Mobil yang ditumpangi mereka bertiga melaju dengan kecepatan sedang. Tidak ada yang membuka suara pada awal perjalanan. Ayleen merasa canggung berada di dalam mobil dengan dua orang pria yang bukan muhrimnya di dalamnya, sehingga yang dapat dia lakukan hanyalah diam sambil sesekali memerhatikan jalanan yang mereka lewati."Ehm." Abraham tiba-tiba berdehem memecah suasana hening di dalam mobil. Ayleen sempat terinterupsi sesaat, namun tidak menoleh ke arah Abraham. "Ay, apa rencanamu nanti setelah sampai di kampung kamu di Malang?" tanya Abraham membuka obrolan agar perjalanan yang akan mereka tempuh kurang lebih 2 jam lamanya itu tidak membosankan.Merasa namanya dipanggil, Ayleen menoleh ke arah Abraham yang mengajaknya berbicara."Saya berniat untuk mengunjungi makam ibu saya, dan mendiang bayi saya dulu, Pak," jawab Ayleen lugas."Oh, baiklah. Lalu setelah itu? Apa sudah selesai dengan berkunjung saja ke pemakaman?" tanya Abraham dan langsung direspon dengan gelengan kepala oleh
Kedua bola mata Ayleen membulat sempurna ketika melihat sebuah buku catatan dengan sampul hard cover motif batik."Ini buku apa? Punya ibu, ya?" gumam Ayleen seraya mengambil buku itu dan membersihkan debu tipis yang ada di buku catatan itu."Ibu ternyata punya buku catatan ini, kayak diary gitu ya?" ucapnya lagi bermonolog sendiri. Ayleen tampak melihat lembar demi lembar buku yang terdapat beberapa coretan di sana.Tak diragukan lagi dari tulisan tangan yang ada di sana, Ayleen yakin jika itu adalah milik sang ibu. Wanita cantik itu rupanya masih terkagum dengan fakta kalau sang ibu memiliki buku diary sama sepertinya. Ayleen memandangi dengan seksama setiap baris huruf yang tertulis di sana. Semuanya persis adalah tulisan sang ibu sehingga membuat rasa rindu Ayleen pada ibundanya kian mencuat begitu saja. "Ibu, apa boleh aku membaca semua tulisan ibu di sini?" gumam lirih Ayleen. Sedari kecil, dia memang diajarkan untuk tak sembarangan menyentuh barang milik orang lain. Dan itu
"Apakah seperti itu sambutan seorang anak yang sudah lama nggak ketemu ayahnya?" tanya pria itu bernada mengintimidasi.Ternyata orang yang membuka pintu dengan cara mendobrak itu, adalah Surya. Pria itu rupanya sudah cukup lama menyatroni rumah. Berawal dari laporan seseorang yang mengatakan jika dia melihat Ayleen berkunjung ke makam ibunya. Dari situlah, Surya berniat untuk menemui Ayleen, dan menunggu cukup lama di depan rumah yang dulu mereka tinggali.Benar saja, setelah dari TPU, Ayleen rupanya datang ke rumah ini kira-kira 40 menit yang lalu. Cukup lama Surya menunggu, pria itu pun jadi tak sabaran, maka itu dia mendobrak pintu rumah tadi karena Ayleen tak kunjung keluar."M–mau apa Ayah ke sini? Dan dari mana Ayah tahu kalau aku di sini?" tanya Ayleen takut-takut. Langkah kakinya tersurut mundur setiap Surya melangkah maju mendekatinya."Apakah butuh alasan bagi seorang Ayah menemui putrinya, hm?" tanya Surya lagi. Jarak mereka semakin dekat, karena Surya terus mengikis jarak
“Helmy, nanti kita berhenti dulu di rumah makan ya,” ucap Abraham serupa sebuah perintah sesaat setelah mobil yang mereka tumpangi melaju.“Baik, Pak!” sahut Helmy singkat.Abraham melirik ke arah Ayleen yang sedari tadi bungkam seolah tak berminat untuk mengeluarkan suara. Tatapan wanita itu tampak menatap lurus ke arah jalanan. “Ay, apa kita nggak usah balik ke Surabaya dulu?” tanya Abraham secara tiba-tiba.Ayleen yang mendapatkan pertanyaan secara mendadak demikian lantas menoleh ke arah si pemilik suara. “Memangnya kenapa, Pak? Kita nginap dulu gitu di sini?” Abraham mengangguk. Tiba-tiba saja ide itu muncul di kepalanya. Tentu saja hal itu bukan tanpa alasan. Abraham merasa jika Ayleen masih syok atas kejadian tadi di mana dirinya nyaris ditampar oleh Surya.“Iya, bener, Ay. Kita nanti cari penginapan dulu, baru besok pagi setelah sarapan kita balik ke Surabaya. Gimana menurutmu?” ungkap Abraham diakhiri kalimat tanya ses
