Kedua bola mata Ayleen membulat sempurna ketika melihat sebuah buku catatan dengan sampul hard cover motif batik."Ini buku apa? Punya ibu, ya?" gumam Ayleen seraya mengambil buku itu dan membersihkan debu tipis yang ada di buku catatan itu."Ibu ternyata punya buku catatan ini, kayak diary gitu ya?" ucapnya lagi bermonolog sendiri. Ayleen tampak melihat lembar demi lembar buku yang terdapat beberapa coretan di sana.Tak diragukan lagi dari tulisan tangan yang ada di sana, Ayleen yakin jika itu adalah milik sang ibu. Wanita cantik itu rupanya masih terkagum dengan fakta kalau sang ibu memiliki buku diary sama sepertinya. Ayleen memandangi dengan seksama setiap baris huruf yang tertulis di sana. Semuanya persis adalah tulisan sang ibu sehingga membuat rasa rindu Ayleen pada ibundanya kian mencuat begitu saja. "Ibu, apa boleh aku membaca semua tulisan ibu di sini?" gumam lirih Ayleen. Sedari kecil, dia memang diajarkan untuk tak sembarangan menyentuh barang milik orang lain. Dan itu
"Apakah seperti itu sambutan seorang anak yang sudah lama nggak ketemu ayahnya?" tanya pria itu bernada mengintimidasi.Ternyata orang yang membuka pintu dengan cara mendobrak itu, adalah Surya. Pria itu rupanya sudah cukup lama menyatroni rumah. Berawal dari laporan seseorang yang mengatakan jika dia melihat Ayleen berkunjung ke makam ibunya. Dari situlah, Surya berniat untuk menemui Ayleen, dan menunggu cukup lama di depan rumah yang dulu mereka tinggali.Benar saja, setelah dari TPU, Ayleen rupanya datang ke rumah ini kira-kira 40 menit yang lalu. Cukup lama Surya menunggu, pria itu pun jadi tak sabaran, maka itu dia mendobrak pintu rumah tadi karena Ayleen tak kunjung keluar."M–mau apa Ayah ke sini? Dan dari mana Ayah tahu kalau aku di sini?" tanya Ayleen takut-takut. Langkah kakinya tersurut mundur setiap Surya melangkah maju mendekatinya."Apakah butuh alasan bagi seorang Ayah menemui putrinya, hm?" tanya Surya lagi. Jarak mereka semakin dekat, karena Surya terus mengikis jarak
“Helmy, nanti kita berhenti dulu di rumah makan ya,” ucap Abraham serupa sebuah perintah sesaat setelah mobil yang mereka tumpangi melaju.“Baik, Pak!” sahut Helmy singkat.Abraham melirik ke arah Ayleen yang sedari tadi bungkam seolah tak berminat untuk mengeluarkan suara. Tatapan wanita itu tampak menatap lurus ke arah jalanan. “Ay, apa kita nggak usah balik ke Surabaya dulu?” tanya Abraham secara tiba-tiba.Ayleen yang mendapatkan pertanyaan secara mendadak demikian lantas menoleh ke arah si pemilik suara. “Memangnya kenapa, Pak? Kita nginap dulu gitu di sini?” Abraham mengangguk. Tiba-tiba saja ide itu muncul di kepalanya. Tentu saja hal itu bukan tanpa alasan. Abraham merasa jika Ayleen masih syok atas kejadian tadi di mana dirinya nyaris ditampar oleh Surya.“Iya, bener, Ay. Kita nanti cari penginapan dulu, baru besok pagi setelah sarapan kita balik ke Surabaya. Gimana menurutmu?” ungkap Abraham diakhiri kalimat tanya ses
Airin menatap nanar ke arah Pak Hartawan sembari memegangi pipinya yang terasa panas."Kamu sudah kelewatan bicaranya, Airin!" seru Pak Hartawan, meski begitu nada bicaranya terdengar melunak. Di sudut hatinya yang paling dalam bahkan dia merasa terluka hanya karena telah melayangkan sebuah tamparan pada putrinya."Papa nampar aku hanya karena gadis itu?" Airin bertanya penuh penekanan di setiap kata-katanya. Ia tak menyangka jika Pak Hartawan bisa menamparnya hanya karena dia membicarakan Ayleen."Kamu belum sadar juga letak kesalahanmu, Airin?" "Aku nggak merasa salah, ngapain juga aku harus sadar diri kalau apa yang kulakukan ini salah?!" Airin justru makin memperpanjang perdebatan mereka. Pak Hartawan terdengar menghela napasnya kasar. Entah harus bagaimana caranya untuk membuat Airin dapat menerima keberadaan Ayleen."Renungkanlah sendiri kesalahanmu, Airin. Seharusnya kamu tau kenapa Papa sampai bersikap kasar sama kamu. Ayleen juga anak kandung Papa, dan sudah sewajarnya Papa
