Aku ingin memastikan bahwa kamu memang pantas mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan," ujarnya dengan nada yang penuh arti.Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan tekanan yang semakin berat. "Apa yang harus saya lakukan untuk lulus ujian ini, Mr. Wei?" tanyaku, berusaha menjaga suaraku tetap stabil.Dia berjalan mengitari meja, berhenti hanya beberapa inci dari wajahku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan sedikit beraroma mint. "Berdirilah," perintahnya.Sedikit ragu, aku perlahan-lahan berdiri. Mr. Wei mengulurkan tangannya d
Keesokan paginya, aku dipanggil ke ruangan HRD. Jantungku berdebar kencang saat melangkah masuk, bertanya-tanya apa yang akan mereka katakan padaku. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah menyambutku di meja resepsionis."Halo, Sonia. Ayo masuk, kami sudah menunggu," katanya dengan senyum yang menenangkan.Aku mengikuti dia ke sebuah ruangan yang terang dan rapi. Di dalam, ada seorang pria dengan kacamata tipis yang duduk di belakang meja besar. Dia berdiri dan menyambutku dengan ramah."Selamat pagi, Sonia. Nama saya Pak Joko, kepala divisi HRD. Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan meja.Dengan gugup, aku duduk dan menunggu apa yang akan dia katakan."Sonia, saya ingin memberitahumu bahwa kamu telah diberikan posisi sebagai Junior Asisten di divisi ini," kata Pak Joko sambil tersenyum. "Ini adalah posisi paling bawah di divisi ini, tapi merupakan awal yang bagus."Aku mengangguk, mencoba memahami semuanya. "Apa saja tugas saya, Pak?" tanyaku, mencoba menjaga s
"Apakah pakaianmu semua seperti ini?" tanya Mr. Wei dengan nada yang masih penuh skeptisisme. Aku merasa jantungku berdegup kencang, berpikir sejenak untuk merespons."Saya selalu berusaha untuk tampil nyaman dan profesional sesuai dengan pengalaman yang saya miliki, Mr," jawabku dengan suara tegas meskipun terasa bergetar. "Tapi saya juga terbuka untuk saran mengenai cara berpakaian yang lebih sesuai dengan ekspektasi di kantor ini."Mr. Wei lalu berjalan keluar ketika di pintu. "Ikut dengan saya," perintahnya. Aku merasa sedikit terkejut, namun segera mengikuti langkahnya. Kami berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi dengan gambar-gambar karyawan yang berprestasi dan penghargaan yang diraih oleh perusahaan.Aku mengikuti Mr. Wei dengan langkah ragu, menahan rasa cemas yang menyelimuti pikiranku. Saat kami tiba di area parkir, Mr. Wei langsung menuju mobil hitam yang terparkir rapi. Begitu dia membuka pintu, sopirnya segera mendekat dan bertanya, "Mau ke mana, Mr?"Mr. Wei menjawab
Saat pintu private lift apartemen terbuka, suasana mewah langsung menyergap indra kami. Mr. Wei melangkah keluar dengan percaya diri, sementara aku hanya bisa mengikutinya dengan perasaan campur aduk yang terus mendera. Begitu masuk ke dalam apartemen yang dipenuhi dengan perabotan mewah, ia langsung melucuti pakaiannya dengan sikap tenang, seakan-akan tidak ada yang aneh dengan situasi ini. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kamarnya, meninggalkanku tertegun sejenak di lorong yang luas. Suara detak jantungku seakan menguasai seluruh ruangan, dan pertanyaan berputar di benakku tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Seketika, suara Mr. Wei menggema dari dalam kamar, "Sonia, kemari!!" Panggilan suaranya yang tegas membuatku terperanjat dari lamunan. Apa yang diinginkannya dariku? Ketegangan sudah meluap, dan aku berusaha menenangkan diri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang yang diinginkan Mr. Wei.Mr. Wei berbaring di ranjang king size, kemudian dengan lembut menepuk ranja
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari gelombang keinginan yang masih membara di tubuhku. Mr. Wei mengamati tubuhku dengan seksama, dan pandangannya tertuju pada dadaku. Aku mengikuti tatapannya dan menyadari apa yang dilihatnya. Kedua payu*daraku penuh dan meneteskan ASI karena dari pagi belum sempat aku keluarkan untuk menyapih anakku.Mr. Wei tampak terperangah, namun matanya berkilat dengan ketertarikan yang mendalam. "Sonia," bisiknya dengan nada yang lebih lembut, "kau sungguh mempesona."Aku merasa pipiku memerah, malu dan terkejut oleh situasi ini. "Maaf, Mr. Wei. Saya tidak bermaksud...""Tidak perlu minta maaf. Ini adalah bagian dari dirimu yang alami dan indah," katanya, suaranya penuh kehangatan. Tangannya terulur, dengan lembut menyentuh payu*daraku yang penuh, dan aku merasakan arus listrik mengalir melalui tubuhku."Biarkan aku membantu," katanya, dan tangan serta mulutnya mulai bekerja dengan keahlian yang luar biasa. Setiap sentuhan, setiap hisap
Mr. Wei hanya tersenyum, matanya berkilat dengan keinginan. Aku tidak bisa menunggu lagi. Dengan gerakan yang tegas, aku langsung menaiki tubuh Mr. Wei, merengkuh kendali atas kenikmatan kami. "Maafkan aku, Mr. Wei," bisikku dengan penuh gairah.Kugenggam kejantanannya yang kembali mengeras dan dengan hati-hati memasukkannya ke dalam vaginaku. Sensasi yang menggetarkan segera memenuhi tubuhku. "Ahhhh, besar sekali..." desahku dengan penuh nikmat. Mr. Wei mengerang rendah, tangannya menggenggam pinggulku dengan kuat, membantuku menetapkan ritme yang memabukkan.Kami bergerak bersama dalam harmoni yang sempurna, setiap dorongan membawa kami lebih dekat ke puncak yang kami dambakan. Matanya tidak pernah lepas dari wajahku, penuh dengan intensitas yang membuatku semakin terang*sang.Tak berapa lama, gelombang puncak menghampiriku, dan aku mencapai puncak dengan erangan yang tak tertahan. Tubuhku gemetar dalam pelukannya, merasakan setiap denyut dari kenikmatan yang luar biasa.Namun, Mr.
Mr. Wei memperhatikan dengan mata yang penuh gairah, senyumnya semakin melebar saat melihatnya. "Sonia, kamu benar-benar membuatku tergila-gila," katanya dengan nada memikat, membuatku merasakan getaran di seluruh tubuhku.Mr. Wei menghisap pun*tingku dengan lahapnya, meneguk setiap tetes ASI yang keluar. Sensasi yang kurasakan begitu intens, membuatku menggeliat dalam pelukannya. Setiap hisapan dan sentuhan bibirnya di kulitku membuatku semakin terang*sang, seolah-olah seluruh tubuhku merespons dengan penuh gairah.Aku menggenggam rambutnya, menariknya lebih dekat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari tubuhnya yang menempel erat padaku. "Mr. Wei..." desahku, suaraku bergetar oleh campuran rasa malu dan kenikmatan yang tak tertahankan.Lalu aku duduk di pangkuannya lagi, membiarkan Mr. Wei bermain-main dengan payu*daraku. Tangannya yang kuat dan terampil meremas lembut, sementara bibirnya terus mengeksplorasi setiap inci kulitku.Dengan hati-hati, aku menggenggam kejantanan Mr. Wei