Airin menatap nanar ke arah Pak Hartawan sembari memegangi pipinya yang terasa panas."Kamu sudah kelewatan bicaranya, Airin!" seru Pak Hartawan, meski begitu nada bicaranya terdengar melunak. Di sudut hatinya yang paling dalam bahkan dia merasa terluka hanya karena telah melayangkan sebuah tamparan pada putrinya."Papa nampar aku hanya karena gadis itu?" Airin bertanya penuh penekanan di setiap kata-katanya. Ia tak menyangka jika Pak Hartawan bisa menamparnya hanya karena dia membicarakan Ayleen."Kamu belum sadar juga letak kesalahanmu, Airin?" "Aku nggak merasa salah, ngapain juga aku harus sadar diri kalau apa yang kulakukan ini salah?!" Airin justru makin memperpanjang perdebatan mereka. Pak Hartawan terdengar menghela napasnya kasar. Entah harus bagaimana caranya untuk membuat Airin dapat menerima keberadaan Ayleen."Renungkanlah sendiri kesalahanmu, Airin. Seharusnya kamu tau kenapa Papa sampai bersikap kasar sama kamu. Ayleen juga anak kandung Papa, dan sudah sewajarnya Papa
"Emm … maaf, Bu, saya permisi ke kamar dulu," ujar Ayleen mendadak. Hal itu dia lakukan agar bisa keluar dari situasi canggung di ruangan itu. "Eh, iya, iya, Ay. Kamu pasti lelah, langsung istirahat aja ya." "Iya, Bu. Permisi, Pak." Ayleen mengangguk, menatap Abraham sekilas lalu wanita itu melangkahkan kaki menuju ke kamarnya. Sedangkan, Bu Emil dan Abraham masih berada di ruang TV. Pria itu merasa tak enak hati karena ucapan sang ibu secara tidak langsung telah membuat Ayleen merasa tidak nyaman. "Mama kenapa sih bilang kayak gitu di hadapan Ayleen?" omel Abraham setelah memastikan Ayleen sudah benar-benar masuk ke kamarnya untuk beristirahat."Bilang gimana sih, Abra? Kamu nggak capek, kok malah ngomelin Mama." Bu Emil kembali mengambil posisi duduknya di atas sofa. Abraham pun menyusul sang mama dan duduk di sampingnya."Ya, ucapan Mama tadi. Mungkin bisa membuat Ayleen nggak nyaman, karena bagaimanapun Sam adalah keponakannya sete
Tiga hari sudah berlalu sejak Ayleen dan Abraham kembali dari Malang. Semua berjalan semestinya. Namun, hingga saat ini Ayleen belum berani menghubungi Pak Hartawan. Dia masih mengumpulkan keberanian untuk menemui pria itu secara pribadi.Entah sudah berapa kali juga, Ayleen membaca buku catatan mendiang sang ibu agar tekadnya menemui Pak Hartawan semakin bulat. "Ay, saya perhatiin, sejak kamu kembali dari Malang, kamu kayak sering banget melamun, dan nggak fokus. Kenapa? Ada sesuatu yang terjadi ya di sana?" tanya Bu Emil yang tiba-tiba saja sudah duduk di dekatnya. Ayleen saat itu sedang menemani Sam bermain. "Eh, Ibu. Apa saya kelihatan kayak gitu ya, Bu?" Ayleen justru balik bertanya."Iya, kamu kenapa, Ay? Kalau ada cerita boleh kamu cerita sama saya," pinta Bu Emil kemudian."Nggak ada yang terjadi kok, Bu. Mungkin pas Ibu lihat saya kebetulan saja saya sedang melamun," ucap Ayleen.Bu Emil tampak memicingkan mata, seteng
Keesokan paginya. Ayleen tampak memikirkan cara untuk membicarakan perihal keinginannya menemui Pak Hartawan secara pribadi. Ayleen sejujurnya merasa gugup, tetapi dia harus melakukannya.Saat berpapasan dengan Abraham pagi itu, Ayleen refleks memanggil namanya."Pak Abra!" panggil Ayleen secara mendadak.Abraham yang merasa dirinya terpanggil lantas menghentikan langkah."Ada apa, Ay?" Abraham bertanya. Saat pria itu menoleh, dapat dilihat dengan jelas kalau wajah Ayleen tampak seperti orang yang ingin mengatakan sesuatu. "Kamu mau ngomong sesuatu sama saya?" tebaknya, tepat sasaran.Sontak, Ayleen mengangguk. "I–iya, Pak, saya … memang pengen ngomong sesuatu sama Pak Abra. Itu, saya —""Lho, kalian kenapa malah tatap-tatapan di sini. Ayo, ke ruang makan, sarapannya udah siap tuh," potong Bu Emil yang tiba-tiba saja keluar dari arah pintu dapur. "Iya, Ma, sebentar.""Ayleen, kamu kenapa bengong?" tanya Bu Emil saat melihat Ayleen yang ucapannya harus terhenti karena kehadirannya."