"Emm … maaf, Bu, saya permisi ke kamar dulu," ujar Ayleen mendadak. Hal itu dia lakukan agar bisa keluar dari situasi canggung di ruangan itu. "Eh, iya, iya, Ay. Kamu pasti lelah, langsung istirahat aja ya." "Iya, Bu. Permisi, Pak." Ayleen mengangguk, menatap Abraham sekilas lalu wanita itu melangkahkan kaki menuju ke kamarnya. Sedangkan, Bu Emil dan Abraham masih berada di ruang TV. Pria itu merasa tak enak hati karena ucapan sang ibu secara tidak langsung telah membuat Ayleen merasa tidak nyaman. "Mama kenapa sih bilang kayak gitu di hadapan Ayleen?" omel Abraham setelah memastikan Ayleen sudah benar-benar masuk ke kamarnya untuk beristirahat."Bilang gimana sih, Abra? Kamu nggak capek, kok malah ngomelin Mama." Bu Emil kembali mengambil posisi duduknya di atas sofa. Abraham pun menyusul sang mama dan duduk di sampingnya."Ya, ucapan Mama tadi. Mungkin bisa membuat Ayleen nggak nyaman, karena bagaimanapun Sam adalah keponakannya sete
Tiga hari sudah berlalu sejak Ayleen dan Abraham kembali dari Malang. Semua berjalan semestinya. Namun, hingga saat ini Ayleen belum berani menghubungi Pak Hartawan. Dia masih mengumpulkan keberanian untuk menemui pria itu secara pribadi.Entah sudah berapa kali juga, Ayleen membaca buku catatan mendiang sang ibu agar tekadnya menemui Pak Hartawan semakin bulat. "Ay, saya perhatiin, sejak kamu kembali dari Malang, kamu kayak sering banget melamun, dan nggak fokus. Kenapa? Ada sesuatu yang terjadi ya di sana?" tanya Bu Emil yang tiba-tiba saja sudah duduk di dekatnya. Ayleen saat itu sedang menemani Sam bermain. "Eh, Ibu. Apa saya kelihatan kayak gitu ya, Bu?" Ayleen justru balik bertanya."Iya, kamu kenapa, Ay? Kalau ada cerita boleh kamu cerita sama saya," pinta Bu Emil kemudian."Nggak ada yang terjadi kok, Bu. Mungkin pas Ibu lihat saya kebetulan saja saya sedang melamun," ucap Ayleen.Bu Emil tampak memicingkan mata, seteng
Keesokan paginya. Ayleen tampak memikirkan cara untuk membicarakan perihal keinginannya menemui Pak Hartawan secara pribadi. Ayleen sejujurnya merasa gugup, tetapi dia harus melakukannya.Saat berpapasan dengan Abraham pagi itu, Ayleen refleks memanggil namanya."Pak Abra!" panggil Ayleen secara mendadak.Abraham yang merasa dirinya terpanggil lantas menghentikan langkah."Ada apa, Ay?" Abraham bertanya. Saat pria itu menoleh, dapat dilihat dengan jelas kalau wajah Ayleen tampak seperti orang yang ingin mengatakan sesuatu. "Kamu mau ngomong sesuatu sama saya?" tebaknya, tepat sasaran.Sontak, Ayleen mengangguk. "I–iya, Pak, saya … memang pengen ngomong sesuatu sama Pak Abra. Itu, saya —""Lho, kalian kenapa malah tatap-tatapan di sini. Ayo, ke ruang makan, sarapannya udah siap tuh," potong Bu Emil yang tiba-tiba saja keluar dari arah pintu dapur. "Iya, Ma, sebentar.""Ayleen, kamu kenapa bengong?" tanya Bu Emil saat melihat Ayleen yang ucapannya harus terhenti karena kehadirannya."
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh akhirnya Airin sampai juga di tempat pemotretan. Bergegas Airin turun dari mobil, namun ketika Airin hendak melanjutkan langkahnya seketika tubuhnya sempoyongan berasa ingin pingsan di tempat."Aduh ..., ini aku kenapa lagi sih? Tadi dirumah mual-mual berasa ingin muntah. Sekarang giliran kepalaku terasa pusing, pandanganku pun sedikit kabur, aku merasa nggak nyaman dengan semua ini. Huh, mana sebentar lagi ada pemotretan. Jika keadaanku masih seperti ini aku tak yakin pemotretanku akan berjalan dengan baik," gumam Airin."Aku harus semangat. Jangan sampai pemotretanku hari ini mengalami kegagalan, karena itu pasti akan sangat memalukan. Mau ditaruh di mana wajahku ini jika aku sampai gagal dalam melakukan pekerjaan. Karena selama ini aku dikenal selebgram yang sangat bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Aku nggak mau nama baikku jelek hanya karena kondisiku yang menyebalkan ini ...," gumam Airin setengah kesal.
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara