"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Bab 1"Ayleen!" suara teriakan Erwin–suami Ayleen menggema dan memantul memekakan pendengaran. Wanita 23 itu segera mendekap diri dan memejamkan mata. Berpura-pura tak mendengar teriakan lelaki bergelar suami yang sudah menyulap rumah laksana neraka.Tengah malam datang dan berteriak, Ayleen yakin suaminya itu tengah mabuk, dan ini adalah pertanda bahaya baginya. Mabuk-mabukan memang sudah menjadi kebiasaan Erwin."Anj*r, punya bini kerjaannya molor mulu! Bangun kau!" teriak Erwin, tangannya menarik paksa tangan Ayleen hingga tubuh ringkihnya itu terduduk."Ada apa sih, Bang? Datang-datang udah marah aja. Bisa nggak sih, banguninya jangan kasar gitu?" Ayleen memprotes.Bukannya menjawab, Erwin malah melepas pakaiannya, tentu hal itu membuat Ayleen terkejut."Abang mau apa?" cicit Ayleen, reflek memundurkan dirinya."Kamu nanya?" sahut Erwin seraya mengikis jarak antara ia dan istrinya, lelaki itu tersenyum penuh makna, nafasnya berhembus menerpa wajah Ayleen, aroma alkohol menguar men
"Maaf, Pak ...," sesal Ayleen. Namun lelaki di hadapannya belum selesai dengan keterkejutannya. Ia hanya terdiam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, dari arah mobil, seorang ibu-ibu paruh baya berteriak melalui jendela dan menyadarkan lelaki di hadapan Ayleen dari lamunan."Abra ...! Ayo buruan! Kita harus cepat sampai ke rumah sakit, kasihan anak kamu nangis terus!"Dan suara tangis bayi terdengar nyaring di telinga Ayleen, mengingatkannya pada putra yang telah berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa.Lelaki bernama lengkap Abraham Malik Razavi itu menatap Ayleen sekilas, "minggir!" ucapnya dingin, tanpa sedikitpun berniat menolong Ayleen.Ayleen pun mundur, ia berjalan terseok mendekati suara bayi yang terus menangis dan mengusik hatinya. Ingin hati mengetuk pintu dan membantu menenangkannya, akan tetapi ia tak memiliki nyali untuk melakukan itu. Ia sadar, ia tak berhak atas bayi itu.Sementara Abra, ia yang masih berdiri di sisi pintu kemudi, memperhatikan gerak-gerik Ayleen
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara