Hartawan terlihat menghela napas berat, nampak beban berat menggelayuti wajahnya sehingga membuat keduanya saling pandang dengan kening berkerut. "Tapi, sebelum Papah mengatakannya? Lebih baik kita makan terlebih dahulu, karena topik pembicaraan yang akan kita bahas ... berat."
"Apakah pembicaraan itu berhubungan dengan kami berdua?" tanya Abraham."Tentu saja, dan hal ini berkaitan erat dengan Ayleen. Karena itu ...," Pak Hartawan kembali menarik napas dalam-dalam, merasa sangat gugup saat ditatap sedemikian rupa oleh keduanya. "mari kita makan terlebih dahulu," ajaknya."Baik. Saya paham, Pah. Ayo, Ay, kita makan dulu," ajak Abraham, menengahi.Ayleen menurut, kembali duduk di tempatnya semula. Sementara Sam kini ia letakkan di atas stroller yang memang mereka bawa dari rumah. Bocah itu terlihat asyik bermain dengan food feeder miliknya.Ketiganya makan dalam diam, hanya terdengar bunyi denting alat makan beradu sehingga atmosfer ruangaAyleen akhirnya tenang setelah beberapa saat berlalu. Wanita itu bahkan kini telah menyelesaikan makannya yang sempat tertunda.Ruangan nampak hening, semuanya terlihat larut dalam lamunan masing-masing saat pintu tiba-tiba dibuka dari luar, membuat Ayleen dan juga Abraham menoleh serempak."Akhirnya kamu datang juga!" seru Pak Hartawan sambil tersenyum lebar. Ia bahkan segera bangkit berdiri guna menyambut kedatangan orang tersebut. Berbeda dengan Abraham yang justru segera membuang muka. Wajahnya bahkan terlihat begitu dingin.Sementara Ayleen sedikit kikuk, bingung antara menyambut atau diam saja."Papah nyuruh aku datang, buat apa?" tanya Airin sedikit ketus saat melihat keberadaan Ayleen di sana. Ia meletakkan sedikit kasar tas tangan miliknya di atas meja. Namun tatkala dirinya melihat keberadaan Abraham, wanita itu segera mengubah mimik wajahnya menjadi lebih lembut."Eh, ada papahnya Sam." Rambut panjangnya segera ia selipkan di b
Ayleen langsung membuang wajahnya menatap ke arah jalanan. Andai saja dia sedang sendirian saat ini, mungkin ia akan mengibas-ngibas wajahnya dengan telapak tangannya.'Kenapa wajahku memanas gini cuma karena hal sepele begitu, sih?' rutuk Ayleen dalam hati.Ia lantas berusaha mengalihkan fokusnya dengan mengajak Sam berceloteh meskipun bocah kecil itu belum bisa menyahuti celotehan Ayleen. Sementara, Abraham tetap fokus menyetir hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti.Abraham sigap turun lebih dulu dan membantu Ayleen menggendong Sam. "Saya masuk duluan, ya," ucap Abraham seraya bersiap melangkah."Iya, Pak. Silakan." Ayleen menyahut singkat saat dirinya sibuk membereskan beberapa barang bawaan di dalam bagasi mobil. Abraham lantas berjalan masuk ke rumah lebih dulu, sementara Ayleen menyusul setelahnya, tangan kanan dan kirinya penuh dengan barang barang bawaan Sam, termasuk stroller. Rumah mewah itu tampak lengang, sepertinya Bi Ida dan Bu Emil sudah masuk ke kamar d
"Airin memang karakternya seperti itu, Ay. saya rasa kamu nggak perlu terlalu mikirin sikap dia ke kamu. Dia memang begitu sikapnya," ucap Abraham berusaha menghibur gundah hati yang dirasakan Ayleen.Ayleen terdengar menghela napasnya berat. Rasanya ia masih tidak menyangka kalau ternyata dia dan Airin adalah saudara kembar yang cukup lama terpisah. "Pak Abra benar, seharusnya ini menjadi kabar yang membahagiakan buat saya, bukan? Nggak seharusnya saya bersedih begini," sahut Ayleen. Entah mengapa perasaannya justru jauh lebih baik dari sebelumnya."Benar, seharusnya kamu bahagia dengan kabar itu, Ay. Sungguh, saya juga nggak menyangka kalau ternyata kamu merupakan anak kandung Papah juga. Itulah kenapa, saat pertama melihatmu saya seperti melihat Airin, tapi dengan versi yang berbeda, bahkan sempat berburuk sangka bahwa kamu adalah Airin yang sedang mencari perhatian saya kembali dengan melakukan penyamaran." Abraham pun menyatakan pendapatnya tentang fakta yang baru terungkap mala
Sinar mentari pagi menembus masuk ke dalam kamar Abra, melalui celah ventilasi. Abraham yang baru saja membuka mata, tampak menggeliat perlahan untuk meregangkan otot-ototnya.Abraham duduk lalu bersandar di kepala ranjang. Duda tampan beranak satu itu tiba-tiba mengusap wajahnya beberapa kali dengan kasar."Astaga … bisa-bisanya aku menawarkan Ayleen untuk mengantarnya mengunjungi makam ibunya. Apa-apaan kau ini, Abra!" rutuk Abra pada dirinya sendiri.Ya, pria itu memang menyesali ucapannya pada Ayleen sepanjang malam. Ia pikir karena terbawa suasana saja sampai-sampai dia menawarkan untuk mengantar Ayleen."Cih, ada-ada saja kau, Abra. Terlalu terbawa suasana, malah mengatakan hal yang tak perlu," ucapnya lagi sambil mengusap-usap wajahnya yang terasa kasar. Cambang halusnya mulai memanjang, dan Abra pikir hari ini dia harus bercukur sedikit. "Ayleen pasti bingung dengan perkataan saya itu, pokoknya saya harus jelaskan biar dia tidak salah paham," ucapnya. Pria itu lantas turun d
"Maaf, tapi maksud Ibu apa ya?" tanya Ayleen ragu-ragu.Ayleen melirik ke arah Abraham yang tampak sibuk menatap jam tangannya. Abraham bahkan pura-pura tak melihat saat Ayleen menanyakan kenapa Bu Emil bersikap begini secara tiba-tiba dari gerak bibir tipisnya.Pria itu justru berdiri tanpa memberi jawaban pada Ayleen yang dilanda kebingungan. "Ma, Abra berangkat ke kantor dulu," ucap Abraham menginterupsi. Bu Emil lantas melepaskan pelukannya terhadap Ayleen dan melihat putranya bersiap pergi.Abraham mengulurkan tangan untuk meraih punggung tangan Bu Emil lantas menciumnya takzim sebelum berangkat ke kantornya. Hal yang selalu dia lakukan selama ini meskipun terkesan kolot, karena kebanyakan sudah tidak ada yang melakukan hal demikian saat hendak pergi ke mana pun."Hati-hati di jalannya, Abra," ucap Bu Emil sembari mengusap pelan belakang kepala Abraham. Pria itu mengangguk, lalu kini tatapannya beralih pada Sam yang berada di gendongan Ayleen yang masih menanti jawaban dari ibu
Airin terbangun saat matahari sudah meninggi. Wanita cantik yang memiliki postur tubuh proporsional itu lantas menggeliatkan tubuhnya. "Ugh, jam berapa sekarang?" gumamnya dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.Airin meraih ponselnya di bawah bantal untuk melihat jam. "Cih, udah siang ternyata. Untungnya hari ini nggak ada schedule, jadi aku bisa nyantai," ucap Airin bermonolog sendiri. Sedetik kemudian, Airin malah asyik berselancar di media sosial. Menscroll aplikasi jingga yang biasa gunakan untuk memposting segala kegiatan hariannya.Airin pun tergoda untuk memosting fotonya di laman itu. Ia tampak sibuk memilih dan memilah foto yang hendak dia posting pagi itu. "Ini aja deh, aura kecantikanku terlihat sempurna di foto ini," ucap Airin sambil bersiap memosting foto pilihannya dan beberapa deret caption untuk sekadar menyapa para followersnya di sana."Only me." Airin menulis caption demikian saat mengirim foto itu. Tak perlu waktu lama sampai fotonya mendapat ratusan l
Airin menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia berusaha agar tidak terlalu memperlihatkan kecemasannya di hadapan mantan suaminya."Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Abra," ucap Airin takut-takut usai berpikir cukup lama. Ia sangat berharap kata-kata itu mampu meluluhkan kerasnya hati Abraham. "Kesempatan? Kesempatan apa maksudmu?" Abraham bertanya dengan sinis. Sudah jelas di raut wajahnya jika Airin tak lagi memiliki kesempatan, tapi kenapa dia bebal sekali dan mengira Abraham akan luluh hanya dengan secuil kata-kata darinya. "Itu … aku, aku ingin menjadi Ibu yang sesungguhnya untuk Sam. Jika perlu, kita harus rujuk lagi demi Sam, Abra." Airin telah membuang rasa malunya dan menurunkan harga dirinya di hadapan Abraham.Abraham memiringkan sudut bibirnya. "Mudah sekali kamu mengatakan hal itu, Airin. Yah, aku tahu, berharap apa sama kamu yang memang dari dulu sikapnya sudah begini. Semena-mena dan hanya memikirkan diri sendiri. Kamu juga selalu
"Pa, aku minta kontaknya Ayleen!" seru Airin tiba-tiba langsung memberondong Pak Hartawan begitu pria itu pulang ke rumah.Pak Hartawan mengernyitkan keningnya dalam-dalam. "Buat apa kamu minta kontaknya Ayleen? Bukannya kemarin kamu yang nggak terima sama kehadirannya dan nggak mau mengakui dia sebagai saudara kembarmu?" "Ya, itu kan kemarin, Pa. Aku tuh cuman syok aja, habisnya kabar itu sangat tiba-tiba. Gimana nggak syok coba. Bertahun-tahun lamanya aku hidup sebagai putri Papa satu-satunya, terus tiba-tiba datang perempuan itu yang Papa klaim adalah putri Papa juga." Airin berucap panjang lebar, namun tetap di telinga Pak Hartawan semua itu terdengar seperti sebuah alasan saja."Kamu pasti punya alasan tertentu, kan?" tebak Pak Hartawan tepat sasaran, hingga membuat Airin sempat terbungkam.Perempuan itu lantas menghela napasnya kasar, karena niatnya sudah langsung ketahuan oleh sang ayah."Kalau aku emang ada alasan tertentu, terus kenapa, Pa?" Airin langsung mengubah nada bica