Airin menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia berusaha agar tidak terlalu memperlihatkan kecemasannya di hadapan mantan suaminya."Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Abra," ucap Airin takut-takut usai berpikir cukup lama. Ia sangat berharap kata-kata itu mampu meluluhkan kerasnya hati Abraham. "Kesempatan? Kesempatan apa maksudmu?" Abraham bertanya dengan sinis. Sudah jelas di raut wajahnya jika Airin tak lagi memiliki kesempatan, tapi kenapa dia bebal sekali dan mengira Abraham akan luluh hanya dengan secuil kata-kata darinya. "Itu … aku, aku ingin menjadi Ibu yang sesungguhnya untuk Sam. Jika perlu, kita harus rujuk lagi demi Sam, Abra." Airin telah membuang rasa malunya dan menurunkan harga dirinya di hadapan Abraham.Abraham memiringkan sudut bibirnya. "Mudah sekali kamu mengatakan hal itu, Airin. Yah, aku tahu, berharap apa sama kamu yang memang dari dulu sikapnya sudah begini. Semena-mena dan hanya memikirkan diri sendiri. Kamu juga selalu
"Pa, aku minta kontaknya Ayleen!" seru Airin tiba-tiba langsung memberondong Pak Hartawan begitu pria itu pulang ke rumah.Pak Hartawan mengernyitkan keningnya dalam-dalam. "Buat apa kamu minta kontaknya Ayleen? Bukannya kemarin kamu yang nggak terima sama kehadirannya dan nggak mau mengakui dia sebagai saudara kembarmu?" "Ya, itu kan kemarin, Pa. Aku tuh cuman syok aja, habisnya kabar itu sangat tiba-tiba. Gimana nggak syok coba. Bertahun-tahun lamanya aku hidup sebagai putri Papa satu-satunya, terus tiba-tiba datang perempuan itu yang Papa klaim adalah putri Papa juga." Airin berucap panjang lebar, namun tetap di telinga Pak Hartawan semua itu terdengar seperti sebuah alasan saja."Kamu pasti punya alasan tertentu, kan?" tebak Pak Hartawan tepat sasaran, hingga membuat Airin sempat terbungkam.Perempuan itu lantas menghela napasnya kasar, karena niatnya sudah langsung ketahuan oleh sang ayah."Kalau aku emang ada alasan tertentu, terus kenapa, Pa?" Airin langsung mengubah nada bica
Keesokan paginya, Bu Emil sudah sibuk berjibaku di dapur dengan dibantu oleh Bi Ida. Wanita paruh baya itu berniat memasakkan bekal pula untuk dibawa oleh Ayleen agar perempuan itu tidak sampai lupa makan. Tak berselang lama, Ayleen yang sudah bangun sejak subuh dan sudah berpenampilan rapi masuk ke dapur dan menyapa Bu Emil dan Bi Ida."Selamat pagi, Bu, Bi Ida," sapanya sembari tersenyum ramah sekali. Ayleen mendekat, lalu berniat untuk turut serta membantu pekerjaan mereka."Eh, nggak usah, Ay, kamu duduk manis saja di kursi ya, biar pagi ini saya dan Bi Ida yang nyiapin sarapan," cegah Bu Emil saat Ayleen hendak mencuci sayuran yang sudah dipotong oleh Bi Ida."Eh, tapi, Bu ….""Sudah, nggak apa-apa. Anggap aja hari ini kamu lagi libur kerja, Ay. Jadi kamu nggak boleh ngerjain apa-apa," ucap Bu Emil menjelaskan alasannya.Meskipun awalnya sungkan, Ayleen pun melangkah ragu ke arah kursi dan mendaratkan bobot tubuhnya. Sebelum ke dapur tadi, Ayleen sempat melihat Sam ke kamarnya
Mobil yang ditumpangi mereka bertiga melaju dengan kecepatan sedang. Tidak ada yang membuka suara pada awal perjalanan. Ayleen merasa canggung berada di dalam mobil dengan dua orang pria yang bukan muhrimnya di dalamnya, sehingga yang dapat dia lakukan hanyalah diam sambil sesekali memerhatikan jalanan yang mereka lewati."Ehm." Abraham tiba-tiba berdehem memecah suasana hening di dalam mobil. Ayleen sempat terinterupsi sesaat, namun tidak menoleh ke arah Abraham. "Ay, apa rencanamu nanti setelah sampai di kampung kamu di Malang?" tanya Abraham membuka obrolan agar perjalanan yang akan mereka tempuh kurang lebih 2 jam lamanya itu tidak membosankan.Merasa namanya dipanggil, Ayleen menoleh ke arah Abraham yang mengajaknya berbicara."Saya berniat untuk mengunjungi makam ibu saya, dan mendiang bayi saya dulu, Pak," jawab Ayleen lugas."Oh, baiklah. Lalu setelah itu? Apa sudah selesai dengan berkunjung saja ke pemakaman?" tanya Abraham dan langsung direspon dengan gelengan kepala oleh
Kedua bola mata Ayleen membulat sempurna ketika melihat sebuah buku catatan dengan sampul hard cover motif batik."Ini buku apa? Punya ibu, ya?" gumam Ayleen seraya mengambil buku itu dan membersihkan debu tipis yang ada di buku catatan itu."Ibu ternyata punya buku catatan ini, kayak diary gitu ya?" ucapnya lagi bermonolog sendiri. Ayleen tampak melihat lembar demi lembar buku yang terdapat beberapa coretan di sana.Tak diragukan lagi dari tulisan tangan yang ada di sana, Ayleen yakin jika itu adalah milik sang ibu. Wanita cantik itu rupanya masih terkagum dengan fakta kalau sang ibu memiliki buku diary sama sepertinya. Ayleen memandangi dengan seksama setiap baris huruf yang tertulis di sana. Semuanya persis adalah tulisan sang ibu sehingga membuat rasa rindu Ayleen pada ibundanya kian mencuat begitu saja. "Ibu, apa boleh aku membaca semua tulisan ibu di sini?" gumam lirih Ayleen. Sedari kecil, dia memang diajarkan untuk tak sembarangan menyentuh barang milik orang lain. Dan itu
"Apakah seperti itu sambutan seorang anak yang sudah lama nggak ketemu ayahnya?" tanya pria itu bernada mengintimidasi.Ternyata orang yang membuka pintu dengan cara mendobrak itu, adalah Surya. Pria itu rupanya sudah cukup lama menyatroni rumah. Berawal dari laporan seseorang yang mengatakan jika dia melihat Ayleen berkunjung ke makam ibunya. Dari situlah, Surya berniat untuk menemui Ayleen, dan menunggu cukup lama di depan rumah yang dulu mereka tinggali.Benar saja, setelah dari TPU, Ayleen rupanya datang ke rumah ini kira-kira 40 menit yang lalu. Cukup lama Surya menunggu, pria itu pun jadi tak sabaran, maka itu dia mendobrak pintu rumah tadi karena Ayleen tak kunjung keluar."M–mau apa Ayah ke sini? Dan dari mana Ayah tahu kalau aku di sini?" tanya Ayleen takut-takut. Langkah kakinya tersurut mundur setiap Surya melangkah maju mendekatinya."Apakah butuh alasan bagi seorang Ayah menemui putrinya, hm?" tanya Surya lagi. Jarak mereka semakin dekat, karena Surya terus mengikis jarak
“Helmy, nanti kita berhenti dulu di rumah makan ya,” ucap Abraham serupa sebuah perintah sesaat setelah mobil yang mereka tumpangi melaju.“Baik, Pak!” sahut Helmy singkat.Abraham melirik ke arah Ayleen yang sedari tadi bungkam seolah tak berminat untuk mengeluarkan suara. Tatapan wanita itu tampak menatap lurus ke arah jalanan. “Ay, apa kita nggak usah balik ke Surabaya dulu?” tanya Abraham secara tiba-tiba.Ayleen yang mendapatkan pertanyaan secara mendadak demikian lantas menoleh ke arah si pemilik suara. “Memangnya kenapa, Pak? Kita nginap dulu gitu di sini?” Abraham mengangguk. Tiba-tiba saja ide itu muncul di kepalanya. Tentu saja hal itu bukan tanpa alasan. Abraham merasa jika Ayleen masih syok atas kejadian tadi di mana dirinya nyaris ditampar oleh Surya.“Iya, bener, Ay. Kita nanti cari penginapan dulu, baru besok pagi setelah sarapan kita balik ke Surabaya. Gimana menurutmu?” ungkap Abraham diakhiri kalimat tanya ses
Airin menatap nanar ke arah Pak Hartawan sembari memegangi pipinya yang terasa panas."Kamu sudah kelewatan bicaranya, Airin!" seru Pak Hartawan, meski begitu nada bicaranya terdengar melunak. Di sudut hatinya yang paling dalam bahkan dia merasa terluka hanya karena telah melayangkan sebuah tamparan pada putrinya."Papa nampar aku hanya karena gadis itu?" Airin bertanya penuh penekanan di setiap kata-katanya. Ia tak menyangka jika Pak Hartawan bisa menamparnya hanya karena dia membicarakan Ayleen."Kamu belum sadar juga letak kesalahanmu, Airin?" "Aku nggak merasa salah, ngapain juga aku harus sadar diri kalau apa yang kulakukan ini salah?!" Airin justru makin memperpanjang perdebatan mereka. Pak Hartawan terdengar menghela napasnya kasar. Entah harus bagaimana caranya untuk membuat Airin dapat menerima keberadaan Ayleen."Renungkanlah sendiri kesalahanmu, Airin. Seharusnya kamu tau kenapa Papa sampai bersikap kasar sama kamu. Ayleen juga anak kandung Papa, dan sudah sewajarnya Papa
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara